15 April 2010

Eksposisi 1 Korintus 5:1-5 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 5:1-5

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 5:1-5



Bagian ini tidak lagi membahas tentang perpecahan antar jemaat (1:10-3:23) maupun kritikan jemaat terhadap Paulus (4:1-21). Topik tentang hikmat atau salib pun sudah tidak muncul lagi dalam bagian ini. Semua ini menandakan bahwa Paulus sedang beralih pada permasalahan yang baru.

Walaupun bagian ini memperkenalkan persoalan yang baru, namun kita masih dapat melihat keterkaitan antara bagian ini dengan bagian sebelumnya. Sama seperti persoalan di 1:10-3:23 yang diketahui Paulus secara lisan dari keluarga Kloe (bdk. 1:11), persoalan di 5:1-13 juga didengar Paulus secara lisan (bdk. 5:1) dari keluarga Kloe (1:11) atau orang lain (16:16).

Sama seperti pada persoalan sebelumnya yang menyinggung tentang kesombongan jemaat Korintus (1:29, 31; 3:18, 21; 4:6, 7, 18), di pasal 5:1-13 Paulus juga menegur kesombongan mereka (5:2, 6). Kesamaan ide tentang kesombongan ini sangat mungkin menunjukkan bahwa akar masalah dari pasal 1-5 adalah konsep tentang spiritualitas yang salah (lih. pembahasan di 4:8 dan 5:2). Mereka menganggap diri terlalu rohani dengan mengukurnya berdasarkan kriteria tertentu yang mereka ciptakan sendiri.

Alur pemikiran Paulus di pasal 5:1-5 dapat dideteksi dengan mudah. Ia mula-mula menyinggung tentang dosa perzinahan yang melebihi kewajaran yang terjadi di tengah jemaat (5:1). Dosa ini ternyata direspon secara salah oleh jemaat. Mereka bermegah atas dosa tersebut (5:2). Respon seperti ini merupakan persoalan yang lebih serius dari perzinahan di 5:1, karena itu fokus pembahasan di 5:1-13 terletak pada bagaimana jemaat seharusnya menyikapi perzinahan di 5:1. Karena jemaat tidak mampu mengambil sikap yang tepat yang sudah dinasehatkan Paulus berkali-kali, maka Paulus terpaksa mengambil sikap mewakili mereka semua (5:3-5). Ia menjatuhkan hukuman atas pezinah tersebut, sekalipun ia secara badani tidak berada di tengah jemaat Korintus.


Persoalan: Percabulan Incest (ay. 1)
Pada waktu itu kota Korintus dapat diidentikkan sebagai kota percabulan. Begitu melekatnya percabulan dengan kota Korintus sampai-sampai “berbuat cabul” disebut dengan istilah “korinthiazo” (berbuat seperti penduduk Korintus). Situasi ini tersirat dalam surat 1 Korintus juga. Di pasal 6:12-20 sebagian jemaat terjebak pada perzinahan dengan pelacur. Di pasal 7, Paulus menasehatkan jemaat untuk menikah supaya tidak tergoda oleh hawa nafsu (ay. 2, 9), walaupun secara pribadi Paulus lebih condong pada tidak menikah (ay. 7, 25-27). Di pasal 5, jemaat juga terjebak pada percabulan (ay. 1, 9-11). Semua ini tentu saja sangat berhubungan dengan situasi kota Korintus yang dipenuhi percabulan, walaupun apa yang dilakukan orang Kristen di 5:1 melampaui apa yang dilakukan orang kafir.

Kabar yang tidak menyenangkan ini sudah sampai ke telinga Paulus. Terjemahan LAI:TB “memang orang mendengar” dalam bahasa Yunani dapat diterjemahkan dalam beberapa cara. KJV memilih “ini sudah umum dilaporkan” (it is reported commonly), sedangkan mayoritas versi memakai “ini sesungguhnya dilaporkan” (ASV/RSV/NASB/NIV). Terjemahan KJV menyiratkan bahwa kasus perzinahan di 5:1 sudah menjadi rahasia umum bagi banyak orang, sedangkan terjemahan versi lain mengindikasikan kesungguhan dari berita itu. Dari dua alternatif ini, kemungkinan terakhir lebih tepat, karena kata keterangan holos juga dipakai di bagian lain untuk menekankan suatu fakta (6:7 “adanya saja”; 15:29 “sama sekali”). Di samping itu Paulus juga perlu menekankan kebenaran dari berita yang dia dengar supaya tidak menimbulkan keresahan di kalangan jemaat, sebagaimana yang dia lakukan di 1:11.

Bentuk present tense “dilaporkan” (akouetai) menunjukkan bahwa laporan ini bukan hanya sekali ini saja didengar Paulus. Sebelumnya dia sudah mendengar dan membahas masalah ini (5:9). Apa yang dia nasehatkan waktu itu tampaknya tidak sepenuhnya dipatuhi oleh jemaat Korintus (5:10-11). Jika ini benar, maka perzinahan yang terjadi di 5:1 bukanlah tindakan yang sekali dilakukan (bukan “jatuh dalam perzinahan”), tetapi terus-menerus. Ini pula yang menjadi salahs atu alasan mengapa Paulus mengambil sikap yang sangat tegas di 5:3-5.

Untuk memberi penekanan pada apa yang ingin dia sampaikan, Paulus meletakkan frase “di antara kamu” di depan, sehingga 5:1a seharusnya diterjemahkan “ini sesungguhnya dilaporkan bahwa di antara kamu ada percabulan” (kontra LAI:TB “ada percabulan di antara kamu”). Paulus lebih menitikberatkan pada di mana ercabulan ini terjadi. Kalau percabulan ini di luar jemaat, maka dia tidak akan mengambil pusing, karena dia tidak memilik otoritas dalam hal itu (bdk. 5:13) dan karena percabulan merpakan fenomena umum di kota Korintus. Yang dipermasalahkan adalah percabulan ini terjadi di dalam jemaat. Lebih jauh, jenis percabulan ini sangat memalukan karena orang-orang yang tidak mengenal Allah sekalipun tidak melakukan hal ini (5:1b).

Percabulan yang dimaksud Paulus adalah “hidup dengan istri ayahnya” (5:1c). Kata Yunani echo di balik terjemahan “hidup” (LAI:TB/RSV) secara hurufiah berarti “memiliki” (KJV/ASV/NASB/NIV). Kata ini merupakan istilah umum yang bermakna “mengambil sebagai istri” (Mat. 14:4; 22:28; 1Kor. 7:2, 29). Jadi, tindakan ini bukan sekadar berbuat zinah satu kali, tetapi secara permanen. Frase “istri ayahnya” merujuk pada “ibu tiri”, karena di Imamat 18:8 frase ini dipakai untuk membedakannya dengan ibu kandung di Imamat 18:7 (LAI:TB secara tidak tepat memberi terjemahan yang sama “istri ayahmu”, padahal di ayat 7 dipakai kata “ibumu” sebanyak 2 kali).

Paulus tidak menjelaskan apa yang terjadi dengan ayah dari pezinah ini (apakah dia mati atau bercerai?). Apa pun alasannya, perkawinan dengan ibu tiri tetap merupakan aib yang besar. Baik orang Yahudi maupun non-Yahudi sama-sama mengecam tindakan ini. Dalam PL dosa ini dipandang sangat serius. Siapa saja yang melakukannya pasti akan dihukum mati (Im. 18:7-8; 20:11; Ul. 22:30; 27:20). Orang kafir pun melarang untuk membicarakan tentang hal ini karena dianggap tidak pantas. Ironisnya, dosa semacam ini justru dilakukan oleh orang yang mengaku sebagai orang Kristen (bdk. 5:11).


Sikap Toleran Jemaat terhadap Dosa Perzinahan (ay. 2)
Masalah perzinahan di ayat 1 ternyata bukanlah masalah utama. Ada masalah lain yang lebih serius daripada itu, yaitu sikap toleran jemaat terhadap percabulan (5:2a). Mereka bukannya menegur orang yang berzinah, tetapi mereka bahkan menyombongkan hal itu (5:2, 6). Kesombongan ini sebelumnya sudah disinggung Paulus (1:29, 31; 3:18, 21; 4:6, 7, 18), walaupun bukan dalam konteks perzinahan.

Selain menyombongkan dosa itu, mereka juga bersukacita di atasnya. Hal ini terlihat dari kontras dengan nasehat untuk berdukacita di 5:2 dan ide tentang “pesta” di 5:8. Jadi, mereka bukan sekadar membiarkan dosa itu, namun malah menyetujui dan mendukung hal itu. Persetujuan terhadap dosa jelas merupakan dosa yang lebih serius (bdk. Rm. 1:32), karena hal itu menunjukkan mentalitas yang sudah tercemar. Mengapa mereka justru membanggakan dosa percabulan? Sebagian penafsir menduga bahwa hal ini berkaitan dengan ajaran rabi Yahudi tentang para proselit (orang non-Yahudi yang memeluk agama Yahudi) yang dianggap terbebas dari semua ikatan hukum di dunia ini. Tafsiran ini tampaknya sulit diterima, karena tidak ada kaitan yang jelas dengan kesombongan. Kita juga tidak mengetahui dengan pasti apakah pezinah dan jemaat yang mendukung hal itu adalah proselit. Usulan lain dari penafsir yang lebih masuk akal adalah kekeliruan konsep spiritualitas yang dipegang jemaat Korintus. Mereka merasa diri sudah rohani (4:8) dan menganggap bahwa tindakan apa pun yang berkaitan dengan tubuh (materi) tidak akan mempengaruhi kerohanian itu. Mereka memisahkan antara tubuh dan roh. Usulan ini mendapat dukungan dari pasal 6:12-20 yang sama-sama membahas tentang percabulan. Di 6:12-13 Paulus tidak langsung menyinggung tentang percabulan, tetapi menjelaskan konsep yang benar tentang tubuh. Dia mengoreksi konsep jemaat yang salah terhadap tubuh (“segala sesuatu halal bagiku”, “makanan untuk tubuh dan tubuh untuk makanan”, “dua-duanya akan dibinasakan Allah”).

Kepada mereka Paulus memberi nasehat agar berdukacita dan menjauhkan orang itu dari tengah-tengah mereka (5:2b). Nasehat berdukacita karena dosa merupakan pesan umum dari para rabi (Yes. 13:6; Yer 4:8) maupun para rasul (Yak. 4:9; 5:1). Yesus pun menjanjikan berkat bagi mereka yang berdukacita karena dosa (Mat. 5:4). Konsep yang sama diajarkan Paulus di kemudian hari kepada jemaat Korintus (2Kor. 7:10-11; 11:29).

Jemaat juga diperintahkan untuk menjauhkan pezinah dari tengah-tengah mereka. Perintah ini sudah disampaikan Paulus sebelum ia mengirim surat 1 Korintus (5:9-11). Jemaat tampaknya tidak menaati perintah ini sehingga Paulus merasa perlu untuk mengulanginya lagi. Apa yang dilakukan Paulus berakar dari ajaran Yesus tentang disiplin dalam gereja. Kalau berbagai bimbingan sudah diberikan pada pendosa tetapi ia tetap bertekun dalam dosa itu, maka dia harus dianggap sebagai orang yang tidak mengenal Allah (Mat. 18:15-17). Tindakan ini tidak boleh dilakukan dengan kebencian, namun harus dengan kasih, karena tujuan dari disiplin ini adalah untuk kebaikan orang yang bersalah (bdk. 5:5b). Kita harus tetap menganggap dia sebagai saudara (2Tes. 3:14-15).


Sikap Paulus (ay. 3-5)
Karena jemaat Korintus sudah lama tidak melakukan apa yang diperintahkan oleh Paulus, maka sekarang Paulus langsung mengambil tindakan. Dia menjatuhkan hukuman atas orang yang berbuat cabul itu sekalipun ia tidak hadir di tengah jemaat (5:3). Dalam kalimat Yunani, 5:3 dimulai dengan frase “karena aku sendiri” (bdk. NASB). LAI:TB gagal menerjemahkan kata ini, padahal ini penting untuk membuat kontras antara sikap jemaat di ayat dan Paulus di ayat 3-5.

Tindakan tegas yang diambil Paulus tidak didasarkan pada otoritasnya secara pribadi. Sesuai dengan ajaran Yesus (Mat. 18:15-17), Paulus sadar bahwa disiplin gereja harus menjadi keputusan semua orang percaya. Walaupun dia tidak hadir tetapi secara roh ada kesatuan antara dia dengan jemaat Korintus. Dalam kesatuan ini (5:3) dan ketika jemaat berkumpul (5:4a) hukuman secara resmi dijatuhkan. Dasar dari tindakan ini adalah janji Tuhan Yesus bahwa Dia akan hadir jika dua atau tiga orang percaya berkumpul dalam nama-Nya (Mat. 18:20), dan janji ini diucapkan dalam konteks disiplin gereja (Mat. 18:15-19). Paulus mungkin mengharapkan agar jemaat berkumpul dan mengamini isi surat Paulus yang dibacakan dalam ibadah mereka. Dengan demikian jemaat dan Paulus dapat bersama-sama bersehati secara rohani (5:4).

Kesatuan dalam konteks ibadah tersebut sekaligus mengajarkan bahwa otoritas disiplin yang sejati terletak pada kehadiran Tuhan Yesus. Karena itulah Paulus mengatakan bahwa tindakannya ini adalah “dengan kuasa Tuhan Yesus” (5:4b) dan dilakukan “dalam nama Tuhan Yesus” (5:5a). Paulus maupun jemaat lain tidak punya kuasa untuk mengadakan disiplin. Mereka hanya bertindak atas nama Kristus. Ketika tubuh Kristus yang seharusnya kudus (1:2) ternyata dinodai oleh dosa, maka orang percaya lain harus mengambil sikap.

Paulus menyerahkan pezinah ini ke dalam tangan Iblis (5:5a). Ungkapan ini di tempat lain hanya muncul di 1 Timotius 1:20. Apa maksud dari tindakan ini? Kita harus memahami ungkapan ini sebagai istilah yang sedikit teknis untuk pengusiran dari kumpulan orang percaya. Ide tentang pengucilan ini muncul beberapa kali di 5:2, 7, 9, 11, 13b. Pengucilan ini sebaiknya dibatasi dalam konteks ibadah. Artinya, orang percaya lain tidak boleh bergaul dengan orang ini dalam konteks ibadah, termasuk dalam hal makan bersama sebagai bagian dari ibadah (5:11; bdk. 11:20-22, 33-34).

Apa kaitan hal ini dengan Iblis? Dengan mengusir pezinah ini dari lingkup orang percaya, maka dia sebenarnya sedang dikembalikan pada daerah kekuasaan (domain) Iblis lagi. Sebagaimana kita ketahui, orang yang percaya kepada Kristus telah berpindah dari kerajaan kegelapan kepada kerajaan terang (Kol. 1:13). Mereka tidak lagi di bawah otoritas iblis (bdk. Ef. 2:2). Mereka juga dikhususkan atau diperlakukan secara khusus oleh Tuhan. Tidak heran, anggota keluarga dari orang percaya yang non-Kristen pun dikhususkan oleh Tuhan (7:14).

Sama seperti Potifar diberkati karena Yusuf (Kej. 39:5), demikian pula kebersamaan dengan orang percaya akan membawa perlindungan dan berkat khusus dari Tuhan. Ketika pezinah diserahkan ke dalam tangan iblis – dalam arti dikeluarkan dari kumpulan orang percaya – maka dia tidak akan diperlakukan secara khusus lagi oleh Tuhan.

Tindakan disiplin ini sebenarnya bukan didasari pada kebencian, karena tujuan dari semua ini adalah untuk kebaikan. Maksud dari semua ini adalah supaya tubuh (sarx) orang tersebut binasa (5:5b). Sebagian penafsir memahami “binasa tubuhnya” dalam arti kematian fisik. Pendapat seperti ini memiliki banyak kelemahan serius. Paulus tidak mungkin memiliki konsep bahwa tubuh adalah sumber kejahatan yang harus dibinasakan supaya roh mendapat perhentian. Konsep ini sama seperti konsep dualisme Yunani yang menganggap bahwa materi jahat dan roh adalah baik. Di samping itu, jika “binasa tubuhnya” berarti “mati”, bagaimana orang ini akhirnya dapat diselamatkan (5:5c)? Apakah ada unsur pertobatan yang terlibat di dalamnya? Apakah sekadar kematian fisik sudah cukup membuat orang ini diselamatkan?

Kita sebaiknya memahami “tubuh” (sarx) di sini sebagai “kedagingan”, karena dalam tulisan Paulus kata sarx sering kali berarti “kedagingan” apabila dikontraskan dengan roh, sebagaimana kita temukan di 5:5. Dengan demikian ungkapan “binasa tubuhnya” dapat diidentikkan dengan “menyalibkan kedagingan” (Gal. 5:24; Rm. 7:5-6). Tafsiran ini sesuai dengan tujuan di 5:5c (“supaya rohnya diselamatkan”). Pertobatan akan membawa pada keselamatan.

Paulus tidak menjelaskan bagaimana bentuk pembinasaan kedagingan ini. Apakah Iblis akan menghajar orang ini dengan berbagai penyakit sehingga orang ini akhirnya kembali pada Tuhan? Apakah Iblis akan semakin menenggelamkan orang ini dalam dosa sehingga pada akhirnya orang ini menyadari betapa dirinya berdosa dan akhirnya kembali pada Tuhan?

Apakah proses ini tidak berkaitan dengan campur tangan iblis (ungkapan “diserahkan ada Iblis” hanya sekadar ungkapan lain untuk pengusiran dari kumpulan orang percaya)? Jika yang terakhir ini benar, maka Paulus mungkin memaksudkan pengusiran ini sebagai cara untuk membuat orang itu malu dan kehilangan rasa nyaman secara rohani, sehingga dia menyadari betapa dirinya dalam dosa dan bahaya yang besar. Dugaan ini sesuai dengan ajaran Paulus di tempat lain (2Tes.. 3:14 “jika ada orang yang tidak mau mendengarkan apa yang kami katakan dalam surat ini, tandailah dia dan jangan bergaul dengan dia, supaya ia menjadi malu”).

Apa yang dilakukan Paulus di sini tidak boleh dipahami sebagai tindakan yang anti terhadap kasih. Tujuan dari tindakan ini adalah keselamatan dari orang itu (5:5c). Di 2 Tesalonika 3:15, Paulus bahkan menasehatkan agar orang yang dikucilkan tetap diperlakukan sebagai saudara dan bukan sebagai musuh. Di 2 Korintus 2:6-8 dia memerintahkan jemaat untuk menerima kembali orang yang sudah ditegur dala jemaat dan mengasihi orang itu dengan sungguhsungguh.

Dengan pula dengan gereja modern sekarang harus tegas menjalankan disiplin gereja tetapi tetap melakukan itu di dalam kasih dan untuk kebaikan dari orang yang sedang didisiplin. #




Sumber:
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2005%20ayat%2001-05.pdf

No comments: