oleh: Denny Teguh Sutandio
“Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku.”
(1Kor. 15:10)
Salah satu semboyan penting Reformasi Gereja dari Dr. Martin Luther adalah sola gratia (hanya oleh anugerah Allah). Memang dalam konteksnya, Dr. Luther mengaitkan anugerah Allah ini dengan keselamatan di dalam Kristus, namun saya sangat percaya bahwa anugerah Allah sebenarnya bukan hanya berkaitan dengan keselamatan di dalam Kristus, namun di dalam seluruh aspek kehidupan Kristen. Dengan kata lain, hidup orang Kristen seharusnya merupakan hidup oleh dan di dalam anugerah Allah. Kata anugerah berarti suatu pemberian kepada orang yang tak layak menerimanya. Anugerah Allah di sini mencakup baik anugerah umum (common grace) dan anugerah khusus (saving grace) dari Allah, namun di dalam Kristus, kita mengkhususkan pada anugerah khusus. Jika demikian, apa yang dimaksud dengan hidup oleh dan di dalam anugerah Allah?
Hidup oleh anugerah Allah berarti:
Pertama, hidup yang berpusat pada anugerah Allah. Ini berarti dalam setiap inci kehidupan kita, baik dalam sekolah, kuliah, pekerjaan, jodoh, keluarga, dll, kita mengakui bahwa Allah saja yang berperan serta di dalamnya. Mengakui anugerah Allah identik dengan mengakui Allah berperan serta di dalamnya yang juga berarti mengakui bahwa Ia adalah Raja sekaligus Sahabat kita yang terbaik yang memelihara setiap inci kehidupan kita. Tanpa anugerah dan pemeliharaan-Nya, kita tidak mungkin seperti sekarang ini (bdk. pengakuan Paulus di dalam 1Kor. 15:10 di atas).
Kedua, tidak merasa diri hebat. Seperti dua sisi mata uang yang saling berkaitan, maka hidup oleh anugerah Allah di sisi lain juga berarti sebagai umat-Nya, kita tidak perlu merasa diri hebat. Terlalu banyak orang Kristen yang secara mulut mengakui anugerah Allah, namun secara hati dan kelakuan, mereka masih menyombongkan diri dan menganggap bahwa tanpa dirinya, orang lain akan merasa rugi bahkan tidak bisa hidup, dll (biasanya ini terjadi pada orang yang berusia tua atau sudah mengenyam pendidikan tinggi). Hal ini bisa kita ketahui dari motivasi seseorang tatkala menegur orang lain. Coba introspeksi diri kita masing-masing: ketika kita menegur orang lain yang salah, apa yang ada di benak kita? Apakah kita berpikir bahwa jika kita tak menegurnya, maka orang itu akan binasa atau lainnya? Ataukah kita menegur dengan kasih? Kedua, coba introspeksi diri kita dengan reaksi orang yang kita tegur. Setelah menegur seseorang, kita pasti mendapatkan reaksi dari orang tersebut, entah itu menerima atau menolak teguran kita. Jika orang tersebut menolak teguran kita, apa yang kita pikirkan? Akankah kita berpikir, “Jangan belagu lu, masih muda/belum berpengalaman sudah berani gak mau terima teguran orang tua yang sudah berpengalaman!”? Jika ini masih ada di dalam pikiran kita, bertobatlah sekarang, karena kita ternyata masih menyimpan bibit kesombongan secara tidak sadar meskipun secara mulut berkali-kali berkata tentang anugerah. Kita bisa membodohi manusia, namun jangan sekali-kali membodohi Allah!
Setelah kita menyadari bahwa segala sesuatu itu terjadi oleh anugerah Allah, maka apakah itu berarti kita tidak usah berbuat apa-apa? TIDAK! Doktrin anugerah Allah TIDAK menjadikan orang Kristen malas, malahan justru membangkitkan semangat orang Kristen untuk memuliakan-Nya. Karena segala sesuatu itu adalah anugerah Allah, maka anugerah-Nya memampukan kita untuk hidup di dalam anugerah-Nya yang berarti:
Pertama, meresponi anugerah-Nya. Meresponi anugerah Allah berarti sebuah tindakan pasif (sekaligus aktif) yang menghadirkan anugerah Allah itu di dalam setiap aspek kehidupan kita. Di sini kita dimampukan-Nya untuk tidak merebut kemuliaan-Nya demi kepentingan sendiri. Ketika kita dipuji seseorang karena kita baik atau tampan/cantik atau cinta Tuhan, apa reaksi kita? Meresponi anugerah-Nya menuntut kita untuk mengembalikan semua pujian hanya kepada Allah saja, karena kita menyadari bahwa tanpa anugerah-Nya, kita ini hina dan bobrok.
Kedua, memancarkan anugerah-Nya. Tidak cukup hanya menghadirkan anugerah-Nya, kita dipanggil juga untuk memancarkan anugerah-Nya dengan melakukan segala kehendak-Nya dengan penuh pengorbanan. Perhatikan perkataan Paulus di dalam 1 Korintus 15:10. Di ayat 9, ia memaparkan fakta bahwa dia adalah yang paling hina dari semua rasul, karena ia pernah menganiaya Jemaat Allah, namun di ayat 10 merupakan turning point bagi Paulus, yaitu karena anugerah (atau kasih karunia) Allah, ia bisa seperti sekarang ini (memberitakan Injil) dan bahkan ia mengakui bahwa ia lebih bekerja keras daripada semua rasul, namun itu semua bukan karena dirinya sendiri yang hebat, namun karena anugerah Allah. Anugerah-Nya memampukan Paulus dan kita sebagai umat-Nya bekerja keras memberitakan Injil dan melayani-Nya dengan penuh semangat dan pengorbanan kepada sebanyak mungkin orang sambil mengakui pelayanan yang kita kerjakan inipun bukan karena kehebatan kita, namun karena anugerah-Nya.
Sebagaimana hidup Paulus adalah hidup yang dipenuhi oleh anugerah Allah dan ia sendiri hidup di dalam anugerah-Nya itu, bagaimana dengan kita? Sudahkah anugerah Allah bekerja dan melingkupi iman dan kehidupan kita sehari-hari kita sebagai saksi Kristus? Biarlah Roh Kudus membuka hati dan pikiran kita agar kita makin menyadari anugerah Allah yang begitu besar bagi umat-Nya sekaligus mendorong kita untuk makin bersaksi bagi-Nya demi hormat dan kemuliaan nama Allah Tritunggal. Amin. Soli Deo Gloria.
1 comment:
artikel bagus. khususnya dalam rangka hari reformasi 31 oktober ini. kiranya api para reformator boleh diestafetkan hingga kini dan seterusnya. amin.
Post a Comment