14 January 2011

APA ITU BAIK?: Iman Kristen dan Konsep Kebaikan Sejati (Denny Teguh Sutandio)

APA ITU BAIK?
(Iman Kristen dan Konsep Kebaikan Sejati)


oleh: Denny Teguh Sutandio



“Allah melihat bahwa semuanya itu baik... ...Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik.”
(Kej. 1:25, 31a)

“Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminyapun memakannya.”
(Kej. 3:6)

“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”
(Rm. 12:2)




Seorang cewek mengatakan kepada temannya tentang cowoknya, “Dia itu baik lho.” Semua manusia pasti mendengar dan mengetahui kata baik dan bahkan menggunakannya. Namun benarkah manusia yang mengucapkan kata baik benar-benar mengerti makna aslinya? Fakta membuktikan bahwa TIDAK semua manusia mengerti apa itu baik. Oleh karena itu, mari kita menelusuri apa itu baik dari Alkitab. Kita akan membaginya menjadi 3 bagian: definisi asli baik dari Allah, kemudian definisi manusia berdosa tentang apa itu baik, dan penebusan Kristus membuat kita mengerti makna asli baik sesuai Alkitab.

Pada awal penciptaan, Allah sudah mengeluarkan kata BAIK. Perhatikan. Di dalam Kejadian 1, setelah menciptakan alam semesta (sebelum manusia diciptakan), Allah melihat dan mengatakan bahwa apa yang telah diciptakan-Nya itu baik (Ibrani: ‎tob; baca: tov), lalu setelah manusia dicipta, Ia mengatakan: “sungguh amat baik.” Dari sini, kita mendapatkan pengertian bahwa kebaikan sejati bersumber dari Allah yang mengatakan itu BAIK. Kebaikan di luar Allah bukanlah kebaikan sejati. Bahkan dalam Kejadian 2:18, Tuhan sendiri berfirman bahwa tidak baik (kata baik di sini dalam bahasa Ibraninya juga sama dengan di Kej. 1:25, 31a) kalau manusia itu sendirian, maka Ia menciptakan Hawa. Di dalam doanya, Daud berkata, “Sebab Engkau, ya Tuhan, baik dan suka mengampuni dan berlimpah kasih setia bagi semua orang yang berseru kepada-Mu.” (Mzm. 86:5; bdk. 106:1; 107:1; 118:1, 29) Di sini, Daud mengaitkan kebaikan Allah dengan pengampunan dan kasih setia-Nya. Selain itu kebaikan Tuhan juga dikaitkan dengan kesetiaan-Nya yang tak pernah habis (Mzm. 100:5) Bahkan di dalam Mazmur 119:68, pemazmur berkata, “Engkau baik dan berbuat baik; ajarkanlah ketetapan-ketetapan-Mu kepadaku.” Di ayat ini, pemazmur langsung mengaitkan pribadi Allah yang baik dengan perbuatan-Nya yang baik. Berarti pribadi dan tindakan Allah TIDAK bisa dipisahkan. Pribadi dan tindakan-Nya yang baik mengakibatkan dengan rendah hati pemazmur ingin agar Tuhan mengajar ketetapan-ketetapan-Nya kepada si pemazmur. Orang yang cinta Tuhan ditandai bukan karena ia tahu dan menyanyi bahwa Allah itu baik, tetapi ditandai dengan suatu sikap yang rendah hati menginginkan agar perintah-perintah-Nya mengajarnya sehingga ia makin hidup baik sesuai standar Allah yang adalah Kebaikan sejati. Bahkan dengan berani, di beberapa ayat selanjutnya, pemazmur berkata, “Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu.” (ay. 71) Penderitaan bagi pemazmur bukan sesuatu yang buruk, namun sesuatu yang baik. Mengapa? Karena di dalam penindasan tersebut, pemazmur belajar ketetapan-ketetapan Allah. Penderitaan yang diizinkan Tuhan membuat umat-Nya sadar bahwa diri mereka terbatas sambil mengoreksi kerohanian mereka seberapa dekat dan bergantungnya mereka kepada Allah. Penderitaan mengingatkan si pemazmur bahwa, “Taurat yang Kausampaikan adalah baik bagiku, lebih dari pada ribuan keping emas dan perak.” (ay. 72)

Semua kata baik dalam semua ayat dalam Perjanjian Lama yang saya kutip di atas bahasa Ibrani yang dipakai semuanya sama, yaitu tob (baca: tov; b dibaca v) yang artinya baik. Dari survei singkat dari Perjanjian Lama, kita diingatkan bahwa kebaikan sejati bersumber dari Allah dan firman-Nya. Sehingga ketika kita ingin mengerti dan mengatakan baik, referensikan kebaikan itu berdasarkan standar Allah dan firman-Nya.

Namun, bagaimana dengan reaksi manusia yang sudah diajar tentang kebaikan sejati dari Allah? Manusia berdosa jelas tidak menginginkan Allah yang baik itu mengajar mereka. Manusia justru menyukai apa yang tidak Allah sukai dengan menciptakan sendiri pengertian-pengertian yang berbeda total dari pengertian dari Allah. Kebaikan yang seharusnya direferensikan kepada Allah dan firman-Nya diganti, diubah, dan dibuat versi sendiri. Kecenderungan berdosa ini sudah dimulai dari nenek moyang mereka, yaitu Hawa, “Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian.” (Kej. 3:6) Bahasa Ibrani untuk kata “baik” yang dipakai di ayat ini juga sama dengan yang dipakai dalam Kejadian 1:25, 31a, dll. Ini membuktikan bahwa baik sejati sudah dipelintir artinya oleh manusia, lalu diganti artinya menjadi sesuatu yang menyenangkan dan menguntungkan diri: enak, sedap, dan menarik karena memberi pengertian. Karena nenek moyang manusia berdosa sudah memiliki konsep baik yang identik dengan memuaskan nafsu sendiri, maka tidak heran keturunannya juga memiliki konsep baik yang sama parahnya.

Tidak heran, di zaman sekarang, kita mendapati kata baik sangat banyak digunakan, namun artinya begitu rendah karena berorientasi pada kepentingan diri sendiri. Dari agama, kebudayaan, sampai dunia anak muda, kata baik dipakai menunjuk pada apa yang menyenangkan diri. Di bidang agama (di luar Kristen), manusia diajar untuk berbuat “baik”. Apa tujuannya? Supaya masuk sorga/nirvana. Motivasi dan tujuan dasar berbuat baik sudah salah, yaitu untuk kepentingan diri. Seorang filsuf Yunani berkata bahwa kebajikan sejati adalah kebajikan yang dilakukan demi kebajikan itu sendiri (sommum bonnum). Sekarang pertanyaannya, jika ternyata ia tidak masuk sorga/nirvana, apakah ia akan berbuat baik? Jika ia tetap berbuat baik, itu bagus, namun jika ia enggan berbuat baik, berarti dia berbuat baik demi iming-iming kesenangan diri. Lebih tajam lagi, apa yang disebut berbuat baik supaya masuk sorga/nirvana? Apa standar perbuatan baik? Apakah baik menurut suku A sama dengan suku B? Jika sama, apa yang menyatukannya? Jika berbeda, mengapa berbeda, lalu standar kebaikan itu apa? Bagi penganut atheis dan relativis, moralitas itu netral dan relatif, tidak ada standar kebaikan dan kejahatan. Kalau mereka berkata demikian, coba perlakukan mereka secara tidak baik misalnya dengan memberi nilai F pada waktu ujian atau memecat mereka dengan tidak hormat, kira-kira apa reaksi mereka? Biasanya mereka marah. Mengapa? Karena mereka merasa mereka tidak mendapat perlakuan yang baik. Dengan kata lain, mereka melawan diri dan konsep mereka sendiri. Kalau mau konsisten, para penganut atheis dan relativis moral tidak boleh mengomel kalau mereka diperlakukan tidak adil, karena bagi mereka, moralitas dan kebaikan itu relatif dan tidak ada standarnya. Ya, namanya manusia berdosa apalagi yang melawan Allah dan firman-Nya pasti berkontradiksi dengan dirinya sendiri, namun sambil tetap membanggakan diri hebat.

Dalam kebudayaan pun, konsep kebaikan dikaitkan dengan kepentingan manusia. Tanyalah kepada kebudayaan Tionghoa, siapa orang baik itu? Mereka kebanyakan mengaitkannya dengan orang yang taat pada atasan (orangtua, guru/dosen, dll). Tentu itu tidak salah, namun pengertiannya masih sederhana dan kurang tajam. Mengapa? Karena kebudayaan Tionghoa tidak mengenal Allah yang berpribadi. Mereka hanya percaya pada langit (dian), sedangkan yang lain percaya pada hukum alam yang mati. Konsep langit (dian) merupakan konsep samar-samar yang tak berpribadi sehingga tidak bisa dijadikan standar kebaikan. Selain Tionghoa, kebaikan dalam berbagai suku itu berbeda. Bagi suku A, membunuh itu berdosa, namun bagi suku B membunuh itu legal dan bahkan dianggap berjasa. Variasi standar kebaikan ini membuktikan bahwa dosa mengakibatkan kebaikan sejati mengalami penyimpangan.

Bagaimana dengan dunia anak muda? SAMA. Di zaman postmodern ini, banyak anak muda terlalu mudah menilai seseorang itu baik hanya dari penampilan luar. Biasanya (TIDAK selalu) yang paling cepat menilai seseorang itu baik adalah keturunan Hawa (bdk. Kej. 3:6). Banyak cewek hari ini dengan sigap/bangga mengatakan bahwa teman atau cowoknya itu baik, alasannya karena teman atau cowoknya itu mengantarkan dan menjemput dia atau membeli dan memberikan dia permen atau makanan. Atau mungkin cewek menilai cowok itu baik karena si cowok selalu memenuhi keinginan si cewek. Namun ketika si cowok tidak memenuhi kemauan si cewek apalagi menegur kesalahan si cewek, si cowok langsung dicap tidak baik alias jahat.

Dosa mengakibatkan manusia buta akan kebaikan sejati. Tetapi puji Tuhan, Allah yang mencipta kita dan mengizinkan adanya dosa TIDAK membiarkan umat-Nya putus asa. Dengan kasih, Ia mengutus Putra-Nya yang Tunggal, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dosa-dosa umat-Nya. Allah menyatakan kembali arti kebaikan sejati melalui pribadi dan karya Kristus. Perhatikanlah bagaimana Perjanjian Baru mengajar kita tentang kebaikan sejati yang lebih diperjelas dan dipertajam oleh Kristus dan para rasul-Nya.

Ketika seorang muda datang kepada Kristus dan bertanya perbuatan baik apa yang harus dilakukannya untuk memperoleh hidup yang kekal, Ia menjawab, “Apakah sebabnya engkau bertanya kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanya Satu yang baik. Tetapi jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah.” (Mat. 19:17) Terjemahan Indonesia tepat. Beberapa terjemahan Alkitab bahasa Inggris kurang tepat, seperti King James Version menerjemahkannya, “Why callest thou me good? there is none good but one, that is, God: but if thou wilt enter into life, keep the commandments.” (=Mengapa kamu memanggil Aku baik? Tidak ada yang baik kecuali Satu, yaitu Allah; tetapi jika kamu ingin masuk ke dalam hidup, peliharalah perintah Allah.) New International Version (NIV) lebih tepat menerjemahkannya, “"Why do you ask me about what is good?" Jesus replied. "There is only One who is good. If you want to enter life, obey the commandments.” (= “Mengapa kamu menanyakan kepada-Ku tentang apa itu baik?” Yesus menjawab. “Hanya ada Satu yang baik. Jika kamu ingin masuk ke dalam hidup, taatilah perintah-perintah Allah.””) Jawaban Kristus di Matius ini agak sedikit berbeda dengan teks di Lukas dan Markus. Di Markus 10:18 dan Lukas 18:19, Kristus menjawab, “Mengapa kaukatakan Aku baik? Tak seorangpun yang baik selain dari pada Allah saja.” Dalam teks Yunaninya, kata “baik” pada kalimat kedua (“Tak seorangpun yang baik selain daripada Allah saja.”) sama antara Matius, Markus, dan Lukas yaitu agathos yang merupakan kata sifat dan nominatif (berfungsi sebagai subjek kalimat). Sedangkan pada kalimat pertama, kata Yunaninya berbeda antara Matius 19:17 dan Lukas 18:19 (= Markus 10:18). Di Matius 19:17, kata “baik” dalam teks Yunaninya agathou berbentuk kata sifat dan genitif (berfungsi sebagai kepemilikan), sedangkan dalam Markus 10:18 (= Lukas 18:19), kata Yunaninya adalah agathon berbentuk kata sifat dan akusatif (berfungsi sebagai objek langsung). Meskipun berbeda, namun intinya tetap sama, yaitu melalui cerita ini, Tuhan Yesus mau mengajar pemuda ini bahwa hanya Allah yang baik, taatilah perintah-perintah-Nya (Dia mengkhususkan titah keenam s/d kesembilan: Mat. 19:18b-19; Luk. 19:20), dan perintah-perintah-Nya itu sebenarnya mengarahkan orang untuk mengikut Kristus (Mat. 19:21; Luk. 19:22). Dengan kata lain, Ia mengidentikkan diri-Nya sebagai Allah di mana firman Kristus harus ditaati. Lebih dipertajam lagi, bagi Kristus, kebaikan sejati bersumber dari Dia sendiri dan firman-Nya.

Ia juga mengklaim diri-Nya sendiri baik, lebih tepatnya gembala yang baik. Di dalam Yohanes 10:11, “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya;” Kata Yunani untuk baik di dalam ayat ini adalah kalos yang berarti baik dalam pengertian moral, kualitas, dll (Hasan Sutanto, Konkordansi Perjanjian Baru, hlm. 424) Kebaikan Kristus sebagai seorang Gembala ditunjukkan dengan memberikan nyawa bagi domba-dombanya. Sedangkan seorang upahan membiarkan domba-domba yang digembalakannya itu tercerai berai (ay. 12). Pengorbanan yang Kristus wujudkan merupakan Kebaikan sejati yang tidak bisa ditiru oleh dunia dan ini juga menjadi teladan bagi kita sebagai umat-Nya agar meneladani-Nya dengan hidup setiap hari menyangkal diri dan memikul salib demi mengasihi-Nya.

Setelah menunjukkan bahwa Kristus adalah Kebaikan sejati, maka apa yang harus orang Kristen lakukan?
Pertama, mencari kehendak dari Kebaikan sejati. Karena telah mengenal Kristus adalah Kebaikan sejati, maka umat Tuhan harus belajar dari-Nya dan mencari kehendak-Nya. Kehendak Allah selain baik, juga menyenangkan Allah (berkenan kepada Allah) dan sempurna (Rm. 12:2) Di sini, kita melihat kaitan erat antara baik, menyenangkan Allah, dan sempurna. Kekristenan yang sehat BUKAN hanya terus menekankan kehendak Allah yang selalu baik, namun juga menekankan pentingnya kehendak Allah yang menyenangkan-Nya dan terutama sempurna. Penekanan yang menyeluruh tentang kehendak Allah ini mengakibatkan kita makin bersukacita di dalam mencari kehendak-Nya seraya takut dan gentar.

Kedua, rela menderita demi kehendak dari Kebaikan sejati. Seorang yang terus-menerus rindu mencari kehendak-Nya pasti juga seorang yang siap menerima resiko apa pun demi mencari dan menggenapkan kehendak-Nya. Ia akan siap menderita demi kehendak-Nya. Rasul Petrus mengingatkan kita, “Sebab lebih baik menderita karena berbuat baik, jika hal itu dikehendaki Allah, dari pada menderita karena berbuat jahat.” (1Ptr. 3:17) Konteksnya jelas, Petrus ingin menghibur mereka yang sedang menderita karena imannya kepada Kristus. Mengapa harus ada harga yang harus dibayar? Karena kita mencari dan menggenapkan kehendak Allah yang agung yang BERBEDA dari apa yang dunia kehendaki. Kehendak Allah selalu agung, mulia, kudus, benar, baik, dan sempurna sedangkan kehendak dunia selalu sampah, berdosa, jorok, jahat, salah, dan menjijikkan.

Ketiga, berbuah baik. Ketika kita menderita demi kehendak Allah, apakah berarti kita pasif? TIDAK. Kita juga dituntut aktif untuk mencari dan juga menggenapkan kehendak Allah. Caranya? Dengan BERBUAH. Kristus menjelaskan bahwa kebaikan itu juga harus berbuah. Di dalam Matius 7:17, Ia berfirman, “Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, …” Dalam teks Yunaninya, kedua kata baik di ayat ini menggunakan kata yang berbeda. Kata “baik” pertama (yang dikenakan pada pohon) dalam teks Yunaninya adalah agathon yang berarti baik, sedangkan kata “baik” kedua (yang dikenakan pada buah) dalam teks Yunaninya adalah kalous yang berasal dari kata kalos yang berarti baik dalam pengertian moral, kualitas, dll (ibid., hlm. 424). Konteks ayat ini berbicara tentang penghakiman. Sehingga menurut konteksnya, pohon di sini menunjuk kepada hubungan orang Kristen dengan Tuhan. Pohon yang baik berarti orang Kristen sejati yang mengenal Tuhan dengan benar dan intim, sehingga ia akan menghasilkan buah yang baik, sedangkan pohon yang tidak baik adalah orang “Kristen” yang seolah-olah mengenal Tuhan, sebenarnya TIDAK, akibatnya buah yang dihasilkannya pun jelas tidak baik. Pohon inilah yang dikatakan Kristus akan ditebang dan dibuang ke dalam api (ay. 19) Dengan kata lain, orang Kristen sejati yang benar-benar mengenal kebaikan yang daripada Tuhan akan menghasilkan buah yang baik, yaitu: hati, pikiran, dan tingkah laku yang baik yang bersumber dari Tuhan. Sedangkan mereka yang pura-pura mengenal Tuhan, namun sejatinya tidak, akan menghasilkan buah yang tidak baik. Tentu buah yang dihasilkan oleh pohon yang baik ini tidak langsung dan instan, tetapi dalam sebuah proses. Untuk itulah diperlukan pimpinan Roh Kudus secara terus-menerus untuk menguduskan orang Kristen sejati supaya dapat menghasilkan buah yang baik yang memuliakan Tuhan.

Lebih tajam lagi, Rasul Paulus mengajar Titus, “…mereka yang sudah percaya kepada Allah sungguh-sungguh berusaha melakukan pekerjaan yang baik. Itulah yang baik dan berguna bagi manusia.” (Tit. 3:8) Kata Yunani untuk kata baik yang pertama dalam teks ini adalah kalon. Di sini, Paulus ingin menajamkan lagi, bahwa orang yang sungguh-sungguh SUDAH percaya kepada Allah tentu sungguh-sungguh berusaha melakukan pekerjaan yang baik. Berarti, iman kepada Allah mengakibatkan suatu perbuatan yang memuliakan Allah. Biarlah ini menjadi teori yang ada di kepala kita, tetapi berusaha kita aplikasikan dengan pertolongan Roh Kudus.

Keempat, siap ditegur oleh Kebaikan sejati. Di dalam kita berproses untuk menghasilkan buah, tentu ada hal-hal yang salah yang kita lakukan. Nah, saat itulah, Kebaikan sejati, yaitu Allah datang untuk menegur kita ketika kita bersalah. Allah yang adalah Kebaikan sejati dan Kasih juga adalah Allah yang menginginkan kita bertobat. Kristus sendiri berkata di dalam pewahyuan-Nya kepada Rasul Yohanes di Wahyu 3:19, “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!” Di sini berarti Allah juga dengan kasih menegur dan mendisiplin kita dengan menghajar kita supaya kita mengetahui apa yang salah dan segera bertobat. Jika Allah tidak mendisiplin kita dengan menghajar kita, maka itu berarti Allah tidak menganggap kita sebagai anak-anak-Nya (Ibr. 12:7). Oleh karena itu, sikap kita seharusnya adalah: bersyukur, merelakan hati kita, dan segera bertobat ketika Allah masih memukul kita ketika kita bersalah, karena itu bukti kasih-Nya kepada kita. Di sini, kita belajar poin tentang kebaikan, yaitu baik bukan apa yang menyenangkan/memuaskan/memanjakan kita, tetapi juga apa yang seolah-olah tidak menyenangkan kita, yaitu menegur dan mendisiplin kita, tetapi percayalah, meskipun seolah-olah tidak menyenangkan, hasil akhirnya pasti berfaedah bagi kita. Kedewasaan seseorang diukur dari seberapa dia rendah hati mau ditegur dan diajar oleh Tuhan dan firman-Nya. Oleh karena itu, bersyukurlah jika Tuhan memakai saudara seiman kita untuk menegur kita, itu bukan tanda bahwa saudara seiman kita dan Tuhan itu jahat, namun itu merupakan sikap baik yang harus kita syukuri.

Bagaimana dengan kita? Tatkala dunia kita dengan sembarangan mengajar dan mengatakan “baik”, bagaimana sikap orang Kristen seharusnya? Meniru dunia? TIDAK. Orang Kristen sejati harus kembali kepada apa yang Alkitab ajarkan tentang apa itu baik yang dikaitkan dengan kehendak Allah yang Mahakudus dan Mahaadil. Biarlah Kebaikan sejati di dalam Kristus Yesus boleh kita kenal dengan sungguh-sungguh dan kita pun dipakai-Nya untuk menyalurkan Kebaikan sejati itu kepada banyak orang melalui Kabar Baik (Injil). Amin. Soli Deo Gloria.

No comments: