02 May 2008

BAGIAN II. Bab 3: Kedaulatan Allah

BAGIAN II:
REFORMED INJILI: INTEGRASI THEOLOGI, SPIRITUALITAS, DAN PRAKTIKA REFORMED
Bab 3
Kedaulatan Allah



Di tengah arus Kekristenan yang tidak seimbang di atas, maka Tuhan mengajar kita melalui pelajaran sejarah dari theologi Kristen yang sehat dan seimbang. Khususnya, kita saat ini membahas dan mempelajari keunikan theologi Reformed (dari Dr. John Calvin, dkk) dan signifikansinya di dalam spiritualitas dan praktika Kristen sejati.

Theologi Reformed memiliki prinsip dasar yaitu kedaulatan Allah.
[1] Apa arti kedaulatan Allah? Saya membagi 7 prinsip kedaulatan Allah secara ringkas beserta aplikasinya:
1. Allah yang berdaulat adalah Allah Pencipta dan Pemelihara alam semesta
Allah orang Kristen sejati adalah Allah yang menciptakan alam semesta sekaligus memeliharanya. Allah yang menciptakan segala sesuatu (Kej. 1) berarti Dia adalah sumber segala sesuatu. Ia yang menciptakan manusia, berarti Ia jugalah sumber kita mengerti manusia. Alangkah tidak masuk akalnya jika seorang manusia mau mengerti manusia bukan dari Allah, tetapi dari ilmu-ilmu dunia bahkan dari interpretasi sendiri. Itulah kegagalan manusia berdosa. Dr. John Calvin di dalam bukunya Institutes of the Christian Religion mengajarkan, “Without knowledge of self there is no knowledge of God” (= Tanpa pengenalan akan diri tidak ada pengenalan akan Allah).
[2] Hal serupa ditekankan sebaliknya oleh Calvin sebagai satu konsep integratif, “Without knowledge of God there is no knowledge of self” (=Tanpa pengenalan akan Allah tidak ada pengenalan akan diri).[3] Artinya pengenalan akan Allah dan pengenalan akan manusia adalah dua hal yang bisa dibedakan, tetapi tidak bisa dipisahkan. Dari dua pernyataan ini, Calvin menyatakan bahwa pengenalan akan diri dimulai dari pengenalan akan Allah, begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, Allah adalah sumber kita mengenal diri sendiri. Hal ini akan dibahas pada doktrin manusia dan dosa.

Selain sebagai Pencipta, Allah juga adalah Pemelihara ciptaan-Nya. Bukan seperti Deisme yang mengajarkan bahwa setelah menciptakan alam semesta, Allah meninggalkan ciptaannya untuk diatur oleh hukum alam, Kekristenan sejati mengajarkan bahwa Allah yang mencipta juga adalah Allah yang memelihara ciptaan-Nya. Ini membuktikan adanya providensia Allah. Pemeliharaan Allah atas alam juga mencakup adanya anugerah umum Allah untuk mencegah (bukan menghilangkan) kerusakan alam ini. Hal ini memberi kekuatan bagi iman kita di kala kita putus asa. Banyak orang Kristen masih khawatir akan hidupnya, biarlah Allah sebagai Pemelihara ini menjadi kekuatan bahwa Ia yang menciptakan kita, tidak akan meninggalkan kita dan alam ini begitu saja, sebagaimana dikatakan oleh Tuhan Yesus, “Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?... Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.” (Mat. 6:25, 31-34) Allah yang memelihara adalah Allah yang mencukupi kebutuhan anak-anak-Nya asalkan kita terus mencari Kerajaan Allah dan kebenarannya.





2. Allah yang berdaulat adalah Allah yang Kekal dan tidak bergantung pada siapa/apa pun
Allah adalah Tuhan dan Pencipta segala sesuatu, oleh sebab itu Ia pasti tidak sama dengan ciptaan. Perbedaan antara Pencipta dan ciptaan di bagian ini adalah Allah itu Kekal, sedangkan manusia itu relatif/sementara. Allah yang Kekal berarti Allah yang melampaui ruang dan waktu, Ia bekerja dan menetapkan sebelum dunia dijadikan. Dalam hal keselamatan pun, Allah telah menetapkan beberapa orang untuk menjadi umat-Nya. Ini semua adalah hak dan kedaulatan Allah yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam bagian ini, kita juga mengerti Allah yang Kekal juga Allah yang tidak bergantung pada siapa/apa pun (atau lebih tepatnya, Allah tidak membutuhkan siapa pun untuk menasehati-Nya). Mengenai predestinasi dan keselamatan yang berkaitan dengan kedaulatan Allah (Roma 9-11), Rasul Paulus di dalam Roma 11:34 mengatakan, “Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya?” Apa signifikansi konsep ini? Allah yang Kekal dan tidak bergantung pada siapa/apa pun mengajarkan kepada kita tentang Allah yang harus menjadi Sumber Pengharapan dan tempat di mana kita dapat beriman mutlak. Di saat menghadapi penganiayaan, dll, kita bisa terus berharap hanya pada Allah, karena kita percaya hanya pada Dia sajalah kita menemukan Pengharapan sejati. “Allah” yang tidak kekal dan plin-plan, seperti yang diajarkan oleh Arminianisme dan Open-Theism, bukanlah Allah Kristen sejati, dan akibatnya, “Allah” seperti ini tidak layak menjadi Sumber Pengharapan, mengapa? Karena “Allah” seperti ini tidak ada bedanya dengan manusia yang serba plin-plan, lalu ketika kita mengalami penderitaan, kepada siapa kita harus berharap, jika “Allah” yang disandari adalah “Allah” yang plin-plan.


3. Allah yang berdaulat adalah Allah yang Berkuasa mutlak
Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam khotbahnya di National Reformed Evangelical Convention (NREC) 2006 mengaitkan kedua konsep ini bahwa beriman di dalam Allah yang Mahakuasa seharusnya juga berkait dengan beriman di dalam Allah yang Berdaulat mutlak. Di dalam Alkitab, Pdt. Dr. Stephen Tong memberikan contoh kasus Hananya (Sadrakh), Misael (Mesakh) dan Azarya (Abednego) yang menolak menyembah ilah asing dalam bentuk patung emas. Mereka berani mengatakan kepada raja Babel, Nebukadnezar (yang sedang menjajah Israel) bahwa mereka tak mau menyembah ilah asing, karena mereka percaya di dalam Allah yang sanggup melepaskan mereka dari hukuman bagi mereka, yaitu dapur perapian. Tetapi seandainya, Allah tidak melepaskan, mereka pun berani mengatakan bahwa mereka tak akan mengkhianati Allah dengan menyembah ilah asing (perhatikan ucapan mereka di dalam Daniel 3:16-18, “Tidak ada gunanya kami memberi jawab kepada tuanku dalam hal ini. Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.”) Inilah iman Kristen yang benar, yaitu memercayai Allah yang sanggup melepaskan umat-Nya dari penderitaan sekaligus Allah yang Berdaulat yang bisa juga tidak melepaskan umat-Nya tersebut. Saya menyebutnya sebagai terobosan iman. Iman Kristen bukan iman yang “memercayai” “Allah” yang menurut pada kemauan kita untuk diklaim janji-janji-“Nya”, tetapi iman Kristen adalah iman yang berani menerobos segala kesulitan dengan berharap dan beriman mutlak di dalam Allah yang berdaulat yang bisa melepaskan kita dari kesulitan, dan bisa juga tidak melepaskan kita dari kesulitan, tetapi memberikan kekuatan kepada kita untuk menghadapinya. Mengapa kita dapat beriman sedemikian? Karena kita percaya satu hal bahwa rancangan dan jalan Tuhan bukanlah rancangan dan jalan kita (Yesaya 55:8).


4. Allah yang berdaulat adalah Allah yang menyatakan diri-Nya di dalam Tiga Pribadi, yaitu Allah Bapa, Allah Putra, dan Allah Roh Kudus
Mengapa saya membedakan masing-masing Tiga Pribadi Allah ini dengan menambahkan kata Allah di depannya? Karena Allah Tritunggal bukanlah satu pribadi, tetapi Tiga Pribadi Allah yang berbeda (bdk. Mat. 28:19 terjemahan bahasa Inggris dan teks asli Yunaninya). Keberbedaan masing-masing Pribadi Allah ini TIDAK berarti kita memercayai tiga Allah, tetapi justru kita memercayai 1 Allah yang Esa yang berpribadi tiga. Inilah paradoksikal iman Kristen yang tidak mungkin ditembus dan dimengerti oleh logika orang-orang yang bukan umat pilihan Allah. Lalu, mengapa Allah harus menyatakan diri-Nya di dalam tiga pribadi, bukan satu pribadi saja atau bahkan banyak pribadi? Perhatikan. Jika Allah menyatakan diri-Nya hanya di dalam satu pribadi, lalu Ia berfirman bahwa Ia adalah Kasih, bagaimana umat-Nya bisa memahami kasih Allah jika tidak ada objek kasih? Ingatlah, Allah itu selain Roh, juga adalah Pribadi, berarti tetap harus ada Subjek dan objek kasih. Adalah suatu absurditas (ketidakmasukakalan) suatu agama yang memercayai “Allah” yang hanya satu pribadi, lalu berkoar-koar bahwa agamanya penuh “cinta kasih”. Sebaliknya, jika ada agama yang memercayai banyak “allah”, itu juga merupakan suatu absurditas. Mengapa? Karena jika “allah” itu banyak, maka masing-masing pribadi bisa saling bertengkar, dan itu berakibat fatal bagi konsep ketuhanan agama tersebut (konsep “allah” yang kacau memengaruhi cara pikir manusia yang menyembah “allah” seperti itu). Tidak ada jalan lain, Allah sejati bukan satu pribadi, dan juga bukan banyak pribadi, tetapi hanya tiga pribadi.

Lalu, kita akan berlanjut pada pengertian Tritunggal sendiri. Di dalam Allah Tritunggal, masing-masing Pribadi Allah memiliki perbedaan kehendak, tetapi menuju kepada satu tujuan yang sama, yaitu tujuan Allah Bapa. Beberapa orang mengatakan hal ini sebagai bidat, benarkah? Tidak. “Berbeda” di sini tidak berarti terpisah, berbeda di sini berbeda namun memiliki satu tujuan yang sama. Satu tujuan yang sama di sini berarti unity (kesatuan), bukan oneness (ketunggalan/keseragaman). Di dalam doa-Nya di Taman Getsemani, Tuhan Yesus pernah menyatakan, “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” (Mat. 26:39) Pdt. Sutjipto Subeno pernah memberikan tafsiran ayat ini bahwa di sini ada dua kehendak yaitu kehendak Allah Bapa dan kehendak Tuhan Yesus, tetapi Kristus rela membatas diri demi mengerjakan apa yang Bapa-Nya kehendaki. Inilah bukti bahwa masing-masing Pribadi Allah memiliki perbedaan kehendak, tetapi bersatu di dalam tujuan Ilahi. Signifikansinya bagi kita adalah pentingnya unity (kesatuan) di dalam truth (kebenaran). Tidak ada salahnya dengan perbedaan, karena kita hidup di zaman yang penuh dengan perbedaan. Tetapi pertanyaan yang lebih tajam, apakah perbedaan itu mengancam iman dan kebenaran Kristen? Lebih tajam lagi, apakah kita yang mengklaim sebagai “pengikut Kristus” rela mengkompromikan Kebenaran Kristus yang paling agung dan berharga itu demi supaya disesuaikan dengan orang lain? Di dalam beberapa aliran Kristen kontemporer mengajarkan konsep bahwa semua gereja itu sama, yang penting Kristusnya. Sepintas benar, tetapi jika diteliti lebih dalam, benarkah semua gereja itu sama? Tidak. Gereja berbeda, tetapi gereja yang berbeda sungguh menarik dan unik jika masing-masing memberitakan Injil Kristus dan berfokus hanya kepada Kristus yang sama. Gereja Injili, Reformed, Pentakosta, dll adalah gereja yang berbeda secara denominasi, tetapi sejauh mereka memberitakan Kristus dan Injil yang murni (tanpa embel-embel yang tidak perlu), maka mereka layak disebut Gereja. Itulah makna sejati dari unity in diversity in truth (kesatuan di dalam keberbedaan di dalam Kebenaran).

Selain, ada keberbedaan (bukan keterpisahan) di dalam masing-masing Pribadi Allah Tritunggal, kita juga belajar adanya tingkatan sekaligus kesetaraan di dalam masing-masing Pribadi Allah Tritunggal. Biasanya kita sering mendengar adanya kesetaraan saja di dalam masing-masing Pribadi Allah Tritunggal, tetapi saat ini kita akan belajar sisi tingkatan di dalam Pribadi Allah Tritunggal. Prof. Dr. Louis Berkhof di dalam bukunya Teologi Sistematika memaparkan, “Subsistensi dan tindakan dari ketiga pribadi ditandai oleh satu tingkatan yang jelas dan tertentu.” Beliau memaparkan bahwa tingkatan ini bukan tingkatan secara prioritas waktu atau kemuliaan esensial, tetapi hanya pada tingkatan logis derivasi (turunan). Allah Bapa adalah sumber segala sesuatu, Allah Anak secara kekal diperanakkan oleh Allah Bapa, dan Allah Roh Kudus keluar dari Bapa dan Anak dari kekal sampai kekal. Kata “diperanakkan”, “keluar”, dll berada di dalam Keberadaan Ilahi yang kekal. Sekali lagi, tingkatan-tingkatan ini tidak berarti adanya subordinasi di dalam esensi Allah. Artinya, tingkatan-tingkatan ini tidak boleh ditafsirkan bahwa Allah Bapa lebih berkuasa dari Allah Anak dan Roh Kudus. Bagi Berkhof, Tritunggal secara ontologis ini dan kesetaraannya adalah dasar metafisik dari Tritunggal ekonomis yang nantinya tercermin dalam opera ad extra yang lebih tertuju pada masing-masing Pribadi Tritunggal.
[4] Dengan kata lain, kita belajar bahwa Allah Tritunggal adalah Allah yang memiliki ordo (tingkatan) sekaligus kesetaraan di antara masing-masing Pribadinya. Apa signifikansinya? Paradoksikal ini berpengaruh pada kehidupan Kristen kita. Konsep ini mengajarkan bahwa kita harus memandang semua manusia itu sama di hadapan Allah, sekaligus berbeda. Misalnya, antara bos dan karyawan, dua-duanya sama-sama manusia, tetapi meskipun sama, dua jabatan ini jelas berbeda. Bos tetap adalah bos, sedangkan karyawan tetap adalah karyawan, sehingga tidaklah mungkin karyawan bisa memerintah bos, yang terjadi justru sebaliknya, bos yang memerintah karyawan. Begitu juga dengan konsep pria dan wanita di mata Allah. Pria dan wanita diciptakan sama di hadapan Allah, tetapi juga diciptakan bertingkat, artinya, wanita/istri diperintahkan Allah untuk taat kepada pria/suami seperti jemaat tunduk kepada Kristus (Ef. 5:22-30). Melawan konsep ini bukan hanya melawan konsep Paulus, tetapi melawan konsep Alkitab secara integral, karena bukan hanya Paulus yang mengajar hal ini, Petrus juga mengajar hal ini (1Ptr. 3:1) dan bahkan Perjanjian Lama dengan tegas mengajar hal serupa.


5. Allah yang berdaulat adalah Allah yang transenden (nun jauh di sana) sekaligus imanen (yang dekat dengan kita)
Kita melihat ketidakseimbangan konsep ini ditekankan oleh agama-agama non-Kristen. Ada agama yang mengajarkan bahwa Tuhan itu nun jauh di sana, tidak terjangkau, sehingga kalau melakukan ibadah harus menggunakan pengeras suara. Sebaliknya, ada agama lain yang menekankan imanensi Tuhan sehingga semua manusia jika mengamalkan cara tertentu bisa menjadi “allah”. Kekristenan sendiri tidak seimbang dalam mengajar hal ini. Ada golongan Kristen kontemporer yang terlalu subjektif, Allah dipandang hanya sebagai teman/sahabat terbaiknya, dan bukan lagi sebagai Tuhan dan Allah, sehingga mereka tidak menghormati Allah di dalam kebaktian. Sebaliknya, gereja-gereja Protestan arus utama terlalu kaku, menekankan transendensi Allah (dan imanensi Allah yang kacau). Bagaimana Kekristenan sejati bisa berdiri tegak? Alkitab mengajarkan bahwa Allah yang berdaulat adalah Allah yang transenden (nun jauh di sana), sekaligus Allah yang dekat dengan umat-Nya (imanen). Di dalam Perjanjian Lama, konsep ini dijelaskan. Allah menunjukkan kekudusan-Nya kepada umat Israel di Gunung Sinai, sehingga selain Musa, tidak ada yang boleh naik ke Gunung Sinai (baca: Kel. 19). Di sisi lain, Allah menunjukkan imanensi-Nya dengan menyebut umat Israel sebagai anak-Nya (baca: Kel. 4:22, 23; Hos. 11:1). Di Perjanjian Baru, kita juga mendapati hal serupa. Penulis Ibrani mengingatkan bahwa kita jangan sekali-kali menolak Kristus atau pun Allah, “Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan.” (Ibr. 12:29) Di sisi lain, Allah juga digambarkan sangat mengasihi umat pilihan-Nya, sehingga mereka disebut anak-anak-Nya, “Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah. Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: "ya Abba, ya Bapa!" Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah.” (Rm. 8:14-16)

Apa signifikansi konsep ini? Konsep ini berimplikasi di dalam dua hal, yaitu: spiritualitas dan konsep pelayanan. Spiritualitas sejati adalah spiritualitas yang didasarkan pada transendensi dan imanensi Allah. Artinya, hidup kerohanian kita tetap berfokus kepada Allah yang adalah Tuhan sekaligus Sahabat terbaik kita. Sehingga di dalam hidup, kita tidak boleh melecehkan Allah hanya sebagai “pembantu” kita, dan di sisi lain, kita tidak perlu takut hanya karena Allah seperti “hantu” yang menyeramkan. Begitu juga di dalam ibadah. Sangat disayangkan banyak orang yang mengaku diri “Kristen” ketika beribadah ke gereja sama sekali tidak menghormati Allah. Mereka dengan rasa tak bersalah mengobrol, mondar-mandir, mengetik SMS, bahkan menerima telepon ketika khotbah disampaikan. Mereka berpikir bahwa Allah itu sahabat baik bagi mereka, sehingga kalau disebut sahabat, berbuat apa pun tidak menjadi masalah. Sebaliknya, beberapa gereja arus utama terlalu menekankan transendensi Allah, sehingga ibadah bagi mereka sangat kaku, ada tata caranya, harus dihafalkan, dll. Theologi Reformed Injili tidak mau terjebak di dalam dua ekstrim ini. Theologi Reformed Injili mau seimbang. Mengapa? Karena Alkitab mengajar hal itu bahkan di dalam bagaimana beribadah dengan bertanggung jawab. Perhatikan apa kata pemazmur. Mazmur 2:11-12 mengajar, “Beribadahlah kepada TUHAN dengan takut dan ciumlah kaki-Nya dengan gemetar, supaya Ia jangan murka dan kamu binasa di jalan, sebab mudah sekali murka-Nya menyala. Berbahagialah semua orang yang berlindung pada-Nya!” Di saat yang sama, kita diajar juga, “Beribadahlah kepada TUHAN dengan sukacita, datanglah ke hadapan-Nya dengan sorak-sorai! Ketahuilah, bahwa Tuhanlah Allah; Dialah yang menjadikan kita dan punya Dialah kita, umat-Nya dan kawanan domba gembalaan-Nya. Masuklah melalui pintu gerbang-Nya dengan nyanyian syukur, ke dalam pelataran-Nya dengan puji-pujian, bersyukurlah kepada-Nya dan pujilah nama-Nya! Sebab TUHAN itu baik, kasih setia-Nya untuk selama-lamanya, dan kesetiaan-Nya tetap turun-temurun.” (Mzm. 100:2-5) Di satu sisi, kita tetap beribadah dengan penuh kegentaran karena kita menghadap Raja di atas segala raja. Di sisi lain tanpa berkontradiksi, kita tetap bisa beribadah dengan bersukacita, karena kita tahu bahwa Allah itu yang menjadikan kita dan kita ini adalah umat tebusan-Nya (baca: Mzm. 100:3-5). Hal yang serupa juga terjadi di dalam konsep pelayanan kita. Pelayanan sejati adalah pelayanan yang serius karena kita sedang melayani Raja di atas segala raja. Di saat yang sama juga, kita tetap bersukacita di dalam melayani Tuhan, karena pelayanan kita bukan untuk menambah jasa baik, tetapi sebagai respon ucapan syukur kita karena telah diselamatkan. Orang yang sudah diselamatkan seharusnya melayani Tuhan dengan gentar dan sekaligus berkobar-kobar.


6. Allah yang berdaulat adalah Allah yang menyatakan diri-Nya
Di poin kelima, kita sudah belajar tentang Allah yang transenden sekaligus imanen. Di poin ini, kita akan mengkhususkan tentang imanensi Allah, yaitu Allah yang menyatakan diri-Nya. Allah yang berdaulat adalah Allah yang berdaulat mutlak dan rela membatasi diri-Nya untuk dikenal oleh ciptaan-Nya (Rm. 1:19). Penyataan diri Allah ini berkaitan dengan atribut-atribut Allah yang dikomunikasikan. Berkenaan dengan atribut-atribut Allah, theologi Reformed membagi dua macam atribut Allah, yaitu yang dikomunikasikan (communicable attributes of God) dan atribut yang tidak dikomunikasikan (incommunicable attributes of God). Atribut yang dikomunikasikan adalah atribut-atribut Allah yang dimiliki oleh manusia, misalnya adil, benar, jujur, bermoral, dll. Sedangkan atribut Allah yang tidak dikomunikasikan seperti Kekal, Mahatahu, dll tidak diberikan kepada manusia. Bagi atribut-atribut Allah yang dikomunikasikan inilah, kita dapat mengenal penyataan diri Allah. Berkenaan dengan penyataan diri Allah, theologi Reformed dengan tajam membagi dua, yaitu wahyu umum dan wahyu khusus. Wahyu umum adalah penyataan diri Allah kepada semua manusia melalui hati nurani (internal) dan alam semesta (eksternal) (mengutip pernyataan Pdt. Dr. Stephen Tong). Mengutip Pdt. Dr. Stephen Tong, respon terhadap wahyu umum bisa meliputi agama (respon terhadap hati nurani) dan kebudayaan (respon terhadap alam). Tetapi apakah cukup melalui wahyu umum Allah, manusia mengenal Allah? Tidak. Dr. John Calvin mengajar bahwa meskipun manusia ditanamkan sense of divinity (bibit agama), manusia sudah berdosa dan merusak apa yang sudah ditanamkan Allah di dalam manusia itu, sehingga respon terhadap wahyu umum Allah tidak mungkin dijadikan standar mutlak mengenal Allah sejati. Sehingga, Allah menyatakan diri-Nya secara khusus (wahyu khusus) hanya kepada beberapa orang yang telah dipilih-Nya sebelum dunia dijadikan, yaitu melalui Kristus (Penyataan diri Allah yang nyata dan final) dan Alkitab (Penyataan diri Allah yang tertulis). Dengan standar ini, kita dengan tajam memilah mana yang benar dan mana yang tidak benar berdasarkan wahyu khusus Allah.

Lalu, apa signifikansinya? Wahyu umum dan wahyu khusus mengajar kita bagaimana harus bersikap terhadap orang non-Kristen. Di satu sisi, kita sebagai orang Kristen tetap harus menghargai mereka yang bukan Kristen di dalam beberapa prinsip yang tidak esensial, misalnya menyangkut politik, etika, teknologi, dll. Sebagai respon terhadap wahyu umum Allah, mereka memiliki kebajikan-kebajikan tersendiri (yang tidak melawan Alkitab) yang bisa kita pelajari. Tetapi ingat, karena agama-agama non-Kristen hanya merupakan respon manusia berdosa terhadap wahyu umum Allah, kita tidak boleh mengadopsi mereka semua untuk melengkapi apa yang sudah kita dapatkan di dalam wahyu khusus Allah. Justru sebaliknya, kita yang sudah mendapatkan wahyu khusus Allah menerangi mereka yang hanya meresponi wahyu umum Allah, sehingga nama Tuhan dipermuliakan. Prinsip-prinsip yang tidak melawan Alkitab dan Kristus boleh kita terima, tetapi prinsip-prinsip yang jelas-jelas melawan Alkitab dan Kristus harus kita buang, meskipun prinsip itu laris di pasaran dunia. Selain itu, kita juga dituntut untuk mempertumbuhkan spiritualitas kita untuk hidup kudus, jujur, adil, dll, sebagaimana yang dituntut oleh Allah di dalam firman-Nya.





7. Allah yang berdaulat adalah Allah yang Mahakasih sekaligus Mahaadil (dan Mahakudus)
Allah yang berdaulat adalah Allah yang Mahakasih sekaligus Mahaadil. Kedua atribut Allah ini tidak bisa dipisahkan. Memisahkan kedua atribut Allah ini mengakibatkan munculnya bidat. Bidat di Amerika Serikat, Children of God terlalu mementingkan atribut Allah yang Mahakasih bahkan sampai melegalkan hubungan “kasih” di luar nikah. Baru-baru ini, di surat kabar, kita mendapatkan berita serupa tentang free-sex yang dilakukan oleh bidat Mormonisme (Gereja Orang-orang Suci Zaman Akhir—OSZA). Bukan hanya bidat, Kekristenan sendiri pun ada yang terlalu menekankan Allah yang Mahakasih, sehingga berbuat dosa apa pun tidak menjadi masalah, mengapa? Karena yang membuat manusia berdosa adalah iblis, maka yang perlu ditengking adalah iblisnya. Memang lucu, karena Alkitab mengajarkan, “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” (1Yoh. 1:9) Di sini tidak dikatakan, jika kita mengaku iblis yang mencobai kita, tetapi dikatakan, jika kita mengaku dosa kita. Artinya, kalau kita yang berdosa, itu berarti bukan iblis yang disalahkan, tetapi kita yang disalahkan, karena kita mau ditipu oleh iblis. Di sisi lain, ada golongan Kristen yang terlalu mementingkan aspek keadilan Allah. Kita melihat hal ini di dalam Reformasi Luther. Ketika hidup di biara, Dr. Martin Luther tersiksa, karena setiap hari ia diindoktrinasi bahwa Allah menuntut perbuatan baik dari umat-Nya, jika tidak berbuat baik, maka umat-Nya akan dimurkai Allah. Konsep ini tidak salah, tetapi jika konsep ini terus ditekankan, bisa berbahaya. Puji Tuhan, Dr. Martin Luther tidak frustasi lalu bunuh diri, tetapi atas anugerah Allah, Luther mendobrak ajaran yang berat sebelah ini dan mengajarkan pembenaran hanya melalui iman, karena perbuatan baik tidak cukup syarat menjadi pembenaran umat pilihan-Nya. Mari kita tinggalkan dua ekstrim ini dan kembali kepada Alkitab. Alkitab mengajarkan bahwa Allah itu Mahakasih sekaligus Mahaadil. Di dalam kasih-Nya, Ia tetap menghukum umat-Nya yang bersalah (baca: Why. 3:19, “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!”)

Apa signifikansi konsep ini? Konsep ini mengajarkan reaksi kita sebagai umat-Nya terhadap Allah. Kita sering kali sudah belajar doktrin ini, tetapi hidup kita masih sembrono. Kita masih menganggap bahwa Allah itu Mahakasih, Maha Pemurah, dll, sehingga kita terus berbuat dosa tanpa mau bertobat. Mari kita hari ini bertobat dari konsep kita yang salah ini, karena selain Mahakasih, Ia juga Mahaadil dan Mahakudus yang menuntut umat-Nya untuk hidup kudus (1Ptr. 1:16). Bagaimana kita bisa bertobat dari dosa ketidakkudusan? Caranya adalah terus memandang kekudusan Allah yang agung. Ketika kita memandang kekudusan Allah, kita baru tahu bobroknya kita dan di saat itu, kita perlu bertobat. Saya tersentuh sekali ketika membaca ucapan dari Dr. John Calvin di dalam bukunya Institutes of the Christian Religion, “… man is never sufficiently touched and affected by the awareness of his lowly state until he has compared himself with God’s majesty.” (= ... manusia tidak pernah cukup disentuh dan dipengaruhi oleh kesadaran akan statusnya yang rendah sampai ia membandingkan dirinya dengan keagungan Allah.)
[5] Biarlah ucapan ini menjadi perenungan bagi kita seberapa dalam kita merenungkan keagungan dan kekudusan Allah.


[1] Loraine Boettner, Iman Reformed, terj. Hendry Ongkowidjojo (Surabaya: Momentum, 2000), hlm. 11.
[2] John Calvin, Institutes of the Christian Religion, ed. John T. McNeill (USA: Westminster John Knox Press, 2006), Buku I, Bab I, Bagian 1, hlm. 35.
[3] Ibid., Buku I, Bab I, Bagian 2, hlm. 37.
[4] Louis Berkhof, Teologi Sistematika: Doktrin Allah, terj. Yudha Thianto (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1993), hlm. 154-155.
[5] John Calvin, Institutes of the Christian Religion, Buku I, Bab I, Bagian 3, hlm. 39.

1 comment:

Anonymous said...

The Top Ten
(10 daftar puncak ayat Alkitab yang mendasari ajaran Gereja)

Berikut adalah sepuluh daftar paling atas dari bagian di Alkitab, di mana gereja lain tidak bisa menjelaskan dengan baik tanpa mengadopsi pengajaran dari Gereja Katolik. Daftar ini bisa diperluas menjadi 20 paling atas, 50 paling atas, atau 100 paling atas, tetapi daftar 10 ini mencakup banyak hal dan dapat dengan mudah dimengerti sebelum dilakukan penjelasan ajaran (apologetik) yang lebih luas. Sepuluh daftar paling atas ini juga menyediakan pengenalan yang sempurna tentang pengajaran Gereja Katolik sebelum pembaca berusaha untuk mengkonsumsi lebih dari 2000 bagian Alkitab dan analisa di website ini (http://www.scripturecatholic.com).

Umat Katolik akan menjadi tahu dalam ayat-ayat ini sehingga mereka bisa secara efektif bersaksi tentang kebenaran dari Gereja. Gereja lain harus mengambil ayat-ayat ini secara mendalam sebagaimana mereka menghadapi tantangan kepercayaan mereka sendiri dan untuk menginvestigasi ajaran Gereja Katolik.

Tetapi kedua-duanya perlu ingat bahwa apologetik Katolik bukanlah berbicara tentang benar dan salah. Tetapi tentang berbagi kepenuhan dari kebenaran yang diberikan oleh Yesus Kristus kepada kita melalui GerejaNya yang Katolik dan Kudus. Kita juga percaya bahwa analisa ayat-ayat ini dan ayat yang lain di scripturecatholic.com menunjukkan bahwa pemahaman Gereja Katholik tentang Alkitab hampir selalu didasarkan pada makna literal dari kata-kata yang digunakan oleh penulis, suatu penafsiran paling layak dari berbagai cara penafsiran yang ada, dan posisi yang memberikan Yesus kemuliaan yang tinggi dengan menunjukkan kemurahan hati dan cintaNya yang tanpa batas kepada kita.

1. Matius 16:18-19/Yesaya 22:22 (Tentang Otoritas)
2. 1 Timotius 3:15 (Tentang Otoritas)
3. 2 Tesalonika 2:15 (Tradisi)
4. 1 Petrus 3:21 (Tentang Baptisan)
5. Yohannes 20:23 (Tentang Penguatan/Krisma)
6. Yohannes 6:53-58, 66-67 (Tentang Ekaristi)
7. 1 Korintus 11:27 (Tentang Ekaristi)
8. Yakobus 5:14-15 (Tentang Pengurapan)
9. Kolose 1:24 (Tentang Penderitaan)
10. Yakobus 2:24 (Tentang Perbuatan)

A. Otoritas

I. Matius 16:18-19 / Yesaya 22:22

Mat 16:18 Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.
Mat 16:19 Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.

YES 22:22 Aku akan menaruh kunci rumah Daud ke atas bahunya: apabila ia membuka, tidak ada yang dapat menutup; apabila ia menutup, tidak ada yang dapat membuka.

Dalam bahasa asli, kata jemaat dalam Mat 16:18 adalah Gereja (Yunani : Ekklesian/Ekklesia, Inggris KJV : Church). Kebanyakan gereja lain percaya bahwa "gereja" mengacu pada massa pengikut Kristen seluruh dunia, yang dengan bebas dihubungkan satu sama lain oleh iman mereka dalam Alkitab saja. Tetapi ayat ini menunjukkan bahwa "Gereja" yang didirikan oleh Yesus Kristus bukanlah suatu badan yang tak kelihatan dari pengikut bebas yang terhubung (loosely-connected), tetapi adalah suatu institusi yang hirarkis dan kelihatan yang dibangun di atas seseorang, Petrus. Seseorang yang diberi otoritas tertinggi, suatu badan dengan suksesi dinasti, dan diberikan ketidak-bersalahan (infallibility). Gereja ini Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik.

Di dalam ayat-ayat ini, kita lihat berikut :

Pertama, Yesus membangun GerejaNya (“ekklesia”) di atas Petrus. Yesus mengubah nama Simon menjadi Kepha, dan berkata bahwa di atas "Kepha" ini Ia akan membangun Gereja. Kepha, dalam bahasa Aram (bahasa di mana Yesus berbicara), berarti suatu bentuk batu karang raksasa, dan penggunaan Kepha oleh Yesus untuk mengubah nama Petrus menandakan dasar kepemimpinan di dalam Gereja (lihat juga Mrk. 3:16 dan Yoh. 1:42 di mana Yesus mengubah nama Simon menjadi "Kefas" yang mana transliterasi dari bahasa Aram "Kepha"). Hanya Gereja Katolik yang dapat memenuhi dan membuktikan suatu garis keturunan para pengganti yang tak terputus yang pondasinya adalah Petrus.

Yang kedua, Yesus mengatakan alam maut tidak pernah akan menguasai Gereja. Maka meskipun Yesus menugaskan manusia penuh dosa seperti Petrus untuk memimpin Gereja, Yesus berjanji neraka tidak akan menguasainya. Karena kuasa neraka mengacu pada yang hal-hal yang supranatural/gaib, ini harus berarti bahwa Gereja, walaupun dipimpin oleh orang-orang penuh dosa, akan dilindungi dengan sempurna. Karena Gereja sangat dilindungi, Gereja tidak bisa membawa orang beriman ke dalam kesalahan supranatural. Jadi, dia tidak bisa untuk memberi pengajaran yang salah dalam hal iman dan moral. Ketidak-bisa-an untuk memberi pengajaran yang salah dalam iman dan moral ini disebut "infallibility" atau ketidak-bersalahan (ini tidak bisa dikaitkan dengan kesalahan dan kebejatan para pemimpin Gereja, yang mana sudah mengarah pada "impeccabilas" atau ketidak-celaan). Jika Gereja tidak infallible, maka kuasa kematian atau alam maut tentu saja akan menjatuhkan anggotanya yang penuh dosa. Pengajaran Gereja yang konsisten dalam iman dan moral selama 2000 tahun membuktikan Yesus telah menjaga janjiNya.

Ketiga, Yesus memberi Petrus kunci kerajaan surga. Sementara banyak gereja lain berpikir bahwa pemberian "kunci" berarti bahwa Yesus menetapkan Petrus sebagai pelindung dari pintu gerbang surga, kenyataannya "kunci" tersebut mengacu pada otoritas Petrus atas Gereja di dunia (yang mana Yesus sering menggambarkannya sebagai "kerajaan surga." Mat. 13:24-52; 25:1-2; Mrk. 4:26-32; Luk 9:27; 13:19-20, dll.)
Di dalam kerajaan Daudiah (Perjanjian Lama), raja mempunyai perdana menteri di mana di atas bahunya Tuhan menempatkan kunci dari kerajaan (Yes 22:22). Dengan cara yang sama, kerajaan Kristus yang baru juga mempunyai seorang perdana menteri (Petrus dan para penggantinya) yang diberi kunci kerajaan.

Kunci tidak hanya merepresentasikan otoritas perdana menteri dalam mengatur jemaat Tuhan dalam ketidakhadiran sang raja, tetapi juga berarti termasuk rangkaian pergantian perdana menteri (sebagai contoh, di Yes 22:20-22, Eliakim menggantikan Shebna sebagai perdana menteri di dalam kerajaan Daudiah). Hanya Gereja Katolik yang mengakui dan membuktikan suatu rangkaian pergantian perdana menteri (paus) sampai dapat dilacak kembali ke Petrus, dan rangkaian pergantian ini dimudahkan melalui kunci kerajaan.

Akhirnya, Yesus mengatakan kepada Petrus bahwa apapun yang ia ikat dan lepaskan di atas bumi akan terikat dan terlepas pula di dalam surga. Seperti di dalam kerajaan Daudiah, kapan saja Petrus, perdana menteri membuka, tak seorangpun akan menutup, dan kapan saja ia menutup, tak seorangpun akan membuka. Yesus, oleh karena itu, memberi Petrus otoritas untuk membuat keputusan yang akan disahkan di dalam keabadian. Bagi Petrus yang penuh dosa (dan para penggantinya melalui penyampaian "kunci") untuk membuat keputusan seperti ini, ia harus dengan sempurna dilindungi. Sekali lagi, ini membuktikan bahwa Yesus memberikan ketidak-bersalahan (infallibility) kepada Gereja. Hanya di Gereja Katolik dan yang telah dibuktikan bahwa pengajarannya selama 2000 tahun dalam iman dan moral yang tidak berubah, infallibility dinyatakan.

II. 1 Timotius 3:15
1 Tim 3:15 Jadi jika aku terlambat, sudahlah engkau tahu bagaimana orang harus hidup sebagai keluarga Allah, yakni jemaat dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran.

Seperti yang dijelaskan di ayat yang pertama, dalam bahasa asli, kata jemaat dalam 1 Tim 3:15 inipun mauksudnya adalah Gereja (Yunani : Ekklesian, Inggris KJV : Church). Kebanyakan gereja lain percaya bahwa Alkitab menjadi tiang dan pondasi dari kebenaran, dan tidak ada pengetahuan di luar Alkitab yang diperlukan bagi keselamatan kita. tetapi kenapa Santo Paulus menulis bahwa Gereja, dan bukan Alkitab, menjadi tiang dan pondasi dari kebenaran? Ini adalah suatu teks kuat yang menyangkal teori Sola Scriptura (Hanya dengan Alkitab saja) dari gereja lain, yang mana secara salah meyakini bahwa Alkitab menjadi satu-satunya sumber kebenaran kekristenan (suatu teori yang tidak bisa ditemukan di manapun di dalam Alkitab sendiri). Sementara, Santo Paulus mengatakan Gereja yang menjadi tiang penopang dari kebenaran.

Ini maksudnya bahwa semua adalah kebenaran, bahwa Yesus mewarisi kita iman, moral dan keselamatan kita, mengalir melalui suatu Gereja yang hidup, seperti yang sudah kita pelajari, dibangun oleh Kristus sendiri di atas batu karang Petrus dan para penggantinya. Seperti yang diajarkan oleh Gereja Katolik, Tuhan telah memberi kita kebenaranNya dalam wujud firman yang hidup (Alkitab yang tertulis dan tradisi lisan) dan pengajaran yang hidup dari otoritas Gereja, yang diwarisi dengan pemberian kekuasaan untuk mengikat dan melepaskan. Sesungguhnya, ini adalah karena Gereja adalah pondasi kebenaran yang kita percayai dalam Alkitab. Ini adalah karena Gereja Katolik mengumpulkan Alkitab menjadi satu kitab dengan menentukan kitab mana adalah diilhami (inspired) oleh Tuhan dan kitab mana yang tidak. Gereja menyelesaikan pemilihan "kanon Alkitab" pada akhir abad keempat. Jika Gereja Katolik bukan merupakan puncak pondasi dari kebenaran, kepercayaan kita akan Alkitab akan tanpa dasar/pondasi yang kuat.

Kompilasi dari Alkitab oleh Gereja menerangi kesalahan Sola Scriptura. Seperti yang sudah disinggung di atas, gereja lain biasanya percaya bahwa Tuhan sudah mewahyukan semua hal yang diperlukan bagi keselamatan kita melalui Alkitab saja. Sebagai konsekuensi, mereka juga percaya bahwa tidak ada pengetahuan yang perlu dicari di luar Alkitab mengenai Iman Kristen yang diperlukan bagi keselamatan kita. Meskipun begitu, pengetahuan kitab-kitab mana yang menjadi bagian dari Alkitab dan kitab-kitab mana yang tidak adalah sangat penting bagi keselamatan kita, sebab jika kita tidak mengetahui, kita bisa terjerumus kepada kesalahan. Lebih lanjut, pengetahuan ini hanya bisa datang dari Tuhan sebab manusia tidak bisa melihat inspirasi ilahi.

Masalah dalam sola Scriptura, adalah bahwa pengetahuan tentang yang mana kitab-kitab yang diilhami dan yang mana yang tidak, tidaklah terdapat di Alkitab. Alkitab tidak mempunyai "daftar isi yang diilhami". Justru, pengetahuan tentang kanon adalah wahyu dari Tuhan yang penting bagi keselamatan kita, yang kita terima dari luar Alkitab. Wahyu ini diberikan kepada Gereja Katolik yang Kudus, dan fakta sejarah dan teologis ini menghancurkan doktrin Sola Scriptura (menariknya, sementara gereja lain menolak otoritas Gereja Katolik dalam kebanyakan hal, mereka menerima otoritas Gereja dalam menentukan kanon Perjanjian Baru).

Jika kita adalah seorang dari gereja lain berusaha untuk membuktikan doktrin Sola Scriptura, dan di sana adalah ayat yang berkata "Alkitab menjadi tiang dan penopang dari kebenaran," kita akan memproklamirkan ayat itu paling atas. Pada waktu yang sama, jika kita adalah seorang dari gereja lain, kita harus mengabaikan 1Tim 3:15 untuk melanjutkan protes tentang Iman Katolik.

B. Tradisi

III. 2 Tesalonika 2:15

2 Tes 2:15 Sebab itu, berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran yang kamu terima dari ajaran-ajaran yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis.

2 Tes 2:15 Therefore, brethren, stand fast, and hold the traditions which ye have been taught, whether by word, or our epistle.

2 Tes 2:15 ara oun adelphoi stêkete kai krateite tas paradoseis as edidachthête eite dia logou eite di epistolês êmôn

Di dalam Alkitab bahasa Yunani di atas, kata paradoseon, paradoseis, paradosin yang berdiri sendiri, selalu diterjemahkan sebagai tradition dalam bahasa inggris. Entah mengapa terjemahan bahasa Indonesia tidak menulisnya tradisi. Jika Anda mempunyai Alkitab atau Alkitab elektronik multi bahasa, dapat melihat contoh-contoh lain di Mat 15:2, Mat 15:3, Mat 15:6, Mar 7:3, Mar 7:5, Mar 7:8, Mar 7:9 dan beberapa ayat lagi, yang mengatakan bahwa kata tersebut berarti tradisi dalam bahasa Indonesia.

Seperti yang sudah kita bahas, gereja lain percaya bahwa kekristenan akan mengikuti Alkitab saja sebagai sumber Iman Kristen mereka (Sola Scriptura). Akan tetapi kenapa Paulus memberitahu kita untuk mengikuti kedua-duanya, yaitu Alkitab dan kata-kata lisan? Tidakkah Paulus menambahkan sesuatu hal lain untuk diikuti sebagai tambahan dari Alkitab? Ya, sebab doktrin Sola Scriptura adalah suatu doktrin salah.

Paulus berkata bahwa mematuhi tradisi yang tertulis (Kitab Suci) tidaklah cukup. Kita harus pula mematuhi tradisi lisan. Ini menjadi dasar pengajaran bahwa Kristus memberikan kepada para rasul pengajaran yang tidak tertulis (Rasul Yohanes mengatakan bahwa "dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu, bdk Yoh 21:25”).

Dengan kata lain, ini adalah semuanya yang lain di mana Gereja memberi pengajaran atas iman dan moral. Kita berterimakasih kepada tradisi lisan apostolik yang sudah secara pasti mengajarkan kepada kita tentang Allah Trinitas, dua keadaan Kristus (manusia dan ilahi), persatuan dari keadaan itu (hypostatic union), Filioque (Roh Kudus berasal dari Bapa dan Putra), dan kanon kitab suci (kitab-kitab mana yang termasuk di dalam Alkitab dan yang tidak). Semua pengajaran ini, dan banyak, banyak lagi yang lain tidak dengan tegas diajarkan di dalam Alkitab, tetapi secara umum dipercaya oleh semua kekristenan. Untuk belajar lebih banyak tentang tradisi lisan apostolik, Anda dapat membeli buku Katekismus Gereja Katolik.

Karena 2 Tesalonika 2:15 sangat mengganggu posisi doktrin Sola Scriptura, Gereja lain sering membantah bahwa dalam tradisi lisan, Paulus mengacu, tradisi itu harus berasal dari mulut para rasul. Argumentasi mereka lebih lanjut adalah bahwa, semua rasul meninggal, kita tidak lagi harus mengikuti tradisi lisan. Argumentasi ini, bagaimanapun, tidak bisa terbukti dari kitab suci (yang mana akan mungkin jika Sola Scriptura benar) dan pada kenyataannya, bertentangan dengan kitab suci sendiri. Sebagai contoh, di 2 Timotius 2:2 di mana Paulus (generasi pertama) menginstruksikan kepada Timotius (generasi kedua) untuk memberi pengajaran kepada yang lain tentang iman (generasi ketiga) yang akan bisa memberi pengajaran kepada yang lain juga generasi keempat). Argumentasi seperti itu juga bertentangan dengan seluruh maksud tradisi (dalam bahasa Yunani, "paradosis") yang mana berarti "diterima sampai ditangan" dari satu generasi kepada generasi berikutnya.


Lebih dari itu, argumentasi gereja lain juga terbantah, di mana pada saat Gereja memilih Kanon Alkitab. Sementara rasul terakhir Yohanes meninggal di sekitar tahun 100 M, Alkitab belum selesai dikumpulkan sampai tahun 397 M. Jadi Gereja diperlukan untuk menjaga tradisi lisan apostolik selama 300 tahun dalam rangka menentukan surat yang mana yang diilhami dan surat yang mana yang tidak. Tradisi tentu tidak berasal dari mulut rasul (mereka sudah meninggal), tetapi dari para pengganti mereka. (Tidak ada alasan juga untuk menyimpulkan bahwa Gereja perlu/seharusnya mendengarkan generasi keempat, kelima, atau keenam dari pengganti para pengganti rasul, tetapi tidak boleh mendengarkan dari para penggantinya di kemudian hari seperti kita saat ini).

Kita perlu juga catat bahwa tradisi apostolik yang diperintahkan Paulus kepada kita untuk diikuti di dalam 2 Tesalonika 2:15 tidak sama dengan tradisi orang Farisi yang dikutuk Yesus di dalam Mat 15:3 dan Mrk 7:9. Tradisi yang dikutuk Yesus mengarah pada peraturan ritual dan tindakan lain dalam Perjanjian Lama yang kontroversi dengan Perjanjian Baru. Maka ada tradisi manusia tertentu yang, jika bertentangan dengan Injil, kita harus menolak, dan tradisi apostolik lisan yang diperintahkan oleh Paulus harus kita terima.

Satu-satunya argumentasi gereja lain yang dapat dibuat adalah, sekali Alkitab dikumpulkan dan dikanonisasi, semua tradisi lisan apostolik sudah masuk dalam Kitab Suci. Sebagai hasilnya, kebutuhan untuk mengikuti tradisi lisan tidak diperlukan lagi. Tetapi mereka tidak bisa membuktikan dari Alkitab itu sendiri. Tidak ada di dalam Kitab Suci yang memerintahkan kita untuk mengikuti tradisi lisan hanya sampai Alkitab dikumpulkan dan dikanonisasi, dan kemudian mengikuti Alkitab saja (kata "Alkitab" bahkan tidak ada di Alkitab). Sesungguhnya, Yesus juga tidak pernah memerintahkan kepada siapapun dari para rasulNya untuk menulis apapun. Mereka hanya ditugaskan untuk "mengabarkan Injil kepada semua makhluk, Mat 28:19”. Sebab Kitab Suci adalah firman Tuhan yang hidup yang akan tetap sama dari kemarin, hari ini dan untuk selamanya (bdk. Ibr 13:10), dan tidak ada ayat di dalam Kitab Suci yang menentang perintah Paulus dalam 2 Tes 2:15, kita harus pula mematuhi tradisi lisan dari Gereja sebagaimana yang Paulus perintahkan, atau kita tidak setia kepada Kitab Suci.

C. Baptisan
IV. 1 Petrus 3:21
1 Pet 3:21 Juga kamu sekarang diselamatkan oleh kiasannya, yaitu baptisan, maksudnya bukan untuk membersihkan kenajisan jasmani, melainkan untuk memohonkan hati nurani yang baik kepada Allah oleh kebangkitan Yesus Kristus.


Kebanyakan gereja lain mengajarkan bahwa baptisan hanya simbolis dan tidak benar-benar menyelamatkan kita. Mengapa kemudian, Petrus mengatakan bahwa baptisan itu tentu saja menyelamatkan kita? Sebab baptisan, tidak seperti yang diajarkan gereja lain, adalah menyelamatkan. Melalui jasa dari kebangkitan Kristus, baptisan, Sakramen Inisiasi dalam Kristen yang dimulai oleh Kristus, membersihkan kita dari dosa asal, membuat kita diangkat menjadi anak-anak Tuhan, dan membawa kita kepada keselamatan.

Tidak seperti yang gereja lain ajarkan, baptis bukan hanya suatu tindakan simbolis yang berupa penuangan, percikan atau membenamkan orang ke dalam air (jika tidak, Petrus tidak akan berkata bahwa itu menyelamatkan kita). Kis 2:38 juga mengatakan hal ini bahwa kita harus bertobat dan dibaptis untuk pengampunan dosa kita. Pertobatan sudah barang tentu menjadi syarat keselamatan, dan baptisan merupakan tanda ke-berolehan keselamatan tersebut. Baptisan bukan hanya suatu pendekatan kepada Tuhan melalui suatu tanda simbolis. Inilah alasan kenapa Petrus mengatakannya "bukan sebagai suatu penghapusan kotoran dari badan”. Kebanyakan ahli mengatakan Petrus sedang mengacu pada khitanan (upacara ritual inisiasi dalam Perjanjian Lama) ketika ia menulis tentang “penghapusan kotoran dari badan. ”Khitanan adalah suatu isyarat simbolis di depan Tuhan yang tidak pernah dapat menyelamatkan kita. Tetapi, paling tidak, Petrus mengajar baptisan itu tidak berkenaan dengan bagian luar/lahiriah, tetapi bagian dalam dari kehidupan seseorang.

Jadi, Petrus mengajarkan bahwa baptisan itu menyelamatkan kita “dengan nurani yang bersih”. Ini berkenaan dengan bagian dalam kehidupan. Dengan cara yang sama, penulis dari Ibr 10:22, dalam hubungannya dengan pencucian dengan air yang murni (tentang baptis), mengatakan kita dibasuh dan menjadi “bersih dari nurani yang jahat”. Baptis menghapus dosa asal yang menggelapkan nurani kita. Ini memurnikan bagian dalam dari kehidupan seseorang. Baptis bukan hanya suatu eksternal, simbolis, upacara tanda/isyarat, (jika tidak, para penulis yang kudus tidak akan menulis tentang pemurnian dari nurani, di mana dosa dilahirkan).

Jadi, melalui kebangkitan Kristus, sekarang baptisan benar-benar menyelamatkan hidup rohani kita, sama halnya perahu nabi Nuh (yang mana Petrus mengatakan baptisan "sesuai dengan") yang menyelamatkan hidup keluarganya. Di dalam baptisan, kita dicuci bersih dari dosa asal dan menjadi anak angkat laki-laki dan perempuan dari Bapa. Inilah alasan kenapa Paulus menulis kepada Titus, mengenai baptisan, yaitu “Dia menyelamatkan kita dengan rahmat-Nya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus, yang mana Dia menuangkannya kepada kita dengan melimpah melalui Yesus Kristus, sedemikian sehingga kita dibenarkan oleh rahmatNya dan menjadi pewaris hidup abadi.” (Tit 3:5-7). Paulus menguatkan pengajaran Petrus bahwa baptisan itu menyelamatkan kita dengan pembaharuan bagian dalam hidup kita, yakni, jiwa kita, yang mana kini diwarisi dengan keilahian Tuhan dan rahmat penyucian. Jadi kita menjadi anak-anak Tuhan dan mewarisi kerajaanNya.

Hanya Gereja Katolik yang mengajarkan bahwa baptisan, berdasarkan atas jasa Kristus dan pelaksanaannya kepada kita, adalah menyelamatkan. Gereja lain, bertentangan dengan 1 Pet 3:21 (dan Titus 3:5-7; Yoh 3:5; dan Ibr 10:22) memberi pengajaran baptisan itu hanya simbolis. Dalam pelaksanaannya, Gereja Katolik melakukan persiapan yang cukup panjang untuk calon baptis (katekumen), karena menyadari bahwa baptisan adalah sesuatu yang sakral. Baptisan, karena merupakan meterai penyelamatan, harus benar-benar dipersiapkan oleh calon baptis dalam hal pemahaman ajaran Gereja Katolik, dan tentunya adalah pertobatan.


D. Pengakuan Dosa
V. Yohanes 20:22-23

Yoh 20:22 Dan sesudah berkata demikian, Ia mengembusi mereka dan berkata: “Terimalah Roh Kudus”.
Yoh 20:23 Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.

Gereja lain percaya bahwa orang Kristen perlu mengaku dosa mereka secara pribadi kepada Tuhan, dan tidak kepada seorang imam. Mengapa, kemudian Yesus memberi kuasa kepada para rasul untuk mengampuni dan mempertahankan dosa? Sebab, tidak seperti kepercayaan gereja lain, Yesus percaya bahwa orang Kristen secara terbaik berkembang dalam kekudusan dengan mengaku dosa mereka kepada para imam Nya dan menerima pengampunan dalam sakramen pengakuan dosa. Pengakuan dosa menjadi cara normatif dimana Tuhan mengampuni dosa kita.

Ayat ini sangat kuat mengganggu posisi gereja lain. Pertama, kita lihat bahwa Yesus menghembusi para rasulNya. Satu-satunya waktu lain Tuhan menghembusi manusia adalah ketika Ia menciptakan manusia dan memberikan nyawa di badannya (Kej 2:7). Ketika Tuhan menghembusi manusia, suatu perubahan terjadi. Di sini, para rasul diubah menjadi "Kristus lain" yang diisi dengan Roh Kudus dan diberi otoritas ilahi oleh Yesus untuk mengampuni dosa.

Begitu juga, Matius menulis, Tuhan itu memberi kuasa kepada manusia (Yesus sebagai Anak Manusia) untuk mengampuni dosa (Mat. 9:8). Kita juga catat bahwa Yesus tidak membedakan antara dosa yang sangat serius (dosa berat) dan dosa yang lebih sedikit (dosa ringan) (seperti pada 1 Yoh 5:16-17). Berdasarkan atas kemurahan hati Tuhan, para rasul bisa mengampuni semua dosa.

Kita juga mencatat bahwa para rasul tidak hanya diberi kuasa untuk mengampuni dosa, tetapi juga untuk mempertahankan dosa. Apa artinya ini? Maksudnya adalah bahwa para rasul diberi anugerah dalam memberikan pertimbangan dan keputusan atas ketulusan dari pengaku dosa, dan mengikat pengaku dosa dengan tindakan penebusan dosa agar diampuni dosanya. Jika di dalam pertimbangan para rasul, pengaku dosa tidak tulus hati, atau dikehendaki harus melaksanakan tindakan penebusan dosa di dalam perbaikan terhadap dosanya, para rasul bisa mempertahankan dosa (menahan pengampunan) sampai kondisi-kondisi mereka dipenuhi. Sementara otoritas seperti itu hanya dimiliki oleh Tuhan sendiri, Kristus membagi otoritas ini bersama dengan para rasul.


Kuasa untuk mempertahankan dosa sangat penting sebab ini memberikan otoritas kepada para imam, tidak hanya untuk mengampuni dosa, tetapi untuk menghapus penghukuman sementara terhadap dosa (Gereja menyebut penghapusan dari hukuman sementara terhadap dosa yang telah diampuni ini dengan sebutan "indulgensi"). Tentunya, jika seorang imam dapat mengampuni dosa berat (yang mana, jika tidak diampuni akan mengirim orang ke neraka), imam tentunya dapat menghapus hukuman sementara terhadap dosa ringan. Ini adalah bagian dari otoritas imam untuk mengikat (menahan dosa dan menentukan penebusan dosa) dan otoritas untuk melepaskan (mengampuni dosa dan penghapusan hukuman sementara terhadap dosa).

Tentu saja anugerah Yesus dalam otoritas yang disebutkan dalam Yoh 20:22-23 hanya dapat diberikan jika pengaku dosa mengaku dosanya secara lisan kepada para rasul. Para rasul tidak memberikannya dengan membaca pikiran si pengaku dosa, dan sekalipun mereka mengaku secara lisan, pengampunan dosa masih akan tergantung pada keinginan pendosa untuk diampuni (pendosa akan menyatakan keinginan itu dengan mengaku dosanya kepada imam). Jika pengakuan lisan tidak diperlukan, cara Yesus memberikan anugerah kepada para rasul tidak akan ada artinya.
Akhirnya, sekelompok kecil gereja lain mengakui bahwa para rasul mempunyai kuasa untuk mengampuni dan mempertahankan dosa, mereka hanya dapat mengesampingkan Yoh 20:22-23 dengan membantah bahwa otoritas ini berakhir pada kematian mereka. Masalah dengan argumentasi mereka bahwa ini tidak bisa dibuktikan dari Kitab Suci ( tidak bagian dalam Kitab Suci yang mengajarkan bahwa otoritas mengikat dan melepas, dari para rasul akan berakhir pada kematian). Sebaliknya, argumentasi dapat dibuktikan dari catatan sejarah (Gereja sudah dan terus memberikan sakramen pengakuan dosa selama berabad-abad).

Lebih dari itu, gereja lain gagal untuk memberikan penjelasan yang cukup tentang mengapa Yesus harus mewariskan anugerah yang tidak masuk akal seperti itu kepada jaman para rasul, dan kemudian mengambil kembali anugerah itu dari generasi berikutnya. Jawabannya, tentu saja adalah bahwa Ia tidak mengambil anugerah itu kembali. Anugerah dipelihara melalui rangkaian suksesi para imam oleh sakramen imamat seperti yang Kristus harapkan. Tentang pewarisan anugerah ini, Alkitab sering menyebutnya sebagai "penumpangan tangan." Kis 6:6; 13:3; 8:18; 9:17; 1 Tim 4:14; 5:22; 2 Tim 1:6

E. Ekaristi
VI. Yohanes 6:53-58, 66-67
Yoh 6:53 Maka kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu.
Yoh 6:54 Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman.
Yoh 6:55 Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman.
Yoh 6:56 Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia.
Yoh 6:57 Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku.
Yoh 6:58 Inilah roti yang telah turun dari sorga, bukan roti seperti yang dimakan nenek moyangmu dan mereka telah mati. Barangsiapa makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya."
Yoh 6:66 Mulai dari waktu itu banyak murid-murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia.
Yoh 6:67 Maka kata Yesus kepada kedua belas murid-Nya: "Apakah kamu tidak mau pergi juga?".

Kebanyakan gereja lain percaya bahwa roti dan anggur yang ditawarkan oleh Imam Katolik di dalam Misa Kudus hanya lambang dari tubuh dan darah Kristus. Mereka tidak percaya bahwa orang Kristen harus benar-benar makan daging dan minum darah Kristus untuk memperoleh hidup abadi. Mereka tidak percaya bahwa daging Kristus adalah makanan yang nyata, dan darahNya adalah minuman yang nyata. Mengapa, kemudian, Yesus berulang-kali mengatakan dalam ayat ini bahwa kita harus makan dagingNya dan minuman darahNya atau kita tidak punya hidup di dalam diri kita? Mengapa Kristus mengatakan bahwa dagingNya tentu saja adalah makanan, dan darahNya tentu saja adalah minuman, jika darah dan dagingNya bukan benar-benar makanan dan minuman? Pengajaran Yesus tentang Ekaristi ini adalah yang paling besar di dalam seluruh Kitab Suci, dan ayat ini adalah ayat yang sangat membuat masalah dan pertentangan di gereja lain, bahwa roti dan anggur dalam Misa Kudus hanya sebagai lambang.


Ketika Yoh 6 dengan penuh doa dibaca, kita lihat bagaimana Yesus secara berangsur-angsur memberi pengajaran orang beriman tentang roti dari sorga yang membawa hidup, yang akan Ia berikan kepada dunia (melalui pemecahan lembaran roti, mengacu kepada hujan manna yang diberikan kepada bangsa Israel, dan akhirnya mengacu kepada roti yang Yesus akan berikan, yang mana adalah dagingNya sendiri). Ketika bangsa Yahudi mempertanyakan Yesus tentang bagaimana mungkin ia bisa memberi mereka dagingNya untuk dimakan, Yesus menjadi lebih harafiah di dalam penjelasanNya. Yesus mengatakan beberapa kali bahwa kita harus makan (di dalam bahasa Yunani, "phago") dagingNya untuk memperoleh hidup abadi (yang secara harafiah berarti "untuk mengunyah").

Ketika bangsa Yahudi mempertanyakan keanehan pengajaranNya lebih lanjut, lebih lanjut pula Yesus menggunakan kata yang lebih harafiah lagi (di dalam Yunani, "trogo") untuk menjelaskan bagaimana kita harus makan dagingNya untuk memperoleh hidup abadi (yang mana secara harafiah berarti "untuk menggerogoti atau memamah") (Yoh 6:54). Di bagian lain Perjanjian Baru, kata “trogo” hanya digunakan dua kali (Mat. 24:38; Yoh 13:18) dan selalu digunakan secara harafiah (makan secara fisik). Gereja lain tidak mampu memberikan satu contoh di mana kata "trogo" pernah digunakan dalam makna simbolis. Untuk mengarahkan ke titik utama dari pengajaranNya, Yesus mengatakan bahwa dagingNya tentu saja makanan riil, dan darah Nya adalah tentu saja minuman riil (Yesus tidak mengatakan sesuatupun tentang roti (dan anggur) yang menjadi lambang Tubuh dan Darahnya).

Apakah kemungkinan-kemungkinan yang paling memaksa dari bagian ini, dan apa yang terjadi pada ujung ceramah Yesus. Kita mengetahui bahwa bangsa Yahudi memahami bahwa Yesus mengatakan secara harafiah. Ini ditunjukkan oleh pertanyaan mereka, "Bagaimana mungkin manusia memberi kepada kita dagingNya untuk dimakan?" Mereka tidak bisa mengerti tentang mengapa mengkonsumsi daging Yesus dapat membawa hidup dan bagaimana mereka bisa mungkin melakukan hal seperti itu. Kita juga mengetahui bahwa Yesus bereaksi terhadap pertanyaan mereka dengan menjadi lebih harafiah lagi tentang memakan daging Nya dan meminum darah Nya. Tetapi kita belajar dari ujung ceramah Yesus, bahwa banyak dari pengikut Nya, oleh karena kesulitan memahami pengajaranNya, memutuskan untuk tidak lagi mengikutiNya, dan Yesus membiarkan mereka pergi. Kemudian Ia menghampiri para rasulNya dan menanyai mereka "Akankah kamu juga pergi?".

Akankah Yesus, yang adalah inkarnasi dari Firman Tuhan yang menjadi manusia untuk menyelamatkan umat manusia, mengijinkan pengikut nya untuk meninggalkanNya jika mereka salah mengerti tentang pengajaranNya? Tentu saja tidak, apalagi pengajaranNya tentang bagaimana mereka memperoleh hidup abadi yang mana adalah inti dari misi Yesus. Yesus selalu menerangkan arti dari pengajaranNya kepada para muridNya (Mrk 4:34).

Yesus tidak mengatakan, "Hei, orang-orang, kembali ke sini, kamu semua salah mengerti". Ia tidak melakukan ini sebab mereka semua tidak salah. Mereka memahami dengan tepat, kita harus makan daging Yesus dan minum darahNya, atau kita tidak memiliki hidup di dalam diri kita. Gereja lain yang menentang, bahwa roti dan anggur yang diberikan oleh Gereja Katolik di dalam Misa Kudus adalah hanya simbol (dan bukan secara ajaib menjadi tubuh dan darah Kristus melalui tindakan dari Imam yang bertindak "sebagai persona Christi") harus membaca Yoh 6:53-58, 66-67, mengapa Yesus menggunakan kata-kata yang Ia katakan, dan mengapa Yesus mengijinkan pengikut Nya untuk meninggalkanNya jika mereka memahamiNya dengan benar (yang mana adalah satu-satunya kejadian di dalam Injil di mana Kristus mengijinkan murid Nya untuk meninggalkanNya berkenaan dengan pengajaran doktrin).

Ketika kita merenungkan misteri ini dengan pikiran dan hati yang terbuka, kita diajak untuk percaya dan mengetahui bahwa Ekaristi menjadi cara Bapa untuk memberi kita PutraNya di dalam perjanjian cinta yang abadi oleh kuasa Roh Kudus. Ekaristi adalah perluasan dari Inkarnasi. Jika kita bisa mempercayai Inkarnasi (Tuhan menjadi bayi mungil), selanjutnya akan mudah bagi kita untuk percaya bahwa Tuhan membuat Dirinya secara hakekat hadir dalam wujud roti dan anggur. Gereja telah mengajar untuk 2000 tahun lamanya bahwa Ekaristi menjadi sumber dan puncak dari Iman Kristen, kesempurnaan dari pengorbanan anak domba Paskah, yang mana kita dikembalikan kepada Tuhan dan mengambil bagian di dalam hidup ilahiNya. Paulus mengatakan, "anak domba Paskah kita telah dikorbankan, oleh karena itu, mari kita merayakan pesta". (1 Kor 5:7-8).

VII. 1 Korintus 11:27
1 Kor 11:27 Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan.

Walaupun gereja-gereja lain mengajarkan bahwa Ekaristi hanyalah simbol dari tubuh dan darah Kristus, Paulus dalam ayat ini mendasari pengajaran Katolik yang mengajar bahwa Kristus itu nyata, sungguh-sungguh, dan secara hakekat (substansi) hadir dialam Ekaristi. Paulus mengkonfirmasikan apa yang Yesus ajarkan dalam Injil Yohanes bab 6. Jika kita ikut serta dalam Ekaristi dengan tidak layak, kita bersalah karena kejahatan mencemarkan tubuh dan darah Kristus (yang secara harafiah, membunuh Kristus). Ini pengajaran yang sangat khidmat dan kuat membuktikan dengan pasti pemahaman Katolik tentang Ekaristi dan meninggalkan keraguan kecil, bila ada, tentang kehadiran yang riil (Real Presence).


Suatu ilustrasi tentang penerapan dari ayat ini yang mungkin sangat menolong. Suatu waktu, sebut saja Toni yang seorang Katolik sedang berdebat dengan seseorang dari gereja lain di tempat kerja, tentang Kehadiran Kristus yang riil (Real Presence) dalam Ekaristi. Toni menerangkan kepadanya bahwa dalam ketiga Injil Sinoptik tentang Perjamuan Terakhir, seperti juga dalam pengajaran Paulus yang menerima secara langsung dari Kristus, Yesus mengambil roti, memberkati dan memecah-mecahkannya, dan berkata, "Inilah tubuhKu". Dengan cara yang sama, ia mengambil anggur, mengucap syukur, dan berkata, "Inilah darahKu" (Mat 26:26-28, Mar 14:22-24, Luk 22:19-20, dan 1 Kor 11:21-25). Toni menekankan bahwa Yesus tidak mengatakan "Ini mewakili tubuh dan darahKu," atau " Ini adalah lambang tubuh dan darahKu" (meskipun ada banyak kata kerja dalam bahasa Aram untuk kata “mewakili”). Toni menjelaskan lebih lanjut kepadanya, bahwa Tuhan tidak, dan tidak bisa, menyatakan sesuatu tanpa membuatnya, dan menantang dia untuk menemukan dalam Kitab Suci, ayat untuk membuktikan Toni salah, dan ia tidak bisa.

Sebagai gantinya, gereja lain memberikan penjelasan, dengan ilustrasi foto istrinya diambil dari dinding di dalam ruangannya, dan diberikannya kepada Toni, dan berkata, "Inilah istriku". Kemudian ia menanyai Toni, "Apakah ini bukan benar-benar dia, siapakah dia?". Ia pikir ia membuat Toni diam.

Pertama-tama Toni memberi selamat pada dia atas pasangan cantik yang dikaruniakan kepadanya seperti itu. Toni kemudian berpura-pura menyobek foto itu dan menjatuhkannya ke lantai, berpura-pura menginjak-injaknya. Toni membuat sedikit kegaduhan. Ia melihat Toni dengan ekspresi terkejut dan bingung. Toni kemudian menanyainya, “Bukankah sekarang saya bersalah telah mencemarkan tubuh dan darah istrimu?”

Setelah beberapa saat, ia menjawab, “Tidak”. Toni balik bertanya kepadanya, “Mengapa tidak?”. Pikirannya benar-benar berputar, tetapi Toni berpikir bahwa ia tidak mengetahui arah pikiran Toni. Toni menyela untuk membantunya, dengan mengatakan “aku akan memberitahu kamu mengapa, dari poin yang baru saja kamu buat. Karena foto istrimu hanyalah simbol dari dia (istrimu), dan bukan benar-benar dia?”. Sampai titik ini, ia setuju, tetapi masih bingung. Toni kemudian menambahkan, “menjadi bersalah dengan mencemarkan tubuh dan darah istrimu karena menyobek fotonya dan akan menyakitkan hatinya adalah tidak mungkin, sebab kamu tidak bisa mencemarkan suatu simbol, apakah ini benar?” Ia menyetujui.


Toni kemudian mengarahkan pembicaraan ke titik utama dengan mendekatinya dan menanyakan dengan pelan-pelan. “Kemudian mengapa Paulus di dalam 1 Kor 11:27 menyatakan kepada kita bahwa kita menjadi bersalah dengan mencemarkan tubuh dan darah Kristus jika kita menerima Ekaristi dengan tidak layak? Itu adalah sesuatu pernyataan yang tak masuk akal jika Ekaristi hanyalah suatu simbol, tidakkah seperti itu?”. Setelah jeda beberapa lama terlihat kebingungan dari teman Toni dari gereja lain tersebut untuk berkata-kata. Yang dapat dilakukannya adalah meminta Toni untuk mengembalikan foto istrinya kepadanya dan berjanji bahwa ia akan membaca ayat dalam konteks yang benar dan akan kembali lagi kepada Toni. Tetapi ia tidak pernah melakukannya.






F. Pengurapan Orang Sakit
VIII. Yakobus 5:14-15

Yak 5:14 Kalau ada seorang di antara kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan.
Yak 5:15 Dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni.

Sementara gereja lain biasanya mempunyai beberapa bentuk bantahan untuk kebanyakan ayat dalam Kitab Suci yang mendukung pengajaran Gereja Katolik (yang selalu dapat dibuktikan balik), mereka biasanya hanya mempunyai sedikit kata-kata untuk Yak 5:14-15. Kebanyakan gereja lain menyimpan ayat ini, tidak pernah untuk berhubungan dengannya lagi. Ini adalah karena tidak ada tempat untuk meletakkan ayat ini dalam Teologinya. Tidak cocok di bagian manapun.

Bagian ini mendasari Sakramen Pengurapan Orang Sakit dari Gereja Katolik (yang dulu disebut "Pemberian minyak suci secara sungguh-sungguh/Extreme Unctuation") Sakramen ini, yang adalah salah satu tujuh sakramen, Yesus mengadakan untuk GerejaNya, dan diberikan kepada orang-orang dalam bahaya kematian, menderita penyakit yang mematikan, atau berhadapan dengan penanganan medis yang serius.

Ayat ini menunjukkan beberapa hal yang telah diajarkan oleh Gereja selama 2000 tahun. Pertama, untuk menerimakan sakramen, orang harus meminta uskup atau para imam Gereja. Ini memerlukan seorang laki-laki yang secara khusus ditahbiskan untuk melakukan pekerjaan khusus tersebut, dan berkaitan dengan apa yang kita mengerti tentang Gereja (jangan lupakan Petrus, kunci-kunci, suksesi kerasulan, pentahbisan imam, kuasa untuk mengikat dan melelepaskan, dan pondasi dari kebenaran).

Kedua, Yakobus mengatakan doa imam yang penuh iman akan menyelamatkan penderita sakit dan Tuhan akan menaikkan dia ke atas. Ini menunjukkan tindakan para imam Gereja dalam pribadi Kristus (“in persona Christi") di dalam melanjutkan karya penyelamatan Kristus. Yesus adalah satu-satunya Juru Selamat kita, tetapi Ia menginginkan kita untuk mengambil bagian di dalam imamatNya yang abadi, dan Ia memanggil manusia (laki-laki) tertentu untuk mengambil bagian dengan cara yang sangat mendalam untuk menuju keselamatan (melalui jabatan imamat yang dijelaskan di sini). Sehingga para imam, melalui kuasa Kristus, menyelamatkan jiwa penderita sakit.

Akhirnya, berdasarkan atas doa dan tindakan dari para imam, dosa-dosa penderita sakit diampuni (ini yang sebenarnya menyelamatkan jiwa manusia). Gereja lain mengalami kesulitan besar dengan ayat ini terutama karena ayat ini menunjukkan bahwa para imam mempunyai otoritas dan kuasa untuk mengampuni dosa (yang diberikan kepada manusia oleh Kristus, lihat juga Mat 9:8, Yoh 20:23). Tidak sama dengan apa yang Alkitab nyatakan, tidak ada di manapun dalam teologi atau praktek di gereja lain yang menyatakan tentang pengampunan dosa oleh pendeta atau sakramen untuk orang sakit.


G. Penderitaan
IX. Kolose 1:24
Kol 1:24 Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat.

Kol 1:24 Who now rejoice in my sufferings for you, and fill up that which is behind of the afflictions of Christ in my flesh for his body's sake, which is the church

Seperti pada beberapa ayat sebelumnya, di dalam ayat ini, kata church dalam bahasa inggris sebenarnya lebih cocok diterjemahkan sebagai gereja, yang merupakan Tubuh Kristus. Umat Kristen percaya bahwa penderitaan yesus dan kematianNya secera keseluruhan cukup untuk pengampunan semua dosa dunia. Mengapa kemudian Paulus mengatakan bahwa ada sesuatu yang kurang dalam penderitaan Kristus? Bagaimana hal ini mungkin? Pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh pemahaman Gereja Katolik yang sudah berumur 2000 tahun, bagaimana kita sebagai umat Kristen mengambil bagian dalam penebusan dan penyelamatan Kristus.

Kebanyakan gereja lain memberikan Anda janji manis ketika mereka memberikan pengajaran tentang penderitaan. Sebab di dalam aliran gereja lain tersebut pada umumnya Anda semua hanya perlu untuk menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi, dan diselamatkan, tidak ada yang lain, penderitaan sederhananya dipandang sebagai sesuatu yang harus dipikul sebagai bagian dari keadaan manusia, tanpa nilai atau manfaat untuk diri kita atau orang lain. Karena Gereja Katolik percaya bahwa masing-masing dari kita, berdasarkan baptisan kita, mengambil bagian dalam Imamat abadi Kristus, Gereja juga mengajarkan bahwa doa kita, perbuatan baik, dan bahkan penderitaan adalah melanjutkan pekerjaan penebusan Kristus. Ini adalah konsekwensi dari menjadi anggota persekutuan para Kudus. Ini adalah juga yang ditulis oleh Paulus tentang suratnya di Kolose 1:24.

Di ayat ini, Paulus mengatakan ia bergembira di dalam penderitaannya untuk kepentingan orang lain. Dari yang yang kita pahami tentang Paulus, kita dapat dengan menyimpulkan bahwa pada kenyataannya ia tidak bergembira di dalam keadaan seperti apapun (dia menderita). Ia bergembira karena telah menderita untuk ikut menyempurnakan pekerjaan penebusan Kristus. Memang sangat sedikit surat-surat tentang teologi ini. Kita juga lihat bahwa kegembiraan Paulus bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk anggota Gereja yang lain. Maka kegembiraan Paulus tentang nilai dari penderitaannya di dalam pekerjaan penebusan berdasarkan pada pemahaman bahwa penderitaanya adalah untuk membantu orang lain (bukan karena ia menikmati sakit dalam penderitaan). Ini menjadi lebih jelas seperti pada saat Paulus menjelaskan pengajarannya dalam konteks Tubuh Mistis Kristus, dan hanya dalam konteks ini pengajaran Paulus bisa dimengerti.

Paulus menjelaskan bahwa ia melengkapi apa yang menjadi kekurangan dari penderitaan Kristus. Tetapi Paulus tidak melakukan ini untuk kepentingan Kristus Sendiri, sebab penderitaan Kristus adalah cukup dan sempurna untuk penebusan kita. Paulus tidak bisa menambahkan apapun kepada kekuatan penderitaan Kristus. Justru, Paulus menjelaskan bahwa ia mengerjakan ini untuk kepentingan Gereja (Tubuh Mistik) di mana Kristus menjadi kepalanya. Mengapa? Sebab Tuhan menginginkan kita untuk mengambil bagian dalam penderitaan Kristus dalam melanjutkan pekerjaan penebusanNya. Jadi, di dalam Gereja dan untuk Gereja, Yesus Kristus, dengan cara yang misteri, memberikan ruang dan mengijinkan penderitaan kita untuk dipersatukan dengan penderitaanNya, untuk memenuhi kehendak Bapa. Dalam baptisan kita, di mana kita menjadi anak-anak di dalam PutraNya dan mengambil bagian dalam ImamatNya, bahwa penderitaan kita dapat melanjutkan pekerjaan penebusan Kristus. Ini adalah hal yang mulia, tetapi ini sama seperti cinta Tuhan kepada kita, dan ini justru oleh karena cinta Tuhan kepada kita semata.

Bagaimana kita, seperti Paulus, melengkapi kekurangan dari penderitaan Kristus untuk kepentingan Gereja? Kita memberikan penderitaan kita sebagai pengorbanan pujian kepada Tuhan. Sebagai ganti dari memikul penderitaan, kita secara harafiah akan menderita melalui doa untuk menyempurnakan pekerjaan penebusan Kristus. Ini adalah apa yang Gereja sebut sebagai "penderitaaan penebusan". Jenis penderitaan ini yang membuat Paulus bergembira, dan inilah alasan kenapa cara kita menjalani penderitaan menjadi sangat penting. Penderitaan seperti itu dapat bermanfaat tidak hanya bagi mereka yang menderita, tetapi bagi semua anggota Tubuh Kristus. Jenis penderitaan yang terburuk adalah penderitaan yang sia-sia. Hanya Gereja Katolik, yang selama 2000 tahun telah hidup dan diajar oleh pengajaran Paulus dalam penderitaan.

H. Perbuatan
X. Yakobus 2:24
Yak 2:24 Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman.

Sebagai tambahan terhadap kepercayaan mereka di dalam Alkitab Saja ("Sola Scriptura"), kebanyakan gereja lain percaya bahwa semua orang harus menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi untuk dibenarkan oleh Tuhan (pembenaran adalah proses dengan mana manusia digerakkan oleh rahmat, menuju ke arah Tuhan dan meninggalkan dosa, dan menerima pengampunan dan kebenaran Tuhan). Jadi, kebanyakan gereja lain percaya bahwa orang dibenarkan dan diselamatkan oleh iman nya di dalam Kristus saja (yang disebut "Sola Fide" atau Iman Saja). Tetapi jika ini benar, kenapa kemudian Yakobus mengatakan bahwa seorang manusia dibenarkan oleh perbuatan dan bukan oleh iman saja?

Yakobus mengatakan ini, sebab kita dibenarkan, dan akhirnya diselamatkan melalui kedua-duanya, iman dan perbuatan kita, dan tidak hanya iman saja. Pada kenyataannya, satu-satunya tempat di dalam Alkitab di mana frase "iman saja" muncul adalah di dalam Yakobus 2:24 di mana di situ dikatakan kita dibenarkan oleh perbuatan dan bukan oleh iman saja. Sehingga Alkitab tidak pernah memberi pengajaran di manapun bahwa kita dibenarkan, diselamatkan, atau yang lainnya, oleh iman saja. Sementara dalam hal ini, posisi Gereja Katolik nampak jelas nyata, teologi iman dan perbuatan berkenaan dengan keselamatan kenyataannya cukup rumit, dan telah menjadi salah satu sumber utama perpecahan antara Gereja Katolik dan Gereja lain. Karenanya, poin-poin harus dibuat untuk menanggapi kontroversi ini dan memperjelas pengajaran Katolik

Pertama, Katolik akhirnya percaya bahwa kita diselamatkan, bukan oleh iman atau perbuatan, tetapi oleh Yesus Kristus dan hanya Dia. Kematian Yesus Kristus dan kebangkitanNya adalah semata-mata sumber dari pembenaran (sedang dalam hubungan yang benar dengan Tuhan) dan keselamatan kita (berbagi dalam kehidupan ilahi dengan Tuhan). Tetapi sebagai hasil dari kematian dan kebangkitan Kristus, kini kita mampu menerima rahmat Tuhan. Rahmat/anugerah adalah hidup ilahi milik Tuhan yang mana diberikanNya ke dalam jiwa kita. Inilah pengertian bahwa Adam pada permulaan kalah untuk kita, dan Kristus menang kembali untuk kita. Rahmat ini yang menyebabkan kita untuk mencari Tuhan dan untuk percaya dalam Dia (bagian "iman"). Non-Katolik biasanya berhenti sampai di sini.

Tetapi Tuhan menginginkan kita untuk merespon terhadap rahmatNya dengan membawa iman kita ke dalam tindakan (bagian "perbuatan"). Inilah alasan kenapa Yesus selalu mengajar tentang keselamatan kita dalam konteks apa yang benar-benar kita lakukan selama hidup kita di dunia, dan bukan berapa banyak iman yang kita miliki ("segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40,45)). Ketika Yesus memberi pengajaran tentang kedatanganNya yang kedua di mana Ia akan memisahkan domba dari kambing, Ia mendasarkan keselamatan dan kutukan atas apa yang benar-benar kita lakukan ("perbuatan"), apakah benar atau jahat. (Mat 25:31-46). Di dalam Yak 2:14-26, Yakobus dengan cara yang sama menginstruksikan kepada kita untuk meletakkan iman kita ke dalam tindakan dengan melakukan perbuatan baik, dan tidak hanya dengan memberikan persetujuan iman intelektual. Yakobus mengatakannya dengan "jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati" (Yak 2:17, 26).

Maka kita harus melakukan lebih dari menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi. Bahkan setanpun percaya bahwa Yesus adalah Juru Selamat, dan "mereka gentar" (Yak 2:19). Kita harus pula berbuat baik. Iman menjadi permulaan proses yang mengarahkan kita kepada pembenaran, tetapi iman saja tidak pernah memperoleh rahmat pembenaran. Iman dan Perbuatan bertindak bersama-sama untuk mencapai Pembenaran kita. Paulus mengatakannya dengan sangat baik ketika ia menulis bahwa kita memerlukan "iman yang bekerja dalam kasih" (Gal 5:6). Kita tidak dibenarkan dan diselamatkan oleh iman saja.


Kedua, adalah penting untuk membedakan antara "perbuatan" yang diajarkan Yakobus di dalam Yak 2:24 dan "perbuatan menurut hukum" diajarkan Paulus di dalam Rom 3:20,28; Gal 2:16,21; 3:2,5,10; dan Efe 2:8-9. Gereja lain biasanya mengacaukan "perbuatan baik" yang diajarkan Yakobus dan “perbuatan menurut hukum” yang diajarkan Paulus" ketika mereka mencoba untuk membuktikan bahwa "perbuatan" adalah tidak relevan kepada pembenaran dan keselamatan. "Perbuatan menurut hukum" yang diajarkan Paulus di dalam Ef 2:8-9 dan di bagian lain merunjuk pada Hukum Musa dan sistem hukum mereka yang dibuat Tuhan, dan diwajibkan bagi mereka untuk memperloleh imbalan dari perbuatan. Mereka akan sangat “bangga” dengan perbuatan mereka dan menghargai perbuatan mereka untuk diri mereka sendiri. (Bdk Rom 4:2; Ef. 2:9). Paulus mengajarkan bahwa dengan kedatangan Kristus, Hukum Musa (tentang moral, hukum, dan peraturan adat) yang membuat Tuhan mengampuni dosa-dosa kita, tidak lagi dapat membenarkan seseorang. Sebagai gantinya, Paulus mengajarkan bahwa sekarang kita dibenarkan dan diselamatkan oleh rahmat (bukan kewajiban terhadap hukum) melalui iman (bukan perbuatan mematuhi hukum) (Ef. 2:5,8). Karenanya kita tidak lagi “bangga” dengan menghargai perbuatan kita untuk diri kita sendiri. Kita menghargainya untuk Tuhan yang memberikan segalanya kepada kita dengan cuma-cuma oleh rahmatNya.

Oleh karena itu, kita tidak lagi diharuskan untuk memenuhi “perbuatan hukum”, tetapi untuk memenuhi “Hukum Kristus” (Gal. 6:2). Inilah alasan kenapa Paulus menulis bahwa “pelaku hukum Taurat (yang relevan dengan hukum Kristus)” akan dibenarkan (Rom. 2:13). Tentu saja, “perbuatan menurut hukum” yang ditulis Paulus dalam Rom. 3:20,28; Gal. 2:16,21; 3:2,5,10 dan Ef. 2:8-9 tidak ada hubungannya dengan “perbuatan baik” yang diajarkan Yakobus dalam Yak. 2:24 atau “hukum” yang diajarkan Paulus dalam Rom. 2:13 (sebab semua menjadi bagian dari Firman Tuhan yang tidak pernah dapat saling berkontradiksi).

Secara ringkas, berdasar Kitab Suci, Gereja telah mengajarkan selama 2000 tahun bahwa kita dibenarkan dan diselamatkan oleh kemurahan hati dan rahmat Kristus melalui kedua-duanya iman dan perbuatan, dan bukan iman saja. Kita tidak lagi berada dalam sistem hukum hutang, di mana Tuhan memberikannya kepada kita (sebagai pemberi pinjaman/pendosa). Kita sekarang berada dalam sistem rahmat di mana Tuhan memberi penghargaan atas perbuatan kita ketika dilaksanakan dengan iman dalam Kristus ( Bapa/Anak). Ini juga berarti bahwa kita harus melanjutkan untuk melatih iman dan perbuatan kita sampai akhir dari hidup kita untuk diselamatkan. Inilah alasan kenapa Yesus mengatakan kepada kita untuk "bertahan sampai akhir" untuk bisa diselamatkan (Mat 10:22; 24:13; Mar 13:13). Ini adalah juga mengapa Paulus memperingatkan kita bahwa kita bisa kehilangan keselamatan kita jika kita tidak bertekun (Bdk Rom 11:20-23; 1 Kor 9:27). Iman Katolik ini membantah novel gereja lain tentang gagasan "sekali selamat tetap selamat".

Copyright 2006 by John Salza (johnsalza@scripturecatholic.com)
Alih Bahasa : Fantioz (fantioz@yahoo.com)