19 March 2010

ON TRUE LOVE-3: Kasih dan Pertimbangan (Pdt. Joshua Lie, Ph.D.--Cand.)

Bagian-3: Kasih dan Pertimbangan



“Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia keatas bukit dan setelah Ia duduk….”
(Mat. 5:43-48)



Khotbah di bukit merupakan pengajaran Tuhan Yesus yang menyentak. Bukan hanya menyentak orang banyak yang mendengarkan-Nya saat itu, namun menyentak sepanjang sejarah umat manusia. Bukan pula sekadar apa yang disampaikan-Nya menyentak umat manusia, namun peristiwanya sama menyentak pendengarnya. Jikalau Musa menyampaikan hukum TUHAN, Yesus menyampaikan penggenapan hukum TUHAN kepada umat manusia.

Salah satu perkataan-Nya yang menyentak adalah tentang kasih. Yesus bukan mengulang-ulang perintah tentang kasih, sebaliknya Ia menyampaikan perintah kasih dalam penggenapannya. Inilah perintah-Nya supaya kita mengasihi seperti Bapa di surga mengasihi. Kita mengasihi bukan untuk mendapatkan balasannya. “Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu apakah upahmu?” Mengasihi bahkan kepada musuh dan orang yang menganiaya kita.

Suara itu berkumandang di bukit. Suara itu berkumandang lagi bagi kita saat ini. Hati kita bertanya, apa dasarnya kita mengasihi seperti yang dinyatakan Tuhan Yesus ini? Inilah dasarnya, “Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik, dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (5:45).

Hati kita bertanya lagi, apakah kasih tidak perlu ada pertimbangan? Apakah kasih tidak memperhitungkan jahat dan baik, benar dan tidak benar?

Sebagian pemikir Kristen menyatakan bahwa inilah kasih agape. Kasih yang “equal regards,” kasih yang mempertimbangkan semua orang patut diperlakukan sama. Kasih kepada semua orang tanpa memandang muka. Kasih sebagaimana Bapa di sorga, dinyatakan kepada semua orang, baik orang yang jahat dan orang baik, baik orang yang adil (just) maupun orang yang tidak adil (unjust).

Sebagian pemikir Kristen lainnya berpendapat kasih tetap ada pertimbangannya. Kasih kepada orang tua kita sendiri bagaimanapun berbeda dengan kasih kepada semua orang tua lainnya. Demikian pula kasih kepada suami atau istri sendiri, jelas berbeda dengan kasih kepada laki-laki atau perempuan lainnya. Menurut mereka bukankah TUHAN juga membedakan antara domba dan kambing.

Kalau kita mengasihi tanpa pertimbangan, maka kasih kita sebenarnya adalah kasih yang impersonal, tidak bersifat pribadi. Kita menganggap semua orang sama, maka kita tidak memperlakukan mereka sebagai satu pribadi.

Bagaimana kita sepatutnya memahami ayat 45?
1. “Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik, dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.”
Apa artinya kita mengasihi bahkan terhadap musuh? Terhadap orang-orang yang tidak adil dan tidak benar? Kita banyak kali terpaku pada obyek kasih, yaitu orang benar dan tidak benar, orang yang adil dan tidak adil. Kita mengabaikan tindakan Bapa di sorga, yaitu menerbitkan matahari dan menurunkan hujan. Bagi kita, terbitnya matahari setiap pagi dan hujan yang turun pada musimnya, merupakan hal yang biasa. Padahal tidaklah demikian bagi kehidupan kita. Bayangkan kita bangun setelah melewati malam yang gelap, tanpa matahari yang bersinar. Bayangkan pula sepanjang tahun demi tahun tanpa hujan yang turun. Demikianlah yang ditegaskan dalam Perjanjian Lama.

“Jikalau kamu hidup menurut ketetapan-Ku dan tetap berpegang pada perintah-Ku serta melakukannya, maka Aku akan memberi kamu hujan pada masanya, sehingga tanah itu memberi hasilnya dan pohon-pohonan di ladangmu akan memberi buahnya.” (Im. 26:3-4)

Hujan merupakan keniscayaan bagi bangsa Israel sebagai bangsa agraris. Tanpa hujan tidak ada kehidupan. Hujan sekaligus yang terpenting, menyatakan kasih dan kebaikan TUHAN. Hujan tanda berkat dalam ketaatan umat kepada TUHAN. Hujan tanda keberhasilan selanjutnya, karena tanah akan menghasilkan buahnya.

Maka “menurunkan hujan” bukanlah sekadar pekerjaan TUHAN yang biasa saja. “Menurunkan hujan” adalah tanda bahwa TUHANlah pencipta, penguasa dan sekaligus pemelihara dunia buatan tangan-Nya. Bahasa moderen kita menjauhkan kita dari kesadaran ini. Terbitnya matahari dan turunnya hujan dipahami hanya dengan bahasa keilmuan. Kita dibuat lalai mengagumi kasih karunia Pencipta kita.

Maka sekalipun TUHAN menerbitkan matahari dan menurunkan hujan bagi semua orang, tidak berarti tindakannya ini boleh dipahami ala kadarnya saja. Tindakan pemeliharaan TUHAN bagi orang jahat dan orang yang tidak adil tidak hanya membuat mereka menikmati segarnya air hujan dan cerahnya sinar matahari, namun sekaligus merupakan tanda peringatan. Peringatan yang membuat mereka tidak dapat melarikan diri dari tanggung jawab atas ketidak adilan mereka, atas kejahatan mereka di hadapan TUHAN Pencipta langit dan bumi.

Hujan dan matahari diterima semua orang tanpa memandang muka. Namun kenikmatannya tentu berbeda. Anak-anak Bapa di sorga bukan hanya menerima hujan dan matahari namun dengan pengakuan dan pengucapan syukur kepada si Pemberi, mereka menikmati kelimpahan-Nya. Mereka yang “take-it-for-granted” mendapatkan hujan dan matahari namun kehilangan kelimpahan-Nya.


2. “Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik, dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.”
Bagaimana pula kita mengasihi tanpa mengharapkan imbalannya? Mari kita perhatikan kembali apa yang dikatakan Perjanjian Lama tentang tindakan menerbitkan matahari dan menurunkan hujan.

Perjanjian Lama menggambarkan kedua tindakan TUHAN ini: “menerbitkan matahari dan menurunkan hujan” berkaitan dengan gambaran seorang raja yang berkenan kepada TUHAN.

“Kiranya lanjut umurnya selama ada matahari, dan selama ada bulan, turun-temurun! Kiranya ia seperti hujan yang turun ke atas padang rumput, seperti dirus hujan yang menggenangi bumi! Kiranya keadilan berkembang dalam zamannya dan damai sejahtera berlimpah, sampai tidak ada lagi bulan!” (Mzm. 72:5-7)

Mazmur 72 adalah Mazmur Salomo. Mazmur pengangkatan seorang raja yang memulai pemerintahan dengan permohonan kepada TUHAN untuk mengaruniakan kepada raja keadilan dan kebenaran. Jelaslah bahwa bukan raja yang mampu menerbitkan matahari dan menurunkan hujan. Demikian pula matahari dan hujan bukanlah suatu upah bagi kebajikan. Matahari dan hujan merupakan lambang bagi keadilan dan kebenaran yang dijalankan raja sesuai dengan keadilan dan kebenaran TUHAN. Keadilan dan kebenaran bagi seluruh rakyat, tidak memandang muka orang kaya dan orang miskin. Keadilan dan kebenarannya memancar untuk yang tertindas demikian pula untuk yang menindas.

Inilah panggilan kita mengasihi sebagaimana bapa di sorga. Kasih yang digenapi oleh kedatangan Yesus Kristus, adalah kasih yang menyatakan kekuatannya. Bukan kasih yang tersungkur tak berdaya di hadapan orang jahat dan orang yang tidak adil. Bukan kasih yang “lelah” di hadapan orang-orang yang tidak peduli.

Kasih yang digenapi oleh Tuhan Yesus bukan soal pertama-tama soal obyek yang dikasihi, melainkan soal keunikan dan kesejatian kasih itu. Kasih di dalam Yesus Kristus adalah kasih yang sanggup menghadapi orang benar dan tidak benar, orang jahat dan orang yang baik. Berbahagialah kita yang menerima kasih itu dalam keadilan dan kebenaran-Nya, sehingga kita boleh mengalami kelimpahannya dan menyalurkannya kepada segala macam orang di dunia ini. Sebaliknya mereka yang telah beroleh kebaikan Tuhan namun tetap menolaknya dalam kejahatan, mereka tidak dapat mengelak ketika keadilan Tuhan tiba.

Selamat mengasihi dengan kasih yang digenapi oleh Yesus Kristus di kayu salib!



Sumber:
http://www.wkristenonline.org/index.php?option=com_content&view=article&id=28:kasih-dan-pertimbangan&catid=25:on-true-love&Itemid=39

No comments: