27 January 2011

MUTLAK DAN RELATIF: Sebuah Perspektif Iman Kristen (Denny Teguh Sutandio)

MUTLAK DAN RELATIF:
Sebuah Perspektif Iman Kristen


oleh: Denny Teguh Sutandio



PENDAHULUAN
Di dunia ini, sebagai manusia, kita tentu mengetahui dan mengenal bahwa ada sesuatu bersifat mutlak dan ada juga yang bersifat relatif. Apa itu mutlak dan relatif? Bagaimana dunia memandang kedua hal itu? Bagaimana iman Kristen yang benar menyoroti dan memandang dua hal ini secara bijaksana dan cermat?




DEFINISI MUTLAK DAN RELATIF
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), mutlak didefinisikan: “3. Tidak boleh tidak; harus ada” (hlm. 603), sedangkan relatif didefinisikan: “tidak mutlak; nisbi” (hlm. 738). Oxford Advanced Learner’s Dictionary (2005) mendefinisikan mutlak (absolute): “adj.: … 3. Definite and without any doubt or confusion; noun: an idea or a principle that is believed to be true or valid in any circumstances:” (hlm. 5) (= kata sifat: … 3. Pasti dan tanpa keraguan atau kebingungan apa pun; kata benda: sebuah ide/prinsip yang dipercaya benar atau sah dalam keadaan apa pun), sedangkan relatif didefinisikan sebagai hal yang berkaitan dengan perbandingan dengan sesuatu. (hlm. 1277)

Dari definisi ini, maka absolut/mutlak berarti:
Pertama, suatu kepastian dan keharusan. Artinya suatu kemutlakan pasti dan harus ada. Jika tidak ada, maka itu bukan kemutlakan.
Kedua, melampaui ruang dan waktu. Menurut definisi dari Oxford Advanced Learner’s Dictionary, kemutlakan adalah sebuah ide yang dipercaya benar dalam keadaan apa pun. Berarti, di dalam kemutlakan, ada kepercayaan yang dianggap benar yang tidak dibatasi oleh keadaan/situasi apa pun.

Sedangkan kerelatifan adalah lawan dari kemutlakan di mana di dalam kerelatifan, tidak perlu ada suatu kepastian dan keharusan serta tidak perlu melampaui ruang dan waktu. Artinya, di dalam kerelatifan, suatu kepercayaan dianggap benar jika itu menurut A, sedangkan menurut B dan C itu salah.

Dari definisi yang saya buat di atas, saya bisa menyimpulkan dengan satu kata bahwa: absolut/mutlak itu bersifat objektif, sedangkan relatif itu bersifat subjektif.




STANDAR DAN PERSPEKTIF (DUNIA) TERHADAP KEMUTLAKAN DAN KERELATIFAN
Setelah mengerti definisi mutlak dan relatif, pertanyaan selanjutnya, apa yang menentukan bahwa sesuatu itu mutlak atau relatif? Dunia kita memandang sesuatu yang mutlak dan relatif itu dari perspektif etika umum, tradisi dan kebudayaan, atau/dan lingkungan sekitar. Dari perspektif ini, maka di dunia kita terdapat 2 perspektif berkaitan dengan kemutlakan dan kerelatifan:
1. Perspektif Orang Cuek: Merelatifkan hal yang mutlak dan relatif (segala sesuatu itu relatif, tidak ada yang mutlak)
Orang pertama yang akan kita soroti adalah orang cuek. Biasanya (tidak selalu) orang cuek diwakili oleh banyak generasi muda zaman ini yang benar-benar masa bodoh dengan hal-hal yang penting, sehingga tidak heran, di dalam hidupnya, segala sesuatu itu dipandang sebagai sesuatu yang relatif. Sesuatu yang mutlak seperti iman dan etika dianggap sesuatu yang kuno, usang, dan tidak sesuai dengan selera zaman, sehingga tidak heran, ketika mencari pasangan hidup, banyak anak muda zaman sekarang lebih mementingkan fisik dan materi ketimbang unsur iman. Mereka masa bodoh dengan perbedaan iman dengan pasangan hidupnya, karena yang terpenting adalah pasangan hidupnya itu seorang yang mapan (=pengusaha kaya) dan “cocok” dengan dia (cocok karakter, tetapi tidak cocok iman—sebuah keanehan). Yang lebih celaka, gejala ini terjadi pada banyak anak muda “Kristen” (Protestan atau Katolik).

Selain itu, gejala ini juga bisa terjadi pada orang yang berusia dewasa dan tua “Kristen” di mana banyak dari mereka cuek terhadap hal-hal yang bersifat doktrinal/theologi, sehingga ketika mereka diberi tahu ajaran yang benar sesuai dengan Alkitab, mereka langsung melontarkan slogan mereka yang terkenal, “Jangan menghakimi.” Di balik slogan ini, terkandung “iman” mereka yang cuek yang memandang bahwa semua ajaran Kristen dari semua aliran itu benar (relativisme doktrin). Tidak heran, lagu “Kristen” yang terkenal hari ini berbunyi, “Ku tak pandang dari gereja mana, asalkan ku bertumbuh dalam firman-Nya.” Dalam beberapa hal, perkataan ini ada benarnya, karena yang penting firman Tuhan, bukan merk/nama gereja, tetapi dalam hal lain, saya melihat gejala penyamarataan semua gereja dengan dalih “rohani”, yaitu: bertumbuh di dalam firman. Mungkinkah dari gereja X yang mengajarkan bahwa ikut Tuhan itu kaya, sukses vs dari gereja Y yang mengajarkan bahwa ikut Tuhan harus menderita sama-sama menghasilkan jemaat yang bertumbuh di dalam firman Tuhan? TIDAK mungkin. Jemaat yang dari gereja X mengakibatkan jemaat itu seolah-olah senang (dihibur) sesaat, namun akhirnya ketika penderitaan datang, jemaat tersebut langsung down imannya, sedangkan jemaat dari gereja Y mempersiapkan jemaatnya untuk siap dan kuat dalam menghadapi penderitaan, sehingga meskipun ada penderitaan, atas anugerah-Nya, jemaat ini dapat kuat menghadapi penderitaan. Lebih tajam lagi, bagi mereka yang menyanyikan lagu ini, coba ajak mereka ke gereja Protestan, apa reaksi mereka? Kalau mereka menolak, itu membuktikan bahwa mereka menyanyikan lagu tersebut hanya cocok untuk gereja kontemporer yang pop di tempat di mana lagu itu dinyanyikan dengan bersemangat.

Kalau mau dipertajam, konsep ini jelas tidak masuk akal. Mereka berteriak (secara implisit) bahwa segala sesuatu itu relatif, namun mereka meneriakkan perkataan ini dengan semangat kemutlakan. Artinya, barangsiapa yang tidak menyetujui konsep mereka ini, mereka akan marah. Aneh, bukan? Logikanya kalau mereka benar-benar seorang relativis, mereka seharusnya tidak boleh marah kalau ada orang lain yang tidak menyetujui pandangannya. Ya, itulah namanya manusia berdosa, selalu penuh dengan kontradiksi yang memalukan.


2. Perspektif Orang Kaku, Kolot, dan Otoriter: Memutlakkan Hal yang Mutlak dan Relatif (segala sesuatu itu mutlak, tidak ada yang relatif)
Jika di poin 1, ada tipe orang yang merelatifkan segala sesuatu, maka di poin ini, ada juga tipe orang yang memutlakkan segala sesuatu. Saya menyebutnya sebagai orang yang: kaku, kolot, dan otoriter. Biasanya orang yang menganut pola pikir ini adalah mayoritas (tidak semua) orang yang berusia tua, meskipun tentu tidak menutup kemungkinan ada juga orang muda yang menganut paham ini. Bagi orang ini, segala sesuatu entah itu yang terpenting, penting, bahkan tidak terlalu penting dianggap sangat penting dan mutlak. Misalnya, bagi penganut paham ini, perbedaan konsep tentang memilih tempat parkir, memilih jalan menuju suatu tujuan, atau bahkan selera makanan dengan orang lain bisa menjadi pemicu konflik yang berakibat pada pertengkaran bahkan perkelahian. Kalau bagi cewek, hal ini bisa berakibat pada sikap ngambek (bahasa gaulnya: bete).

Perbedaan komunikasi antara generasi tua dengan generasi muda juga termasuk di dalam aplikasi konsep ini. Karena terlalu berpegang ketat pada tradisi dan kebudayaan kuno dari nenek moyang, banyak generasi tua terlalu menjunjung tinggi etika sampai hal-hal yang sangat detail dan sepele. Saya TIDAK mengatakan bahwa kita tidak perlu memerhatikan etika. Yang saya soroti adalah etika jika diperhatikan sampai hal-hal yang sangat amat detail bisa menjadi sesuatu yang ekstrem, berbahaya, dan tidak bijaksana. Contoh, ada generasi tua yang mati-matian ngotot mengajarkan bahwa mengatakan “aku” itu tidak sopan dan harus diganti dengan kata “saya” atau menyebut nama sendiri. Bagi saya, menerima pernyataan ini sih tidak menjadi masalah, karena ini hal sepele, namun ketika ada orang yang memutlakkannya, lalu dengan mudahnya mencap orang lain sebagai orang yang tidak sopan hanya gara-gara mengatakan, “aku”, saya kira itu tidak bijaksana. Dia (X) bisa mencap/menghakimi orang lain itu tidak sopan hanya gara-gara mengatakan “aku”, namun kalau mau konsisten, si X juga tidak sopan karena sudah menghakimi orang lain!

Di dalam dunia Kekristenan, tipe orang ini bukan tidak mungkin dijumpai. Di dalam sejarah gereja, kita melihat bahwa gereja Barat dan Timur pecah pada tahun 1054 (dikenal dengan Great Schism) hanya gara-gara urusan sepele, beberapa di antaranya: perbedaan doktrin filioque (gereja Barat percaya bahwa Roh Kudus keluar dari Bapa dan Anak, sedangkan gereja Timur percaya bahwa Roh Kudus hanya keluar dari Bapa), perbedaan konsep selibat (gereja Barat mengharuskan selibat/larangan menikah pada semua rohaniwan tanpa kecuali, sedangkan gereja Timur mengizinkan kaum rohaniwan di bawah jenjang bishop untuk menikah), penggunaan jenggot (para imam di Barat boleh mencukur jenggot, sedangkan semua rohaniwan di Timur harus memelihara jenggot), dll.[1] Tidak berhenti di situ, setelah Dr. Martin Luther mengadakan reformasi gereja pada tahun 1517 dan pengaruh reformasi meluas, lalu bermunculanlah para reformator lain, seperti Ulrich Zwingli, John Calvin, John Knox, dll, maka Luther bertengkar dengan Zwingli hanya gara-gara berbeda konsep dalam Perjamuan Kudus. Bahkan yang lebih mengenaskan, di dalam kubu gereja Reformed, perpecahan terjadi hanya gara-gara perbedaan doktrin akhir zaman. Prof. Allen MacRae yang dahulu bersama-sama dengan Dr. J. Gresham Machen mendirikan Westminster Theological Seminary, kemudian meninggalkan Westminster Seminary dan mendirikan Faith Theological Seminary dengan kontroversinya meliputi: dispensasionalisme, “kemerdekaan Kristen” (legitimasi bagi orang Kristen untuk mempergunakan minuman beralkohol), dll.[2] Di dunia sekarang, beberapa orang Kristen khususnya hamba Tuhan dari aliran theologi X tidak mau mengundang hamba Tuhan sesama aliran theologi hanya gara-gara perbedaan konsep yang sangat sepele. Saya jadi heran, mengapa ya hamba Tuhan yang seharusnya bijaksana dalam bersikap, malah berubah menjadi kekanak-kanakan seperti ini?




IMAN KRISTEN MENYOROTI KEMUTLAKAN DAN KERELATIFAN
Jika dunia kita selalu tidak seimbang dalam menekankan kemutlakan dan kerelatifan, maka iman Kristen yang benar-benar kembali kepada Alkitab harus memiliki perspektif tersendiri mengenai kemutlakan dan kerelatifan. Iman Kristen yang Alkitabiah mengajarkan bahwa mutlakkanlah apa yang patut dimutlakkan dan relatifkanlah apa yang memang patut direlatifkan. Dengan kata lain, seperti yang dikatakan Pdt. Dr. Stephen Tong, “apa yang mutlak jangan direlatifkan, sedangkan apa yang relatif jangan dimutlakkan.” Ini berarti menempatkan kemutlakan dan kerelatifan di tempat yang seharusnya. Lalu, apa standar kita sebagai orang Kristen menempatkan kemutlakan dan kerelatifan? Jelas, firman Tuhan. Bukankah Alkitab tidak secara eksplisit mengajarkan hal ini? Ya, memang benar, tetapi dari penyelidikan implisit dari Alkitab dan mengikuti theologi orthodoks dari para rasul dan gereja mula-mula, kita dapat memilah dan memilih mana yang mutlak dan relatif entah itu dalam hal doktrin maupun aspek praktika/kehidupan sehari-hari.

Dari konsep ini, maka iman Kristen memandang kemutlakan sebagai hal-hal yang bersifat mutlak yang berpusat pada Allah dan firman-Nya, sedangkan kerelatifan sebagai hal-hal yang bersifat relatif/tidak mutlak yang bergantung pada penafsiran manusia terhadap Allah dan firman-Nya.

Dari presuposisi ini, maka kita harus membedakan mana yang mutlak dan relatif:
1. Dalam Hal Doktrin dan Theologi
Iman Kristen sejati adalah iman yang berpusat pada Allah yang berdaulat dan firman-Nya yang tak mungkin bersalah. Dari Alkitab, kita belajar poin-poin penting tentang iman Kristen yang orthodoks yang diwariskan dari para rasul: manusia itu adalah ciptaan Allah yang segambar dan serupa dengan-Nya (Kej. 1:26-27), manusia telah jatuh ke dalam dosa (Rm. 3:23), dosa manusia hanya dapat diselesaikan melalui anugerah Allah di dalam penebusan darah Anak Domba Allah, yaitu Tuhan Yesus Kristus (Yoh. 3:16; Rm. 3:24), Kristus bernatur Ilahi dan manusia (Rm. 1:3-4), Roh Kudus diutus oleh Bapa dan Anak untuk menjadi Penghibur bagi umat pilihan-Nya (Yoh. 15:26), Allah sejati adalah Allah Trinitas yaitu 3 pribadi Allah di dalam 1 esensi (kata kita di dalam Kej. 1:26; Mat. 28:19), dan Kristus akan datang kembali kedua kalinya untuk menghakimi orang yang hidup dan mati (Mat. 24:1-25:46). Ketujuh poin doktrin Kristen yang utama ini adalah doktrin pokok iman Kristen yang diwariskan dari para rasul yang harus kita pegang kuat-kuat. Karena termasuk doktrin pokok, maka doktrin ini juga dapat disebut sebagai doktrin MUTLAK dalam iman Kristen. Menyangkal ketujuh doktrin ini identik dengan penganut bidat (ajaran sesat). Namun bagi mereka yang menerima ketujuh doktrin ini, namun memiliki perbedaan doktrin akhir zaman (premillenialisme, amillenialisme, postmillenialisme, atau dispensasionalisme) atau perbedaan konsep predestinasi (predestinasi tunggal atau predestinasi ganda) atau perbedaan konsep baptisan anak (setuju atau tidak setuju), dll, itu semua merupakan doktrin-doktrin sekunder atau relatif yang TIDAK perlu diperdebatkan, lalu bermusuhan. Untuk doktrin-doktrin sekunder, belajarlah menghargai iman orang Kristen dari aliran lain, meskipun TIDAK berarti kita ikut-ikutan menyetujui iman tersebut.


2. Dalam Hal Praktika
Setelah kita berbijaksana dalam memilah dan memilih mana yang mutlak dan relatif dalam hal doktrin dan theologi, maka kita perlu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam wilayah praktika, saya membaginya (TANPA bermaksud memisahkannya) menjadi dua: praktika dalam lingkup gerejawi (ibadah, musik, dll) dan praktika dalam lingkup kehidupan sehari-hari (etika, pendidikan, dll). Karena kita sudah berbijaksana dalam memilah dan memilih mana yang mutlak dan relatif dalam hal doktrin, maka kita pun harus berbijaksana dalam memilah dan memilih mana yang mutlak dan relatif dalam hal praktika dalam gerejawi, misalnya dalam memandang ibadah. Saya melihat 2 gejala ekstrem pada gereja ketika memandang masalah ibadah: di satu sisi, ada gereja yang terlalu liar yang tidak menggunakan liturgi apa pun, semuanya berjalan semaunya sendiri (dengan dalih “Roh Kudus” bekerja dengan bebas), namun di sisi lain, ada gereja yang terlalu amat kaku dengan liturginya yang tidak dapat diganggu gugat sedikit pun. Di gereja yang kaku ini, bertepuk tangan pun sangat amat jarang, bahkan mungkin sekali suatu saat akan muncul fatwa yang menyeramkan yang menganggap bahwa bertepuk tangan dan mengangkat tangan selama memuji Tuhan itu sesat. Dalam hal musik dan lagu, ada gereja yang sangat menekankan pujian kontemporer dan menggudangkan pujian dari gereja yang lama (sebelum abad XX), sedangkan di sisi lain ada gereja yang sangat mengagungkan lagu pujian lama dan sangat sedikit sekali memasukkan lagu pujian kontemporer dengan dalih lagu pujian yang lama lebih tahan uji. Saya pribadi berpendapat bahwa memang banyak lagu pujian yang lama yang digubah sebelum abad XX memiliki isi lagu yang luar biasa agung dan berdasarkan Alkitab, namun hal ini TIDAK berarti kita sangat mengagungkan lagu pujian yang lama dan menghina lagu pujian kontemporer. Memang harus diakui banyak lagu pujian kontemporer kurang bermutu isinya dan bahkan ada yang tidak Alkitabiah, namun ini TIDAK berarti semua lagu pujian kontemporer dianggap salah semua. Saran saya: seleksilah semua lagu pujian entah itu yang lama atau kontemporer dengan standar Alkitab dan penafsirannya yang ketat.

Bagaimana dengan praktika dalam ruang lingkup sehari-hari? Bagaimana kita memandang etika dan pendidikan? Orang Kristen tentu adalah orang yang menghargai etika, karena Alkitab mengajarnya. Berkenaan dengan sopan santun, tentu orang Kristen harus sopan, artinya jangan berkata kotor, memberi salam kepada orang yang lebih tua, berterima kasih setelah diberi sesuatu oleh orang lain, berani meminta maaf kalau bersalah, dll. Hal-hal yang saya sebutkan di atas merupakan sesuatu yang mutlak, namun ada juga wilayah etika yang kurang mutlak alias relatif. Misalnya, menyebut “aku” ketika berbicara kepada orang yang lebih tua. Jika ada orang muda yang mengatakan “aku” kepada orang yang lebih tua, kita memang harus menegurnya untuk mengubah kebiasaannya ini, namun teguran tersebut hendaklah BUKAN teguran yang memaksa dan mengancam, karena konsep etika/sopan santun ini bukanlah hal yang mutlak. Kalau pun orang muda yang ditegur ini tidak mau menerima teguran ini, ya, bagi saya, biarkan saja. Apakah hanya gara-gara tidak mau mengubah kebiasaannya ini, kita langsung mengancam akan memecat dia kalau misalnya dia bekerja di perusahaan kita atau mengusir dia keluar ketika dia bertamu di rumah kita? Tentu jika kita melakukan hal-hal demikian, kita pun sebenarnya tidak sopan dengan orang tersebut (kontradiksi yang melawan dirinya sendiri). Hal yang sama juga berlaku pada dunia pendidikan. Pendidikan Kristen yang sehat dan bijaksana adalah pendidikan yang mendidik dan mengajar anak didik Kristiani dengan iman Kristen yang sehat dan bijaksana etika yang seimbang dan penting dengan cara mengarahkan para anak didik untuk terus memusatkan hidupnya hanya pada Kristus dan Alkitab sambil tetap belajar etika yang telah diuji oleh Alkitab, bukan mengajar mereka dengan tradisi dan kebudayaan serta etika yang terlalu mendetail dan ekstrem, bahkan yang melawan Alkitab. Anak dari kecil yang tidak dididik mana yang mutlak dan relatif akan mengakibatkan mereka tumbuh menjadi orang yang ekstrem: merelatifkan segala sesuatu atau mungkin memutlakan segala sesuatu (karena telah diindoktrinasi oleh orangtua mereka).




KESIMPULAN DAN TANTANGAN
Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen? Sudahkah kita dari dalam diri kita dengan bijaksana memilah dan memilih mana yang mutlak dan relatif dalam hal iman Kristen maupun praktika? Sudahkah kita menempatkan Alkitab sebagai penguji utama ketika membedakan mana yang mutlak dan relatif? Sudahkah kita berkomitmen untuk lebih menaati apa yang mutlak yang Alkitab ajarkan ketimbang apa yang dunia ajarkan (meskipun hal ini TIDAK berarti semua ajaran dunia itu salah)? Biarlah Roh Kudus makin membimbing kita untuk makin bijaksana dalam bersikap terhadap segala sesuatu, sehingga kita bukan menjadi seorang yang ekstrem, kaku, kolot, dan paranoid. Amin. Soli Deo Gloria.



Catatan Kaki:
[1] Yakub Tri Handoko, Sejarah Gereja Umum (Diktat Kuliah) (Surabaya: Sekolah Theologi Awam Reformed, 2010), hlm. 55-56.
[2] John M. Frame, Cornelius Van Til: Suatu Analisis Terhadap Pemikirannya, terj. Irwan Tjulianto (Surabaya: Momentum, 2002), hlm. 26.

No comments: