11 June 2010

Eksposisi 1 Korintus 7:1-2 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 7:1-2

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 7:1-2




Bagian ini membahas suatu topik yang baru. Hal ini ditunjukkan melalui penggunaan frase “sekarang tentang...” (7:1) yang selanjutnya akan dipakai berkali-kali untuk memperkenalkan suatu topik yang baru (7:25; 8:1, 4; 12:1; 16:1). Walaupun bagian ini membahas topik yang baru, tetapi bukan berarti tidak memiliki kaitan apa pun dengan bagian sebelumnya (6:12-20). Dua bagian ini sama-sama berbicara tentang bahaya percabulan (6:15-16, 18; 7:2). Keduanya juga menyinggung tentang kesatuan daging antara laki-laki dan perempuan (6:16; 7:4).

Jika memang pasal 7:1-24 membahas tentang topik yang baru, permasalahan apakah yang ditangani Paulus di bagian ini? Jawaban terhadap pertanyaan ini tergantung pada cara kita menafsirkan ayat 1b “adalah bagi laki-laki jika ia tidak kawin.” Apakah bagian ini merupakan kalimat Paulus atau dia sekadar mengutip pernyataan jemaat Korintus? Saya sendiri memilih alternatif yang terakhir (lihat pembahasan detail di ayat 1b). Jika ini diterima, maka kita dapat menyimpulkan bahwa persoalan yang sedang dibicarakan adalah konsep jemaat Korintus yang anti terhadap hubungan seksual atau perkawinan. Mereka melarang suami-istri untuk melakukan hubungan seksual (7:2-5), memaksa orang untuk tidak menikah (7:6-9, 36-40), memerintahkan orang Kristen untuk menceraikan pasangannya yang tidak beriman (7:10-16).

Menghadapi masalah di ayat 1b, Paulus menjelaskan bahwa jika mereka sudah menikah maka mereka tidak boleh saling menjauhkan diri (ay. 2-5). Jika mereka belum menikah, maka mereka bisa menjalani hidup selibat (tidak menikah) jika Tuhan memberi karunia itu (ay. 6-8) atau mereka tidak dapat menguasai nafsu (ay. 9). Jika mereka sudah menikah dan pasangannya belum mengenal Tuhan, maka pihak orang Kristen tidak boleh menceraikan pasangannya (ay. 10-16). Sebagai konklusi, semua orang sebaiknya bertahan dalam keadaannya sekarang, bahkan untuk hal-hal yang di luar konteks perkawinan (ay. 17-24). Mereka tidak perlu mengubah status sosial mereka, apabila dengan motivasi yang salah.


Persoalan: Konsep yang Salah tentang Seksualitas (ay. 1)
Paulus menyebut hal-hal yang akan dia bahas mulai pasal 7:1 sebagai hal-hal yang jemaat Korintus tuliskan kepadanya. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa isu-isu yang dibahas sebelumnya (pasal 1-6) merupakan hal-hal yang didengar oleh Paulus (bdk. 1:11; 5:1). Walaupun kita tidak boleh secara mutlak menganggap semua isu setelah pasal 7 sebagai
berita tertulis (bdk. 11:18 “aku mendengar...”), namun sebagian besar di antaranya memang seperti itu (bdk. bentuk jamak “hal-hal yang kamu tuliskan...”; bdk. 7:25; 8:1, 4; 12:1; 16:1). Semua ini menunjukkan bahwa Paulus tetap dianggap sebagai bapa rohani mereka (bdk. 4:15), sekalipun sebagian dari mereka tidak menyukai Paulus (1:12; 4:1-5; 9:3). Hal ini sekaligus membuktikan kepedulian Paulus terhadap keadaan jemaat, walaupun ia sudah berpisah dari mereka (5:3) dan tidak didukung secara layak pada saat ia melayani mereka (9:12-18; 2Kor 11:7-9).

Para penafsir berbeda pendapat tentang ayat 1b. Sebagian meyakini bahwa bagian tersebut merupakan kalimat Paulus sendiri, sedangkan yang lain menganggap bagian itu sebagai dua pilihan ini, yang terakhir tampaknya lebih bisa diterima. Ada banyak argumen yang mendukung pendapat ini: (1) dalam surat 1 Korintus Paulus sering mengutip kalimat jemaat lalu memberikan tanggapannya terhadap hal itu (bdk. 6:12-13; 8:1, 4; 10:23); (2) Paulus memiliki konsep yang positif terhadap seksualitas (7:2-5) maupun pernikahan (7:36, 38; bdk. Ef 5:22-33), sehingga sangat janggal jika dia memiliki konsep seperti di ayat 1b; (3) bagi Paulus kehidupan selibat (tidak menikah) tidak boleh dipaksakan pada semua orang, karena hal itu adalah karunia dari Allah (7:7); (4) dalam tradisi Yahudi diajarkan keagungan pernikahan (bdk. Kej. 2:18), walaupun ada sebagian tokoh memilih selibasi. Sulit dipahami jika Paulus berani berkontradiksi dengan ajaran Alkitab yang mengajarkan “tidak baik laki-laki eorang diri saja”; (5) secara umum Paulus sangat menetang gaya hidup asketisisme, yaitu gaya hidup menjauhkan diri secara ekstrem dari semua hal yang berkaitan dengan tubuh supaya memperoleh kehidupan rohani yang lebih tinggi (Kol. 2:20-22; 1Tim. 4:3).

Di 1 Korintus 7 Paulus memang memberi indikasi bahwa tidak menikah itu lebih baik (7:6, 38), tetapi ia tidak pernah menganggap bahwa perkawinan sebagai sesuatu yang tidak baik. Jika ayat 1b berasal dari Paulus, maka ia kemungkinan besar akan menambahkan kata “lebih”, sehingga peredaksiannya menjadi “adalah lebih baik bagi laki-laki kalau ia tidak kawin.” Karena ayat 1b menyiratkan sikap yang negatif terhadap perkawinan, maka dapat dipastikan bahwa hal itu bukan berasal dari Paulus.

Mengapa jemaat Korintus bisa memiliki sikap yang negatif terhadap seks atau perkawinan? Sebagian besar penafsir meyakini bahwa mereka telah terjebak pada konsep spiritualitas yang salah. Sebagai jemaat yang dipenuhi dengan berbagai karunia Roh (1:5) – bahkan hal ini menjadi sumber peselisihan di antara mereka (pasal 12-14) – jemaat Korintus merasa diri sudah berada pada tingkat kerohanian yang sangat tinggi. Mereka meyakini bahwa pada tahap seperti ini semua keinginan jasmani atau material tidak memiliki pengaruh apa pun bagi mereka, baik pengaruh positif maupun negatif. Kalau di 6:12-20 mereka berzinah dengan pemahaman bahwa hal itu tidak akan membawa pengaruh negatif bagi kerohanian mereka, di 7:1-24 mereka justru menjauhi semua bentuk keinginan tubuh (seks). Orang yang mampu menjauhkan diri dari semua hal ini dianggap memiliki tingkat kerohanian yang tinggi. Berdasarkan kesalahan konsep ini, Paulus di akhir pembahasannya menegaskan bahwa ia pun memiliki Roh Allah (7:40). Penegasan seperti ini tentu saja tidak diperlukan apabila persoalan jemaat Korintus tidak berkaitan dengan topik seputar Roh Kudus atau kerohanian yang sifatnya mistis.

Jika ayat 1b merupakan slogan dari jemaat Korintus, maka kata “baik” (kalos) di ayat itu harus dipahami menurut perspektif mereka. “Baik” di sini lebih dipandang secara moral atau spiritual. Paulus di bagian selanjutnya nanti akan mengoreksi konsep “baik” tersebut. Bagi Paulus, tidak menikah memang baik, tetapi kebaikan itu berkaitan dengan efektivitas pelayanan. Mereka yang diberi karunia selibat (7:7) bisa memfokuskan diri pada urusan Tuhan (7:32-34). Pada dirinya sendiri selibasi tidak lebih baik daripada menikah. Orang yang selibat tidak lebih rohani atau bermoral daripada yang menikah.

Sebutan “laki-laki” (LAI:TB) di ayat 1b didasarkan pada jenis kelamin maskulin dari kata Yunani anthrōpos yang dipakai. Secara hurufiah kata anthrōpos sebenarnya memiliki arti yang umum (“manusia”), bisa merujuk pada laki-laki maupun perempuan. Kata yang lebih spesifik untuk laki-laki adalah anhr (7:2, 3, 4, 10, 11, 13, 14, 16, 34, 39). Penggunaan kata anthrōpos mungkin menyiratkan bahwa jemaat Korintus mengaplikasikan prinsip di ayat 1b kepada semua orang, bukan hanya terbatas pada laki-laki. Tidak heran, Paulus pun meresponi persoalan ini dari dua sisi: laki-laki maupun perempuan (7:2-3, 25).

Kita perlu membahas tentang ungkapan “kawin” di bagian akhir ayat 1b. Dalam kalimat Yunani, ungkapan yang dipakai adalah “tidak menyentuh wanita” (haptō gunaikos). Mayoritas versi memilih untuk mempertahankan terjemahan hurufiah ini (ASV/KJV/RSV/NASB), sedangkan yang lain berusaha memperjelas artinya dengan kata “menikah” (NIV). Baik jemaat Korintus maupun Paulus pasti tidak memaksudkan ungkapan ini secara hurufiah. Ungkapan “menyentuh wanita” dalam literatur kuno – baik Alkitab maupun di luar Alkitab – muncul sebanyak 9 kali dengan arti “bersetubuh dengan wanita” (bdk. Kej. 20:6(LXX); Ams. 6:29(LXX)). Dalam hal ini Amsal 6:29 lebih jelas karena “menghampiri (wanita)” disejajarkan dengan “menyentuh (wanita).” Makna seperti ini juga didukung oleh konteks 1 Korintus 7. Isu yang dibahas bukan hanya sekadar tentang pernikahan, tetapi juga hubungan seksual (7:3-5). Di samping itu, jika yang dimaksud oleh jemaat Korintus adalah “menikah”, maka mereka pasti akan memakai kata gamew (7:9, 28, 36, 39), bukan haptō.


Jawaban Paulus: Setiap Orang Hendaknya Memiliki Pasangannya Sendiri (ay. 2)
Kata sambung “tetapi” di awal ayat 2 mengindikasikan kontras antara pandangan jemaat Korintus (ay. 1b) dan Paulus. Di ayat ini Paulus lebih menyoroti tentang bahaya percabulan (ay. 2a). Di ayat 3-5 nanti dia akan lebih banyak memberikan alasan theologis bagi nasehatnya di ayat 2b. Jadi, nasihat Paulus di ayat 2b didasarkan pada dua pertimbangan: bahaya percabulan (ay. 2a) dan kesatuan suami-istri (ay. 3-5).

Peringatan ini harus dilihat dari dua sisi: situasi kota Korintus dan kelemahan jemaat Korintus. Kota Korintus memang terkenal sebagai kota percabulan, bahkan kata korinqiazw sering kali dipakai dalam arti “berbuat zinah.” Percabulan yang sudah dibahas di 5:1-13 dan 6:12-20 cukup sebagai bukti betapa berbahayanya situasi di Korintus. Bentuk jamak “percabulan” (tas porneias) yang dipakai di 7:2a menyiratkan berbagai kemungkinan yang berpotensi menjatuhkan jemaat Korintus.

Di sisi lain kita juga tidak boleh melupakan faktor internal manusia. Kita lemah dalam hal godaan seksual. Paulus pun beberapa kali mengingatkan jemaat Korintus tentang hal ini dengan kalimat “kamu tidak tahan bertarak” (7:5) atau “tidak dapat menguasai diri” (7:9). Kisah kejatuhan Yehuda (Kej. 38), Simson (Hak. 14-16) dan Daud (2Sam. 11-12) sudah cukup sebagai peringatan bagaimana berbahayanya godaan seksual.

Berdasarkan pertimbangan di atas, Paulus memberikan nasihat agar setiap laki-laki mempunyai istrinya sendiri, begitu pula dengan setiap perempuan (ay. 2b). Sekilas nasihat ini tampak mengajarkan sebuah pandangan yang rendah terhadap lembaga pernikahan. Pernikahan hanya dilihat sebagai solusi bagi godaan seksual yang berbahaya. Kesan ini memang tidak terelakkan, karena ungkapan “mempunyai suami/istri” memberi kesan “menikah.” Tidak heran sebagian orang memandang ayat 2b sebagai nasihat kepada mereka yang belum menikah agar segera menikah daripada jatuh ke dalam percabulan. Dengan demikian Paulus terkesan kurang menempatkan keagungan pernikahan pada tempatnya.

Jika kita menyelidiki ayat ini secara lebih teliti, maka kita akan menemukan bahwa nasihat tersebut ditujukan pada mereka yang sudah menikah dan nasihat ini lebih mengarah pada hubungan seks, bukan pernikahan secara status. Pertama, ungkapan “mempunyai suami atau istri” (echō gunaika/andra). Ungkapan ini tidak dapat diartikan “menikah.” Jika Paulus memaksudkan “menikah”, maka ia mungkin akan menggunakan ungkapan “lambanō gunaika/andra (Tobit 4:12), bukan echō gunaika/andra. Ia juga bisa memakai kata yang lebih jelas yang nanti akan dia pakai di bagian selanjutnya, yaitu gameō (terutama 7:9 “biarlah ia kawin”). Berdasarkan pemunculan ungkapan echō gunaika dalam LXX, kita dapat mengetahui bahwa ungkapan ini memiliki arti “berhubungan seksual” (Kel. 2:1; Ul. 28:30; Yes. 13:16).

Kedua, konteks 1 Korintus 7:2-5. Bagian ini secara eksplisit membicarakan tentang hubungan seksual dalam sebuah pernikahan. Di samping itu, ungkapan “menyentuh wanita” di ayat 1b yang mengarah pada makna “hubungan seksual” juga turut menguatkan ide bahwa Paulus memang sedang membicarakan hubungan seksual. Jadi, Paulus tidak sedang membicarakan tentang pria dan wanita yang belum menikah.

Ketiga, kata “sendiri” (heautou/idion) Penambahan kata “sendiri” setelah kata “istri/suami” merupakan indikasi yang penting. Jika “mempunyai istri/suami” dipahami dalam arti “menikah”, maka kalimat di ayat 2b menjadi tidak masuk akal. Mengapa Paulus perlu menasehati orang untuk menikahi (mempunyai) istri/suaminya sendiri? Penambahan kata “sendiri”di sini akan menjadi lebih bermakna apabila “mempunyai istri/suami” ditafsirkan sebagai “berhubungan seksual.” Jadi, di bagian ini Paulus memberikan nasihat agar jemaat Korintus berhubungan seks dengan pasangannya masing-masing. Jika mereka melupakan hal ini, maka bahaya percabulan siap menghadang mereka. Menjauhkan diri dari pasangan (bdk. 7:5) bukanlah ide yang bijaksana jiak dilihat dari potensi kejatuhan yang akan terjadi.

Terakhir, kata “setiap” (hekastos/hekastē). Jika “mempunyai istri/suami” di ayat 2b dipahami dalam arti “menikah”, maka nasihat di ayat 2b “hendaklah setiap laki-laki/wanita menikah” akan berkontradiksi dengan ayat lain. Tidak setiap orang harus menikah, karena beberapa orang diberi karunia untuk selibat (7:6-8). Bagi mereka yang belum menikah pun Paulus menganjurkan agar tidak menikah supaya bisa konsentrasi kepada pelayanan (7:28, 32-34). Bagaimanapun, Paulus tetap memberi kebebasan kepada setiap orang untuk menikah atau selibat (7:6, 35).

Semua penjelasan di atas sudah cukup untuk meyakinkan kita bahwa nasihat di ayat 2b bukan ditujukan pada mereka yang belum menikah. Jika ini diterima, maka kesan sekilas bahwa Paulus menganggap rendah lembaga pernikahan akan segera sirna. Walaupun di ayat 9 Paulus tetap memikirkan pernikahan sebagai salah satu solusi bagi godaan seksual, namun kita perlu menggarisbawahi bahwa hal ini bukanlah pilihan yang ideal. Pilihan ini hanya bagi mereka yang tidak memiliki penguasaan diri. Bagi yang dewasa da kuat di dalam Tuhan, pernikahan bukanlah sekadar jalan keluar dari godaan seksual.


Refleksi
Kesalahan yang dilakukan oleh jemaat Korintus di atas ternyata terulang kembali sepanjang sejarah gereja, sekalipun dengan bentuk dan motivasi yang agak berbeda. Pada masa awal tradisi kebiaraan, banyak orang Kristen sengaja menyiksa diri dengan cara membuat diri mereka lapar, haus, menderita, menyendiri dari semua orang, dsb. Hidup selibat menjadi pilihan dan dianggap sebagai salah satu bukti kerohanian.

Di zaman modern ini kita masih bisa melihat sisa-sisa pemikiran yang sama, walaupun bentuknya tidak seekstrim dulu. Keengganan orang Kristen membicarakan seks secara detail sesuai dengan firman Tuhan menyiratkan bahwa seks masih dipandang sebagai sesuatu yang tabu atau – paling tidak – sesuatu yang tidak bersentuhan dengan kerohanian. Khotbah-khotbah di mimbar sangat jarang membahas topik tentang seks. #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 8 Februari 2009
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2007%20ayat%2001-02.pdf

No comments: