14 January 2011

Bagian 1: Kekristenan dan Atheisme di Indonesia (Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.)

KEKRISTENAN DAN ATHEISME DI INDONESIA

oleh: Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.



Suatu kali penulis terlibat diskusi mengenai signifikansi dari pencantuman nama agama dalam KTP di Indonesia. Apakah nama agama masih perlu dicantumkan dalam KTP? Apa sebenarnya signifikansinya? Diskusi tersebut berlangsung dalam sebuah pertemuan kelompok di antara para undangan acara Konferensi Gereja dan Masyarakat VIII yang diselenggarakan oleh PGI di Cipayung, Jawa Barat, pada tahun 2008. Dalam acara tersebut, penulis bertanya pula “bagaimana dengan saudara-saudara kita yang ateis?" Sudah bukan rahasia lagi bahwa para ateis di Indonesia seringkali “harus” mencantumkan nama “Buddha” atau "Kristen" atau agama lain untuk menutupi identitas asli mereka.

Bagi penulis sendiri, tidaklah sulit untuk mengingat contoh-contoh kasus ateis yang ber-KTP Kristen atau Buddha karena beberapa dari keluarga besar penulis sendiri termasuk di dalamnya. Ini dikuatkan lagi dengan para mahasiswa yang penulis layani. Sebagian diantara para mahasiswa tersebut bersedia mengaku diri sebagai ateis dalam paper yang mereka kumpulkan kepada penulis namun biasanya masih memiliki KTP yang memuat nama agama tertentu. Jadi, di tengah masyarakat yang katanya "religius" seperti Indonesia, tidak ada keraguan sedikitpun bahwa membahas tentang ateisme itu relevan. Mengapa karena mereka eksis. Berapa banyak? Kita sama-sama tidak tahu!

Nah sampai disini mungkin ada yang berpikir, jika para ateis memang ada di sekitar kita, “Mengapa banyak orang Kristen dan pendeta tidak pernah bertemu dengan orang-orang itu di Indonesia?” Tentu saja ada banyak alasan yang dapat menjelaskan hal ini.

Pertama, mungkin karena banyak orang Kristen tidak suka “keluar” dari rumah gereja mereka dan bertemu dengan para “free thinker” yang di luar sana. Kata “keluar” bisa berarti mengunjungi website-website ateis yang tinggal Anda ketik di google search maupun secara literal berarti keluar dari gereja dan bertemu dengan seorang ateis secara fisik. Banyak orang Kristen menjadikan gereja sebagi club "dari, oleh dan untuk kita" sehingga tidak bersentuhan dengan orang tak percaya.

Kedua, untuk para pelayan Tuhan yang konteks pelayanannya di sekitar gereja dan jarang penginjilan, ya tentu saja mereka akan semakin jarang bertemu dengan ateis. Bagaimana tidak, hampir seluruh waktu sudah tersedot untuk acara-acara gerejawi. Jadi tentu wajar jika tidak pernah berjumpa dengan ateis. Untuk alasan yang kedua ini sebenarnya masih belum mutlak pula. Mengapa? Sebenarnya tidak satu dua kali penulis bertemu dengan orang yang ke gereja tetapi pemikirannnya condong atau memang ateis. Herannya mereka masih ke gereja karena banyak alasan seperti mencari maupun menemani pacar atau sekedar ikut teman dan orang tua.

Nah mengapa banyak pelayan Tuhan di gereja yang tidak mengetahuinya? Tampaknya para ateis ini, masih malu-malu atau malas untuk membuka dirinya. Malu-malu karena ketahuan sebagai seorang ateis di Indonesia masih belum keren (lain ceritanya dengan di Eropa). Kedua, malas karena mereka juga tahu bahwa mayoritas pelayan Tuhan paling-paling cuma bisa beretorika tentang "dosa, pengampunan dan kasih Tuhan". Di mata para ateis, terlalu banyak pelayan Tuhan yang tidak cukup mampu dan mau berdiskusi tentang isu-isu yang menjadi hambatan intelektual kaum ateis. Sedikit saja yang siap berdiskusi dengan mereka. Malas deh diskusi sama kamu...begitu kata sebagian ateis dalam hati.

Oleh karena itu jika anda bertemu dengan ateis yang sudah lama rindu berdiskusi dengan orang Kristen yang siap "diajak bicara" maka diskusinya bisa memakan waktu yang lama, lebih lama daripada pertandingan sepak bola. Mereka seperti orang yang sudah sekian lama membutuhkan konseling karena problem-problem yang mereka hadapi namun kebanyakan orang di gereja hanya bisa mendoakan mereka. Seketika mereka menemukan konselor yang matang, mereka langsung mencurahkan semua pergulatan emosional mereka, "tumplek blek" begitu kata orang Jawa. Begitu pula dengan ateis, mereka biasanya langsung mengeluarkan semua "unek-unek" mereka tentang kekristenan ketika menemukan partner diskusi yang pas dan siap diajak berdiskusi tentang topik-topik yang "agak tabu" dalam Kekristenan.

Unek-unek tentang kekristenan yang digumulkan para ateis itu bisa sangat variatif dari A sampai Z. Mulai dari Alkitab yang dianggap mencerminkan budaya pro pria (patriarkal) dan diskriminatif terhadap kaum wanita, kisah penciptaan Alkitab khususnya young earth creationism yang dianggap tidak cocok dengan perkembangan astronomi dan arkeologi, arogansi klaim Yesus bahwa Dialah satu-satunya jalan kepada Bapa, budaya barbar dari orang Yahudi ketika membinasakan suku-suku lain di sekitar Kanaan, inkonsistensi antara praktek poligami di PL dan penekanan monogami di PB, sifat tidak ilmiah dari Alkitab ketika berbicara tentang adanya terang di penciptaan hari pertama sedangkan matahari baru tercipta di hari ke-empat, kebodohan ide bahwa matahari bisa berhenti, dan tidak tersedianya bukti masa kini bahwa orang Kristen yang minum racun tidak akan mati seperti dalam Markus 16:17-18, dll.

Menuliskan hal ini mengingatkan penulis pada Dan Barker (1949- ), seorang mantan pengkotbah Injili yang berubah menjadi ateis ketika menyindir orang Kristen dengan kalimat: "kamu percaya kepada sebuah buku yang mengajarkan binatang-binatang yang bisa berbicara, penyihir-penyihir pria, penyihir-penyihir wanita, setan-setan, tongkat-tongkat yang berubah menjadi ular-ular, makanan yang turun dari langit, orang yang berjalan di atas air, dan semua jenis cerita-cerita magis yang sia-sia dan primitif, dan kamu berkata bahwa kami adalah orang-orang yang perlu bantuan? Bagi Dan Barker, terlalu banyak yang tidak rasional dari Alkitab dan kekristenan. Ateis tidak butuh bantuan orang Kristen, sebaliknyalah yang benar.

Tuduhan lain dari para ateis adalah bahwa, orang-orang beragama, termasuk Kristen tentunya, tidak suka diajak berdiskusi atau debat tentang isu-isu ini. Celakanya lagi sebagian orang Kristen memiliki mentalitas "dogmatis" yang tidak suka diskusi apapun. Ya, mungkin karena takut kalah dan goncang kali...begitu gumam para ateis. Karena itu kutipan di bawah ini adalah contoh bagaimana para ateis menyindir orang beragama dan orang Kristen khususnya.

Kutipan dari Anonymous yang telah menulis di T-Shirt dan slogan-slogan sticker
“filsafat adalah pertanyaan-pertanyaan yang mungkin tidak pernah terjawab. Agama adalah jawaban-jawaban yang tidak boleh dipertanyakan”
“Moralitas adalah melakukan sesuatu yang benar terlepas dari semua yang telah diajarkan kepada Anda. Agama adalah melakukan apa yang telah diajarkan kepada Anda terlepas dari pada yang benar.”
“Kristen: ‘Aku akan berdoa untukmu' Ateis: ‘Jika begitu, aku akan berpikir untuk kita berdua.’”

Benarkah sindiran-sindiran ateis di atas? Kita semua harus menjawabnya...atau mendoakan dan mengasihinya saja?



Sumber: note penulis di FB.



Profil Penulis:
Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div. adalah Kepala Pusat Kerohanian (Pusroh) dan dosen Filsafat Agama dan Christian Worldview di Universitas Kristen Petra, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Ekonomi (S.E.) di UK Petra, Surabaya dan Master of Divinity (M.Div.) di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Beliau mendapat sertifikat dari Ravi Zacharias International Ministry, Academy of Apologetics, India. Saat ini beliau sedang menyelesaikan studi Master of Theology (M.Th.) bidang Theologi Historika di Biola University, U.S.A.



Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio

No comments: