08 April 2008

Roma 7:7-12: HUKUM TAURAT DALAM PERSPEKTIF KRISTEN-2: Hukum Taurat dan Dosa-1

Seri Eksposisi Surat Roma :
Manusia Lama Vs Manusia Baru-10


Hukum Taurat Dalam Perspektif Kristen-2 :
Hukum Taurat dan Dosa-1


oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 7:7-12.


Setelah mempelajari tentang arti yang lebih dalam bahwa kita telah mati bagi Taurat di pasal 7 ayat 1-6, maka di ayat 7-12, Paulus menjelaskan tentang kaitan antara Hukum Taurat dan dosa.

Dari enam ayat pertama di pasal 7, seolah-olah Paulus terkesan menyalahkan Taurat. Supaya tidak terjadi penyalahtafsiran dari para pembaca, maka pada pasal 7 ayat 7, Paulus mengajarkan dengan jelas, “Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Apakah hukum Taurat itu dosa? Sekali-kali tidak! Sebaliknya, justru oleh hukum Taurat aku telah mengenal dosa. Karena aku juga tidak tahu apa itu keinginan, kalau hukum Taurat tidak mengatakan: "Jangan mengingini!"” Pertama-tama, Paulus memjelaskan presuposisi para pembaca yang telah membaca keenam ayat awal di pasal 7 ini, yaitu hukum Taurat itu bukanlah dosa (atau lebih tepatnya, hukum Taurat itu bukan membuat kita meleset dari sasaran Allah). “Sekali-kali tidak!” dalam terjemahan Indonesia diterjemahkan “God forbid.” dalam terjemahan King James Version (KJV). Dengan kata lain, bukan Taurat penyebab dosa. Lalu, apa yang mengakibatkan manusia berdosa ? Diri sendiri yang melawan Allah. Hal ini ditegaskan Paulus selanjutnya, “Sebaliknya, justru oleh hukum Taurat aku telah mengenal dosa. Karena aku juga tidak tahu apa itu keinginan, kalau hukum Taurat tidak mengatakan: "Jangan mengingini!"” Kedua kata “ingin” di dalam bagian ini diterjemahkan KJV dengan dua kata yang agak berlainan. Kata “keinginan” diterjemahkan lust (Yunani : epithumia ; akar katanya : epithumeō ; Indonesia : keinginan/nafsu) dan kata “mengingini” diterjemahkan covet (Yunani : epithumeō ; Indonesia : iri hati/menaruh hati pada...). Kedua perbedaan ini membukakan satu arti bagi kita. Kata “keinginan” dilekatkan dengan keinginan nafsu birahi manusia SETELAH dirinya membaca Taurat yang hanya berbicara jangan menaruh hati pada sesuatu. Di sini, ada suatu pengertian yang meluas (=lebih parah) setelah membaca Taurat. Yaitu, sebelum membaca Taurat, Paulus tak tahu apa itu keinginan (tentu bukan karena ia tidak tahu, tetapi belum tahu), tetapi setelah membaca Taurat, ia semakin mengetahui dan mengerti serta menjalankannya (konotasi negatif). Artinya, hukum Taurat membukakan realita tentang dosa kepada kita. Tujuannya agar kita sadar bahwa kita ini hanya manusia ciptaan, terbatas dan jatuh ke dalam dosa serta kita harus kembali kepada Allah sebagai Sumber. Bagaimana dengan kita ? Bukankah kita juga sama seperti Paulus ? Bukan karena kita tidak tahu dosa, tetapi kita belum mengetahui dosa itu, lalu setelah kita mengetahui dosa itu, kita bukan menyadarinya dan bertobat, malahan kita makin melakukannya. Itulah cengkeraman dosa di dalam hidup kita.

Bukan hanya itu saja, Paulus menambahkan di ayat 8, “Tetapi dalam perintah itu dosa mendapat kesempatan untuk membangkitkan di dalam diriku rupa-rupa keinginan; sebab tanpa hukum Taurat dosa mati.” KJV menerjemahkannya, “But sin, taking occasion by the commandment, wrought in me all manner of concupiscence. For without the law sin was dead.” Justru, anehnya, melalui Taurat, Paulus mengungkapkan dosa mendapat kesempatan untuk membangkitkan keinginan di dalam dirinya. Kata “mendapat kesempatan” di dalam bahasa Yunani aphormē berarti titik pembuka (starting point). Dengan kata lain, melalui Taurat lah, semakin manusia membaca dan menghafal Taurat (tanpa pengertian sejati dari Allah) akan mengakibatkan :
pertama, manusia tersebut mengenal dosa dan semakin berbuat dosa.
Kedua, dosa itu hidup. Jika dibalik dari pernyataan “... ; sebab tanpa hukum Taurat dosa mati.”, Paulus sendiri mengajarkan bahwa hukum Taurat mengakibatkan dosa itu hidup.
Ketiga, dosa hidup, tetapi manusia mati. Di ayat 9-10a, Paulus mengatakan dengan terus terang, “Dahulu aku hidup tanpa hukum Taurat. Akan tetapi sesudah datang perintah itu, dosa mulai hidup, sebaliknya aku mati.” Artinya, semakin orang menjalankan Taurat tanpa pengertian yang benar, maka orang itu semakin mati, dan dosa semakin ia tumpuk secara tidak sengaja, karena ia menjalankan Taurat secara membabibuta.

Inilah tragisnya orang yang katanya beragama, berTaurat, tetapi sebenarnya tidak mengerti esensi Taurat dengan pengertian sejati dari Allah. Akibatnya mereka sebenarnya bukan sedang beragama, menjalankan perintah Tuhan, tetapi mereka sedang menumpuk dosa, murka Allah, dan akhir dari semuanya itu adalah kematian orang yang mengaku diri beragama/berTaurat itu. Bagaimana dengan kita ? Kita sebagai orang Kristen mungkin berani mengaku diri sudah membaca ribuan ayat Alkitab bahkan berkali-kali membaca Alkitab dari Kejadian sampai dengan Wahyu, tetapi seringkali kita membaca tanpa pengertian dan pendalaman serta pelaksanaan, sehingga pembacaan kita sia-sia sama seperti orang-orang Yahudi yang taat membaca Taurat, tetapi tidak mengerti esensinya. Apa esensi Firman Allah ? Esensinya adalah kebenaran mutlak Allah, disertai dengan kasih, keadilan, kejujuran, kesetiaan, pemeliharaan dan murka-Nya. Itu semua adalah esensi Firman Allah, sehingga ketika kita membaca Alkitab, berusahalah mengerti esensinya sehingga kita tidak salah mengartikan apalagi salah menerapkannya. Memisahkan Firman Allah dari esensi sangat menyesatkan dan membahayakan orang lain (apalagi kalau ini dilakukan oleh para “pemimpin gereja” yang mungkin sudah bergelar doktor berderet-deret). Hal ini sudah dipraktekkan oleh para ahli Taurat, sehingga di dalam Matius 6:5,7, Tuhan Yesus mengkritik doa para ahli Taurat yang munafik seperti orang fasik (tidak mengenal Allah) dan di dalam Matius 23, Tuhan Yesus mengkritik kemunafikan orang-orang yang menganggap diri “ahli” Taurat. Tuhan tidak membutuhkan kemahiran kita berdebat theologia, atau bergelar doktor sampai berderet-deret, sebaliknya Ia membutuhkan ketaatan umat-Nya mempelajari dan melakukan firman-Nya dengan pengertian dan esensi yang benar (bukan berarti Ia tak menghargai kepandaian manusia, melainkan Ia menghina mereka yang tidak taat kepada-Nya tetapi berani mengklaim diri “pandai”). Orang-orang Farisi dan ahli Taurat sudah membuktikan kegagalannya mengerti Taurat, apakah kita juga mengikuti jejak mereka dengan pura-pura alim/religius di depan semua orang, tetapi hati kita jahat dan busuk di hadapan-Nya ? Mari kita mengintrospeksi diri masing-masing. Pada saat kita berlaku busuk dan munafik demikian, Alkitab mengatakan bahwa kita sedang mati (meskipun secara kasat mata kita hidup). Mati di sini bukan secara fisik, tetapi secara spiritual, artinya terputusnya hubungan kita dengan Allah.

Mengapa kita bisa mati dan dosa semakin hidup ? Karena, “perintah yang seharusnya membawa kepada hidup, ternyata bagiku justru membawa kepada kematian.” (ayat 10b) Kata “seharusnya” di dalam ayat ini menunjukkan bahwa tujuan awal Allah mewahyukan firman-Nya melalui Taurat untuk membawa manusia hidup memuliakan Allah dan menikmati-Nya selama-lamanya. Tetapi akibat dosa, manusia semakin tidak dapat memuliakan Allah, sehingga baginya, Taurat itu sesuatu “momok” yang mengerikan dan membawa kepada kematian. Esensi kesalahannya terletak bukan kepada Taurat, tetapi kepada diri manusia yang bebal, berdosa dan sok tahu di hadapan Allah. Perintah Taurat itu membuat manusia semakin diikat oleh Taurat dan terpaksa melakukannya karena jika tidak melakukannya, hukumannya mati. Pemaksaan seperti ini yang diterapkan di dalam hukum Yahudi khususnya berkenaan dengan Sabat. Barangsiapa yang berjalan beberapa meter saja di hari Sabat, sudah dianggap bekerja, itu menodai hari Sabat dan harus dihukum. Sehingga setiap perintah Taurat bukan perintah yang memerdekakan, tetapi perintah yang membelenggu. Bagaimana dengan kita ? Apakah kita juga demikian ? Sesudah kita dilahirbarukan oleh Roh Kudus, seharusnya kita memandang Taurat dan hukum Allah bukan sebagai “momok” yang mengerikan, tetapi sebagai sukacita respon kita setelah kita diselamatkan di dalam Kristus. Menaati perintah Allah seharusnya menjadi kegemaran kita, bukan menjadi “momok” bagi kita. Rasul Yohanes mengajarkan, “Inilah tandanya, bahwa kita mengasihi anak-anak Allah, yaitu apabila kita mengasihi Allah serta melakukan perintah-perintah-Nya. Sebab inilah kasih kepada Allah, yaitu, bahwa kita menuruti perintah-perintah-Nya. Perintah-perintah-Nya itu tidak berat,” (1 Yohanes 5:2,3)

Lebih lanjut, Paulus menjelaskan di ayat 11, “Sebab dalam perintah itu, dosa mendapat kesempatan untuk menipu aku dan oleh perintah itu ia membunuh aku.” Bukan hanya membuat kita mati, malahan Taurat yang tidak dimengerti bisa menipu dan membunuh kita. Mengapa ? Kembali, karena kita tak mengerti esensi Taurat. Albert Barnes di dalam tafsirannya Albert Barnes’ Notes on the Bible menafsirkan Taurat yang menipu kita sebagai Taurat yang mengakibatkan kita semakin berbuat dosa dengan menyeleweng dari jalan Allah. Mengapa demikian ? Karena Taurat yang tidak dimengerti dapat mengakibatkan kita sebagai pembacanya bisa sombong, merasa diri menguasai Taurat, seperti para ahli Taurat, tetapi sejujurnya mereka tak mengerti esensi Taurat. Ini yang disebut paradoks. Banyak orang mengira dirinya mengerti segala sesuatu, tetapi sejujurnya mereka tak mengerti apapun. Justru, orang yang selalu merasa diri belum mengerti, di saat itulah ia bertumbuh dan mengerti bahwa ia perlu mengerti lebih banyak. Kunci pertumbuhan sejati bukan terletak pada berapa banyak gelar akademis yang diperoleh, tetapi pada kerendahan hati ingin belajar kebenaran Firman Tuhan.
Bukan hanya menipu, kemengertian seseorang yang salah akan Taurat dapat membunuh orang tersebut. Membunuh di sini menurut Albert Barnes adalah “aku mati” di Roma 7:8. Mengapa bisa demikian ? Karena pengertian yang salah akan Taurat dapat mengakibatkan orang tersebut makin melakukan Taurat secara salah makin ia terbelenggu oleh peraturan itu dan akhirnya lama-kelamaan ia akan mati dalam kesia-siaan. Bagaimana dengan kita ? Kita mungkin sudah membaca dan mengerti Alkitab dan doktrin Kristen yang banyak, tetapi sampai sejauh mana pengertian kita mempengaruhi spiritualitas/kerohanian kita dengan Tuhan. Doktrin itu sangat penting, tetapi tidak boleh dipisahkan dari pengalaman rohani sejati dengan Tuhan. Jangan menjadi Farisi-farisi modern ! Tuhan tidak menyenangi kita yang berkutat terus di dalam hal theologia, tetapi lupa bersekutu dengan-Nya dan mengalami-Nya. Mengalami Tuhan adalah suatu pengalaman setelah kita mengerti doktrin Alkitab secara beres. Prof. Sinclair B. Ferguson, Ph.D. di dalam bukunya Kehidupan Kristen : Sebuah Pengantar Doktrinal pada bab 1 memberikan judul “Mengetahui Adalah untuk Menghidupinya”. Sebuah judul bab yang singkat namun mendalam bahwa kita mengetahui doktrin yang banyak itu bagus tetapi ingatlah bahwa semua doktrin itu dimengerti bukan sebagai bahan debat, melainkan untuk menghidupi doktrin itu di dalam kehidupan kita sehari-hari. Mengapa ? Karena Firman itu hidup dan memerdekakan kita dari budak dosa dan Taurat. Orang yang terlalu banyak belajar doktrin tetapi kurang menghidupinya membuktikan bahwa orang itu belum mengerti Firman Tuhan dengan beres, apalagi orang itu yang lebih parah menganggap bahwa Firman Tuhan itu mati. Padahal, Firman Tuhan itu hidup dan berkuasa (Roma 1:16).

Sebagai kesimpulan, di ayat 12, Paulus mengajarkan, “Jadi hukum Taurat adalah kudus, dan perintah itu juga adalah kudus, benar dan baik.” Hukum Taurat menurut Paulus tetap adalah kudus, benar (benar adil) dan baik. Itulah hukum Taurat yang sesungguhnya. Sehingga yang perlu dikoreksi bukan Taurat, tetapi kita yang membaca dan melakukan Taurat. Puji Tuhan, kita sudah dimerdekakan dari kutuk hukum Taurat melalui penebusan Kristus. Tetapi kita tidak boleh mengatakan bahwa kita tidak perlu menjalankan Taurat. Taurat tetap adalah Firman Allah yang perlu dijalankan bahkan bagi orang Kristen yang sudah ditebus oleh Kristus, tetapi bedanya kita menjalankan Taurat dengan sukacita dan kasih kepada Allah (bukan dengan unsur keterpaksaan dan keterikatan seperti yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi). Ketika kita menjalankan perintah Taurat, kita menjalankannya untuk memuliakan Allah, bukan untuk kehebatan kita sendiri, karena segala sesuatu adalah dari Dia, oleh Dia dan bagi Dia, kemuliaan bagi-Nya untuk selama-lamanya (Roma 11:36).

Setelah merenungkan keenam ayat ini, maukah kita berkomitmen gemar menjalankan perintah Tuhan/Taurat di dalam hidup kita dengan sukacita dan kasih kepada Allah ? Biarlah Tuhan menyelidiki hati dan motivasi kita. Soli Deo Gloria. Amin.

No comments: