24 March 2010

Eksposisi 1 Korintus 4:10-13 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 4:10-13

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 4:10-13



Dalam bagian sebelumnya (4:8-9) Paulus telah menunjukkan bahwa kesombongan jemaat Korintus merupakan sebuah ironi, karena keadaan mereka sekarang adalah berkat pelayanan dari para rasul yang “hina”. Kini di ayat 10-13 ia menjelaskan secara lebih rinci tentang kehinaan yang dia maksud. Ayat 10 memaparkan kontras antara para rasul dan jemaat Korintus. Ayat 11-12a membahas tentang kehinaan para rasul yang terlihat dari beragam penderitaan yang mereka alami. Penderitaan semacam ini menurut kacamata dunia waktu itu memang dpandang sebagai kelemahan, walaupun di dalam Kristus semua itu justru menunjukkan kekuatan. Ayat 12b-13a kehinaan para rasul kembali dibahas oleh Paulus, tetapi kali ini terlihat dari cara mereka menghadapi penderitaan. Menurut budaya waktu itu sikap lunak yang mereka tunjukkan kepada orang-orang yang menentang mereka dapat dilihat sebagai kelemahan. Pada bagian terakhir, yaitu ayat 13b, Paulus menutup dengan menekankan kembali tentang betapa hinanya posisi para rasul menurut ukuran duniawi waktu itu.


Kontras antara para rasul dan jemaat Korintus (ay. 10)
Sama seperti di ayat 8-9, di ayat 10 Paulus tetap memakai gaya bahasa ironis. Hal-hal positif yang dia kemukakan tentang jemaat Korintus sebenarnya memang benar jika dilihat dari sudut pandang injil. Sayangnya, jemaat Korintus sedang berusaha merendahkan injil dan mencari jati diri melalui hikmat dunia. Mereka berpikir bahwa hikmat itu akan membuat mereka berhikmat, kuat dan mulia, padahal semua ini sebelumnya sudah mereka dapatkan dari injil. Keadaan mereka sekarang justru kebalikan dari semuanya itu.

Di ayat 10a Paulus menyebut para rasul sebagai orang yang bodoh karena Kristus, sedangkan jemaat Korintus adalah arif (lit. “berhikmat”) di dalam Kristus. Pernyataan ini jelas merupakan sebuah ironi. Menurut ukuran waktu itu Paulus bukanlah tipikal orang yang bodoh. Dia menguasai berbagai filsafat Yunani dan belajar Taurat di bawah Rabi Gamaliel yang tersohor. Surat-suratnya yang sangat mendalam menunjukkan betapa pikirannya sangat mendalam (bdk. 2Ptr. 3:16). Bagaimanapun, Paulus tetap mengaku sebagai orang bodoh. Ketika dia menerima “kebodohan injil” (1:18, 21, 23), maka dunia akan menganggap dia bodoh juga, tetapi dia tetap tidak peduli. Di pasal 3:18 dia bahkan menasehati jemaat yang merasa berhikmat menurut ukuran dunia untuk menjadi bodoh.

Kebodohan ini adalah karena Kristus (LAI:TB). Semua versi Inggris memilih “untuk atau demi Kristus”. Terjemahan yang terakhir ini tampaknya lebih tepat, meskipun dari sisi tata bahasa terjemahan LAI:TB juga memungkinkan. Para rasul rela dianggap bodoh oleh dunia demi Kristus. Meminjam istilah Paulus di tempat lain, dia mau menganggap semua kelebihan duniawi sebagai sampah supaya dia memperoleh Kristus (Flp. 3:8).

Di sisi lain Paulus menyindir jemaat Korintus yang menganggap diri berhikmat. Menurut ukuran dunia mereka sebenarnya tidak banyak yang berhikmat (1:26a), tetapi mereka malah merasa berhikmat menurut dunia. Mereka seharusnya menyadari bahwa posisi mereka di dalam Kristus (4:10a) telah membuat mereka menjadi berhikmat, karena injil adalah hikmat Allah (1:24, 27a; 2:6-7). Mereka bahkan dipilih untuk memalukan orang-orang yang berhikmat (1:27a). Ironisnya, mereka justru meninggalkan injil dan mencoba menjadi berhikmat melalui ukuran dunia.

Kontras selanjutnya di ayat 10b adalah “lemah – kuat”. Menurut ukuran dunia waktu itu Paulus dulu adalah orang yang kuat atau berpengaruh (Kis. 8:1-3; 9:1-2; Flp. 3:4-6). Ketika dia memutuskan untuk menerima dan memberitakan injil, maka dia dikategorikan oleh dunia sebagai orang yang lemah. Dia sendiri mengakui kelemahannya dalam memberitakan injil jika diukur dari keahlian retorika waktu itu (2:3). Bagaimanapun, dia tetap menonjolkan kelemahan itu supaya iman jemaat tidak didasarkan pada hikmat manusia tetapi pada kekuatan Allah (2:5). Sama seperti Yesus yang disalibkan karena kelemahan tetapi kemudian dibangkitkan dalam kuasa, demikian pula Paulus meyakini hal yang sama akan terjadi atas dia (2Kor. 13:4). Dengan kata lain, kelemahan Paulus justru semakin menunjukkan kekuatan Kristus (2Kor. 12:9). Ketika dia lemah, dia makin kuat (2Kor. 12:10).

Di sisi lain jemaat Korintus menurut ukuran dunia sebenarnya tidak banyak yang punya pengaruh (1:26b). Sekarang mereka merasa diri kuat karena telah menerima hikmat dunia. Situasi ini tentu saja sangat ironis. Mereka seharusnya memahami bahwa kekuatan yang sesungguhnya terletak pada injil, karena injil adalah kekuatan Allah (1Kor. 1:24; bdk. Rm. 1:16-17).

Kontras terakhir disinggung Paulus di ayat 10c. Para rasul adalah hina, sedangkan jemaat Korintus mulia. Perubahan urutan dari “kami-kamu” (ay. 10a-b) menjadi “kamu-kami” (ay. 10c) mungkin dimaksudkan sebagai persiapan ke ayat 11 yang hanya terfokus pada diri para rasul. Walaupun Paulus secara duniawi adalah orang yang terpandang, namun dia mengakui kehinaannya di dalam Kristus. Sebaliknya jemaat Korintus yang tidak terpandang (1:26c) malah menyombongkan diri. Mereka seharusnya mengetahui bahwa Allah memilih orang-orang yang tidak terpandang menurut dunia ini untuk memalukan orangorang yang mulia (1:28). Mereka juga perlu mengerti bahwa Allah telah menyiapkan kemuliaan bagi mereka yang menerima injil (2:7).


Kehinaan para rasul yang terlihat dari beragam penderitaan yang mereka alami (ay. 11-12a)
Ungkapan “sampai pada saat ini” (ay. 11a) menunjukkan bahwa semua penderitaan yang Paulus alami merupakan pengalaman yang terus-menerus dia miliki. Pemunculan ulang ungkapan ini di ayat 13c turut memberi penekanan tentang ha ini. Penekanan seperti ini perlu ditunjukkan Paulus karena jemaat Korintus sudah merasa diri kaya, kenyang dan menjadi raja (4:8).
Jenis penderitaan yang disebut di ayat 11-12a bukanlah daftar yang lengkap. Jika kita bandingkan dengan 2 Korintus 11:23-28, maka kita akan mengetahui bahwa penderitaan Paulus jauh lebih banyak lagi. Semua penderitaan ini tampak bertolak belakang dengan kehidupan para ahli retorika waktu itu. Mereka adalah orang-orang yang mapan secara materi dan dihormati secara sosial. Apa yang menimpa Paulus di mata jemaat Korintus semakin mempertegas kehinaan Paulus sebagai seorang pengkhotbah. Keengganan mereka untuk menghormati Paulus maupun menyokong pelayanannya secara materi (1Kor. 9:1-3, 15; 2Kor. 11:7-9) sangat mungkin dipicu oleh profil Paulus sebagai pengkhotbah rendahan menurut ukuran waktu itu.

Paulus menceritakan bahwa para rasul lapar dan haus (4:11a). Keadaan ini berbeda dengan keadaan jemaat Korintus yang telah merasa kenyang (4:8). Secara jasmani Paulus memang kerap mengalami kekurangan sampai tidak bisa makan (2Kor. 11:27; Flp. 4:11-12), namun secara rohani dia dikenyangkan oleh injil. Sebaliknya, jemaat Korintus yang merasa kenyang secara jasmani maupun rohani sebenarnya belum seberapa kenyang karena masih tidak dapat mengkonsumsi makanan keras (3:2; 4:8)..

Penderitaan lain yang dialami para rasul adalah ketelanjangan (4:11b). Kata Yunani gumniteuw memiliki arti yang sangat luas, dari telanjang bulat sampai kekurangan pakaian luar. Menurut asal-usul kata (etimologi), kata ini mula-mula dipakai dalam konteks militer untuk mereka yang tidak berpakaian perang dengan lengkap. Dalam perkembangan selanjutnya kata ini dapat dipakai dalam konteks lain di luar kemiliteran. Terlepas dari arti yang spesifik dari kata ini, entah benar-benar tidak memiliki pakaian apa pun atau sekadar kekurangan pakaian luar, kita tetap dapat membayangkan rasa dingin yang dialami oleh para rasul (bdk. Ayb. 24:7).

Kekurangan pakaian waktu itu juga memiliki konotasi sosial yang rendah. Orang-orang yang berasal dari kalangan terhormat dan kaya biasanya memiliki pakaian yang berlapis-lapis, sedangkan mereka yang secara sosial berada di bawah biasanya memakai pakaian dalam jumlah yang sedikit. Tidak heran, Alkitab sering kali memakai gambaran “ketelanjangan” untuk menunjukkan status yang rendah atau dipermalukan (Ul. 28:48; Ayb. 12:17; Yes. 20:3-4; Hos. 2:3).

Para rasul juga mengalami pemukulan (4:11c). Sama seperti kata gumniteuw (ay. 11b), kata dasar kolafizw di bagian ini juga memiliki jangkauan arti yang luas. Kata ini dapat berarti menyerang secara verbal maupun fisik. Berdasarkan pemunculan kata “aniaya” di ayat 12, para penafsir biasanya memahami kata kolafizw dalam konteks ini secara lebih serius, mencakup kekerasan secara fisik. Pemunculan kata kolafizw di Alkitab juga menunjukkan bahwa kekerasan fisik merupapakan arti yang umum dari kata ini (Mat. 26:67; Mrk. 14:65; 1Ptr. 2:20). Paulus memang sering mengalami sesahan, deraan, pukulan maupun pelemparan batu selama dia melayani (2Kor. 11:24-25; bdk. Kis. 16:22-23; 21:32; 22:24-25).

Penderitaan lain yang dialami oleh para rasul adalah hidup mengembara (4:11d). Sebagai seorang pengkhotbah keliling, para rasul tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Sama seperti Yesus yang tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala-Nya (Mat. 8:20//Luk. 9:58), demikian pula para rasul terus mengembara. Bagi mereka kehidupan seperti ini bukanlah suatu masalah karena kewarganegaraan mereka adalah di surga (Flp. 4:20a). Di dunia ini mereka hanyalah seperti orang asing atau pendatang (Ibr. 11:13; 1Ptr. 1:17).

Penderitaan terakhir yang disebut adalah bekerja keras dengan tangan sendiri (4:12a). Paulus telah memutuskan untuk tidak menerima tunjangan apa pun dari jemat Korintus (1Kor. 9:1-18; 2Kor. 11:7-8). Dia bekerja sebagai pembuat tenda untuk memenuhi kebutuhannya maupun orang lain (Kis. 18:3). Pekerjaan semacam ini termasuk pekerjaan rendahan dan sangat menguras tenaga (1Tes 2:9), karena itu di 1 Korintus 4:12a Paulus menambahkan kata kopiaw yang menyiratkan makna kerja dengan keras, berpeluh atau letih (15:10; 16:16; bdk. Mat. 11;28; Luk. 5:5; Yoh. 4:6; Rm. 16:6, 12; Gal. 4:11; Ef. 4:28; Flp. 2:16; Kol. 1:29; 1Tes. 5:12; 1Tim. 4:10; 5:17; 2Tim 2:6; Why. 2:3).


Kehinaan para rasul yang terlihat dari cara mereka meresponi penderitaan yang mereka alami (Ayb.. 12b-13a)
Paulus tidak hanya berhenti pada beragam penderitaan yang menimpa para rasul, namun dia selanjutnya menjelaskan bagaimana para rasul meresponi semua itu. Menurut budaya waktu itu respons para rasul di sini – memberkati, sabar dan menjawab dengan ramah – merupakan sikap yang menunjukkan kelemahan dan ketidakberdayaan. Orang yang kuat adalah mereka yang berani menentang para penentangnya. Lemah-lembut adalah kelemahan, mengalah adalah kekalahan. Di mata Paulus, respons para rasul justru adalah kemenangan, karena sikap inilah yang juga ditunjukkan oleh Kristus (Luk. 6:27-28). Menderita bagi injil merupakan kebahagiaan (Mat. 5:9-12; Luk. 6:20-23), sekaligus kasih karunia bagi orang percaya (Flp. 1:29; 1Ptr. 2:19).

Di ayat 12b Paulus menyebut kata “memberkati” (eulogew). Secara hurufiah kata ini berarti “mengatakan sesuatu yang baik”. Berdasarkan kontras antara eulogew dan kataraomai (“mengutuk”) di Roma 12:14, kita sebaiknya menafsirkan eulogew sebagai “memberkati”. Eulogew berarti mengharapkan hal-hal yang baik terjadi atas orang lain. Contoh yang paling jelas tentang sikap ini adalah doa Yesus di atas salib agar para musuhnya diampuni oleh Bapa karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan (Luk. 23:34).

Respons yang kedua adalah sabar (ay. 12c). Sabar di sini bukanlah sekadar sikap pasrah karena tidak ada kekuatan untuk melawan atau melarikan diri dari tekanan. Sikap “sabar” (anecomai) muncul karena dorongan kasih, bukan dari keterpaksaan. Kata ini beberapa kali dihubungkan dengan kasih atau pengampunan (Ef. 4:2; Kol. 3:13). Kata ini juga tidak bermakna pasif (sekadar menerima). Kata ini menunjukkan kemauan untuk “bertahan” (ASV/NIV/NASB/RSV) atau “menderita” (KJV), walaupun ada peluang untuk melawan atau melarikan diri (bdk. Mat. 17:17//Mrk. 9:19//Luk. 9:41; 2Tes. 1:4).

Respons berikutnya adalah menjawab dengan ramah (ay. 13a). Kata parakalew yang dipakai di bagian ini cukup sulit untuk diterjemahkan, karena kata ini memiliki arti yang beragam. Tidak heran para penerjemah dalam hal ini memberikan usulan yang berbeda, misalnya “memohon dengan sangat” (ASV/YLT), “berbicara dengan manis” (NIV/RSV) atau “mendamaikan” (RSV/NASB). Pemunculan kata di surat 1 Korintus juga tidak terlalu banyak membantu, karena kata ini dipakai dalam arti “menasehati” (1:10; 4:16), “memberi kekuatan/penghiburan” (14:31), “mendesak” (16:12) maupun “memohon” (16:15). Berdasarkan konteks pasal 4, di sini makna parakalew tampaknya lebih mengarah pada usaha Paulus untuk mendamaikan dirinya dengan jemaat Korintus. Dia ingin agar dia dan jemaat memiliki sikap yang sama (4:16). Jadi, parakalew di ayat 13a sebaiknya diterjemahkan “berdamai”.


Konklusi: menurut ukuran dunia, para rasul tidak berharga sama sekali (Ayb.. 13b)
Di bagian ini Paulus menegaskan kembali tentang kerendahan atau kehinaan para rasul. Dia menggambarkan para rasul sebagai sampah dan kotoran. Kata “menjadi” (ginomai) menyiratkan bahwa mereka bukan hanya diperlakukan seperti sampah atau kotoran, tetapi mereka memang menjadi sampah! Tense aorist yang dipakai (egenhqhmen) turut mempertegas ide tentang kesungguhan ini.

Kata “sampah” (perikaqarma) dan “kotoran” (periyhma) memiliki arti yang sangat mirip. Keduanya sama-sama merujuk pada sesuatu yang tidak berharga dan layak dibuang, baik debu dari tanah (perikaqarma) atau kotoran dari tubuh (periyhma). Pemakaian dua kata ini secara bersamaan bertujuan untuk menekankan betapa hinanya para rasul. Walaupun kata Yunani yang dipakai berbeda, namun ide yang disampaikan Paulus di sini sangat mungkin sama dengan Ratapan 3:45 “kami Kaujadikan kotor dan keji di antara bangsa-bangsa”, yaitu kehinaan. Penggunaan kata “dunia” dan “segala sesuatu” turut memperjelas kehinaan para rasul. Mereka benar-benar adalah yang paling hina (bdk. 4:9).

Sebagian penafsir berpendapat bahwa di ayat 13b Paulus tidak hanya memikirkan kotoran atau sampah secara umum. Ia sedang menampilkan para rasul sebagai penjahat yang layak untuk dihukum demi ketentraman suatu kota. Hal ini didasarkan pada penggunaan kata perikaqarma di Amsal 21:18. Dalam budaya kuno memang sering dijumpai sebuah tradisi tentang upaya penduduk desa menghentikan musibah di desa mereka dengan cara mengorbankan seseorang yang dianggap sebagai penyebab masalah. Orang yang dipilih biasanya adalah yang paling jahat. Orang ini selanjutnya dihukum mati di hadapan semua penduduk dan sebelum dia dihukum mati orang itu harus mengucapkan berkat untuk penduduk tersebut. Gambaran seperti ini tampaknya cocok dengan konteks 1 Korintus 4. Para rasul menjadi tontonan semua orang (4:9) dan merek amengucapkan berkat ketika dicaci-maki. Selain itu, semua ini dilakukan oleh para rasul demi kebaikan jemaat Korintus.


Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 14 September 2008

No comments: