oleh: Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.
Seusai mengajar sebuah kelas selama satu semester, seseorang datang untuk berbicara kepada saya. “Pak, bolehkah saya minta semua power pointnya?” Saya bertanya “Untuk apa?” Spontan ia menjawab “Untuk saya pakai berbicara kepada kakak saya yang ateis… seperti saya.” Sambil terkejut saya berkata, “Oh ya, jadi kamu ateis?” Dengan terbuka ia menjawab “ya, sudah sembilan bulan saya tidak ke gereja dan berpikir bahwa Tuhan tidak ada. Dulu saya aktif ke gereja, tetapi banyak keberatan-keberatan saya terhadap Tuhan tidak saya temukan jawabannya sehingga saya sudah tidak percaya Tuhan lagi. Tetapi syukur, materi yang Bapak sampaikan selama satu semester membuat saya percaya Tuhan dan kembali bergereja. Sekarang saya ingin meyakinkan kakak saya yang ateis untuk kembali pada Tuhan.”
Hari itu adalah hari yang paling bahagia dan mengharukan dalam satu semester kuliah yang saya bina. Jika kita percaya bahwa satu jiwa berharga di mata Tuhan, maka jelaslah bahwa menolong satu orang ateis untuk kembali pada kebenaran yang telah ditinggalkannya adalah sesuatu yang tak ternilai harganya. Sungguh menguatkan ketika melihat bahwa Roh Kudus dapat bekerja melalui sebuah argumentasi dalam apologetika yang terintegrasikan dalam perkuliahan.
Namun demikian, secuplik kisah di atas sebenarnya mengajarkan beberapa hal tentang ateisme dan apologetika. Pertama, ateisme eksis di Indonesia. Dari kisah nyata di atas, sudah terlihat ada dua ateis di satu kota. Kedua, apologetika memiliki fungsi yang vital dalam Kekristenan. Dalam sepanjang kuliah yang saya berikan, saya menyertakan apologetika sebagai bagian integral dari kuliah dan pemuda itu mengakui bahwa argumentasi-argumentasi yang ada menolong dia untuk kembali ke kekristenan. Ketiga, seseorang yang telah bertobat melalui proses yang melibatkan apologetika secara intensif biasanya punya kecenderungan menjadi apologet. Dalam kasus pemuda itu, ia bersemangat untuk meyakinkan kakaknya yang ateis setelah ia sendiri diyakinkan melalui berbagai argumentasi yang melaluinya Roh Kudus bekerja.
Oleh karena apologetika telah memainkan pera penting dalam penginjilan sebagaimana yang saya saksikan,maka saya sulit menahan senyum ketika ada orang berkata “argumentasi tidak dapat memenangkan jiwa” atau “apologetika tidak dapat membuat orang percaya” dan sejenisnya. Saya tersenyum dan terkadang tertawa pahit karena pernyataan seperti itu benar-benar tipikal dari orang Kristen yang tidak mengerti apologetika dan mungkin pula jarang penginjilan. William Lane Craig, apologet Kristen yang sangat aktif mengatakan ia sudah lupa berapa kali orang mengatakan hal seperti itu kepada dia…karena begitu seringnya. Saya bayangkan kalau saya jadi dia, capek deh…:)
Mengatakan “argumentasi tidak dapat memenangkan jiwa” dengan sebuah sikap skeptis kepada seorang Kristen yang menjalankan apologetika adalah kesalahan yang fatal karena beberapa alasan sederhana.
Pertama, karena sebenarnya mayoritas orang yang menjalankan apologetika juga tidak mempercayai hal itu, termasuk Craig yang sangat aktif berdebat itu. Dengan jelas Craig menyatakan bahwa bagi banyak orang mempercayai Tuhan memang tidak memerlukan pembuktian...sebuah konsep yang diusung oleh Reformed Epistemologis, Alvin Plantinga.
Walaupun demikian, dalam apologetika kita percaya bahwa Roh Kudus dapat bekerja melalui argumentasi untuk membimbing orang ke dalam kebenaran. Baik pembelaan, pembuktian maupun penyerangan yang merupakan bentuk-bentuk apologetika dapat menjadi jalan bagi seorang ateis untuk melihat masalah dalam wawasan dunianya, dan mengakui kebenaran wawasan dunia Kristen. Jadi, pernyataan seperti itu menggelikan jika ditujukan kepada apologet karena itu adalah sebuah bentuk kesalahan informal dalam logika bernama “Straw man.”
Kesalahpahaman kedua terkait pernyataan seperti itu adalah mengasumsikan bahwa seorang yang menjalankan apologetika percaya bahwa semua orang perlu diinjili dengan proses apologetika, debat dan sejenisnya. Kenyataannya adalah apologet yang dewasa tidak pernah berpikir bahwa semua orang harus diinjili melalui proses apologetika yang kompleks atau “jlimet” kata orang Jawa.
Penulis sendiri bertobat dan percaya Yesus sama sekali bukan melewati sebuah proses argumentasi yang panjang tetapi proklamasi Firman yang singkat. Selesai mendengarkan kotbah sederhana, saya memutuskan menjadi orang Kristen walau sebelumnya pikiran saya mengarah ke ateisme begitu kuat. Pengamatan terhadap proses orang menjadi percaya kepada Yesus juga mendukung hal itu. Amat jelas bahwa mayoritas orang Kristen tidak bertobat melalui proses argumentasi yang panjang dengan seorang Kristen yang suka apologetika. Hal ini pun dengan sukarela diakui oleh William Lane Craig secara terbuka.
Jika demikian, mengapa apologetika masih penting? Ada sangat banyak alasan. Salah satunya yang relevan dalam catatan ini adalah karena beberapa orang memang membutuhkan argumentasi lebih daripada orang-orang lainnya. Ada sejenis orang tertentu yang hambatan intelektualnya cukup besar sehingga apologetika dapat menolongnya dengan cara yang amat signifikan untuk “melihat” kebenaran. Sekali lagi, tidak semua orang yang memiliki hambatan intelektual besar akan dimenangkan melalui apologetika, namun jelaslah seperti dalam kasus pemuda di awal tulisan ini bahwa argumentasi amat berguna bagi dirinya untuk membuka jalan bagi iman.
Nah, Jika hanya untuk satu alasan ini saja apologetika telah memiliki “tempatnya” dalam pelayanan, mengapa terlalu sedikit orang yang mendalaminya dan bahkan beberapa orang bersikap antipati terhadapnya? Saya punya opini dan mungkin anda juga punya opini yang berbeda. Mari kita diskusikan.
Sumber: note penulis di FB.
Profil Penulis:
Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div. adalah Kepala Pusat Kerohanian (Pusroh) dan dosen Filsafat Agama dan Christian Worldview di Universitas Kristen Petra, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Ekonomi (S.E.) di UK Petra, Surabaya dan Master of Divinity (M.Div.) di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Beliau mendapat sertifikat dari Ravi Zacharias International Ministry, Academy of Apologetics, India. Saat ini beliau sedang menyelesaikan studi Master of Theology (M.Th.) bidang Sejarah Gereja di Biola University, U.S.A.
Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio
1 comment:
Saya turut senang mendengar kesaksian orang yang bertobat di awal tulisan ini.
Post a Comment