17 May 2009

Matius 15:1-11: CHRIST REDEEM CULTURE (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 12 Agustus 2007

Christ Redeem Culture
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 15:1-11



Setiap tempat pastilah mempunyai budaya dan budaya masing-masing tempat atau daerah pastilah berbeda. Sebagai contoh, di Jepang ada budaya minum teh tetapi di Indonesia kita menganggap biasa bahkan suatu benda bisa bernilai sangat mahal karena didalamnya ditambahkan makna tertentu. Manusia mencoba merelasikan antara hal yang duniawi dengan hal spiritual akibatnya hal yang sepele yang tidak bermakna bisa menjadi bermasalah besar. Alkitab mencatat beberapa orang Farisi dan ahli Taurat datang dari Yerusalem hanya untuk menegur Tuhan Yesus tentang hal membasuh tangan yang tidak dilakukan oleh para murid sebelum makan, mereka dianggap telah melanggar adat istiadat. Bagi orang Yahudi, membasuh tangan itu menyatakan suatu penghormatan kepada Allah sebelum kita menikmati makanan. Budaya cuci tangan merupakan sesuatu yang sifatnya fisik tetapi telah diberi makna dan direlasikan dengan dunia metafisika, dihubungkan dengan Allah. Atas kejadian ini, Tuhan Yesus balik menegur mereka yang telah melanggar perintah Allah yang berbunyi: ”Hormatilah ayahmu dan ibumu” karena dengan alasan persembahan pada Allah, orang mengabaikan orang tuanya. Tuhan Yesus menegur sangat keras akan hal ini karena dalam hal ini, perintah Allah telah dikalahkan oleh adat istiadat. Timbul perdebatan yang sangat rumit bahkan timbul perpecahan dalam perpecahan dalam Kekristenan, yakni manakah yang lebih penting adat istiadat ataukah firman Tuhan.
Richard Niebuhr dalam bukunya Christ and Culture mengungkapkan lima pendekatan antara kebudayaan dan Kristus namun perhatikan, kelima pendekatan ini tidak dapat dikatakan benar secara keseluruhan, yakni:
1. Christ against culture
Kristus menghancurkan seluruh kebudayaan yang ada di dunia karena semua kebudayaan dipandang salah dan jahat. Hal ini tidaklah tepat sebab dalam banyak aspek, Kristus tetap berada dalam budaya, Kristus tetap menjalankan budaya Yahudi. Kritus melawan budaya ini seolah-olah menjadikan Kristus tinggi dan Kekristenan agung. Pandangan-pandangan radikal seperti ini akhirnya membuat Kekristenan tidak bisa lagi hidup di tengah dunia. Orang yang memegang prinsip ini, biasanya akan tersingkir dan Kristus menjadi kalah. Mereka membentuk kebudayaan sendiri, kelompok tersendiri dan hidup tersendiri. Mereka menganggap kebudayaan itu sebagai kebudayaan Kristus tetapi sesungguhnya, kebudayaan itu tidak ubahnya dengan budaya dunia yang membedakan kebudayaan mereka tidak cocok dengan kebudayaan dunia. Perhatikan, Alkitab tidak pernah mengajarkan kita untuk melawan dan menjadi anti budaya.
2. Christ of Culture
Budaya harus diisi dengan hal-hal yang berbau Kekristenan dengan demikian kebudayaan itu menjadi milik Kristus sekarang. Konsep inilah yang hari ini banyak dipakai. Orang menganggap cara ini merupakan suatu kerjasama dimana kita tidak menghancurkan budaya tetapi kita menggunakan semua budaya yang ada dengan demikian budaya yang tadinya budaya setan kini menjadi budaya Kristus. Adalah kesalahan fatal, banyak orang yang menganggap budaya itu sifatnya netral maka tergantung dari siapa yang memakainya. Budaya itu akan menjadi milik setan kalau setan yang memakainya maka budaya itu menjadi the culture of satan, atau kalau manusia yang menggunakannya akan menjadi the culture of human being, dan kalau Kristus yang memakai budaya akan menjadi the culture of Christ. Sebagai contoh, banyak musik duniawi yang diberi tambahan ayat alkitab langsung dikatakan sebagai budaya Kristus. Demikian pula halnya dengan cara berpakaian, orang menganggap sudah menjadi budaya Kristus kalau sudah memberinya dengan aksesori atau atribut ”rohani.” Orang Yahudi juga melakukan hal yang sama, budaya duniawi yang mereka pandang baik lalu dilabel dengan agama maka mereka sudah menganggapnya sebagai agama. Hari inipun masih banyak orang yang tidak mengerti apa itu agama, mereka hanya memakai adat istiadat yang diberi label agama tertentu dan menganggapnya sebagai budaya. Dalam hal ini budaya itu lebih besar sedang Kristus hanya mengikut di dalamnya.
3. Christ above Culture
Konsep ini hendak melengkapi konsep kedua namun justru menjadikan budaya itu aneh; Kristus seolah-olah hanya hidup dalam satu kultur tertentu yang mengatasi semua kultur. Islam menjadikan
kultur Timur Tengah sebagai suatu kultur agama sehingga cara berpakaian, cara makan, dan lain-lain harus mengikuti satu kultur tersebut. Dalam kondisi budaya seperti demikian maka yang menjadi pertanyaan adalah apakah budaya ini merupakan budaya yang boleh diberi label tertentu lalu dibawa ke semua tempat? Seberapa jauhkah relatifitas suatu daerah dalam budaya? Demikian halnya dengan kultur barat yang membawa Kekristenan masuk ke Indonesia membawa dampak besar. Kultur Eropa itu dianggap sebagai kultur Kristen. Dampak itu tidak hanya pada cara hidup saja tetapi juga jiwa kolonialisme itu mempengaruhi pemikiran orang-orang di Asia. Ketika orang-orang Eropa datang ke Asia. Dalam bagian ini, Kristus membangun suatu kultur yang sifatnya kaku dan spesifik yang dan semua kultur yang ada harus mengikut pada satu kultur ini. Tidak!
4. Christ and Culture in Paradox
Budaya hidup berada dalam dua dunia – Kristus punya kultur tersendiri dan dunia juga punya kultur tersendiri, kedua kultur ini berjalan secara bersamaan dimana keduanya tidak saling menganggu dan tidak saling meniadakan. Pandangan inilah yang diajarkan oleh kaum posmodern. Konsep ini menjadikan orang Kristen hidup dalam dua dunia. Ketika orang berada di dalam gereja maka ia harus langsung menyesuaikan diri dengan kultur yang dianggap sebagai kultur Kristen, orang harus berlaku sopan, jujur namun ketika berada di luar lingkungan gereja maka orang boleh liar dan berbuat sesuka hati layaknya dunia. Konsep ini dianggap relevan di abad 20 ini namun Kekristenan tidak setuju akan pandangan ini.
5. Christ Transform Culture
Dari kelima konsep yang diungkapkan oleh Niebuhr maka konsep kelima ini yang paling banyak diingat oleh orang. Kristus mentransform kultur artinya bahwa kultur itu tidak salah cuma kultur itu perlu ditransformasi. Pertanyaannya benarkah kultur bisa dirubah? Atau lebih tepatnya, Christ redeem the culture – Kristus menebus budaya berarti ada nilai yang harus dibayar. Hal ini yang lebih tepat dalam mandat budaya. Theologi Reformed umumnya, secara posisi mengikut konsep ini, yakni Christ transforming culture, Kristus mengisi kembali budaya yang sudah ada untuk dikembalikan pada apa yang seharusnya. Ada beberapa prinsip penting yang harus diperhatikan ketika mentransform, yakni: kita harus tahu mana yang harus dan mana yang tidak, mana yang mutlak dan mana yang relatif. Sesuatu yang harus dirubah maka harus dirubah – perubahan ini sifatnya esensial tetapi ada bagian-bagian tertentu yang relatif harus berproses seiring dengan berjalannya waktu. Kita harus peka ketika kita masuk dalam suatu budaya, kita tidak perlu merubah budaya yang ada sepanjang budaya itu baik dan agung. Budaya pasti punya unsur baik sebagai anugerah umum namun sayang, budaya tidak mengerti apa yang disebut dengan anugerah umum. Sangatlah disayangkan, konsep anugerah umum inipun tidak dimengerti, orang tidak mengerti bahwa pencemaran dosa menyebabkan budaya menjadi liar dan untuk dapat memilah ini dibutuhkan anugerah khusus, yakni anugerah keselamatan. Adalah tugas Kekristenan membukakan tentang kebenaran kepada mereka.
Christ Redeem Culture
Kristus tidak merombak seluruh budaya yang ada. Kristus hanya mengubah dan membongkar budaya yang salah yang sifatnya esensial dan mutlak yang menyangkut standar dan prinsip. Tuhan Yesus menegur keras budaya orang Yahudi yang begitu sombong, mereka tidak mau dekat bahkan berbicara dengan orang Samaria. Kebudayaan seperti inilah yang hendak dibongkar oleh Tuhan Yesus lalu ditransformasi dan untuk hal ini ada harga yang harus dibayar dan harganya sangat mahal. Kristus harus menebus budaya yang salah. Kekristenan percaya bahwa Allah sejati hanya satu sedangkan budaya percaya bahwa “allah“ itu banyak dimana kita boleh menyembah pada allah yang mana saja. Budaya ini tidak dapat dibenarkan dan budaya ini haruslah dilawan dan dihancurkan sebab budaya itu salah karena sifatnya esensi dan absolut. Berbeda halnya kalau budaya yang salah itu bersifat relatifis hanya menyangkut unsur luar yang sekunder maka seiring berjalannya waktu, budaya itu harus kita ubah dan hal itu tidaklah mudah dibutuhkan perjuangan dan usaha. Namun kalau budaya itu sudah menyangkut hakekat ibadah, prinsip theologi maka budaya itu mutlak harus diubah. Allah menuntut kita untuk menyembah hanya pada satu Allah saja, Allah tidak ingin kita berzinah secara rohani maka budaya yang mengkompromikan akan hal ini tidak dapat dibenarkan.
Kalau kita tidak mengerti hal ini maka kita akan menjadi bingung dimana harus berposisi, kita tidak tahu bagaimana memilah antara prinsip kebenaran dan budaya. Moralitas Kristen lebih tinggi dari moralitas dunia maka moralitas dunia haruslah tunduk pada moralitas Kristen. Dalam bagian ini, orang masih bisa jatuh bangun dan Kekristenan masih memberikan toleransi untuk orang belajar, dididik dan diajar berproses menuju pada moralitas yang agung dan perhatikan, hal ini tidaklah mempengaruhi keselamatan seseorang. Demikian juga halnya dengan hal cuci tangan, apakah hal cuci tangan dipandang sebagai hal serius yang menjadi adat istiadat pengunci yang mempengaruhi keselamatan seseorang? Tidak! Itulah sebabnya, Tuhan Yesus menegur dengan keras dan membalikkan konsep berpikir orang Yahudi yang salah.
Van Till melihat iman manusia didasarkan pada dua aspek, yaitu: 1) iman yang menggunakan pendekatan antroposentric religion, yakni segala sesuatu berpusatkan pada manusia, 2) segala sesuatu haruslah dilihat dari kedaulatan Allah dan theologi Reformed adalah satu-satunya theologi yang menuntut kedaulatan Allah haruslah berada di atas semua unsur manusia. Taurat diberikan supaya manusia mengerti isi hati Allah tetapi orang memakai taurat sebagai alat manusia untuk kepentingan humanitas. Orang yang melihat dari sudut pandang manusia pastilah beranggapan bahwa Allah tidak konsisten sebab di salah satu hukumnya, dilarang membunuh tetapi di sisi lain, Allah memerintahkan manusia untuk membunuh. Inilah natur manusia berdosa. Alkitab menyatakan Allah yang kasih itu menyediakan neraka, Allah menyediakan hukuman mati bagi orang berdosa. Dalam hal ini, kita harus melihat dari sisi Allah. Ada tiga aspek yang perlu kita perhatikan, yakni: 1) kalau membunuh itu didasarkan atas kepentingan pribadi manusia maka ia berdosa, 2) membunuh didasarkan atas kebencian, unsur interpersonal – Alkitab menegaskan bahwa membenci seseorang saja berarti sudah membunuh, hal ini menjadi hakekat atau esensi di balik tindakan, 3) membunuh merupakan pelanggaran keadilan maka hukuman yang diterapkan adalah hukuman keadilan. Alkitab sangat setuju dengan capital punishment, kalau kita melihat dari sudut manusia, kita akan merasa Tuhan itu tidak adil, Tuhan tidak berbelas kasih. Tidak! Alkitab dengan tegas menyatakan kalau Allah telah menetapkan hukuman mati maka itu tidak didasarkan atas kepentingan pribadi tetapi hal itu mutlak dan harus dilakukan karena sifatnya absolut, dan hukuman diberikan untuk menjadikan dunia lebih aman; seorang pembunuh kejam haruslah dihukum sebelum ia melakukan tindakan pembunuhan lain yang lebih kejam dan menjadikan dunia lebih hancur. Betapa bodohnya manusia kalau karena alasan mengasihi, dunia menjadi kacau dan hancur. Kebenaran dan keadilan Allah harus ditegakkan di tengah dunia berdosa.
Budaya harus balik pada Allah. Beberapa ahli budaya dan para teolog melihat kelemahan konsep Niebuhr yang melihat Kristus dan budaya secara dualisme. Yang menjadi titik permasalahan adalah agama, iman atau filsafat yang membentuk budaya ataukah sebaliknya, budaya yang membentuk agama? Apakah agama itu menjadi bagian dari sebuah budaya? Merupakan suatu kesalahan fatal, hari ini orang mengajarkan bahwa agama membentuk suatu pemikiran filsafat dan pemikiran filsafat membentuk budaya dan budaya membentuk semua implikasi budaya, seperti bahasa, agama, bangunan, cara berpakaian dan semua tatanan keadilan dan hukum, dan lain-lain. Alkitab menegaskan iman adalah mutlak, titik tertinggi; iman membentuk pola berpikir atau filosofi agama dan dari filosofi agaman ini barulah membentuk budaya dan budaya membentuk perilaku. Kalau iman kita tidak beres maka budaya pastilah akan liar. Maka dapatlah disimpulkan, iman menentukan budaya; budaya dan Kristus bukanlah dualisme. Pertanyaannya adalah seberapa jauhkah kita mengutamakan Kristus? Ketika kita men-Tuhankan Kristus dalam seluruh aspek hidup kita maka pada saat itu budaya akan terbentuk secara sendirinya dimanapun kita berada. Budaya adalah produk iman, puncak dari iman kepercayaan kita dan terkadang, budaya ini menjadikan kita berbeda dengan budaya yang ada di sekeliling kita. Hal ini akan mempengaruhi hubungan relasi kita, etos kerja, etika hidup, hubungan suami-istri, dan lain-lain. Orang yang beriman humanis maka seluruh perilakunya akan menjadi humanis. Janganlah kita terjebak dengan konsep yang dipaparkan oleh Niebuhr bahkan beberapa tokoh reformed seperti Abraham Kuyper dan Dooyewerd terpengaruh konsep Niebuhr, yakni konsep Christ transforming culture.
Perdebatan antara budaya dan Kristus seringkali terjadi sampai hari ini namun ingat, jangan perdebatkan Kristus dengan budaya sebab Kristus adalah Allah sejati, Ia tidak sebanding kalau diperdebatkan dengan budaya yang sifatnya tatanan praktis. Percaya kepada Kristus merupakan pusat iman sedang budaya hanyalah implikasi iman maka sangatlah tidak pas kalau kita menaruh budaya di posisi atas sebab budaya tidak punya dasar yang kuat. Celakanya pendidikan hari ini didasarkan pada humanitas atau evolusi dimana Allah tidak ada didalamnya akibatnya cara pandang kita akan sangat duniawi dan humanis. Hendaklah kita kembali pada natur dan atribut Kristus, yakni adil, suci, benar, mulia, manis dan sedap didengar maka budaya akan terintegrasi dengan baik dan menghasilkan budaya yang agung. Hal inilah yang disebut sebagai mandat budaya. Mandat budaya bukanlah percampuran atau sinkretisme antara Kristus dan budaya. Mandat budaya adalah setiap budaya yang harus disorot dari iman Kristen menjadikan apa yang benar dan salah menjadi terbuka di hadapan Kristus. Dunia semakin hari semakin menuju kehancuran, dunia tidak menjadi semakin baik, moralitas menjadi rusak, budaya semakin hancur – kita harus semakin kokoh dalam iman dan kebenaran, berdiri teguh di atas Firman dan tugas setiap anak Tuhan menjadi terang dan garam di tengah dunia dan berani dengan tegas menyatakan kebenaran dan menegur budaya yang salah. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

No comments: