Bergumul Melihat Allah dan Diri Terlebih Dahulu
oleh: Denny Teguh Sutandio
Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu."
(Mat. 7:3-5)
“Tuhan sering kali menggunakan dosa-dosa orang lain untuk menyingkapkan kelemahan kita sendiri.”
(Rev. Bob Kauflin, Worship Matters, hlm. 382)
Pertama, melihat kaitan Allah dengan diri. Di titik pertama, kita harus menyadari bahwa introspeksi diri berarti berusaha mengaitkan perspektif Allah melihat setiap kita. Bagaimana caranya? Dengan merefleksikan segala sesuatu yang Allah ajarkan baik melalui Alkitab maupun khotbah yang benar-benar bertanggung jawab langsung pada diri kita. Dengan kata lain, kita berkata kepada Allah seperti Raja Daud, “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (Mzm. 139:23-24) Sering kali, kita lebih suka mengaitkan ayat Alkitab atau khotbah tertentu dengan orang lain dengan mengatakan, “Wah, khotbah ini cocok untuk si X.” Kita lupa satu hal bahwa khotbah dan Alkitab itu pertama-tama bertujuan untuk mengajar dan menegur kita agar kita hidup makin memuliakan Allah. Saya tahu hal ini tidaklah mudah, namun belajarlah mulai sekarang untuk selalu merefleksikan setiap ayat Alkitab dan khotbah langsung kepada diri kita dan berhenti untuk mengaitkannya dengan kesalahan orang lain.
Kedua, melihat diri terlebih dahulu. Setelah mempersilahkan Allah mengenal dan menguji kita, maka pengenalan kita akan Allah membawa kita untuk selanjutnya mengenal diri kita masing-masing terlebih dahulu. Sejujurnya, kita sebagai manusia paling mudah untuk melihat orang lain dan kelemahannya, bahkan sering kali kita mengingat kelemahan orang lain lebih daripada kelebihannya. Kita paling mudah mengungkit kelemahan orang lain dan menyebarluaskannya kepada orang lain. Bahkan ada yang sampai memalukan kelemahan orang lain (X) di depan saudara-saudaranya, lalu berdalih untuk menegur si X (demi kebaikan si X). Sampai titik ekstremnya, ada yang sampai setiap malam terus memikirkan kelemahan orang lain dan bahkan tidak pernah memikirkan kelemahan diri. Jujur, sebagai manusia berdosa yang diselamatkan melalui anugerah Allah pun, saya tidak luput dari kelemahan itu, namun dengan sekuat tenaga, saya terus berusaha untuk tetap melihat kelemahan sekaligus kelebihan orang lain, meskipun itu sulit. Melihat orang lain itu bukan tidak boleh, tetapi sebaiknya itu kita lakukan setelah kita melihat diri. Mengapa kita diperintahkan Kristus untuk tidak terus melihat (dan menghakimi/menilai) orang lain? Karena ketika kita terus-menerus melihat dan menghakimi orang lain, kita merasa diri seolah-olah lebih hebat, pandai, bijaksana, dll daripada orang yang kita lihat/hakimi tersebut dan itu lama-kelamaan mengakibatkan kita menjadi sombong. Dan kesombongan termasuk salah satu dosa yang Tuhan benci, karena itu berarti lebih mengandalkan diri ketimbang Allah, padahal diri sendiri yang terbatas dan berdosa tidak layak untuk diandalkan! Untuk mengobati kesombongan itu, Rev. Bob Kauflin dalam bukunya Worship Matters mengungkapkan, “Tuhan sering kali menggunakan dosa-dosa orang lain untuk menyingkapkan kelemahan kita sendiri.” (hlm. 382) Di sini, kita belajar bahwa ketika kita terus melihat kelemahan dan dosa orang lain, sebenarnya ada teguran Tuhan di situ bahwa hendaklah kita terlebih dahulu melihat kelemahan kita sendiri. Misalnya, kita sering kali melihat X itu munafik karena tingkah lakunya tidak sesuai dengan imannya, namun sadarkah bahwa ketika kita melihat X itu munafik, sebenarnya Tuhan sedang menggunakan cara itu untuk menyadarkan kita bahwa kita sendiri seorang yang munafik? Jika demikian, adalah suatu hal yang bijak jika sebelum kita melihat dan menilai orang lain, hendaklah kita melihat diri kita sendiri terlebih dahulu. Benahi diri kita terlebih dahulu, baru kita melihat orang lain. Artinya, ketika kita berusaha menilai X itu munafik, apakah di saat yang sama, kita juga melihat diri kita juga sama-sama munafik? Kalau ya, biarlah kita tidak terus menilai orang lain itu munafik sebelum kita membenahi diri kita.
Ketiga, menuntut diri terlebih dahulu. Beberapa orang selain menilai orang lain, ternyata juga suka menuntut orang lain untuk memenuhi keinginannya. Di dunia ini, banyak sekali orang yang pandai menuntut orang lain (bahkan Allah), tetapi tak pernah menuntut diri terlebih dahulu. Contoh praktisnya adalah sebuah curhat seorang wanita di surat kabar Jawa Pos tanggal 4 Mei 2011 tentang suaminya yang suka mencemburuinya ketika si istri berdiskusi tentang pekerjaan dengan rekan bisnis lawan jenis. Si suami yang pencemburu ternyata sendiri juga akhirnya berselingkuh dengan wanita lain. Dengan kata lain, si suami paling jago menuntut si istri untuk setia dengannya, padahal si suami sendiri tidak setia dengan si istri. Bukankah si suami sendiri tidak fair? Di dalam Kekristenan, banyak pemimpin gereja kontemporer mengajar jemaatnya untuk menuntut Tuhan dengan ajaran, “Name it and claim it!” (Sebut dan Tuntutlah!) yang menyatakan bahwa klaimlah janji Tuhan yang memberkati anak-anak-Nya. Orang-orang ini hampir tidak pernah menuntut diri dan jemaatnya untuk benar-benar mengerjakan panggilan Tuhan dengan sungguh-sungguh, namun hanya mau menuntut (baca: menagih) janji Tuhan, seolah-olah Tuhan itu pelupa dan perlu diingatkan terus-menerus! Itu namanya menghina Tuhan! Di negara kita sering terjadi demonstrasi para buruh menuntut kenaikan gaji buruh, tetapi apakah mereka pernah menuntut diri mereka sendiri untuk bekerja lebih keras sesuai kenaikan gaji yang diidamkannya? Ternyata kebanyakan tidak. Mereka sambil berdemonstrasi menuntut hak asasi manusia (HAM) mereka sendiri, tetapi mereka tidak sadar bahwa mereka pun sedang melanggar HAM orang lain yaitu atasan mereka, karena aksi demo tersebut sudah mengurangi jam kerja mereka (sudah mengurangi jam kerja, masih minta naik gaji? Cape dech)! Inilah wajah dunia kita yang suka menuntut orang lain, tetapi enggan menuntut diri. Kristus mengajar kita untuk menuntut diri terlebih dahulu. Ingatlah, ketika kita menilai X itu munafik, padahal kita sendiri munafik, maka panggilan kita bukanlah mengubah orang lain secara instan, tetapi menuntut kita terlebih dahulu untuk berusaha bertobat untuk tidak munafik. Inilah wujud kita membenahi diri. Ketika kita ingin pasangan hidup kita (dalam konteks: berpacaran dan menikah) setia, tuntutlah diri kita terlebih dahulu untuk setia dengan pasangan kita! Tentu kesetiaan kita ini bukan supaya kesetiaan kita dibalas oleh pasangan kita, tetapi itu merupakan langkah awal sebagai respons kita telah ditebus oleh Kristus. Sebagai orang yang telah ditebus Kristus, maka kita harus menjadi garam dan terang bagi dunia dengan berkomitmen untuk hidup sesuai firman Allah dan memuliakan-Nya, termasuk: suci, setia, jujur, tulus, dll.
Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen? Sudahkah kebenaran firman Allah benar-benar menjadi dasar dan standar kita untuk melihat Allah, melihat diri, dan menuntut diri terlebih dahulu ketimbang melihat dan menuntut orang lain? Saya mengetahui hal ini sangatlah sulit, tetapi dengan pertolongan Roh Kudus, bersediakah kita berkomitmen untuk melihat Allah, melihat diri, dan menuntut diri terlebih dahulu ketimbang melihat dan menuntut orang lain? Biarlah Roh Kudus terus-menerus menyadarkan kita untuk hidup bagi kemuliaan Allah. Amin. Soli Deo Gloria.
No comments:
Post a Comment