ADA APA DI BALIK SALIB?-3:
Salib, Penderitaan, dan Awal Kemenangan Di Balik Penderitaan
oleh: Denny Teguh Sutandio
“Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.”
(Yes. 53:5)
Pertanyaan selanjutnya, mengapa kita bisa beriman demikian? Apakah ini sebuah ilusi semu seperti yang dikatakan oleh Karl Marx yaitu seperti candu? BUKAN! Mengapa? Karena pengharapan kemenangan atas penderitaan kita didasarkan pada pengharapan pasti di dalam Kristus yang telah mati (dan bangkit) yang telah dibuktikan di dalam sejarah (iman Kristen bisa dipertanggung jawabkan secara historis)! Kematian Kristus di salib bukanlah kekalahan-Nya, tetapi justru awal kemenangan-Nya, karena:
Pertama, Ia mati bukan karena dosa-Nya, tetapi demi dosa-dosa kita. Kebanyakan orang, bahkan para pemimpin agama, meninggal di dalam dosa-dosa mereka, namun HANYA Kristus saja yang mati disalib bukan karena dosa-dosa-Nya, tetapi demi dosa-dosa umat-Nya. Dengan kematian-Nya di kayu salib, itu membuktikan tugas-Nya menebus dosa umat-Nya telah selesai dan dengan demikian, itu berarti semua dosa umat-Nya telah ditanggungkan kepada Kristus. Dan itu juga membuktikan kuasa dosa, iblis, dan maut TIDAK ada daya apa pun dalam hidup umat-Nya. Kalau kita memperhatikan film The Passion of the Christ, di situ dipertontonkan, ketika Kristus selesai mengucapkan “Sudah selesai” dan menyerahkan nyawa-Nya, di dunia lain, yaitu iblis langsung berteriak kalah. Mel Gibson sangat cerdas menggambarkan hal ini: kematian-Nya merupakan kemenangan awal yang nantinya memimpin kepada kemenangan demi kemenangan.
Kedua, Ia mati bukan karena terpaksa, tetapi karena rela demi menebus dosa umat pilihan-Nya, meskipun iblis berusaha mencobai-Nya selama itu. Saya teringat akan khotbah MP3 Pdt. Bigman Sirait yang berjudul 7 Fakta Salib, di situ beliau memaparkan bahwa kematian-Nya bukan menunjukkan bahwa Allah kita lemah dan tak berdaya, tetapi kematian-Nya merupakan kematian-Nya yang rela. Jika kematian-Nya bukan kematian yang rela, maka tidak ada seorang pun yang sanggup menahan-Nya. Bagaimana tidak, kuasa-Nya begitu dahsyat. Perhatikan Yohanes 18:4-6, “Maka Yesus, yang tahu semua yang akan menimpa diri-Nya, maju ke depan dan berkata kepada mereka: "Siapakah yang kamu cari?" Jawab mereka: "Yesus dari Nazaret." Kata-Nya kepada mereka: "Akulah Dia." Yudas yang mengkhianati Dia berdiri juga di situ bersama-sama mereka. Ketika Ia berkata kepada mereka: "Akulah Dia," mundurlah mereka dan jatuh ke tanah.” Perkataan-Nya saja sanggup membuat orang banyak mundur dan jatuh ke tanah, apalagi kalau mereka berani menahan-Nya, apa yang bakal terjadi nantinya? Tetapi Ia rela menyerahkan nyawa-Nya demi menebus dosa manusia.
Ketiga, kematian-Nya menunjukkan ketaatan-Nya mutlak kepada Bapa yang telah mengutus-Nya. Kerelaan kematian-Nya disebabkan karena Ia taat mutlak kepada Bapa yang telah mengutus-Nya. Ia bisa saja melarikan diri ketika hendak disalib, namun itu tidak dilakukan-Nya, karena Ia taat kepada perintah Bapa.
Karena kematian-Nya di salib menjamin kemenangan kita atas penderitaan, maka apa yang harus kita lakukan tatkala kita menderita?
Pertama, memfokuskan iman dan pengharapan kita kepada Kristus. Penderitaan selalu mengalihkan fokus iman kita kepada penderitaan itu sendiri, sehingga makin kita menderita, makin kita jauh dari Allah. Kematian Kristus menyadarkan kita bahwa biarlah Kristus menjadi fokus iman dan pengharapan kita, karena kehadiran Kristus di dalam penderitaan bukan kehadiran pribadi yang tak pernah menderita, tetapi kehadiran Pribadi yang paling menderita di bumi ini. Hal ini seperti yang dikatakan penulis surat Ibrani, “Sebab oleh karena Ia sendiri telah menderita karena pencobaan, maka Ia dapat menolong mereka yang dicobai.” (Ibr. 2:18) Terlalu banyak pemimpin agama yang berkoar-koar tentang penderitaan, tetapi mereka tidak pernah mengalami penderitaan berat, melainkan mereka malah hanya mencicipi sedikit penderitaan, langsung pergi ke dunia lain. Tetapi Kristus TIDAK demikian! Dari lahir sampai mati, Ia merasakan penderitaan dan bahkan penderitaan paling berat. Pada waktu lahir, Ia lahir di kandang binatang (bandingkan dengan kelahiran pendiri agama lainnya). Ia hidup sebagai anak tukang kayu (bandingkan dengan kehidupan pendiri agama lain yang berasal dari keluarga kerajaan). Kehadiran-Nya banyak dimusuhi bahkan anehnya oleh para pemimpin agama yang seharusnya menerima-Nya. Kematian-Nya begitu tragis yaitu disalib yang merupakan hukuman terberat pada zaman Romawi. Oleh karena Ia telah mengalami penderitaan dan bahkan terberat, maka Ia adalah satu-satunya yang layak kita imani tatkala kita menderita.
Kedua, melihat Kristus ada di dalam setiap penderitaan. Karena kita percaya bahwa Kristus yang pernah menderita akan menolong kita yang menderita, maka kita percaya bahwa Kristus pasti ada di dalam setiap penderitaan kita, meskipun seolah-olah Ia tidak mengulurkan tangan-Nya secara langsung untuk menolong kita. Kita percaya bahwa kehadiran-Nya memimpin dan menguatkan kita di dalam penderitaan, sehingga kita dimampukan-Nya untuk menderita bagi-Nya. Mengapa Paulus tetap tegar dan kuat di dalam memberitakan Injil? Apakah itu karena karakternya yang memang seorang tegas dan keras? Tentu tidak! Di Roma 7, ia memaparkan kepada kita tentang pergumulannya dengan dosa yang ada di dalam dirinya. Pergumulan itu bagi Paulus merupakan penderitaan berat yang bisa disamakan dengan penderitaan eksternal (bdk. renungan Ada Apa Di Balik Salib-2 tentang macam-macam penderitaan Kristen). Ketika menderita diri/internal itu, Paulus menyadari bahwa Kristus adalah jawaban final bagi pergumulan penderitaan internalnya (Rm. 7:25). Kristus jugalah yang menguatkan Paulus ketika ia sempat merasa berat dalam pelayanan (bdk. Kis. 23:11). Bahkan Ia sendiri menguatkan hati para murid, rasul, dan kita melalui Roh Kudus ketika mereka dan kita berada di dalam penderitaan. Di dalam Injil Lukas, hal ini dikatakan-Nya sebanyak 2x, yaitu di Lukas 12:11-12, “Apabila orang menghadapkan kamu kepada majelis-majelis atau kepada pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa, janganlah kamu kuatir bagaimana dan apa yang harus kamu katakan untuk membela dirimu. Sebab pada saat itu juga Roh Kudus akan mengajar kamu apa yang harus kamu katakan.” dan di Lukas 21:12-15, “Tetapi sebelum semuanya itu kamu akan ditangkap dan dianiaya; kamu akan diserahkan ke rumah-rumah ibadat dan penjara-penjara, dan kamu akan dihadapkan kepada raja-raja dan penguasa-penguasa oleh karena nama-Ku. Hal itu akan menjadi kesempatan bagimu untuk bersaksi. Sebab itu tetapkanlah di dalam hatimu, supaya kamu jangan memikirkan lebih dahulu pembelaanmu. Sebab Aku sendiri akan memberikan kepadamu kata-kata hikmat, sehingga kamu tidak dapat ditentang atau dibantah lawan-lawanmu.” Kesemuanya ini sudah jelas bahwa Ia selalu ada bersama-sama dengan umat-Nya ketika umat-Nya menderita, bahkan Ia menjamin di Lukas 21:16-18, “Dan kamu akan diserahkan juga oleh orang tuamu, saudara-saudaramu, kaum keluargamu dan sahabat-sahabatmu dan beberapa orang di antara kamu akan dibunuh dan kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku. Tetapi tidak sehelaipun dari rambut kepalamu akan hilang.” Penderitaan seberat apa pun yang harus ditanggung umat-Nya karena nama Kristus TIDAK akan melebihi kekuatan umat-Nya (bdk. 1Kor. 10:13). Inilah bukti jaminan bahwa Kristus pasti ada di dalam penderitaan umat-Nya. Masihkah kita kuatir ketika kita menderita?
Ketiga, melihat Kristus yang memberi kemenangan sebagai akhir penderitaan. Kita bukan hanya melihat Kristus hadir di dalam penderitaan kita, tetapi kita juga melihat Kristus yang menang dan memberi kemenangan mutlak kepada umat-Nya yang terus bertahan di dalam penderitaan. Kemenangan apa saja? Pertama, kemenangan di Sorga. Dalam ucapan bahagia, Kristus sendiri berfirman, “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu."” (Mat. 5:11-12) Ia berjanji akan memberikan kita upah di Sorga bagi kita yang sudah menderita bagi nama-Nya. Tidak hanya itu, Tuhan melalui Paulus mengajar kita, “Seperti ada tertulis: "Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan." Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita.” (Rm. 8:36-37) Kita bukan hanya diberikan upah di Sorga, bahkan kita disebut sebagai lebih dari para pemenang, karena Kristus yang telah menang dan memberi kita kemenangan demi kemenangan. Cukupkah kemenangan di Sorga? TIDAK. Kemenangan kita juga bisa sedikit dicicipi dan dilihat dampaknya ketika di dunia. Perhatikanlah sejarah gereja. Ketika gereja makin dihambat perkembangannya, gereja bukan makin sedikit, tetapi makin meluas, sehingga ada istilah yang menggambarkan hal ini: makin dibabat, makin merambat. Penganiayaan terhadap Kristen baik di Roma dahulu maupun di negara-negara komunis sekarang misalnya di RRT bukan mengecilkan jumlah pengikut Kristus, tetapi justru membuat para pengikut Kristus bertambah banyak berlipat kali ganda. Ini semua membuktikan bahwa Kristus yang kita percayai adalah Allah yang hidup dan dahsyat yang memberi kemenangan bagi umat-Nya yang menderita.
Keempat, mengarahkan hati kita untuk taat. Kemenangan Kristus di salib yang juga memberi kemenangan kita hendaklah TIDAK membuat kita terbuai, lalu lupa apa yang harus kita kerjakan. Memang di dalam penderitaan, ada Kristus di sana dan Ia pasti memberi kemenangan bagi kita, tetapi jangan lupa satu hal, di dalam penderitaan itu, kita dituntut Tuhan untuk taat pada pimpinan-Nya. Sebagaimana Kristus taat kepada Bapa dan itu mengakibatkan kematian-Nya di kayu salib menjadi awal kemenangan-Nya, maka ketaatan kita kepada-Nya merupakan awal kemenangan kita di dalam penderitaan. Ketaatan berarti siap mengatakan YA kepada kehendak Tuhan dan TIDAK kepada kehendak diri. Dengan kata lain, di dalam ketaatan harus ada unsur menyangkal diri demi menggenapkan kehendak-Nya. Mengapa perlu ketaatan dan menyangkal diri? Karena ketika kita menderita, pasti ada godaan yang mengakibatkan kita nantinya mungkin berkompromi dan akhirnya meninggalkan-Nya. Hal itulah yang Kristus alami, namun puji Tuhan, Ia berhasil melewati semuanya karena Ia taat pada Bapa. Biarlah kemenangan Kristus atas segala macam godaan itu menjadi teladan bagi kita untuk juga menang terhadap godaan di dalam penderitaan.
Kelima, mengembalikan segala kemuliaan hanya bagi Allah. Ketaatan yang dibarengi menyangkal diri ditunjukkan salah satunya dengan tidak menonjolkan diri ketika sudah dan sedang mengalami penderitaan. Sering kali saya mengamati beberapa orang Kristen yang sudah (dan sedang) mengalami banyak penderitaan, lalu menyombongkan diri di depan orang lain bahwa ia sudah menderita, lalu menghina mereka yang belum menderita. Seharusnya anak Tuhan sejati yang diizinkan Tuhan menderita bukan malahan sombong, tetapi bersyukur dan kemudian mengembalikan segala kemuliaan hanya bagi Allah Tritunggal. Mengapa? Karena mereka mengetahui bahwa penderitaan diizinkan-Nya bukan demi kehebatan mereka, tetapi untuk menguji iman mereka dan pada akhirnya memuliakan-Nya. Jangan sekali-kali mengambil kemuliaan-Nya dan menggantikannya dengan kemuliaan diri, karena jika kita berbuat demikian, sambil kita menderita, kita semakin menghina Allah yang ingin menguji iman kita. Berwaspadalah. Makin kita menderita bagi Kristus, makin kita rendah hati di hadapan-Nya karena kita menyadari bahwa tanpa-Nya, kita tidak ada apa-apanya dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Bagaimana dengan kita? Ketika kita menderita demi Kristus, masihkah kita memiliki pengharapan iman di dalam Kristus dan kemenangan yang Dia janjikan? Masihkah kita taat pada-Nya dan memuliakan-Nya di dalam penderitaan kita? Biarlah renungan singkat ini boleh menyadarkan kita untuk terus memuliakan-Nya di dalam setiap aspek kehidupan kita sehari-hari. Amin. Soli Deo Gloria.
No comments:
Post a Comment