15 April 2010

Eksposisi 1 Korintus 4:14-21 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 4:14-21

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 4:14-21



Kalau di bagian sebelumnya Paulus menjelaskan tentang kehinaan dirinya dan para rasul lain (4:9-13), di bagian ini dia menampilkan diri dalam sisi yang lain, yaitu sebagai bapa rohani. Dia menyebut jemaat Korintus sebagai “anak-anakku yang kukasihi” (4:14), sama seperti dia memanggil Timotius (4:17). Di ayat 15 dia secara khusus menyatakan hubungannya yang unik dengan jemaat Korintus yang tidak dimiliki oleh para pemimpin yang lain, yaitu dia sebagai bapa rohani mereka.

Sebagai bapa, Paulus tidak memiliki keinginan untuk mempermalukan jemaat (4:14). Selanjutnya dia menjelaskan mengapa dia adalah bapa bagi mereka (4:15). Terlepas dari semua pemimpin rohani yang pernah dan sedang membina jemaat, Pauluslah yang pertama kali memberitakan Injil kepada jemaat di Korintus. Setelah menegaskan relasinya yang unik dengan jemaat Korintus dalam gambaran bapa-anak, Paulus lalu menarik konsekuensi dari hubungan seperti ini. Sebagai bapa dia berhak menuntut untuk diteladani (4:16-17, bdk. ay. 16 “sebab itu...”). Dia juga berhak untuk mendisiplin anak-anak rohaninya jika dipandang perlu (4:18-21).


Paulus tidak mempermalukan jemaat Korintus (ay. 14)
Tujuan Paulus menuliskan “hal ini” (tauta) bukanlah untuk memalukan jemaat. Kata tauta berbentuk jamak, sehingga sebaiknya diterjemahkan “hal-hal ini” (ASV/KJV/NASB, kontra NIV/RSV/LAI:TB). Apa yang dimaksud tauta di sini? Kata ini dapat merujuk pada kehinaan para rasul yang diungkapan di 4:6-13 atau seluruh pembahasan mulai pasal 1:10. Di antara dua pilihan ini, yang pertama tampaknya lebih tepat. Apa yang sudah disampaikan di 4:6-13 bisa menimbulkan kesan kalau Paulus sedang menghina jemaat (kalau rasulnya saja mengaku sangat hina, apalagi jemaatnya!). Untuk mengantisipasi hal ini, dia menegaskan bahwa ia tidak bermaksud mempermalukan mereka.

Nasehat Paulus di ayat 14 sekilas tidak konsisten dengan nasehatnya di tempat lain yang tampaknya ingin memalukan orang lain (2Tes. 3:14-15; Tit. 2:8). Jika kita perhatikan secara teliti, maka sebenarnya tidak ada kontradiksi. Di 2 Tesalonika 3:14 Paulus tidak bermaksud mempermalukan orang itu, karena di ayat 15 dia menambahkan “tetapi janganlah anggap dia sebagai musuh, tetapi tegorlah dia sebagai seorang saudara”. Dengan dipisahkan dari komunitas orang percaya maka orang itu diharapkan akan menjadi malu, namun tindakan ini bukan bermaksud mempermalukan dia. Dalam konteks Titus 2:8 Paulus hanya sekadar menasehatkan agar tidak ada celah yang dapat dipakai musuh untuk memfitnah kita, sehingga dengan demikian musuh itu akan malu sendiri. Sekali lagi, ini bukan mempermalukan.

Paulus tidak mempermalukan jemaat (4:14a), sebaliknya dia justru menegur (noutheteo) sebagai anak-anak yang dia kasihi (4:14b). Kata noutheteo hanya dipakai oleh Paulus dan kata ini memiliki arti yang sangat luas (Kis. 20:31; Rm. 15:14; 1Kor. 10:11; Ef. 6:4; Kol. 1:28; 3:16; 1Tes. 5:12, 14; 2Tes. 3:15; Tit. 3:10). Ide yang ditekankan adalah memberikan pengaruh positif kepada orang lain yang bersifat mengoreksi. Pengaruh ini bisa berupa teguran, nasehat, dorongan, dsb. Terjemahan LAI:TB “teguran” tampaknya sesuai dengan konteks yang ada.

Walaupun jemaat Korintus bersikap negatif terhadap dirinya (4:3; 9:3), Paulus tidak memusuhi mereka. Dia justru menyebut mereka sebagai “anak-anak yang kukasihi” (4:14). Panggilan yang hampir sama juga dia pakai di 10:14 dan 15:58. Sikap Paulus ini sungguh luar biasa, karena selain memusuhi dirinya, jemaat Korintus juga jatuh ke dalam berbagai kesalahan yang sangat fatal.


Paulus adalah bapa rohani mereka (ay. 15)
Kalau di ayat 14 Paulus menyebut mereka sebagai anak-anaknya, di ayat 15 dia menjelaskan alasan bagi sebutan itu. Walaupun Paulus bukan satu-satunya pemimpin rohani mereka, namun dia satu-satunya bapa bagi mereka. Dengan bahasa hiperbola Paulus menyatakan bahwa jemaat Korintus mungkin memiliki beribu-ribu pendidik. Kata “pendidik” (paidagogos) jaman dulu dipakai untuk seorang budah kepercayaan yang diberi tugas mengawasi pendidikan dan perkembangan anak dari tuannya. Paidagogos bertugas mengantar dan menemani anak ke sekolah, mengulangi pelajaran yang diberikan dan mengawasi perkembangan anak secara keseluruhan. Bagaimanapun pentingnya dan dekatnya seorang paidagogos dengan anak yang dia bimbing, dia tetap bukanlah ayah dari anak itu. Kata “beribu-ribu” secara hurufiah berarti “sepuluh ribu” (ASV/KJV/NIV), tetapi karena angka ini pada waktu itu adalah angka yang tertinggi, maka tidak saah jika diterjemahkan “beribu-ribu” (LAI:TB) atau “tidak terhitung” (NASB/RSV). Sekalipun jumlah paidagogos yang mengawasi seorang anak tidak terhitung, namun bagi anak itu yang paling penting tetap adalah ayahnya sendiri. Begitu kira-kira maksud Paulus.

Ungkapan “menjadi bapa” di ayat 15b secara hurufiah berarti “melahirkan” (gennao). Penambahan kata “aku” (ego) menunjukkan penekanan bahwa Pauluslah (bukan yang lain) yang telah melahirkan mereka. Apa maksud melahirkan di sini? Sama seperti orang tua yang memberi kehidupan kepada bayi yang dia lahirkan, demikian pula Paulus telah memberi mereka hidup yang baru di dalam Kristus. Kata gennao juga dipakai Paulus di Filemon 1:10 untuk Onesimus yang dia menangkan dalam penjara.

Cara Paulus memposisikan diri sebagai ayah atau ibu seperti ini dapat kita jumpai dalam seluruh surat Paulus, kecuali surat Roma, karena jemaat Roma memang bukan dirintis oleh Paulus (bdk. Rm. 1:10, 13). Dalam konteks jemaat Korintus, Pauluslah yang menanam benih Injil (3:6) atau meletakkan dasar (3:10), yang menunjukkan bahwa dia adalah orang pertama yang membawa Injil kepada mereka.

Konsep tentang seorang pemimpin rohani yang menjadi bapa bagi umat yang dilayani merupakan sesuatu yang umum pada waktu itu. Orang-orang non-Yahudi yang memeluk agama Yahudi (Yudaisme) – disebut dengan istilah proselit - sering kali digambarkan sebagai anak-anak rohani. Orang yang mengajarkan Taurat pada sesamanya juga disamakan dengan orang yang melahirkan orang yang diajar tersebut. Begitu pula dengan orang-orang yang ingin masuk agama misteri Romawi. Mereka disebut sebagai anak-anak rohani dari imam yang melayani mereka.

Ketika Paulus mengklaim diri sebagai bapa rohani, dia tidak bermaksud menyombongkan diri atau membuat dirinya begitu penting bagi jemaat Korintus, dengan demikian melupakan kehinaan posisi para rasul yang sebelumnya sudah didinggung (4:6-13). Dia sangat berhati-hati dalam mengungkapkan statusnya sebagai bapa rohani. Apa yang dia lakukan adalah “di dalam Kristus Yesus” dan “melalui Injil” (4:15b). Paulus dan para petobat tetap menjadi milik Kristus (3:23). Pertobatan mereka bukan karena kehebatan Paulus, tetapi kekuatan Injil (bdk. 2:1-5).


Konsekuensi sebagai bapa rohani (ay. 16-21)
Kata sambung “sebab itu” di awal ayat 16 menunjukkan bahwa Paulus sekarang sedang menarik aplikasi atau konsekuensi dari statusnya sebagai bapa di ayat 15. Ada dua hal yang dia ajarkan.
Bapa rohani berhak menuntut untuk diteladani (ay. 16-17)
Terjemahan “turutilah teladanku” (ay. 16) dapat menimbulkan kesan bahwa jemaat Korintus hanya meniru hal-hal yang baik (teladan), sedangkan hal-hal yang negatif bisa dilupakan. Kesan ini ternyata tidak ada dalam kalimat Yunaninya. Secara hurufiah ayat 16a seharusnya diterjemahkan “jadilah peniruku”. Paulus ingin agar mereka meniru persis kehidupannya. Secara khusus ia ingin agar mereka mengikuti teladan hidupnya yang rela di dalam kehinaan demi Injil (4:6-13).

Tuntutan untuk diteladani dalam konteks relasi bapa-anak memang bukan sesuatu yang asing waktu itu. Yesus pernah mengajarkan bahwa sebagai anak-anak Bapa di surga, orang-orang percaya harus hidup seperti Bapa yang mau mengasihi semua orang (Mat. 5:44-45, 48). Ungkapan modern untuk hal ini adalah “like father like son” (seorang anak sama dengan ayahnya). Di tempat lain Paulus berkata, “jadilah pengikutku sama seperti aku menjadi pengikut Yesus” (1Kor. 11:1). Di 4:17b dia mengatakan “hidup yang kuturuti di dalam Kristus” (bdk. 1Tes. 4:1).

Apa yang ditiru dari Paulus jelas bukan sekadar ajarannya saja, tetapi seluruh hidupnya. Ia berbeda dengan orang-orang Farisi pada umumnya yang hanya bisa mengajar tetapi tidak melakukan apa yang mereka ajarkan (bdk. Mat. 23:3). Paulus bukan hanya memiliki konsistensi antara ajaran dan sikap, namun dia juga konsisten dalam mengajarkan itu di mana-mana di setiap jemaat. Sikap ini sangat luar biasa, karena seseorang biasanya dipengaruhi oleh lingkungan. Jika segala mendukung, orang ini akan bertumbuh, begitu pula sebaliknya. Fenomena ini tidak berlaku bagi Paulus. Dia selalu konsisten mengajar dan menghidupi ajaran itu di mana saja dan selama dia hidup (bdk. 2Tim. 4:7).

Sebagai contoh konkrit, Paulus sengaja mengirim Timotius kepada jemaat Korintus (bdk. “itulah sebabnya aku mengirimkan Timotius...”). Sama seperti jemaat Korintus, Timotius adalah anak rohani yang dikasihi Paulus (4:14, 17). Melalui kehadirannya jemaat Korintus akan diingatkan pada hidup Paulus yang juga dia ajarkan di mana-mana di setiap jemaat. Terjemahan LAI:TB “memperingatkan” sangat tidak tepat. Kata anamimnesko berarti “mengingatkan”. Jadi, kehadiran Timotius bukan untuk memberi peringatan, tetapi mengingatkan tentang kehadiran Paulus dahulu di sana. Dengan kata lain, Timotius ditampilkan sebagai anak rohani yang sempurna yang ajaran dan hidupnya sama persis dengan Paulus sebagai bapa rohaninya.

Para penafsir berdebat tentang waktu kedatangan Timotius. Sebagian berpendapat bahwa Timotius dikirim bersamaan dengan surat 1Korintus. Dengan kata lain, ia dianggap sebagai pembawa surat ini. Kita tampaknya harus menolak dugaan ini, karena di pasal 16:10 Paulus meragukan apakah Timotius bisa datang (kata “jika” pada kata “jika ia datang” di ayat ini menyiratkan sesuatu yang kemungkinan besar tidak tidak terjadi). Timotius sangat mungkin sudah dikirim sebelum surat ini datang, tetapi pengiriman ini bukan secara khusus ke Korintus (Kis. 19:22). Tidak adanya nama Timotius di pendahuluan surat (1:1) maupun salam penutup (16:19-21) lebih cocok apabila dia memang sudah tidak bersama Paulus ada waktu penulisan surat ini.

Bapa rohani berhak mendisiplin anak-anaknya apabila dipandang perlu (ay. 18-21)
Ayat 18 menceritakan tentang keberadaan beberapa orang yang menjadi sombong karena menganggap Paulus tidak akan datang lagi ke Korintus. Mereka ini adalah orang-orang yang tidak menyukai Paulus dan meneruskan kepemimpinan di dalam jemaat namun dengan cara yang salah (3:12-15, 17, 18). Mereka bahkan menjadi pengkritik Paulus (4:3, 6-7). Mereka mungkin berpikir bahwa Paulus tidak ubahnya seorang pengkhotbah keliling belaka yang hanya berhenti di suatu tempat untuk waktu yang pendek tanpa memiliki komitmen terhadap tempat itu. Lebih buruk lagi, mereka melihat kemampuan khotbah dan isi khotbah Paulus tidak sebaik para pengkhotbah keliling.

Sebagai respons terhadap kesalahpahaman ini (4:18) Paulus menegaskan bahwa dia akan segera datang jika Tuhan menghendaki (4:19a). Kata “segera” tidak boleh dipahami dalam konteks waktu yang cepat. Dalam konteks berpikir Yahudi waktu itu, ungkapan “segera” lebih menekankan aspek kepastian daripada kecepatan waktu. Di pasal 16:8 ia mengatakan bahwa ia masih akan tinggal di Efesus sampai Hari Pentakosta. Contoh lain tentang penggunaan ungkapan “segera” dapat dilihat dari perumpamaan Yesus di Lukas 18:1-8. Di ayat 7-8 Yesus menyatakan bahwa Ia akan segera datang, tetapi anehnya perumpamaan ini bertujuan mengajarkan murid-murid untuk berdoa “tanpa jemu-jemu” (ay. 1). Jika “segera” berarti “langsung”, maka murid-murid tidak perlu berdoa tanpa jemu. Justru karena “segera” berarti “pasti”, maka mereka memiliki alasan kuat untuk terus berdoa.

Walaupun tujuan dari kedatangan ini sangat positif, tetapi Paulus tetap merasa perlu bersandar pada kehendak Allah. Ungkapan “jika Tuhan menghendaki” membuktikan bahwa Paulus sangat mengenal arti kedaulatan Allah. Di pasal 16:7 dia mengulangi lagi ungkapan ini (bdk. Rm. 1:10; 15:32; 1Tes. 3:11; Flm. 1:22). Di bagian Alkitab lainnya bahwa diajarkan bahwa untuk hidup pun kita perlu perkenanan Tuhan (Yak. 4:15). Ada banyak hal yang bisa menghalangi rencana kita, misalnya iblis (1Tes. 2:18) atau mungkin pekerjaan Tuhan lain yang lebih besar (1Kor. 16:9; Rm. 15:20-24). Kita perlu benar-benar bersandar pada kehendak Tuhan untuk apa pun rencana kita.

Tujuan kedatangan Paulus bukan untuk menantang orang-orang sombong di ayat 18 berdebat atau unjuk kebolehan berkhotbah dengan dia. Jika dia memfokuskan pada dua hal ini, maka dia akan menjadi sama dengan mereka yang mengandalkan hikmat duniawi. Sebaliknya dia ingin mengetahui kekuatan mereka (ay. 19b-20). Kata “kekuatan membawa kita kembali pada ide tentang Injil yang dianggap kebodohan, tetapi sebetulnya justru kekuatan dan hikmat Allah (1:24). Paulus sendiri memberitakan Injil yang kuat ini dengan kekuatan Roh (2:3-5). Hanya melalui karya Roh Kuduslah seseorang dapat mengenal Allah (2:10-14). Di sisi lain jemaat Korintus hanya menyukai perkataan hikmat duniawi. Orang-orang semacam ini pasti tidak memiliki kuasa untuk mengubahkan orang lain.

Kata sambung “sebab” di ayat 20 menunjukkan alasan bagi ayat 19b. Paulus tidak mau tahu tentang hikmat duniawi, karena Kerajaan Allah adalah soal kuasa, bukan sekadar perkataan. Pemunculan ungkapan “Kerajaan Allah” mengingatkan kembali pada sikap arogan orang-orang ini yang menganggap diri sebagai raja (4:8). Bagaimana mereka bisa menganggap diri sebagai raja dalam Kerajaan-Nya, padahal perkataan mereka tidak memiliki kuasa?

Di ayat 21 Paulus kembali lagi pada posisinya sebagai bapa rohani (bdk. ayat 15). Sebagai bapa, dia berhak mendisiplin anak-anaknya, terutama yang sombong dan mulai kurang ajar dengan dia. Kata Yunani di balik kata “cambuk” (LAI:TB; NIV) adalah rabdos yang merujuk pada sebuah tongkat (ASV/KJV/RSV/NASB). Benda ini merupakan simbol dari cara pendisiplinan yang keras (2Sam. 7:14; Ams 10:13; 13:24; 22:15; 23:13-14; 29:15, 17). Dunia pendidikan Yunani juga mengenal gambaran ini dengan baik. Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa bimbingan rohani dapat melibatkan disiplin yang keras apabila hal ini diperlukan. Bagaimanapun, Paulus tidak memprioritaskan hak ini. Dia lebih senang mengedepankan kasih dan kelemah-lembutan (ay. 20b). Jika hal ini tidak mengubah mereka, maka dia tidak segan-segan memakai disiplin yang keras (2Kor. 10:1-2). Salah satu bukti disiplin yang keras ini akan dia sampaikan di 1 Korintus 5:1-13 ketika dia mengusir orang percaya yang sangat bebal dan mencintai dosa.



Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 21 September 2008

No comments: