07 December 2008

Matius 12:1-15: IMAN DAN HUKUM-1 (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 01 Oktober 2006

Iman & Hukum-1
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 12:1-15



Pendahuluan
Pada dasarnya manusia di dunia hidupnya pasti diikat atau terikat dengan hukum. Pertanyaannya adalah bagaimana kita seharusnya melihat aspek hukum dalam kehidupan kita? Ada orang berpendapat bahwa hukum adalah salah satu sub bidang dari suatu budaya demikian juga dengan iman. Hari ini kita menjumpai banyak buku-buku sekuler dan pendidikan modern yang mengajarkan salah, yakni meletakkan budaya di posisi paling atas dan iman diletakkan di bawah budaya. Alkitab dengan tegas menyatakan iman haruslah mengontrol budaya dan semua sub bidang yang ada di bawahnya. Konsep ini sangat jelas dimengerti dan diajarkan oleh teologi Reformed yang menyebutnya sebagai cultural mandate. Manusia harus kembali pada Firman, kebenaran yang sejati maka dengan kacamata iman yang benar barulah kita dapat memahami budaya dan semua aspeknya dengan benar.
Hari ini, dunia masuk dalam suatu budaya yang disebut dengan pop culture maka semua aspek yang ada di dunia, seperti musik, arsitektur, bahasa, tradisi, cara berpakaian, dan lain-lain haruslah berdasarkan budaya pop yang sedang berlaku saat itu. Tugas kita sebagai anak Tuhan yang telah dibukakan dan mengerti kebenaran Firman untuk mengkritisi budaya pop yang salah, kita harus berani mengatakan kebenaran di tengah-tengah dunia yang rusak moral. Hal itu tidaklah mudah, banyak tantangan yang harus dihadapi dan kita harus siap dengan segala resikonya. Namun tugas orang Kristen haruslah menjadi mercusuar yang menyinari kegelapan. Kristus sendiri harus banyak mengalami tantangan ketika Dia datang ke dunia untuk menerobos budaya. Hal ini dapat kita baca dalam Injil Matius yang kita renungkan hari ini – Kristus berdebat panjang dengan orang Farisi dan perdebatan itu diakhiri dengan mereka hendak membunuh Yesus dan Tuhan Yesus yang mengetahui maksud mereka lalu menyingkir dari sana (Mat. 12:14-15). Untuk sementara waktu, sepertinya Kristus kalah melawan budaya Yahudi yang sudah established dan keras dan harus diakhiri dengan naiknya Tuhan Yesus ke atas salib. Namun Tuhan kita adalah Tuhan yang hidup, hal ini dibuktikan Ia bangkit pada hari ketiga; Tuhan Yesus keluar sebagai pemenang maka kuasa kebangkitan mengkoreksi seluruh budaya.
Sejarah juga telah membuktikan budaya Kristen pada awal abad pertama meski minoritas telah menenggelamkan seluruh kebudayaan Yunani, kebudayaan Mesir, kebudayaan Timur Tengah tenggelam. Sungguh amatlah disayangkan, Kekristenan gagal mempertahankan hak kesulungan. Pada abad 10, Kekristenan mulai declined, Kekristenan menggeser prinsip otoritas Firman dan berkompromi dengan prinsip dunia maka saat itu mulai terjadi kerusakan kultur dan terjadilah perang salib, orang Kristen memerangi kaum muslim. Itu menjadi sejarah terburuk yang sampai hari ini selalu diingat dunia. Kebudayaan Kristen menjadi merosot. Kebudayaan Yunani yang tadinya dikubur mulai digali kembali, pemikiran filsafat Aristotle dengan konsep humanismenya mulai menguasai dunia. Di Eropa muncul suatu gerakan humanisme yang dikenal dengan gerakan renaissance. Puji Tuhan, Tuhan memunculkan seorang bernama John Calvin yang adalah seorang ahli hukum tapi ia sangat memahami kebenaran Firman menyadarkan orang untuk kembali pada budaya Kristen.
Latar belakang pendidikan Calvin adalah hukum maka dia sangat memahami semua hal tentang hukum dalam seluruh tatanan humanisme. Ketika Calvin berada di Geneva, ia mulai membandingkan konsep hukum Yunani dengan konsep hukum dalam Kekristenan dan dari ia menemukan suatu hal penting, yaitu hukum sudah menjadi tuan maka hukum harus dikembalikan ke tempat yang tepat. Calvin melihat hukum hanyalah suatu aturan yang bersifat diam, the silence magistrate akan tetapi meski bersifat diam, the silence magistrate ini tidak boleh dilepaskan dari the living magistrate, yaitu para pelaku, para pemimpin dan penegak hukum. Merupakan suatu kesalahan fatal kalau hukum dikunci di dalam diri hukum itu sendiri dimana hukum itu seolah-olah mempunyai otoritas besar padahal hukum itu sendiri tumpul karena ia bisu. Konsep ini tidak dipahami oleh dunia akibatnya orang mengalami kesulitan dalam menjalankan hukum tersebut di tengah-tengah budaya. Orang-orang Yahudi sangat menekankan hukum dan mencari kesalahan orang lain melalui hukum. Dengan hukum, mereka mencari-cari kesalahan Tuhan Yesus dan dengan alasan hukum, mereka menjebak Tuhan Yesus.
Perhatikan, perdebatan yang terjadi antara Tuhan Yesus dengan orang Farisi ini bukan sekedar perdebatan biasa yang memperdebatkan tentan masalah Sabat. Tidak! Dari perdebatan ini kita dapat melihat bagaimana orang Yahudi menginterpretasi hukum Sabat, hukum yang sifatnya diam, silence magistrate yang dilepaskan dari the living magistrate. Tuhan Yesus yang adalah the living law, Tuhan atas hukum dan sabat datang ke depan mereka namun mereka tidak mengenal Dia. Hari inipun sadar atau tidak sadar, orang seringkali terjepit dalam kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh orang Farisi dan ahli taurat, yakni terjebak dalam hukum-hukum tertulis dan lupa kalau masih ada hukum lain yang lebih dari sekedar hukum tertulis, yaitu Kristus, the living law.
Orang seingkali memakai setiap ayat yang tercantum dalam aturan hukum tersebut dan kemudian menginterpretasinya lalu orang merasa diri yang paling benar akibatnya dapatlah dibayangkan yang ada hanya kekacauan dan perselisihan; orang mempermainkan hukum untuk kepentingan diri. Perhatikan, silence magistrate tidak boleh dilepaskan dari the living magistrate. Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa orang sulit mengkaitkan antara the silence magistrate dengan the living magitrate?
Pertama, manusia bersifat dualisme antara legalisme dan antinomianisme. Pertama kali Tuhan memberikan hukum Taurat pada manusia maka manusia langsung mau menjebakkan diri masuk dalam aspek legalisme; manusia memegang hukum Taurat tapi melepaskan Allah yang menciptakan hukum Taurat. Hukum Taurat disusun sedemikian rupa menjadi 600 lebih aturan tertulis dan setiap orang Yahudi dituntut untuk hafal dan menjalankannya bahkan jika ada satu hukum yang dilanggar maka orang yang melanggar tersebut akan menerima hukuman. Adalah kesalahan fatal, orang Yahudi merasa dengan menjalankan seluruh hukum Taurat berarti ia sudah beribadah dan bertemu Tuhan. Ingat, hukum bukanlah Tuhan. Hukum yang bersifat silence magistrate diinterpretasi manusia lalu ia ditaruh dibawah manusia maka ini berarti manusia yang lebih tinggi dari hukum namun ironisnya, manusia harus taat pada hukum yang telah diinterpretasi menurut kehendak manusia. Pertanyaannya sekarang adalah kalau ada orang lain menginterpretasi berbeda maka hukum tersebut berubah ataukah tetap? Fakta membuktikan adanya perubahan pemimpim maka hukum yang diam tersebut yang seharusnya tidak berubah akan turut berubah pula. Orang tidak sadar bahwa hidup yang diikat oleh hukum akan mencelakan diri sendiri. Cobalah anda membuat suatu peraturan atau jadual kegiatan anda tiap jam selama satu minggu dan hiduplah sesuai dengan aturan dan jam yang anda buat tersebut dan tidak boleh ada satu detikpun dari yang dilanggar maka setelah satu minggu apa yang dapat anda simpulkan? Hidup manusia tidak ubahnya seperi sebuah mesin berjalan.
Tuhan Yesus menentang keras konsep legalisme (Mat. 12:1-14) dengan mempertanyakan pada orang Yahudi, yaitu jika kamu mempunyai seekor domba dan domba itu terjatuh ke dalam lobang pada hari Sabat, tidakkah kamu akan menangkapnya dan mengeluarkannya? Tuhan Yesus tahu orang Yahudi pasti lebih memilih domba dan melanggar hukum karena sudah menjadi sifat orang Yahudi yang tidak mau dirugikan. Di satu sisi kita melihat, legalisme murni tidak mungkin dijalankan maka muncul suatu kelompok yang menamakan diri sebagai kelompok antinomian menyatakan diri untuk tidak taat pada hukum. Setelah perang dunia kedua, manusia berubah menjadi sangat curiga dan tidak suka dengan hukum dan semua peraturan yang ada. Pada saat yang sama muncul pula tokoh-tokoh liberal yang memaparkan konsep antinomian, mereka juga kembali mengajarkan konsep filsafat hedonisme, yaitu manusia hidup untuk nikmat maka kalau manusia dikunci oleh suatu peraturan yang membuat hidup manusia tidak nikmat maka untuk apa manusia hidup. Muncul juga tokoh yang bernama John S. Mill yang mengajarkan konsep utilitarian- isme - etika atau hukum haruslah sesuai dan menunjang kenikmatan hidup. Dari sini muncul suatu kesimpulan kalau hukum tersebut menyengsarakan manusia maka segala macam bentuk hukum yang mengikat harus dibuang.
Celakanya setiap manusia berdosa mempunyai jiwa dualisme dan tidak mempunyai standar sama. Untuk sesuatu yang dikenakan pada dirinya sendiri, orang lebih suka antinomian tetapi sebaliknya, kalau untuk orang lain, ia ingin supaya orang lain menjalankan legalisme. Sebagai contoh, seorang murid tidak suka dengan aturan sekolah tetapi seorang guru pasti menginginkan muridnya untuk mentaati peraturan sekolah akan tetapi kalau dia mau jujur sesungguhnya, seorang guru juga tidak suka kalau ada peraturan dikenakan atas dirinya. Inilah jiwa manusia yang tidak konsisten. Alkitab justru mengajarkan sebaliknya pada diri sendiri kita harus menuntut diri untuk berdisiplin akan tetapi pada orang lain, janganlah kita menuntut terlalu banyak dan berlebihan.
Ketika manusia hanya mempermainkan hukum-hukum yang tertulis, entah dia itu menjadi seorang yang legalis atau menjadi seorang antinomianis maka ia akan terjepit ke dalam tataran hukum itu sendiri. Seorang yang konsisten dengan legalisme maka ia akan mati dalam legalisme sebab tidak ada satu pun manusia yang dapat hidup dengan legalisme murni. Imanuel Kant, seorang tokoh moralis murni hidup di desa dan ia hidup tidak pernah lebih dari 30 km dari tempat ia tinggal mencoba menjalankan aturan-aturan yang ia buat sendiri, seperti keluar rumah dan berjalan secara tepat sesuai waktu yang ia tetapkan. Konsep legalisme ini menimbulkan gejolak, tanpa sadar manusia telah membuang Tuhan dan kini berbalik, hukum menjadi Tuhan. Sebaliknya, orang yang menganut antinomian hidupnya tidak akan menjadi lebih baik, hidupnya menjadi sangat liar dan justru mencelakakan dirinya sendiri. Dapatlah dibayangkan, apa jadinya orang yang sengaja melawan peraturan lalu lintas, tentu ia akan mendapat celaka. Setiap aturan harus dikembalikan pada Kristus Sang Kebenaran sejati. Tuhanlah yang menjadi dasar kebenaran, Dia menata suatu aturan sedemikian rupa dimana setiap aturan tersebut merupakan manifestasi dari jiwa-Nya yang ingin membawa manusia kembali pada kebenaran. Untuk memahami hukum dengan benar maka manusia harus kembali pada Tuhan, the living magistrate barulah kita dapat menjalankan kehidupan berdasarkan tatanan hukum dengan tepat. Hidup yang sejati harus kembali pada kebenaran Allah.
Kedua, manusia diikat dengan semangat humanime yang mementingkan relativitas di atas kemutlakan. Hukum menuntut semua orang tunduk pada satu kebenaran dasar yang tunggal maka kebenaran dasar harus bersifat mutlak. Celakalah hidup kita kalau kebenaran itu tidak mutlak tapi dimutlakkan. Ketika kita membangun tataran hukum berdasarkan spirit legalisme humanis maka akan terjadi kesulitan yang besar. John Rolls seorang filsuf hukum dan juga seorang pakar konsep keadilan menyatakan kalau hukum ditegakkan untuk memuaskan suatu kelompok atau mayoritas tertentu apalagi hukum itu dibuat dengan semangat utilitarian maka selamanya keadilan tidak akan dapat ditegakkan; keadilan hanyalah bersifat relatif yang menindas kepentingan minoritas. Hukum yang ditegakkan di atas dasar kepentingan manusia akan menimbulkan kekacuan sebab antara satu dengan yang lain tidak mempunyai kepentingan yang sama. Di dunia ini tidak ada satu hukum yang dapat memuaskan seluruh manusia sebab manusia adalah manusia berdosa yang relatif maka manusia relatif harus tunduk pada sesuatu yang mutlak.
Ketika manusia mulai mengadopsi hukum anglo-american law, yakni hukum dibangun berdasarkan konsep humanisme dari Hume, Locks, dan sebagainya maka hari itu, manusia mulai mempermainkan hukum, tidak kembali pada kemutlakan hukum. Kristus adalah Tuhan atas hukum maka hukum harus kembali pada kemutlakan asli. Ketika manusia menolak Kristus Sang Kebenaran, akibatnya adalah kebinasaan. Hari ini, peraturan hukum Indonesia dibangun di atas dasar konsep utilitarianisme. Hukum dibuat untuk memenuhi kepentingan mayoritas; hukum tidak lagi kembali pada kebenaran tetapi hukum ditundukkan di bawah otoritas anarki. Hari ini, banyak hukum yang tidak berjalan karena mayoritas melawan hukum tersebut. Hukum sudah diselewengkan – siapa yang mempunyai kepentingan paling besar maka dialah yang akan dibela oleh hukum. Siapa kuat dialah yang memegang hukum, konsep ini dikenal sebagai survival of the fittest dan dicetuskan oleh Darwin. Michael Foucoult menentang keras konsep Darwin karena ia merasa hukum menjadi permainan otoritas yang selalu bersifat jahat dan menindas, orang yang memegang hukum selalu merasa dirinya adalah kebenaran padahal dia bukan kebenaran namun sekali lagi ia jatuh dalam konsep yang salah. Hukum ketika masuk dalam tataran relativitas maka hukum tidak akan pernah memberikan kenyamanan dan keamanan dalam diri manusia.
Pada dasarnya, manusia ingin hidup sejahtera tetapi perhatikan, tanpa keadilan yang sejati maka tidak ada kesejahteraan dan keadilan sejati tidak mungkin ditegakkan tanpa ada kebenaran sejati. Bagaimana mungkin disebut adil kalau orang hanya mementingkan mayoritas sedang yang minoritas ditindas? Perhatikan, mayoritas tidak pernah menjadi mayoritas. Mayoritas barulah menjadi mayoritas ketika ada suatu kelompok minoritas tertentu yang memakai dan memperalat dia demi untuk kepentingan mereka, yaitu untuk menindas kelompok minoritas yang lain. Orang tidak menyadari kalau sesungguhnya kelompok minoritas ini justru kelompok yang lebih baik dibanding yang mayoritas. Mayoritas biasanya terdiri dari orang-orang yang tidak berpendidikan, ia selalu berada diposisi bawah, grass root position dan biasanya orang-orang seperti ini tidak bisa menalar suatu peristiwa, mereka dibayar untuk menindas yang kelompok minoritas lain. Orang mulai tidak peduli orang lain, orang berbuat anarkis maka ini menjadi kerusakan hukum. Hukum yang ditegakkan dengan semangat humanisme dipelopori oleh mayoritas lalu menggunakan spirit anarkis dan dipakai untuk menekan kelompok yang lain, hal ini menjadi kesalahan fatal hukum di titik pertama. Semangat mayoritas menginginkan Tuhan Yesus disalibkan. Pertanyaannya sekarang adalah dimanakah keadilan? Sejarah membuktikan ketidakadilanlah yang banyak terjadi di dunia. Ketika kita menegakkan hukum apapun maka ingatlah, kita harus kembali pada prinsip dasar utama, yakni Kristus adalah Tuhan atas sabat; Kristus adalah Tuhan atas hukum.
Ketiga, manusia berdosa pada hakekatnya bersifat pemberontak terhadap kebenaran. Manusia tidak suka tentang hal-hal yang benar, manusia lebih suka segala sesuatu yang bersifatnya dosa, segala sesuatu yang memuaskan nafsu dan keinginan daging. Pemberontakan ini ditandai dengan konsep kebebasan, freedom yang diteriakkan oleh manusia pada pada abad 20. Hal yang sama dicetuskan pula oleh suatu kelompok yang menamakan dirinya woodstock live show. Adalah jiwa manusia berdosa ketika berhadapan dengan kebenaran, ia langsung melawan. Ironis, di satu sisi manusia ingin merdeka tapi ketika Tuhan Yesus datang dan Dia ingin memerdekan dengan melepaskan kita dari ikatan belenggu dosa, manusia malah menolak-Nya. Demikian juga halnya dengan orang Yahudi, orang yang katanya “taat hukum“ tetapi ketika dirinya bertemu dengan kebenaran sejati, ia menentang dan melawan dengan keras; mereka hanya mau hukum yang ia suka saja (Yoh. 8). Sangatlah disayangkan, hari ini sedikit sekali orang yang mau mencari dan mengejar kebenaran sejati, truth dan tunduk dan taat dibawah kebenaran sejati tersebut. Biarlah sebagai anak Tuhan sejati, kita mempunyai hati dan jiwa yang selalu ingin dibentuk dibawah kebenaran sejati – Kristus Tuhan. Kristus adalah kebenaran sejati dan kebenaran sejati berada di atas semua aturan hukum yang ada di dunia. Hendaklah dalam setiap aspek hidup kita, kita belajar untuk menekan dan melawan jiwa pemberontakan yang ada dalam diri kita. Kita harus kembali pada Kristus, the living magistrate bukan terjepit dengan the silence magistrate; kita mau taat pada aturan tetapi bukan terkunci oleh aturan. Biarlah kita senantiasa mau belajar rendah hati untuk semakin dibentuk oleh Dia dan menjadi semakin serupa Dia. Amin

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

No comments: