14 January 2011

Bagian 3: Prospek Atheisme di Indonesia: Refleksi Bagi Orang Kristen (Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.)

PROSPEK ATHEISME DI INDONESIA:
Refleksi Bagi Orang Kristen

oleh: Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.



Setiap semester saya mendapatkan kesempatan untuk menguji seberapa kuat orang Kristen mengakar dalam imannya. Saya mulai bercerita dan bermain peran sebagai ateis tanpa memberitahu murid-murid di kelas yang saya asuh. Dalam waktu kira-kira satu jam saya menggunakan intisari dari pemikiran para ateis klasik seperti Feuerbach, Karl Marx dan Sigmund Freud tentang agama dan Allah.

“Tuhan adalah hasil imajinasi manusia.” “Bukan Tuhan yang menciptakan manusia sesuai gambar-Nya tetapi manusia yang menciptakan Tuhan sesuai aspirasi manusia itu sendiri” (bdk. konsep Feuerbach). “Agama hanyalah produk budaya dan Allah produk akal manusia.” “Allah ada secara sukbyetif dalam pikiran/imajinasi manusia tetapi bukan dalam realita obyektif.” Begitulah kira-kira cara saya memulai pelajaran filsafat agama.

Saya segera menambahkan bahwa kebutuhan akan Tuhan sebenarnya muncul karena ada kesenjangan ekonomi antara kaya dan miskin. Secara khusus, orang yang miskin membutuhkan agama sebagai hiburan. Lagu-lagu tentang sorga diberikan oleh agama untuk menghibur mereka yang miskin di dunia. Dengan demikian, agama dan konsep Allah serta sorga menjadi obat pelipur lara bagi kaum proletar, golongan miskin. Sementara itu bagi orang kaya, agama menjadi ideologi yang memungkinkan mereka untuk mengingatkan si miskin bahwa apa yang terjadi memang harus terjadi. Tuhan telah mentakdirkan nasib miskin dan kaya. Jadi agama memiliki fungsinya masing-masing bagi orang miskin dan kaya.

Secara khusus, bagi orang miskin agama menjadi semacam candu, opium yang memberikan kenikmatan sementara. Coba perhatikan kotbah-kotbah di gereja yang laris…isinya seringkali penghiburan dan penguatan. Orang tidak senang mendengarkan kotbah yang menegur karena pada dasarnya orang ke gereja karena mereka ingin dihibur atau mencari pembenaran. Begitu kurang lebihnya konsep Karl Marx yang saya paparkan dengan kombinasi pengamatan modern.

Selanjutnya, saya menambahkan satu poin lagi tentang proses kelahiran “Bapa Sorgawi.” Saya katakan bahwa ketika kita masih kecil kita suka berlindung pada “papa”. Ketika seorang anak kecil diganggu oleh temannya, ia suka berkata “papa tolongin aku.” Kebenarannya adalah, ketika kita sudah dewasa, kita masih memiliki sifat kanak-kanak itu dalam diri kita. Tetapi tentu papa biologis kita sudah tidak selalu ada bersama kita dan sudah tidak pantas rasanya meminta tolong terus pada papa. Namun demikian, dorongan meminta tolong pada papa itu sebenarnya terus eksis karena di tengah usi kita yang dewasa, sifat kekanak-kanakan dalam diri kita masih terus menetap. Oleh karena itu kita-manusia, dari dulu kala, mulai menciptakan “papa sorgawi” yang kemudian kepadanya kita berseru “bapa sorgawi berilah aku makanan hari ini.”

Itulah sebabnya salah satu tema yang laris di gereja adalah tentang kebaikan Bapa, pertolongan Bapa dan Kasih Bapa. “Bapa Sorgawi ajarku mengerti betapa dalamnya kasihMu...” Juga “Abba, Kupanggil Engkau ya Bapa” dan tentunya “Bapa sentuh hatiku...” Ini semua adalah akibat dari kekanak-kanakan dalam diri kita yang menemukan jalan keluarnya dalam “bapa sorgawi” hasil imajinasi kita sendiri. Bapa sorgawi tidak lain adalah ciptaan manusia dewasa yang masih memiliki sifat kekanak-kanakan dan menginginkan “bapa” terus hadir dalam hidupnya.

“Nah, karena kalian sudah dewasa maka kalian harus siap membuang sifat kekanak-kanakan itu dan sebagai implikasinya harus siap membuang Bapa Sorgawi dalam hidupmu.” ”Siapkah Anda?” Begitulah kira-kira pernyataan dan pertanyaan saya kepada para mahasiswa yang saya ajar. Setelah itu saya biasanya melanjutkan, “berapa banyak di antara Anda yang setuju dengan pemikiran saya?”

Survei membuktikan...sebagian dari 50 mahasiswa yang hadir di kelas mulai mengangkat tangan tanda setuju. Saya ingat suatu kali di sebuah kelas terdapat kira-kira 10 mahasiswa yang mengangkat tangan tanda setuju. Sebagian lagi mulai berpikir saya sesat tetapi tidak ada suara protes. Mereka gelisah namun banyak yang tidak siap berbeda pendapat. Jadi, saya mulai menambah panas suasana dengan berkata, “yang tidak setuju boleh angkat tangan dan memberikan alasannya.”

Biasanya, dari satu kelas yang berisi kira-kira 50 mahasiswa (semuanya mengaku beragama dalam KTP-nya) hanya ada 0-5 orang yang berani angkat tangan dan memberikan kritik terhadap pandangan ateisme yang saya paparkan. Metode seperti ini sudah saya terapkan kepada sedikitnya 15 kelas dengan rata-rata mahasiswa 50/kelas dalam kurun waktu 5 tahun di sebuah universitas yang mahasiswanya kira-kira 90% beragama Kristen dan Katolik dan berasal dari berbagai denominasi gereja dari seluruh indonesia.

Setelah itu, saya bertanya kepada semua yang hadir, “Apakah menurut kalian teori saya tadi menarik?” Hampir selalu semua mahasiswa sepakat “ya.” Bahkan mereka yang tidak setuju pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Pada saat itulah saya tidak heran bahwa Marxisme pernah menjadi ideologi yang menarik kira-kira sepertiga dari penduduk dunia. Di kalangan Kristen pun itu masih menarik sampai saat ini, jika diajarkan. Ateisme klasik saja sudah cukup menarik, apalagi jika dikombinasikan dengan ateisme baru ala Richard Dawkins, Sam Harris dan Daniel Dennet, pasti akan lebih memikat. Terbukti ketika saya memaparkan teori God of the gap dari para ateis baru, makin banyak yang terpikat.

Tentu saja setelah itu, saya segera mengaku bahwa saya hanya berpura-pura menganut paham itu dan sebenarnya saya punya banyak kritik terhadap ateisme. Masih teringat di benak saya kelegaan dari banyak mahasiswa Kristen setelah mengetahui bahwa saya hanya berpura-pura. Terkadang mereka begitu ramai berbicara karena lega dan membahas shock yang mereka alami. Setelah itu, biasanya saya bertanya “Jika Karl Marx mengajar kalian selama satu semester, seberapa besarkah kemungkinan kalian akan mengikuti pandangannya?” Bisanya, lebih dari separuh diantara mahasiswa yang hadir mengangkat tangan dan mengakui bahwa sangat mungkin mereka akan menganut Marxisme!

Mereka baru sadar bahwa mereka tidak siap berinteraksi dengan ide-ide semacam itu. Kekristenan yang menekankan heart perlu diimbangi dengan head. Belajar teologi dan apologetika sangat penting. Jika tidak, tinggal tunggu waktunya mereka bertemu dengan ideologi lain dan kemudian mereka akan terguncang. Jikalaupun mereka tidak terguncang itu bukan karena ideologi lain tidak menarik melainkan karena mereka tidak mau berpikir. Pemalas memang tidak akan terguncang karena mereka lebih sering tertidur:)

Tetapi bagi orang Kristen yang suka berpikir, guncangan akibat benturan wawasan dunia (worldview) Kristen dan ateisme bisa sangat keras, beberapa bahkan telah menyerah. Oleh karena itu, penulis tidak heran ketika menemukan seorang yang sangat aktif pelayanan tetapi setelah studi lanjut di luar negeri (Eropa, Australia, Singapore), pulang kembali ke Indonesia dan menjadi agnostic atau ateis. We can be good without God, demikianlah moto baru yang mereka “beli” dengan bangga dari luar negeri.

Kesimpulan akhir: ateisme adalah ancaman nyata di Indonesia. Tugas gereja, para teolog bahkan semua orang Kristen yang serius terhadap imannya adalah mempelajari argumen-argumen terbaik mereka serta menyiapkan apologetika yang memadai untuk menghadapinya.

Sayangnya, banyak gereja di kota besar (yang lebih berpotensi terkena virus ateisme) terkadang tidak mampu melihat jauh ke depan dan masih berpikir bahwa “ateisme adalah problem di Barat namun bukan di Indonesia”. Pemikiran seperti ini jelas salah dengan mengingat bahwa Eropa pun dahulu didominasi oleh Kekristenan namun saat ini tengah menyaksikan kemerosotan dominasinya secara drastis. Anti supranaturalisme sepertinya belum banyak di Indonesia. Benar sekali! Tetapi jelaslah bahwa ateisme sedang menggerogoti anggota gereja dan masyarakat Indonesia dan celakanya tidak banyak yang melihatnya.

Terakhir, ijinkan saya memberikan rekomendasi bagi orang Kristen. Pertama, bacalah buku-buku apologetika Kristen tentang ateisme. Salah satu yang terbaik adalah karya Norman L.Geisler dan Frank Turek berjudul, “I don't have Enough Faith to be an Atheist” Buku ini adalah salah satu buku populer (bukan akademik) terbaik untuk menghadapi ateisme. Atau, anda dapat pula mengakses debat terbuka antara William Lane Craig dengan para ateis top dunia di http://www.reasonablefaith.org/ atau ketik saja namanya di Youtube.

Gereja perlu memberikan pembinaan apologetika kepada jemaatnya. Mereka yang berpikir bahwa jemaat tidak akan tertarik mungkin sedang terkena delusi (meminjam istilah Dawkins). Khususnya di kota besar, penulis menyaksikan ketertarikan jemaat terhadap apologetika berkembang pesat dan itu berarti pelayanan apologetika semakin dibutuhkan.

Sebagai penutup, ijinkan kutipan-kutipan di bawah ini menggelitik pemikiran kita dan mengetahui apa yang menjadi keprihatinan para ateis:

“Who says I am not under the special protection of God?”
Adolf Hitler

“Nazism, indeed, was very much at home in a long tradition of Christian Anti-Judaism”
Hector Avalos

“The philosopher has never killed any priests, whereas the priest has killed a great many philosophers.”
Denis Diderot

“The sacred truth of science is that there are no sacred truths.”
Carl Sagan

“I was born an Atheist. All humans are born Atheists. No baby born into the world arrives with specific religious beliefs or knowledged...I have thus been an Atheist all my life. I am a natural Atheist.”
David Eller

“I am against religion because it teaches us to be satisfied with not understanding the world”
Richard Dawkins

“The universe we observe has precisely the properties we should expect if there is, at bottom, no design, no purpose, no evil and no good, nothing but blind pitiless indifference.”
Richard Dawkins

Catatan: Buku Richard Dawkins, River Out of Eden: A Darwinian View of Life (1995) sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.





Sumber: note penulis di FB.



Profil Penulis:
Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div. adalah Kepala Pusat Kerohanian (Pusroh) dan dosen Filsafat Agama dan Christian Worldview di Universitas Kristen Petra, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Ekonomi (S.E.) di UK Petra, Surabaya dan Master of Divinity (M.Div.) di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Beliau mendapat sertifikat dari Ravi Zacharias International Ministry, Academy of Apologetics, India. Saat ini beliau sedang menyelesaikan studi Master of Theology (M.Th.) bidang Theologi Sistematika di Talbot School of Theology, Biola University, U.S.A.



Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio

No comments: