17 May 2009

Roma 15:8-13: KESATUAN JEMAAT ALLAH-2: Kristus Sebagai Teladan dan Janji Allah

Seri Eksposisi Surat Roma:
Menjadi Berkat Bagi Sesama-4


Kesatuan Jemaat-2: Kristus Sebagai Teladan dan Janji Allah

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 15:8-13



Setelah menjelaskan di ayat 4 s/d 7 bahwa sesama jemaat harus bersatu, maka Paulus menjelaskan di ayat berikutnya yaitu ayat 8 s/d 13 bahwa Kristus itulah teladan bagi kesatuan jemaat tersebut, sehingga kesatuan yang tidak meneladani Kristus bukanlah kesatuan yang Allah inginkan.


Di ayat 8, Paulus menjelaskan, “Yang aku maksudkan ialah, bahwa oleh karena kebenaran Allah Kristus telah menjadi pelayan orang-orang bersunat untuk mengokohkan janji yang telah diberikan-Nya kepada nenek moyang kita,” Di ayat ini, Paulus menegaskan di titik awal bahwa ketika kita ingin belajar arti kesatuan, maka kita harus belajar dari Kristus yang mempersatukan semua bangsa menjadi umat pilihan Allah yang menerima keselamatan. Keselamatan ini dimulai dari kaum Israel terlebih dahulu. Pernyataan “orang-orang bersunat” di dalam New International Version (NIV) diterjemahkan Jews (Yahudi). Keselamatan yang dimulai dari kaum Israel ini adalah janji Allah kepada umat-Nya melalui nenek moyang mereka. Keselamatan ini digenapi di dalam Pribadi dan karya Kristus sebagai Juruselamat mereka. Di ayat ini, Kristus dinyatakan sebagai Pelayan bagi kaum Israel. Kata “pelayan” dalam NIV diterjemahkan servant dan di dalam King James Version (KJV) diterjemahkan minister. Kata Yunani yang dipakai adalah diakonos, BUKAN doulos. Kata diakonos berarti pelayan, pembantu, atau diaken (Hasan Sutanto, 2003, hlm.197), sedangkan kata doulos berarti budak. Mengapa Kristus disebut sebagai pelayan (diakonos) bukan doulos? Karena Paulus hendak mengatakan bahwa Kristus diutus Allah untuk melayani dan menebus orang berdosa, tetapi tidak berarti Ia kehilangan natur-Nya sebagai Allah yang bisa diinjak.


Keselamatan ternyata bukan hanya untuk orang Israel, tetapi juga untuk bangsa-bangsa lain. Paulus mengajarkannya di dalam ayat 9 s/d 12 dengan mengutip Perjanjian Lama. Mari kita telusuri pengajaran-pengajaran ini.
Di ayat 9, ia mengajarkan, “dan untuk memungkinkan bangsa-bangsa, supaya mereka memuliakan Allah karena rahmat-Nya, seperti ada tertulis: "Sebab itu aku akan memuliakan Engkau di antara bangsa-bangsa dan menyanyikan mazmur bagi nama-Mu."” Ayat ini dikutip dari 2 Samuel 22:50 dan Mazmur 18:50. Mazmur 18:50, “Sebab itu aku mau menyanyikan syukur bagi-Mu di antara bangsa-bangsa, ya TUHAN, dan aku mau menyanyikan mazmur bagi nama-Mu.” Mazmur 18 ini ditulis sebagai ucapan syukur Daud setelah Allah melepaskannya dari tangan musuh dan Saul (baca ayat 1). Khususnya di ayat ini, Tuhan melalui Daud hendak mengajar kita bahwa Allah adalah Allah yang berkuasa atas semua bangsa dan semua bangsa harus menyembah-Nya. Oleh Paulus, ayat ini dikutip dan diberi arti baru tentang sentralitas Kristus sebagai Allah Pembebas manusia dari (Juruselamat) dosa. Sebagai Juruselamat atas dosa, kuasa penebusan Kristus berlaku BUKAN hanya untuk orang-orang Israel yang bertobat, tetapi juga bagi orang-orang “kafir” (Gentiles) yang bertobat. Jika kita kembali ke Roma 9-11, kita diingatkan kembali akan pengajaran Paulus bahwa keselamatan memang dimulai dari Israel lalu diteruskan ke bangsa-bangsa lain, tetapi TIDAK untuk dimonopoli oleh orang Israel lalu menghina orang-orang non Israel. Berarti di sini, Kristus adalah teladan bagi kita yang mempersatukan kita dari berbagai bangsa, suku, dan budaya menjadi satu di dalam tubuh-Nya. Inilah yang dimaksud universalitas keselamatan di dalam Kristus. Universalitas keselamatan ini BUKAN berarti keselamatan bisa ada di luar Kristus, tetapi keselamatan yang hanya ada di dalam Kristus berlaku dan dinikmati oleh semua orang percaya/pilihan Allah dari berbagai suku, bangsa, dan bahasa. Bagaimana dengan kita? Kita sering kali masih membeda-bedakan suku di dalam persekutuan tubuh Kristus. Kita mungkin masih merendahkan suku tertentu, padahal seharusnya, di dalam Kristus, tidak ada perbedaan suku dan bangsa (1Kor. 12:13; Gal. 3:28). Mari kita bertobat dari dosa pendiskriminasian ini dan melihat karya Kristus sebagai pemersatu perbedaan bangsa dan suku ini.


Di ayat 10, ia mengajarkan, “Dan selanjutnya: "Bersukacitalah, hai bangsa-bangsa, dengan umat-Nya."” Terjemahan teks Yunani dari kata “bangsa-bangsa” di ayat ini adalah “bangsa-bangsa bukan Yahudi.” (Hasan Sutanto, 2003, Perjanjian Baru Interlinear, hlm. 874) Setelah di ayat 9, Paulus mengajar tentang sentralitas Kristus yang menyelamatkan semua bangsa, maka di ayat 10 ini, Paulus mengajar bagaimana respons mereka yang telah diselamatkan, yaitu bersukacita. Uniknya, di ayat 10 ini, Paulus mengajak orang-orang dari bangsa non-Yahudi untuk bersukacita bersama dengan umat-Nya (Yahudi). Mengapa? Di sini, Paulus hendak menjelaskan bahwa keselamatan di dalam Kristus selain dinikmati oleh semua orang pilihan Allah dari berbagai bangsa juga harus disyukuri oleh mereka. Dengan kata lain, bangsa-bangsa non-Yahudi pun bisa bersyukur dan menyembah Allah yang menyelamatkan mereka di dalam Kristus, karena universalitas karya Kristus tersebut. Lebih tajam lagi, bangsa-bangsa non-Yahudi bisa bersukacita selain karena universalitas karya Kristus, juga karena karya Allah bagi umat-Nya. Jika kita memperhatikan kutipan ayat ini dari PL, yaitu Ulangan 32:43 yang berbunyi, “Bersorak-sorailah, hai bangsa-bangsa karena umat-Nya, sebab Ia membalaskan darah hamba-hamba-Nya, Ia membalas dendam kepada lawan-Nya, dan mengadakan pendamaian bagi tanah umat-Nya."” kita akan mendapatkan gambaran lebih jelas lagi bahwa karya Allah bagi umat-Nya juga menjadi berkat bagi bangsa-bangsa non-Yahudi. Di dalam sejarah PL, kita melihat gambaran jelas akan hal ini. Daniel adalah salah satu contoh hamba Tuhan yang dipakai Tuhan dengan dahsyat di zamannya, sehingga ia menjadi berkat bagi Raja Darius di mana Allah yang ia sembah yang berdaulat itu diakui oleh raja Darius (Dan. 6:1-28). Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menjadi saluran berkat yang menyatakan karya Allah di dalam pribadi dan hidup kita? Mungkin orang lain (non-Kristen) tidak bisa melihat Tuhan Yesus, tetapi mereka bisa melihat pribadi kita sebagai anak-anak-Nya yang mencerminkan kebenaran, kasih, keadilan, dan kekudusan Allah. Biarlah mereka melihat karya Allah yang Mahakudus, Mahakasih, dan Mahaadil itu di dalam pribadi anak-anak Tuhan. Di tengah zaman yang bengkok, gelap, dan rusak ini, biarlah kita sebagai anak-anak-Nya memiliki hati dan semangat mau melayani Tuhan dan menjadi saksi bagi-Nya, supaya nama Tuhan dipermuliakan.


Bukan hanya bersukacita, bangsa-bangsa non-Yahudi pun memuji kebesaran Allah kita. Di ayat 11, Paulus mengajarkan, “Dan lagi: "Pujilah Tuhan, hai kamu semua bangsa-bangsa, dan biarlah segala suku bangsa memuji Dia."” Kembali, “bangsa-bangsa” di dalam ayat ini diterjemahkan dari teks Yunani sebagai “bangsa-bangsa bukan Yahudi.” (ibid., hlm. 874) Kita bisa belajar dua hal dari ayat ini.
Pertama, respons yang benar setelah diselamatkan selain bersyukur adalah memuji Allah sebagai Sumber Keselamatan. Hal ini dilakukan juga oleh orang-orang non-Yahudi. Berarti, Allah menerima pujian dan penyembahan dari orang-orang non-Yahudi melalui bahasa-bahasa mereka. Tuhan TIDAK menuntut Ia harus dipuji dengan bahasa tertentu seperti yang dilakukan oleh agama mayoritas di Indonesia (sungguhan kasihan “Tuhan” seperti itu, hehehe), tetapi Ia menghendaki semua bangsa dengan semua bahasa dan budaya memuji nama-Nya atas kebesaran-Nya. Itu baru disebut bersatu secara esensi. Inti persatuan tersebut adalah memuji Allah Trinitas dengan keragaman bahasa dan budaya dari bangsa-bangsa yang ada.

Kedua, bukan hanya bangsa-bangsa non-Yahudi yang memuji-Nya, tetapi juga semua rakyat/suku bangsa (terjemahan dari teks Yunani). Berarti pujian kepada Allah bukan hanya berada di tataran bangsa, tetapi juga sampai ke pelosok-pelosok, yaitu suku bangsa atau rakyat. Dengan demikian tidak ada satu inci suku bangsa yang seharusnya tidak memuji Tuhan, karena Ia adalah Allah yang berdaulat di dunia bahkan sampai suku bangsa. Itulah persatuan yang Tuhan inginkan. Umat Tuhan yang ingin melayani Tuhan harus bersiap diri terjun ke tempat-tempat terpencil dan kecil untuk memberitakan Injil. Selain itu, Alkitab juga dicetak dengan bahasa-bahasa daerah setempat membuktikan adanya persatuan di dalam tubuh Kristus. Semua hal yang dikerjakan ini hanya membuktikan satu hal: Kristus harus dimuliakan di semua bangsa bahkan suku bangsa yang terpencil sekalipun. Sudahkah kita siap menjangkau suku-suku terpencil bagi Kristus? Pdt. Michael Densmoor, seorang misionaris dari Amerika Serikat terpanggil untuk melayani Tuhan dan memberitakan Injil untuk suku Sunda, bagaimana dengan Anda? Suku Jawa, Aceh, Tionghoa, Madura, dll banyak yang belum mendengar Injil dengan bertanggungjawab, Andakah orangnya yang Tuhan utus?


Sentralitas Kristus sebagai teladan kesatuan jemaat ini diakhiri dengan pernyataan bahwa Kristus adalah Hakim dan Pemerintah atas bangsa-bangsa. Hal ini diajarkan Paulus di ayat 12, “Dan selanjutnya kata Yesaya: "Taruk dari pangkal Isai akan terbit, dan Ia akan bangkit untuk memerintah bangsa-bangsa, dan kepada-Nyalah bangsa-bangsa akan menaruh harapan."” Ayat ini dikutip dari Yesaya 11:10 yang selengkapnya berbunyi, “Maka pada waktu itu taruk dari pangkal Isai akan berdiri sebagai panji-panji bagi bangsa-bangsa; dia akan dicari oleh suku-suku bangsa dan tempat kediamannya akan menjadi mulia.” Dari ayat ini, kita bisa belajar dua hal, yaitu:
Pertama, sentralitas Kristus sebagai Hakim dan Pemerintah. Selain sebagai Juruselamat dari dosa (bdk. ay. 9), Paulus menjabarkan sisi akhir dari Kristus yaitu sebagai Hakim dan Pemerintah. Ia memerintah atas bangsa-bangsa baik Yahudi maupun non-Yahudi. Berarti ada universalitas kekuasaan Kristus. Jika Kristus memerintah atas bangsa-bangsa, bukankah firman-Nya harus menjadi fondasi kebenaran bagi semua bangsa? Bukankah semua bangsa seharusnya tanpa kecuali harus taat mutlak kepada Kristus melalui hukum-hukum-Nya di Alkitab? Itu yang Ia inginkan. Ini bukan pemaksaan yang tanpa dasar, tetapi suatu kemutlakan yang berotoritas, berdasar, dan bertanggungjawab. Itulah yang menjadi tugas kita bersama sebagai umat pilihan-Nya di dalam Kristus menjadi garam dan terang Kristus yang membawa Kebenaran Kristus ke dalam kehidupan kita sehari-hari, khususnya di bidang politik dan hukum. Ini saya sebut sebagai kesatuan di dalam menjalankan mandat budaya (unity in doing cultural mandate). Sudahkah kita siap melakukannya?

Kedua, otoritas Kristus yang agung dan penuh kasih. Tentunya sebagai Hakim dan Pemerintah, Ia berotoritas, tetapi sering kali otoritas menjadi hal yang mengerikan. Tetapi apakah ini berlaku bagi Kristus? TIDAK! Otoritas Kristus memang absolut, tetapi Ia menjalankan otoritas-Nya bukan dengan kekejaman militer, tetapi dengan Kasih. Itulah yang membuat Yesaya mengatakan bahwa Dia akan dicari oleh bangsa-bangsa dan tempat kediaman-Nya akan menjadi mulia. Berarti otoritas Kristus tidak membuat bangsa-bangsa terpaksa ketakutan, tetapi mereka sungguh-sungguh takut dan gemetar melihat otoritas Kristus yang penuh kasih. Agama di luar Kristen menjalankan “misi” mereka ada yang menggunakan pedang dan pemaksaan (meskipun di depan umum, mereka menyangkalinya), begitu juga dengan otoritas kerajaan duniawi, tetapi hanya Satu yang menjalankan otoritas pemerintahan kerajaan bukan dengan kekejaman, melainkan dengan Kasih dan Kebenaran, yaitu Tuhan Yesus Kristus dan Kerajaan-Nya. Puji Tuhan! Hal ini telah menjadi kekuatan bagi jemaat Roma yang pada waktu itu menghadapi bengisnya kekaisaran Romawi. Biarlah ini juga menjadi kekuatan bagi kita yang hidup di zaman sekarang. Sudahkah kita bersama-sama menghadirkan Kerajaan Allah di dalam Kristus yang penuh kasih, kebenaran, keadilan, dan kesucian ini di tengah masyarakat kita yang berdosa?


Setelah menguraikan sentralitas Kristus sebagai Juruselamat dan Pemerintah, Paulus mengajar jemaat Roma (dan kita juga), “Semoga Allah, sumber pengharapan, memenuhi kamu dengan segala sukacita dan damai sejahtera dalam iman kamu, supaya oleh kekuatan Roh Kudus kamu berlimpah-limpah dalam pengharapan.” (ay. 13) Dari ayat ini, kita belajar dua hal tentang janji Allah, yaitu:
Pertama, Ia akan memenuhi kita dengan segala sukacita dan damai karena kita percaya kepada-Nya (terjemahan dari NIV dan teks Yunani). Ketika kita percaya di dalam dan kepada Kristus dan bersama-sama menunaikan mandat yang Ia percayakan kepada kita, maka Ia akan memenuhi kita dengan sukacita dan damai. Akibatnya, meskipun di dalam menjalankan mandat-Nya, kita menemui banyak rintangan, percayalah, kita dimampukan-Nya mengatasi hal itu, bahkan kita diberi-Nya sukacita sejati dan damai yang melampaui segala akal. Ada jaminan kekuatan bagi umat-Nya yang sungguh-sungguh beriman dan bergantung total kepada-Nya. Hal ini bukan hanya menjadi teori saja, saya pun sudah mengalaminya. Ketika saya melayani Tuhan di dalam dunia perkuliahan dengan mengintegrasikan iman Kristen dengan ilmu, seperti pada umumnya, beberapa dosen “Kristen” menghalangi dan bahkan mengatakan bahwa antara iman dan ilmu tidak ada hubungannya, tetapi saya tidak memperdulikan omongan yang tidak bertanggungjawab itu. Saya tetap terus melayani Tuhan, bahkan dengan sukacita dan damai, karena saya tahu kepada siapa aku percaya (2Tim. 1:12b). Allah yang saya layani, Ia lah yang akan memampukan saya dan umat Tuhan untuk melayani-Nya lebih giat lagi dan lebih bersemangat lagi demi hormat dan kemuliaan nama-Nya di dunia ini.

Kedua, kita memiliki berlimpah-limpah pengharapan di dalam Dia melalui kuasa Roh Kudus. Ketika kita bersatu percaya dan melayani Tuhan dan Kerajaan-Nya, percayalah, Ia akan memberikan kepada kita tempat pengharapan sejati di dalam-Nya melalui kuasa Roh Kudus. Ketika kita terus percaya dan melayani, di saat itu pula, kita terus memiliki tempat pengharapan yang sejati melalui kuasa Roh Kudus. Mengapa? Karena tempat pengharapan sejati itulah yang menguatkan, menghibur, dan mendorong kita makin giat lagi melayani Tuhan. Ketika semangat kita kendor, kerohanian kita menurun, biarkan Roh Kudus bekerja membakar kembali semangat dan kerohanian kita di dalam melayani Tuhan, itulah pengharapan kita satu-satunya. Sudahkah api Roh Kudus memberikan pengharapan kepada kita yang mulai kendor di dalam melayani Tuhan? Paulus mengatakan di Roma 12:11, “Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan.”


Biarlah perenungan kita kali ini menyadarkan kita akan sentralitas Kristus sebagai teladan kesatuan dan janji Allah bagi kita yang bersatu menggenapkan kehendak-Nya di bumi ini. Amin. Soli Deo Gloria.

No comments: