oleh: Denny Teguh Sutandio
Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, kita hidup di dunia ini, namun benarkah kita mengerti apa arti hidup manusia? Lalu, apa kata dunia kita tentang makna hidup manusia? Dan bagaimana pula arti hidup sejati?
Ketika berbicara tentang kehidupan, kita sedang berbicara tentang totalitas/keseluruhan aspek dalam hidup kita, entah itu hati, pikiran, perkataan, dan perbuatan. Ketika hati kita telah berpaut pada sesuatu, maka secara otomatis, pikiran, perkataan, dan perbuatan kita pun akan mengikutinya. Ketika hati kita berpaut pada kepalsuan dan dosa, maka seluruh hidup kita akan rusak dan kacau, sedangkan ketika hati kita berpaut pada Kebenaran (Truth), maka seluruh hidup kita akan menemukan kedamaian dan pengharapan sejati, meskipun untuk itu, kita harus rela menderita.
II. MAKNA HIDUP MANUSIA MENURUT UKURAN DUNIA
Jika hidup berarti totalitas, maka apa kata dunia kita tentang hidup? Dunia kita memahami 13 arti/makna hidup:
A. Life is Me (Hidup Adalah Saya)
Di zaman postmodern ini, kita memasuki era humanisme atheis. Humanisme berarti ajaran yang menekankan pentingnya (berpusat pada) manusia. Pengertian humanisme BERBEDA antara di abad pertengahan dengan abad ini. Di abad pertengahan, humanisme TIDAK selalu dikaitkan dengan atheisme, karena ada kaum humanis yang Alkitabiah (Biblical humanist) di samping humanisme atheis, namun di abad ini, humanisme selalu dikaitkan dengan atheisme, sehingga menjadi: humanisme atheis, karena memang zaman kita adalah zaman di mana Allah sudah digudangkan dengan variasi argumentasi yang kelihatan logis, namun sayangnya sejujurnya ilogis. Orang yang sadar atau tidak sadar menganut humanisme atheis mengakibatkan orang itu memiliki konsep hidup bahwa hidup adalah saya. Orang yang berfilosofi “hidup adalah saya” identik dengan orang yang EGOIS. Bahkan di dalam diskusi pribadi, Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div. pernah berkata secara pribadi kepada saya bahwa semua manusia yang berdosa pada dasarnya itu egois. Ya, perkataan itu ada benarnya, karena kita adalah manusia yang berdosa yang ingin memusatkan segala sesuatu pada diri kita sendiri. Namun tentu saja, sebagai umat pilihan-Nya, Roh Kudus akan terus memimpin kita untuk mengikis keegoisan kita demi memuliakan Allah dan berfaedah bagi orang lain (khususnya pasangan kita). “Hidup adalah saya” berarti hidup ini semata-mata berpusat pada saya dan kesenangan saya. Ia akan berteriak, “Jangan pernah mengusik kesenangan saya. Saya mau melakukan apa saja yang menurut saya baik.” Orang lain harus memperhatikan kesukaan orang ini, tetapi orang ini tidak akan pernah mau memperhatikan apa yang disukai orang lain (bahkan yang lebih parah konsep ini diaplikasikan ketika orang ini sedang berhubungan lawan jenis bahkan sampai menikah).
Adapun beberapa ciri dari orang yang berprinsip hidup ini:
1. Keras Kepala
Biasanya orang yang bermoto “hidup adalah saya” adalah orang yang keras kepala yang selalu ngotot dengan apa pun yang dia anggap “baik” untuk dipikirkan, dikatakan, dan dilakukan. Kengototannya ini kadang disertai argumentasi yang masuk akal, namun juga kadang disertai argumentasi naïf, subjektif, dan tidak beralasan. Jika argumentasinya masuk akal, itu masih bisa diterima, namun jika argumentasinya naïf, subjektif, dan tak beralasan, terus terang saya agak malas berkata-kata dengan orang ini, karena yang dikeluarkannya bermodal “pokoknya”.
2. Jarang (Tidak Pernah) Mengintrospeksi Diri
Karena termasuk keras kepala, maka orang yang bermoto “hidup adalah saya” biasanya juga tidak pernah mengintrospeksi diri. Orang ini selalu menuntut orang lain untuk memenuhi keinginan pribadinya, namun ia TIDAK pernah (bahkan ENGGAN) menjalankan apa yang dia tuntutkan kepada orang lain. Misalnya, ia paling gemar menuntut orang lain untuk berlaku sesuatu, namun ketika orang lain khususnya pasangannya menginginkannya berlaku sesuatu, orang ini akan bersikukuh pada pandangannya sendiri yang menurutnya baik dan tidak mau mendengarkan apa yang diinginkan pasangannya. Dengan kata lain, orang lain khususnya pasangannya dianggap “ban serep” atau supir atau milyarder atau pembantu yang bisa diambil keuntungan darinya. Atau ia paling peka kalau merasa diri disakiti dan secara eksplisit maupun implisit menuntut orang lain meminta maaf kepadanya, namun TIDAK pernah peka jika ia sendiri yang bersalah kepada orang lain bahkan sesudah bersalah, ia enggan meminta maaf sedikit pun karena ia menganggap hal tersebut sebagai hal sepele.
3. Plin-plan
Selain itu, orang yang memiliki moto “hidup adalah saya” mungkin (tidak selalu) juga seorang (X) yang plin-plan yang mudah mengubah keputusan yang telah dibuatnya TANPA merasa bersalah, sehingga orang lain (bahkan orang yang terdekat dengannya) dipaksa untuk mengikuti “arus” keplin-planannya. Jangan kaget jika Anda bertemu dengan orang macam ini, Anda akan dibuat terkaget-kaget olehnya, bisa kaget positif (takjub) maupun kaget negatif (menjengkelkan). Orang yang terbiasa plin-plan kalau mengatakan dan berbuat sesuatu akan mengakibatkan orang ini akan dihindari oleh orang lain, karena siapa juga yang mau percaya kepada orang yang plin-plan.
B. Life is Mind (Hidup Adalah Pikiran)
Orang yang bermoto: “hidup adalah saya” biasanya (tidak selalu) menggunakan segala sesuatu yang ada di dalam dirinya, misalnya: pikiran dan emosi. Di bagian ini, saya akan menyoroti khusus mengenai pikiran. Orang ini akan mempergunakan rasio/pikiran di dalam hidupnya. Tentu hal ini baik, namun sisi ekstremnya adalah orang ini mempergunakan rasio di dalam hidupnya bahkan untuk hal-hal yang remeh/sepele. Beberapa orang golongan ini akan menolak untuk hang out di mal/plaza bersama teman-teman sebayanya dan memilih untuk membaca buku atau diskusi ilmiah. Atau kalaupun ia pergi bersama teman-temannya, ia akan terlihat menyebalkan, karena yang dibahasnya adalah sesuatu yang bermuatan filsafat, sains, dll. Bahkan karena terlalu rasional, gurauan temannya pun dianalisis dengan pikirannya.
Orang semacam ini mungkin disebabkan karena ia terlalu memberhalakan pikirannya atau kaku. Atau mungkin sekali orang jenis ini disebabkan karena di gerejanya terlalu ditekankan pentingnya belajar doktrin/ajaran iman Kristen, sehingga baginya, setiap aspek kehidupannya adalah berpikir dan berpikir. Belajar doktrin Kristen TIDAKlah salah, namun jika sampai ekstrem demikian, itu berbahaya. Akibatnya, jarang ada teman yang mau bergaul dengannya.
C. Life is Emotion (Hidup adalah Emosi)
Jika di poin B, saya mengetengahkan ekstremnya seseorang menggunakan rasionya, maka di poin ini, saya akan menyajikan ekstrem lain dari seseorang yang menggunakan perasaannya. Kondisi ini biasanya terjadi pada orang yang bertemperamen melankolis yang terlalu mengandalkan perasaannya. Ia mudah peka dengan kata-kata atau tindakan dari orang lain yang menyakiti dirinya, meskipun sebenarnya perkataan atau tindakan orang lain tersebut tidak bermaksud menyakiti orang ini. Orang yang terlalu emosional akan dengan mudah ditipu oleh orang lain yang pandai memainkan perasaan.
Di sisi lain, orang yang emosional juga terjadi pada orang yang berkarakter keras, dalam arti suka mengumbar emosi untuk hal-hal yang tidak penting. Baginya, ketika ia tidak suka dengan gaya bicara atau pendapat orang lain, ia bisa mengungkapkan emosi semaunya sendiri: marah, berkata kotor, dll. Tidak heran, suatu saat, orang macam ini akan dengan mudahnya gemar memukul pasangannya (istri/suami) jika sedang bertengkar.
D. Life is Hypocrisy (Hidup Adalah Pura-pura/Munafik)
Hidup adalah saya mengakibatkan penganut konsep ini secara tidak sadar MUNGKIN (TIDAK selalu) mengakibatkan ia akan hidup berpura-pura dengan berusaha menyenangkan semua orang. Kepura-puraan ditandai dengan dua ciri, yaitu: bermulut manis dan sungkan. Orang yang suka bermulut manis biasanya mudah memuji orang lain di depan orang lain. Contoh, meskipun Y benar-benar cerewet, dan jelek, X akan memuji Y, “Saya sampai pangling (terheran-heran tidak mengenal), saya kira siapa ini, hari ini tacik/cece/koko/sinyo/nonik cantik/ganteng.” Tetapi setelah orang yang dipuji ini meninggalkan orang ini, ia akan menjelek-jelekkan orang yang dipuji tersebut kepada karyawan atau teman atau saudaranya. Ia bersikap demikian demi mendapatkan keuntungan bagi dirinya (misalnya, bisnis, harga diri, dll).
Orang yang berpura-pura juga merupakan orang yang sungkan. Sungkan mungkin hanya bisa dijumpai di dunia Timur yang lebih memperhatikan etika dan moralitas ketimbang dunia Barat. Tentu sungkan dalam beberapa hal itu baik, karena memperhatikan orang lain (tidak melukai perasaan orang lain), namun di sisi lain, sungkan juga memiliki dampak negatif, yaitu enggan berkata kebenaran dan mengambil keputusan. Mengapa? Karena ia TIDAK ingin menyakiti orang lain. Benarkah tatkala kita bermotivasi tidak ingin menyakiti orang lain, kita benar-benar tidak menyakitinya? Contoh, jika Anda memiliki seorang teman cowok yang (maaf) resleting celananya tidak ditutup, apa yang akan Anda lakukan? Jika Anda berpikir tidak akan menyakiti orang lain, maka Anda tidak akan menegur dan memberi tahu realitas yang sebenarnya dan akibatnya justru Anda mungkin sekali merasa bersalah atau akan ditegur teman Anda yang tidak mengingatkannya. Namun ketika Anda dengan penuh kasih menegur dan memberi tahunya, maka mungkin teman Anda pertama kali tidak menyukainya, tetapi setelah hal tersebut terjadi, teman Anda mungkin bisa menyadari apa yang telah Anda lakukan itu baik baginya. Selain itu, karena sungkan dengan kebaikan orang lain (khususnya lawan jenis), orang ini menaati apa yang dikehendaki orang lain tersebut. Misalnya, orangtua A yang sudah banyak ditolong oleh orangtua B, kemudian orangtua A berjanji kepada orangtua B bahwa anak A akan dijodohkan/harus menikah dengan anak B. Contoh kedua, jika si cowok sudah berkorban banyak kepada si cewek, meskipun si cewek tidak ada perasaan apa pun kepada si cowok, akhirnya pas si cowok “menembak” si cewek, si cewek menerimanya. Ketika si cewek ditanya, mengapa si cewek menerima si cowok jadi pacarnya? Si cewek menjawab, “Karena dia sudah banyak berkorban buatku dan aku kasihan kalau tidak membalasnya.” Karena sungkan, cinta pun menjadi sarana balas budi, bukan karena dia benar-benar mencintainya.
E. Life is Tradition (Hidup Adalah Tradisi)
Orang yang bermoto, “hidup adalah saya” juga adalah orang yang menginginkan segala sesuatu harus berpusat pada apa yang saya miliki/yakini (secara buta), termasuk salah satunya tradisi. Tidak heran, orang yang berfilosofi, “hidup adalah tradisi” adalah mereka yang memutlakkan tradisi mereka sebagai kebenaran hakiki yang tidak bisa diganggu gugat. Tradisi entah itu berupa tradisi keluarga maupun tradisi yang berkaitan dengan agama tertentu dianggap setara dengan Tuhan yang jika dilanggar akan berakibat fatal. Ada contoh nyata, di mana seorang pria Kristen dari tradisi keluarga tertentu menikah dengan seorang wanita Kristen dari tradisi keluarga yang berbeda. Si pria ini TIDAK mempermasalahkannya, namun orangtua dari si pria ini mempermasalahkannya dan membenci menantu dan keluarga menantunya. Bahkan demi tradisi takhayul (yang berkaitan dengan agama tertentu), orang “Kristen” rela mengikuti tuntunan takhayul ketimbang tuntunan Tuhan dari Alkitab. Ada contoh nyata, seorang wanita “Kristen” (latar belakangnya dahulu adalah agama Timur) tanpa berpikir panjang mengikuti apa yang dikatakan peramal bahwa jodohnya adalah seorang yang kaya. Jika memang ada orang kaya yang menjadi jodohnya, namun orang ini bukan Kristen, apa yang akan dilakukan oleh si wanita “Kristen” ini? Saya jamin, mungkin wanita “Kristen” ini TIDAK akan mempermasalahkannya, karena yang terpenting adalah perkataan si peramal. Orang “Kristen” yang lebih mendengarkan tuntunan si peramal ketimbang tuntunan Tuhan di dalam Alkitab, masih layakkah disebut pengikut Kristus?
F. Life is Regulation (Hidup Adalah Peraturan)
Orang yang memiliki moto bahwa tradisi itu segala-galanya biasanya adalah orang yang hidupnya dikelilingi oleh sekumpulan peraturan yang mengikat. Ia akan menerapkan banyak peraturan entah itu bersifat agamawi maupun tradisi kepada orang lain atau/dan orang-orang di bawahnya. Peraturan itu bisa meliputi perintah untuk tidak berlaku X, jangan berkata Y, dll. Di dalam tradisi Yudaisme, kita melihat bahwa firman Tuhan yang seharusnya dimengerti secara proporsional dan tepat telah ditafsirkan secara ekstrem sehingga mengakibatkan para ahli Taurat membuat sejumlah peraturan yang harus ditaati oleh orang-orang Israel. Misalnya, Dasa Titah memerintahkan untuk menguduskan hari Sabat dengan tidak bekerja (Kel. 20:10-11), namun karena diekstremkan, maka keluarlah rumusan peraturan yang melarang orang Israel untuk bekerja berat, bahkan memasak, berjalan beberapa kilometer, dll. Akibatnya, peraturan tersebut makin membebani orang Israel. Di dalam tradisi Tionghoa, kita lebih melihat hal ini dengan lebih jelas. Tradisi Tionghoa yang dimuati dengan unsur-unsur mistik mengajarkan bahwa hari tertentu baik untuk berbisnis namun hari lain tidak baik, orang yang shionya X TIDAK boleh menikah dengan orang yang shionya Y dengan alasan jiong (clash), dll. Di dalam Kekristenan, gejala serupa juga terjadi. Misalnya, ada pendidikan Kristen yang mengajar anak didiknya untuk melakukan sejumlah peraturan yang diambil dari Alkitab, misalnya: jangan mencuri, dll (Pdt. Yohan Candawasa, S.Th. menyebutnya: pendidikan yang merubah performa/tampilan luar), namun TIDAK didasari oleh hati yang mengasihi Tuhan. Saya pernah membaca sebuah buku rohani di mana penulisnya mengungkapkan bahwa dulu di dalam persekutuannya, sang pemimpin menetapkan sejumlah peraturan disiplin (tidak boleh ini, tidak boleh itu, dll) untuk membangkitkan semangat para anggotanya untuk hidup kudus. Namun, apa yang terjadi? Penulis buku ini menyadari bahwa semakin ia menuruti peraturan tersebut, justru ia makin tidak berhasrat untuk hidup kudus, karena ia akan merasa malu dengan teman-teman persekutuannya jika kedapatan melakukan dosa. Inilah kegagalan peraturan yang bukan membuat menjadi lebih beres, malahan menjadi lebih rusak.
G. Life is Money (Hidup Adalah Uang)
Orang yang hidupnya terus berorientasi pada dirinya sendiri biasanya (TIDAK selalu) berkaitan dengan uang. Artinya, orang yang self-centered yang hanya mementingkan dirinya sendiri pasti juga adalah orang yang mementingkan apa pun demi uang. Slogan mereka seperti slogan orang-orang Barat, “Time is money” (waktu adalah uang). Ia akan bekerja keras dari pagi sampai larut malam demi uang. Demi uang, orang rela meninggalkan apa pun, bahkan rela mengurangi jam beribadah di gereja. Bahkan demi uang, beberapa (atau banyak) pemimpin gereja menjadikan gereja sebagai ajang bisnis demi mengeruk uang sebanyak mungkin dengan iming-iming, “Berikan persembahan Anda, maka Tuhan akan mengembalikan berlipat kali ganda.” Tuhan dianggap berutang kepada kita karena kita telah “berbuat baik”. Demi uang, banyak generasi muda zaman sekarang, khususnya keturunan Hawa, bahkan yang lebih celaka: “Kristen” (Protestan atau/dan Katolik), meskipun sudah berulang kali mendengar khotbah di gerejanya bahwa uang itu bukan segalanya, namun nafsunya tetap sama yaitu mendambakan seorang pendamping hidup yang adalah seorang pengusaha kaya, supaya apa yang dikehendakinya (berbelanja) pasti terkabul.
Namun sayangnya, demi uang pula, keluarga menjadi berantakan. Demi uang, anak-anak menjadi liar hidupnya. Demi uang pula, sebuah gereja kontemporer di Malang dipecat dari sinode gereja pusat hanya gara-gara alasan sepele, yaitu persembahan mereka tidak disetorkan ke sinode gereja pusat di Surabaya. Benar-benar memalukan! Demi uang pula, keturunan Hawa yang mendambakan kaum Adam yang kaya ditipu oleh kaum Adam, di mana kaum Adam tersebut diidamkannya itu berzinah dengan perempuan lain.
H. Life is Pleasure (Hidup Adalah Kenikmatan)
Orang yang memiliki moto hidup, “hidup adalah saya”, maka orang ini pasti memusatkan segala sesuatu pada kenikmatannya sendiri. Demi dirinya, ia akan mengejar apa pun yang nikmat. Slogan mereka, “enjoy aja” Kenikmatan itu berupa kebahagiaan, kesuksesan, dan kesehatan. Bacalah tulisan depan pada acara undangan pesta pernikahan orang-orang Tionghoa, apa yang tertulis di sana? Ya, Double Happiness. Mereka menginginkan pernikahan itu bukan hanya bahagia, tetapi bahagia yang dobel. Lihatlah dunia sekeliling kita khususnya di Indonesia, tema apa yang paling sering dibahas? Kesuksesan, kekayaan, dan kesehatan. Pelatihan motivasi sangat laris di dunia sekarang, mulai dari Anthony Robins, pencetus slogan “Success is My Right”, “Dahsyat”, dll. Namun benarkah kenyataan mengajar kita bahwa dunia kita makin sukses dan sehat? Ketika kakak sepupu saya mengikuti seminar/simposium akuntansi di Malaysia, salah satu pembicaranya adalah Dr. Mahathir Mohammad, mantan perdana menteri Malaysia mengatakan bahwa Amerika Serikat adalah negara miskin. Realitas mengenaskan adalah di Amerika, muncul banyak hal-hal yang tidak beres yang ujung-ujungnya kenikmatan, kesuksesan, kekayaan, dan kesehatan, namun fakta membuktikan bahwa justru Amerika Serikat adalah negara yang harus dikasihani. Bagaimana tentang kesehatan? Bukankah makin lama kita makin diberi informasi bahwa penyakit bukan semakin menurun, tetapi semakin meningkat bahkan semakin muncul yang baru? Apakah dengan pelatihan motivasi yang membangkitkan kesehatan mengakibatkan penyakit tambah menurun?
Kenikmatan juga bisa berbentuk hobi kita. Hobi kita misalnya bermain bulu tangkis, sepak bola, tenis, golf, mengoleksi perangko, dll. Nah, masalahnya hobi kita jika dipakai pada saat yang tepat itu wajar-wajar saja, namun jika hobi kita telah mendominasi hampir seluruh hidup kita itu yang menjadi masalah. Ketika kita mengerjakan hobi kita, kita bisa menghabiskan waktu berjam-jam bahkan kuat untuk tidak makan dan mandi, namun ketika disuruh pergi ke gereja, selalu ada saja alasannya: malas, mengantuk, mobil mogok, jalanan macet, dll. Dengan kata lain, hobi kita telah menjadi “ilah” yang mengontrol hidup kita. Waspadalah.
I. Life is Technology (Hidup Adalah Teknologi)
Orang yang menitikberatkan hidupnya pada kenikmatan, maka biasanya (tidak selalu) orang ini juga mengidentikkan hidupnya pada salah satu bentuk kenikmatan di era digital ini, yaitu: teknologi. Ia akan menjadi penggandrung gadget, mulai dari BlackBerry, i-Phone, i-Pad, notebook, dll. Ia akan mengetahui dengan cepat berita gadget terkini lengkap dengan semua informasinya. Di antara gadget yang saya sebutkan di atas, di Indonesia yang paling terkenal adalah BlackBerry (BB). BB sebenarnya diperuntukkan sebagai sarana bisnis, namun di Indonesia, BB merupakan sarana untuk meningkatkan gengsi, seolah-olah jika tidak memiliki BB, dianggap tidak gaul, dll. Mereka saling bertukar pin BB, chat dengan banyak teman di BBM (BlackBerry Messenger), YM (Yahoo Messenger), berselancar di Facebook dan Twitter, membuka website, dan tergabung dalam BBM group. Tentu TIDAK ada salahnya memiliki BB, namun yang menjadi permasalahannya adalah ketika hidup kita difokuskan pada BB. BB seharusnya menjadi pelayan kita dan bukannya kita yang menjadi pelayan BB. Apa artinya kita menjadi pelayan BB? Artinya, tanpa BB, hidup kita terasa hampa dan hampir aktivitas hidup kita terganggu hanya gara-gara BB. Mau bukti? Di BBM, saya pernah mendapatkan kiriman pesan dari seorang teman bahwa gara-gara BB: kita jadi lupa menekan tombol (angka) lift, kita jadi lupa untuk menjalankan mobil kita ketika traffic light berwarna hijau (karena kita keasyikan ber-BB ria ketika traffic light berwarna merah), setelah bangun tidur, ia sibuk membuka BB ketimbang berdoa, dll. Bahkan yang lebih memprihatinkan, ada anak muda yang terus-terusan membuka BB ketika khotbah di gereja disampaikan atau/dan ketika kencan dengan pasangannya. Bagi orang ini, khotbah dan pasangan yang dikencani itu sekunder, sedangkan BB itu segala-galanya. Berhati-hatilah terhadap BB-mania yang berakibat fatal: BB-latry (sejenis idolatry: pemujaan berlebih-lebihan).
J. Life is Que Sera-sera (Hidup Adalah “Apa yang Terjadi, Terjadilah”)
Selain tema kenikmatan, dunia kita juga menghadapi gejala pragmatisme yang berujung pada cuek-isme. Gejala cuek-isme ditandai dengan masa bodoh akan apa yang terjadi seraya berkata, “que sera-sera, whatever will be, will be.” Apa yang terjadi, biarkan itu terjadi, gue gak ngurus. Inilah tanda dari orang yang tak berpengharapan dalam hidupnya. Masa bodoh ini ditandai dengan sikap cuek dari banyak generasi muda zaman ini yang suka nge-mal (pergi ke mal), shopping, dll. Gejala ini akan berakibat mereka akan mengatakan bahwa hidup itu tidak ada artinya dan akhirnya ia akan mengakhiri hidupnya dengan narkoba, bunuh diri, dll. Tentu tidak salah kalau kita pergi ke mal dan berbelanja, namun jika itu menjadi sarana pelampiasan kebosanan dan kecuekan, itu akan menjadi masalah. Apa yang mendasari mereka bersikap cuek? Dalam beberapa hal, kita bisa memakluminya yaitu cuek disebabkan karena dunia kita makin lama makin kompleks dan kacau, sehingga banyak orang sudah bosan dan bahkan berakibat: cuek terhadap kondisi dunia. Namun di sisi lain, cuek bukan jalan keluarnya. Meskipun kita cuek dengan kondisi sekitar, mau tidak mau kita harus menghadapinya, karena kita sedang berada di dunia yang kacau dan rusak ini.
K. Life is Destiny/Fate (Hidup Adalah Takdir/Nasib)
Di dunia, ada orang yang beriman kepada Tuhan di dalam hidupnya. Tentu hal ini baik. Namun beriman kepada Tuhan macam apa itu menjadi persoalannya. Ada agama yang mengajarkan pemeluknya untuk beriman kepada “Tuhan” yang telah menakdirkan segala sesuatu dalam hidup manusia, sehingga manusia yang katanya bertakwa kepada-Nya harus menerima apa yang telah digariskan oleh Yang Mahakuasa (bahasa Jawa: nrimo). Jika seseorang itu hidupnya miskin, berarti “Tuhan” menakdirkan hidupnya miskin dan tidak akan pernah menjadi kaya. Cara beriman ini mengakibatkan banyak pemeluknya yang secara konsisten menjalankan imannya menjadi orang-orang yang malas: bekerja, berusaha, dll, karena “Tuhan” telah menggariskan jalan hidupnya. Bukan hanya malas, beberapa (atau mungkin banyak?) orang yang menjalankan imannya ini mengakibatkan mereka akan dengan mudah mengatasnamakan “Tuhan” dan takdir demi melegitimasi apa yang dia katakan dan perbuat. Misalnya, jika ada seorang pria menceraikan istrinya, dengan gaya “rohani”, ia akan berkata bahwa perceraiannya adalah takdir dari “Yang Mahakuasa”. Bahkan berzinah pun dianggapnya takdir dari “Yang Mahakuasa”. Tidak usah jauh-jauh, pendiri agama ini sendiri saja mengatasnamakan “Tuhan” atau malaikat untuk melegitimasi tindakannya mengawini istri anak angkatnya sendiri.
L. Life is Karma (Hidup Adalah Karma)
Jika di atas, saya membahas ada agama yang percaya adanya takdir, maka pada bagian ini, saya akan membahas ada agama yang percaya adanya karma. Agama yang percaya adanya karma ada 2: Hinduisme dan Buddhisme. Sumber ajaran karma adalah dari Hinduisme. Menurut sumber dari web Hinduisme, mereka percaya ada 1 Tuhan yang menyatakan dirinya dengan beragam bentuk (banyak dewa), sedangkan menurut sumber dari web Buddhisme dan perkataan dari seorang teman saya yang beragama Buddha, mereka percaya adanya “Tuhan”, namun “Tuhan” tersebut tak berpribadi. Saya akan menyoroti khusus karma versi Buddhisme. Bagi Buddhisme, “Tuhan” itu tidak berpribadi dan segala sesuatu diatur oleh hukum alam. Dengan kata lain, manusia ada bukan karena diciptakan Tuhan, tetapi terjadi begitu saja. Menurut perkataan teman saya yang beragama Buddha, manusia terjadi melalui proses evolusi. Hukum alam mengakibatkan hukum sebab akibat: X berbuat baik, maka ia akan mendapatkan balasan yang baik entah itu seketika itu juga atau pada saat-saat lain. Pembalasan ini semuanya diatur oleh hukum alam. Karena segala sesuatu bergantung pada hukum alam, maka selama itu tidak bertentangan dengan hukum alam, segala hal itu sah, sehingga menurut teman saya yang beragama Buddha, kloning diizinkan karena hal tersebut sesuai dengan pertemuan antara sel sperma dengan sel telur. Konsep karma yang dikaitkan dengan konsep mereka tentang reinkarnasi akan menjadi klop: kalau manusia berbuat baik selama di dunia, di dunia akan datang ia akan lahir kembali menjadi makhluk yang baik, sedangkan jika manusia berbuat jahat selama di dunia, di dunia akan datang ia akan menjadi binatang bahkan binatang yang menjijikkan.
Hidup yang berpusatkan pada ajaran seperti ini menimbulkan banyak problematika yang tidak pernah dipikirkan oleh para penganutnya. Perlu diketahui bahwa ciri khas banyak agama/kepercayaan dari dunia Timur (Buddha, Kong Hu Cu, Tao, dll) mengakui adanya harmonisasi di dalam kontradiksi (Yin dan Yang), sehingga ini yang mengakibatkan kepercayaan mereka agak sulit dimengerti dengan pola pikir rasional.
1. Problematika “Tuhan” yang tidak berpribadi.
Menurut teman saya yang beragama Buddha, Buddha pernah berkata bahwa di dunia ada sesuatu yang Maha, namun karena yang Maha ini di luar pemikiran kita, maka anggaplah yang Maha itu tidak ada. Dari perkataan ini, muncul pertanyaan, apakah menurut Buddha, yang Maha itu eksis/ada? Jika ya, mengapa ia mengatakan bahwa karena di luar pemikiran kita, maka anggaplah yang Maha itu tidak ada? Apakah berarti standar mengatakan demikian adalah pemikiran manusia yang terbatas? Jika yang Maha itu tidak eksis, mengapa di awal perkataannya, ia mengatakan bahwa yang Maha itu eksis? Jika mau dipertajam lagi, bagaimana Buddha/Sidharta Gautama mengetahui bahwa yang Maha itu eksis atau tidak? Apa dasar epistemologinya?
Teman saya yang beragama Buddha tersebut juga berkata bahwa jika manusia mendeskripsikan Tuhan seperti apa, manusia sudah menjadi Mahatahu/seperti Tuhan. Dengan kata lain, menurut pandangannya, lebih baik tidak percaya kepada Tuhan yang berpribadi, karena kita tidak mengetahuinya (di luar pemikiran manusia). Logikanya, jika kita memang tidak mengetahuinya, mengapa kita tidak berusaha ingin mengetahuinya? Mengapa justru kita makin menolak adanya Tuhan yang berpribadi karena kita tidak mengetahuinya? Contoh sederhana, di dalam pengetahuan kita, kita tentu tidak mengetahui adanya negara-negara tertentu di dalam peta atau bola dunia mungkin karena kita belum pernah mendengar, pertanyaannya, apakah gara-gara kita tidak mengetahui negara-negara tersebut, kita dengan gegabah mengatakan bahwa negara-negara tersebut tidak ada? Apakah dengan mengatakan hal tersebut, negara-negara yang tidak kita ketahui tersebut menjadi tidak ada? Hak apa kita berani berkata demikian? Fakta historis TETAPlah fakta historis yang TIDAK membutuhkan pengakuan dari kita untuk mengatakan ada atau tidak ada. Mengikuti pola pikir Blaise Pascal, jika orang yang percaya pada Tuhan yang tak berpribadi itu kemudian meninggal dan kemudian ia mendapati fakta bahwa Tuhan itu sebenarnya berpribadi, apa reaksi orang ini? Orang yang keras kepala pasti ngotot dengan pikirannya yang picik tersebut (ia akan tetap percaya bahwa Tuhan itu tak berpribadi), meskipun dia selalu berkoar-koar untuk berpikiran luas/terbuka. Fakta menunjukkan bahwa orang yang selalu berkoar-koar bahwa kita harus berpikiran luas/terbuka, coba cek, apakah mereka sungguh-sungguh luas/terbuka? Ataukah yang hendak ia katakan sebenarnya: luas/terbuka menurut perspektif agamanya sendiri? Sebuah ketidakkonsistenan/kekontradiksian yang aneh, namun dilegalkan oleh banyak agama/kepercayaan Timur yang mengharmonisasikan kekontradiksian (makin tidak rasional).
2. Apa gunanya percaya kepada Tuhan yang tak berpribadi, jika semua hal tergantung pada hukum alam?
Dari perkataan teman saya di atas, maka Tuhan yang tak berpribadi menurut agamanya TIDAK bisa berbuat apa pun. Bahkan ia berani mengutip perkataan seorang atheis bahwa kalau pun Tuhan menciptakan hukum alam, “Ia” tak bisa mengintervensinya. Coba pikirkan dua pernyataan ini. Di satu sisi, ia mempercayai Tuhan yang tak berpribadi. Tuhan ini disebut Maha… Maha artinya melebihi/melampaui. Namun logiskah mengatakan bahwa yang Maha (melampaui) TIDAK bisa bertindak apa-apa bahkan mengintervensi hukum alam? Jika tidak bisa mengintervensi hukum alam, tentu “Tuhan” semacam ini akan berkontradiksi dengan dirinya sendiri. Masa sang Maha bisa dilimitasi (dibatasi) oleh hukum alam yang mati? Jika bisa dilimitasi oleh hukum alam yang mati, berarti Maha akan pensiun menjadi Maha dan berganti nama menjadi moho (nama kue), wkwkwkJ Dari alur logika ini, maka dapat disimpulkan seperti yang disimpulkan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong bahwa Buddhisme adalah satu-satunya agama yang atheis!
3. Problematika sebab akibat dan reinkarnasi.
Buddhisme percaya bahwa jika kita berbuat baik, maka kita akan mendapat balasan yang baik entah pada saat itu juga atau di saat-saat lain atau bahkan di kehidupan mendatang. Dalam beberapa hal, saya setuju bahwa jika kita berbuat baik, ada balasan yang baik, namun itu TIDAK selalu demikian, bahkan fakta sejarah menunjukkan bahwa sesuatu yang baik justru menghasilkan akibat yang buruk dan begitu juga sebaliknya. Mari kita uji secara logis konsep sebab akibat ini. Ambil contoh sederhana, A mengalami perjalanan hidup seperti ini: berbuat baik, berbuat jahat, dibaiki (menerima pertolongan), dijahati (menerima penghinaan, pemfitnahan, dll). Jika ada 4 kasus yang simultan seperti demikian, apakah selalu berbuat baik akan berakibat kita dibaiki? Apakah mungkin jika kita sudah berbuat baik, kita justru difitnah, dll? Bagaimana Anda mengetahuinya? Apa dasar epistemologinya? Belajar dari fakta sejarah lagi, orang-orang Kristen pada zaman pemerintahan Nero tidak pernah berbuat jahat, namun mengapa mereka banyak yang dibunuh secara kejam oleh Nero? Bukankah menurut hukum sebab akibat, seharusnya orang Kristen mendapatkan kenyamanan hidup karena telah berbuat baik, namun mengapa justru sebaliknya yang terjadi? Apa yang menyebabkan hal yang bertentangan tersebut? Hukum alam kah yang mengaturnya?
Jika dikaitkan dengan reinkarnasi, akan nampak jelas suatu ketidakmasukakalannya konsep ini. Saya pernah membaca sendiri di web Buddhisme, ada seorang pelihat karma mengatakan bahwa artis Dewi Lestari (mantan Kristen menjadi Buddha) di kehidupan sebelumnya adalah seorang ratu. Ada beberapa pertanyaan yang muncul: Pertama, kehidupan sebelumnya yang dimaksud itu kapan? Sebutkan tahun, bulan, tanggal, dan tempatnya. Adakah bukti sejarah yang mendukungnya? Kedua, bagaimana si pelihat itu mengetahui bahwa si ratu itu pada kehidupan sebelum Dewi Lestari ada kaitannya dengan Dewi Lestari sekarang?
4. Apa standar etika baik dan jahat?
Coba tanyakan kepada penganut konsep hukum alam ini, apa standar mereka menentukan baik dan jahat? Teman saya yang menganut Buddhisme menjawab, dari hukum alam. Kemudian ia juga menambahkan hati nurani yang ada pada manusia. Kedua jawaban ini sudah berbeda. Jika hukum alam menentukan standar baik dan jahat, logiskah sesuatu yang mati menentukan hidup manusia apalagi standar etika manusia: baik dan jahat? Mari kita soroti khusus tentang hati nurani. Dalam beberapa hal, tentu saja, manusia diberikan hati nurani oleh Tuhan sehingga bisa menimbang apa yang baik dan jahat, namun karena dosa, hati nurani manusia menjadi rusak total. Jika Buddhis percaya adanya hati nurani, pertanyaan saya sederhana: apakah hati nurani muncul dengan sendirinya melalui proses evolusi? Ataukah hati nurani muncul seperti munculnya Buddha yang tanpa awal dan tanpa akhir? Jawaban apa pun dari seorang Buddhis terhadap dua kemungkinan di atas mengakibatkan ia akan berkontradiksi dan mengalami kebuntuan cara berpikir. Mari kita membahasnya.
Jika Buddhis menjawab bahwa hati nurani muncul melalui proses evolusi, hati nurani siapa yang menjadi patron bagi hati nurani manusia sekarang? Apakah hati nurani X tersebut sama dengan hati nurani manusia? Jika sama, apa yang membuatnya sama? Bukankah proses evolusi itu merupakan proses yang rumit dan lama, mengapa tetap sama saja? Jika berbeda (X mengatakan bahwa membunuh itu baik, sedangkan manusia mengatakan bahwa membunuh itu jahat), maka etika mana yang seharusnya dipilih oleh manusia? Apa standar pemilihan tersebut?
Jika Buddhis menjawab bahwa hati nurani muncul seperti munculnya Buddha yang tanpa awal dan tanpa akhir, pertanyaan saya adalah dari mana Buddhis mengetahui hal tersebut? Selanjutnya, karena hati nurani menurut mereka bersifat kekal (tanpa awal dan tanpa akhir), maka dari mana munculnya kejahatan tersebut? Jika mereka mengatakan bahwa kejahatan itu juga bersifat kekal, bagaimana mereka mengetahuinya? Jika mereka mengatakan bahwa kejahatan itu berasal dari dunia, pertanyaan saya, bukankah iman mereka dipusatkan pada hukum alam? Samakah dunia dengan hukum alam? Jika sama, mereka akan mengalami kekontradiksian: hukum alam yang katanya bisa memisahkan yang baik dan jahat sendirinya merupakan suatu kejahatan.
Jika mau dikaitkan dengan contoh tentang kloning di atas, maka menurut teman saya, kloning itu sah-sah saja, karena itu merupakan pertemuan antara sel sperma dengan sel telur. Pertanyaan saya selanjutnya, bagaimana dengan free-sex? Bukankah free-sex juga merupakan pertemuan antara sel sperma dengan sel telur? Apakah dengan demikian free-sex dilegalkan? Jika tidak, maka berarti menurut mereka, free-sex itu tidak baik. Kembali, apa yang membuat mereka menyebut free-sex itu tidak baik? Sebaliknya, jika mereka menyetujui free-sex dan lahir anak-anak haram dari hubungan tersebut, bagaimana mereka bisa konsisten dengan slogan mereka sendiri, “Semoga makhluk hidup berbahagia”?
M. Life is Sorrow (Hidup Adalah Penderitaan)
Orang yang percaya pada hukum alam yang mengakibatkan karma tentu juga mempercayai bahwa hidup adalah penderitaan. Mereka mengidentikkan hidup dengan penderitaan, karena mereka percaya bahwa penderitaan terjadi karena adanya keinginan (yang buruk). Solusi terhadap penderitaan, menurut mereka, adalah dengan melepaskan diri dari keinginan tersebut dan melakukan 8 jalan kebenaran. Di satu sisi, konsep ini baik, karena menyadarkan kita realitas bahwa kita harus menghadapi banyak penderitaan di dunia yang kacau dan rusak ini, namun di sisi lain, hidup kita bukan hanya berisi penderitaan. Orang yang dipengaruhi konsep ini mengakibatkan iman, cara pikir, perkataan, dan sikapnya selalu mengasihani diri. Orang ini akan anti terhadap budaya sekitar, khususnya budaya teknologi, karena itu dianggap menimbulkan penderitaan. Dalam kasus ekstrem, penganut teori ini akan menyiksa dirinya sendiri (bertarak) dengan memukul-mukul dirinya dengan benda tajam, dll. Semua ini dilakukan agar mereka cepat berpindah dari dunia ini ke dunia yang akan datang di mana lenyapnya keinginan. Benarkah di dunia akan datang, keinginan lenyap? Jika benar lenyap, berarti ia akan menjadi pribadi yang mati karena tidak memiliki keinginan sama sekali.
III. MAKNA HIDUP SEJATI DAN APLIKASINYA
A. Hidup Sejati: Dari Allah, Oleh Allah, dan Untuk Allah
Jika ke-11 makna hidup menurut ukuran dunia menemui kegagalan baik dalam cara berpikir maupun sikapnya, maka apa sebenarnya makna hidup sejati? Ketika kita hendak membicarakan makna hidup sejati, tentu kita harus mengaitkannya dengan Pemberi hidup manusia yaitu Allah. Itulah makna hidup sejati dari manusia: hidup dari Allah. Lebih logis percaya kepada Allah sebagai Pemberi dan Sumber hidup ketimbang percaya pada hukum alam yang MATI yang bisa menghidupkan manusia. Allah bukan hanya sebagai Pencipta alam semesta, tetapi juga sebagai Pemelihara alam semesta yang memelihara alam semesta ini berjalan teratur dan juga yang bisa mengintervensi alam semesta, karena Ia adalah Allah yang Mahakuasa! Logisnya, Mahakuasa SANGGUP menguasai segala sesuatu termasuk mengintervensi alam semesta yang diciptakan-Nya sendiri! Adalah tidak logis memikirkan Yang Mahakuasa bisa dibatasi oleh hukum alam yang mati! Menyadari bahwa hidup manusia dari Allah berarti menyadari bahwa tanpa-Nya, kita tidak mungkin bisa hidup dan bernafas. Kesadaran ini mengakibatkan kita makin bersyukur atas karya-Nya sambil terus berharap akan anugerah-Nya dengan tidak membanggakan diri sendiri.
Selain dari Allah, hidup manusia sejati juga oleh Allah. Artinya, hidup manusia dipelihara oleh-Nya. Khususnya hidup dari umat pilihan-Nya pasti dipelihara-Nya secara lebih teliti dan khusus baik dalam aspek keselamatan maupun kehidupan sehari-hari. Pemeliharaan-Nya TIDAK membuat kita menjadi malas berbuat baik dan bekerja, tetapi justru menguatkan kita untuk bekerja keras bagi Allah sambil tetap tidak perlu kuatir, karena kita percaya bahwa dalam kedaulatan-Nya yang mutlak, Allah memelihara setiap inci kehidupan kita. Percaya pada pemeliharaan Allah TIDAK sama dengan percaya adanya takdir. Jangan pernah mengidentikkan Kekristenan dengan takdir, karena Kekristenan TIDAK pernah mengenal istilah takdir!
Dan terakhir, hidup manusia sejati adalah untuk Allah. Artinya, mereka yang telah menerima anugerah dan pemeliharaan-Nya juga harus menyerahkan hidupnya secara total kepada Allah demi kemuliaan-Nya. Dengan kata lain, seperti yang dicatat oleh Katekismus Singkat Westminster pasal 1, hidup kita adalah memuliakan Allah dan menikmati-Nya selama-lamanya. Bagaimana cara kita memuliakan Allah? Rev. John S. Piper, D.Theol. dalam bukunya Mendambakan Allah mengganti kata “dan” pada Katekismus Singkat Westminster pasal 1 tadi dengan kata “dengan”, sehingga berbunyi: tujuan hidup manusia adalah memuliakan Allah dengan menikmati-Nya selama-lamanya. Memuliakan Allah dilakukan dengan cara menikmati Allah. Menikmati Allah berarti bersuka di dalam Dia. Bersuka di dalam Dia berarti bersuka di dalam: kehadiran-Nya, firman-Nya, dan pimpinan-Nya. Bersuka di dalam kehadiran-Nya berarti kita bersukacita tatkala Allah ada dan bahkan memerintah hidup kita, karena dengan hadirnya Allah, berarti hidup kita akan terus-menerus dimurnikan-Nya makin serupa dengan Kristus. Bersuka di dalam firman-Nya berarti kita bersukacita tatkala firman Allah (Alkitab) mengajar, menegur, dan menghibur kita. Dengan kata lain, Alkitab menjadi cermin bagi kita. Bersuka di dalam pimpinan-Nya artinya kita bersukacita dan sangat menikmati pimpinan-Nya yang sangat berbeda dari kehendak kita dan sungguh mengagumkan. Ada banyak hal yang Tuhan buat kita terkagum-kagum bahkan terheran-heran melihat pimpinan-Nya seraya kita bersyukur.
B. Aplikasi Hidup Sejati
Orang yang hidupnya menyadari bahwa ia berasal dari Allah, dipelihara oleh Allah, dan hidup bagi Allah adalah orang yang memiliki perspektif dan cara hidup yang berbeda dari pola pikir dan cara hidup duniawi. Ia akan memandang segala sesuatu dari perspektif kedaulatan Allah dan firman-Nya. Mari kita mengaplikasikannya di dalam 10 hal: belajar, pikiran dan emosi, ketulusan, tradisi, peraturan, uang, kenikmatan, teknologi, cuek, dan penderitaan.
1. Belajar
Jika dunia kita sedang menggalakkan moto “hidup adalah saya”, maka sebagai orang Kristen, kita TIDAK boleh hidup egois, sebaliknya kita harus menanamkan konsep “belajar”, karena kita percaya bahwa manusia itu adalah ciptaan Allah yang terbatas dan berdosa, sedangkan kebenaran sejati adalah dari Allah (bukan dari manusia). Belajar apa yang perlu kita lakukan? Dua hal, yaitu: belajar berbagi dan belajar untuk belajar.
Pertama, kita harus belajar berbagi. Berbagi apa saja yang perlu kita bagikan entah kepada saudara seiman, saudara kandung, dan khususnya pasangan hidup. Berbagi ini bisa bervariasi bentuknya, misalnya: berbagi iman, cara pandang, karakter, dll. Selain itu, berbagi juga bisa dilakukan dengan: diskusi dan/atau menegur.
Setelah belajar berbagi, kita juga harus belajar untuk belajar. Artinya, kita tidak hanya belajar berbagi, kita pun harus belajar untuk belajar dari orang lain tentang kelebihan orang lain dan kelemahan kita. Belajar untuk belajar berbicara tentang rendah hati untuk ditegur dan secara aktif menimba dari kelebihan orang lain: iman, ilmu, cara pikir, kebijaksanaan, karakter, dll. Jika ada dalam diri kita yang salah, kita berani mengakuinya secara jujur dan rendah hati belajar dari orang lain yang lebih dari kita.
2. Pikiran dan Emosi
Jika dunia kita dipenuhi dengan keekstreman: terlalu mengandalkan pikiran atau/dan emosi, maka sikap orang Kristen sebenarnya adalah menempatkan pikiran dan emosi di tempat yang tepat. Filsafat Yunani mengajar kita: kehendak adalah sesuatu yang paling bawah dalam hidup manusia, lalu kehendak dikuasai oleh emosi, dan emosi dikuasai oleh rasio. Namun pertanyaan selanjutnya, rasio dikuasai oleh apa/siapa? Filsafat Yunani tidak bisa menjawabnya. Alkitab mengajar kita untuk mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi/kekuatan (Mat. 22:37). Ini berarti rasio kita dikuasai oleh hati yang mengasihi Allah melalui firman-Nya. Jika hati kita telah ditaklukkan dan diserahkan kepada Allah, maka Allah akan memimpin hati, rasio, dan emosi dengan arah dan tujuan yang jelas dan tepat sesuai kehendak-Nya di dalam Alkitab, sehingga kita tidak akan tersesat jalannya. Akibatnya, secara proses, Roh Kudus akan memimpin orang ini untuk menyeimbangkan antara menggunakan rasio dan emosi seefektif mungkin. Orang ini tidak akan menjadi terlalu rasional dan juga tidak akan menjadi terlalu emosional. Saya tahu bahwa hal ini tidaklah mudah, namun kesulitan ini bisa diatasi oleh pimpinan Roh Kudus secara bertahap di dalam setiap aspek kehidupan kita. Setelah hati kita diserahkan kepada Tuhan, bagaimana cara kita menyeimbangkan pikiran dan emosi secara proporsional dan efektif?
Pertama, pergunakanlah rasio pada tempat dan waktu yang tepat. Berpikirlah jika itu memang perlu dipikir, dan jangan terlalu berpikir (TIDAK berarti TIDAK usah berpikir sama sekali) jika memang tidak perlu untuk dipikirkan. Ambil contoh, jika studi di sekolah/kampus, bekerja, mengurus rumah tangga, mengambil keputusan sehari-hari, dll, pergunakan rasio seefektif mungkin, namun ketika hang out di mal/plaza dengan teman-teman atau menonton film di bioskop, tetap gunakan rasio sewajarnya, namun BUKAN untuk berpikir terlalu mendalam.
Kedua, pergunakanlah emosi pada tempat dan waktu yang tepat. Artinya, jangan terlalu mengumbar emosi, namun juga jangan terlalu memendam emosi. Orang yang terlalu mengumbar emosi adalah orang yang tidak bisa menguasai emosinya, sehingga mudah meledak-ledak. Sebaliknya, orang yang terlalu memendam emosi mungkin dilihat orang sebagai orang yang baik dan murah senyum (karena tidak pernah marah, jengkel, dll), namun jika kebiasaan ini diteruskan, orang ini mungkin akan mengidap sakit kanker atau sakit yang serius. Kalau kita memang membutuhkan emosi marah, luapkanlah emosi tersebut namun JANGAN sampai melewati batas. Jika memang kita jengkel dan tidak suka dengan perkataan atau sikap seseorang, ungkapkanlah itu, namun JANGAN sampai melukai perasaan orang lain. Kalau diri dan perasaan kita tidak mau dilukai orang lain, maka berusahalah pertama kali untuk TIDAK melukai perasaan orang lain.
3. Ketulusan
Jika dunia kita dipenuhi dengan banyak orang yang hidup munafik, orang Kristen tidak boleh munafik/berpura-pura, namun harus hidup murni dan tulus di hadapan-Nya. Caranya adalah dengan terus-menerus memperbaharui motivasi hati kita melalui firman Tuhan (Alkitab). Ketika hati kita sudah ditundukkan di bawah otoritas Alkitab, maka Roh Kudus akan memimpin kita untuk hidup berintegritas, yang salah satu cirinya adalah antara hati, pikiran, perkataan, dan sikap itu sesuai. Pertanyaan lain yang muncul, apakah ketulusan berarti kita menceritakan segala sesuatu termasuk yang bersifat pribadi kepada orang lain? TIDAK. Ketulusan TIDAK sama dengan kenaifan. Ketulusan berbicara tentang sikap hati yang sinkron dengan pikiran, perkataan, dan sikap. Karena itu, ketulusan juga berakibat kebijaksanaan memilah (dan memilih) apa yang perlu dibicarakan dan apa yang tidak perlu dibicarakan kepada orang yang juga perlu dipilah dan dipilih.
4. Tradisi
Iman Kristen khususnya dalam perspektif theologi Reformed percaya bahwa Allah menyatakan diri-Nya kepada manusia dalam 2 bentuk: wahyu umum (alam dan hati nurani) dan wahyu khusus (Kristus dan Alkitab). Sebagai respons manusia BERDOSA terhadap wahyu umum Allah, maka muncullah: agama, sains, dan kebudayaan, sehingga sebagai seorang Kristen Reformed, saya menghargai sumbangsih agama, sains, dan kebudayaan, dan bahkan bisa memetik sesuatu yang baik dan cukup berguna dari 3 hal di atas, namun perlu diingat, karena hanya respons manusia berdosa, maka tentu hasilnya juga BERDOSA, sehingga baik agama, sains, dan kebudayaan bukanlah kebenaran sejati. Oleh karena itu, Allah menyatakan diri-Nya secara khusus HANYA kepada umat pilihan-Nya melalui sarana: Kristus (tidak tertulis) dan Alkitab (tertulis). Dengan dua sarana ini, umat pilihan-Nya dapat mengenal Allah lebih dekat dan dalam lagi (meskipun tidak bisa 100% sempurna). Dengan dasar 2 sarana ini, Ia memungkinkan kita bisa melihat segala sesuatu dengan jelas: memisahkan respons manusia terhadap wahyu umum Allah yang berguna vs yang melawan Allah. Yang tidak melawan Allah, kita bisa mengambilnya, sedangkan yang melawan Allah, kita harus membuangnya meskipun itu terkesan “baik.”
Dari perspektif ini, maka iman Kristen tentu TIDAK membuang tradisi, namun juga TIDAK memutlakkan tradisi (paradoks), karena Kekristenan percaya bahwa tradisi yang merupakan penurunan kebudayaan juga mengandung sisi baik sekaligus sisi buruk. Tradisi entah itu berkaitan dengan keluarga maupun agama mistik yang takhayul harus diuji oleh Alkitab. Selama tradisi itu berguna dan tidak melawan Alkitab, maka orang Kristen dapat menggunakannya. Misalnya, tradisi kumpul keluarga sehari sebelum Imlek/tahun baru Masehi adalah tradisi yang baik dan berguna, bahkan dapat dijadikan sarana untuk memberitakan Injil. Namun ada tradisi yang melawan Alkitab yang tidak perlu kita ikuti, meskipun untuk itu, kita harus rela membayar harga (dicap: tidak taat dan tidak menghormati nenek moyang). Misalnya: di kala Imlek ada upacara sembayang di depan foto orangtua yang sudah meninggal. Dua contoh tadi merupakan contoh ekstrem, bagaimana jika ada kasus yang tidak ekstrem, bahkan boleh dibilang “netral”? Bagaimana dengan kasus orangtua yang merupakan otoritas tertinggi? Bukankah Alkitab juga memerintahkan kita untuk menghormati orangtua? Apakah menghormati orangtua identik dengan taat mutlak pada orangtua? Alkitab berkata: TIDAK. Allah melalui Alkitab HANYA memerintahkan kita untuk menghormati orangtua sebagai wakil Allah di dunia (otoritas derivatif/turunan) namun TIDAK untuk memberhalakannya, karena HANYA ada satu otoritas kebenaran tertinggi yaitu Allah yang kepada-Nya kita harus berbakti dan tidak boleh ada ilah lain di hadapan Allah (serta menyembahnya) (Kel. 20:3-5). Bahkan di dalam Injil, Kristus sendiri berfirman dengan perkataan yang keras (khususnya di telinga orang Timur) tentang syarat mengikut-Nya. Perhatikan teks di bawah ini:
“Ketika Yesus dan murid-murid-Nya melanjutkan perjalanan mereka, berkatalah seorang di tengah jalan kepada Yesus: "Aku akan mengikut Engkau, ke mana saja Engkau pergi." Yesus berkata kepadanya: "Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya." Lalu Ia berkata kepada seorang lain: "Ikutlah Aku!" Tetapi orang itu berkata: "Izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan bapaku." Tetapi Yesus berkata kepadanya: "Biarlah orang mati menguburkan orang mati; tetapi engkau, pergilah dan beritakanlah Kerajaan Allah di mana-mana." Dan seorang lain lagi berkata: "Aku akan mengikut Engkau, Tuhan, tetapi izinkanlah aku pamitan dahulu dengan keluargaku." Tetapi Yesus berkata: "Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah."”
(Luk. 9:57-62)
Bahkan firman Kristus sendiri yang paling keras diucapkan berkenaan dengan mengikut-Nya, “"Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” (Luk. 14:26) Tentu ayat ini TIDAK berarti kita harus membenci orangtua dan saudara kita dahulu untuk dapat mengikut Kristus. Ayat ini berarti kita harus memprioritaskan siapa yang harus kita cintai dengan porsi tertinggi dan terbanyak. Barangsiapa yang masih mencintai orangtua dan saudara lebih daripada mencintai dan taat mutlak kepada Allah, itu sudah termasuk dosa, karena dosa berarti menggeser otoritas Allah dan menggantinya dengan otoritas manusia! Dengan kata lain, hormatilah orangtua, dengarkanlah nasihat mereka, namun jangan lupa untuk mengujinya dengan perspektif Alkitab dan bijaksana orang Kristen yang taat kepada Allah. Jangan menolak semua nasihat orangtua dan jangan pula menerima mentah-mentah semua nasihat mereka, karena orangtua tetap adalah manusia yang berdosa yang perlu ditebus oleh Kristus di atas kayu salib. Dengan kata lain, mengutip perkataan Pdt. Dr. Stephen Tong, orangtua BUKAN Tuhan. Camkan ini!
5. Peraturan
Berkenaan dengan peraturan, dunia kita sedang terjebak ke dalam dua titik ekstrem, yaitu: anti peraturan dan memberhalakan peraturan. Orang yang anti peraturan biasanya diwakili oleh banyak generasi muda zaman ini yang seenaknya sendiri. Mereka biasanya tidak peduli apa itu sopan santun dan etika lainnya. Apa yang mereka suka adalah itu yang mereka lakukan, sehingga banyak orangtua mengeluh akan sikap banyak generasi muda zaman sekarang. Ditambah lagi beberapa gereja sudah tidak menghargai apa itu tradisi gereja dengan membuang pengakuan iman dan menggudangkan lagu-lagu rohani yang bermutu (TIDAK berarti lagu-lagu rohani kontemporer itu salah). Namun, di sisi lain, orang yang memberhalakan peraturan biasanya diwakili oleh banyak generasi tua yang benar-benar ketat memberlakukan peraturan. Melanggar peraturan sedikit sudah dihukum bahkan yang ekstrem dihukum dengan hukuman yang sangat berat, sehingga tidak heran banyak generasi muda menganggap bahwa banyak generasi tua itu kaku, kolot, otoriter, dll. Ditambah lagi beberapa gereja terlalu kaku menetapkan peraturan (baik implisit maupun eksplisit), misalnya dengan hanya memberi nilai tinggi kepada lagu-lagu rohani klasik dan himne. Di antara ketidakseimbangan dan keekstreman di atas, apa yang harus orang Kristen lakukan?
Sebelumnya, mari kita mengerti apa itu peraturan? Di Alkitab, kita tentu menjumpai banyak peraturan yang Tuhan tetapkan bagi umat-Nya. Apa tujuan peraturan tersebut? Apakah peraturan tersebut bertujuan membelenggu? TIDAK. Jika kita kembali membaca Ulangan 6:4-6, kita mendapati urutan yang jelas, yaitu: pengakuan iman (Ul. 6:4) mengakibatkan umat-Nya dapat mengasihi Allah (Ul. 6:5) dan setelah itu, baru umat-Nya dapat menuruti perintah-perintah-Nya (mulai ay. 6). Dengan kata lain, Tuhan ingin agar peraturan yang mati selalu dikaitkan dengan Pemberi peraturan, yaitu Allah sendiri yang hidup dan berdaulat mutlak, sehingga umat-Nya yang menaati peraturan-Nya menaati dengan tulus dan rela (sebagai wujud mengasihi Allah), bukan dengan terpaksa. Dari konsep ini, maka kita belajar untuk melihat Allah sebagai Pribadi di atas peraturan, seperti yang dikatakan oleh Tuhan Yesus sendiri, “Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.” (Mat. 12:8) Lebih tajam lagi, dengan demikian peraturan itu sendiri BUKAN Tuhan yang patut disembah, sehingga adalah tidak bijak jika sebagai orang Kristen, kita menyembah peraturan lebih daripada si Pemberinya, yaitu Allah. Dari dasar pikir ini, maka sebagai orang Kristen, kita menempatkan peraturan di bawah Allah. Jika peraturan dari Allah, maka kita menaatinya karena kita mengaitkan peraturan dari Allah dengan si Pemberi peraturan, yaitu Allah, namun jika peraturan itu TIDAK berasal dari Allah, melainkan dari manusia BERDOSA, maka Allah dan firman-Nya yang berotoritas HARUS menguji dan menghakimi peraturan tersebut, kemudian dari pengujian tersebut, kita baru memilah dan memilih peraturan mana yang perlu ditaati sesuai dengan firman Allah dan mana peraturan yang tidak perlu ditaati bahkan perlu dibuang, meskipun peraturan itu tampak “kuno” dan bernilai “mistik.” Beranilah tidak taat (meskipun tidak harus berarti kasar) terhadap peraturan yang TIDAK sesuai dengan Alkitab dan bersiaplah untuk membayar harga karenanya (misalnya, dianggap bu hao alias tidak patuh).
6. Uang
Jika dunia kita dikelilingi oleh filsafat hidup bahwa uang itu segala-galanya, maka bagaimana sikap orang Kristen? Anti terhadap uang? TIDAK. Uang sendiri termasuk benda mati yang “bebas nilai”. Yang menjadi permasalahannya adalah bukan pada uang, tetapi sikap kita terhadap uang. Jangan jadikan diri kita hamba terhadap uang, tetapi jadikan uang sebagai hamba kita dan kita menjadi penatalayan uang secara bertanggungjawab kepada Tuhan. Pergunakanlah uang sebijak mungkin dengan memprioritaskan mana yang mendesak, penting, kurang penting, dan “sampah.” Keempat pembeda tadi (mendesak, penting, kurang penting, dan sampah) didasarkan pada nilai hidup seorang Kristen yang taat kepada Tuhan dan firman-Nya (Alkitab).
Sesuatu yang mendesak adalah sesuatu yang harus dipenuhi/dibeli segera. Karena kita adalah orang Kristen, maka Alkitab adalah satu-satunya hal terpenting yang harus kita beli. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah berkata, “Jangan beli Coca-Cola atau Seven Up dulu, beli Alkitab, itu yang terpenting.” Alkitab terpenting karena itu adalah firman Allah yang menjadi sumber dan otoritas dalam hidup kita. Adalah tidak logis jika ada orang “Kristen” yang tidak memiliki Alkitab, namun memiliki buku Harry Potter berjilid-jilid! Kedua, sesuatu yang penting berarti hal-hal yang penting yang perlu kita beli secepat mungkin, meskipun bukan harus terlalu cepat. Misalnya, membeli bahan-bahan pokok, seperti: makanan, minuman, pakaian dasar, rumah standar, dll. Ketiga, sesuatu yang kurang penting adalah hal-hal yang kurang terlalu penting dipertimbangkan untuk dibeli (kurang terlalu penting, namun perlu). Misalnya: camilan, dll. Terakhir, sesuatu yang “sampah” adalah hal-hal yang benar-benar sangat tidak penting untuk dibeli jika konteksnya kita sudah memiliki banyak barang-barang tersebut. Ini kelemahan banyak keturunan Hawa. Misalnya, jika di lemari sudah memiliki lebih dari 10 tas, biasanya kaum Hawa tergoda ingin membeli tas yang up-to-date. Baru membeli tas beberapa minggu lalu, minggu ini, ia membeli lebih dari 1 tas lagi, minggu berikutnya, beli lagi 1 tas, sampai-sampai ia seperti membuka toko tas saja, hihihiJ Akibatnya, di rak lemari, berpuluh-puluh tas ada, namun TIDAK sampai 10 buku bermutu dapat dijumpai.
Saya TIDAK hendak mengatakan bahwa shopping itu berdosa. Berbelanja itu wajar-wajar saja apalagi sebagai kaum Hawa, namun yang patut diperhatikan adalah pakailah uang yang tepat untuk berbelanja yang tepat pada waktu yang tepat. Artinya, jangan terlalu sering berbelanja dan jangan menggunakan uang dengan jumlah besar demi membeli barang-barang yang tidak terlalu penting. Aturlah frekuensi waktu untuk berbelanja, misalnya sebulan 1x atau dua bulan 1x. Kemudian, aturlah budget uang yang diperlukan untuk berbelanja, misalnya antara Rp 100.000, 00 s/d Rp 500.000, 00/bulan, setelah itu tabunglah sisanya demi keperluan lain, misalnya perabot rumah tangga, pulsa HP, dll. Ingatlah kerja keras para pria/kaum Adam, jangan menghamburkan uang hanya untuk kepentingan sesaat, berpikirlah panjang untuk masa depan nanti. Meskipun ada juga kaum Hawa yang bekerja, namun itu tidak membuat mereka harus menghambur-hamburkan uang dalam sekejap, karena masih ada keperluan lain yang lebih penting dari sekadar menghamburkan uang seperti itu.
7. Kenikmatan
Jika dunia kita dikelilingi oleh pengejaran akan kenikmatan, apakah orang Kristen tidak boleh mengejar hal serupa? Beberapa orang Kristen yang terpengaruh oleh asketisisme mengajar bahwa kita harus menyangkal diri dari dunia, karena dunia itu berdosa. Tetapi Kristus TIDAK mengajarkan bahwa kita harus mengasingkan diri dari dunia, melainkan harus menjadi garam dan terang bagi dunia (Mat. 5:13-16). Menjadi garam dan terang dunia berarti kita sebagai pengikut Kristus yang telah memiliki iman dan pengertian firman yang beres bersedia “terjun” ke dalam dunia untuk mempengaruhi dunia ini. Ketika kita “terjun” ke dalam dunia, kita bukan hanya harus mempengaruhi dunia, namun kita pun diizinkan untuk mengejar kenikmatan, namun yang patut diwaspadai adalah mengejar kenikmatan tersebut bukan demi kenikmatan itu sendiri, melainkan untuk memuliakan Allah dan ciptaan-Nya. Itu sebabnya, kenikmatan sejati orang Kristen adalah menikmati pribadi, kehadiran, firman, dan pimpinan Allah. Namun, apakah berarti di luar itu, orang Kristen tidak boleh merasakan kenikmatan atau kesenangan, misalnya: hobi, kesehatan, dll? Tentu tidak apa-apa. Kita tidak dilarang untuk berolahraga, mengerjakan hobi kita di waktu luang, menonton TV, bioskop, DVD, bergabung dalam komunitas Facebook, Twitter, menggunakan BlackBerry, namun kita perlu membatasi agar hal-hal tersebut tidak menjauhkan kita dari persekutuan dengan Allah.
Bagaimana dengan kesuksesan dan kekayaan? Bolehkah orang Kristen sukses dan kaya? Tentu saja boleh, namun kesuksesan dan kekayaan sejati dipakai untuk memuliakan Tuhan dan berfaedah bagi sesama. Dan lagi perlu diperhatikan kesuksesan dan kekayaan bukan hal terpenting dalam hidup manusia, karena kedua hal ini terbatas yang bisa lenyap seketika.
8. Teknologi
Dunia kita hari ini disebut dunia digital yang dipenuhi oleh variasi teknologi, dari BlackBerry, notebook, i-Pad, i-Phone, dll. Apakah orang Kristen boleh menggunakannya? Tentu saja boleh, teknologi diciptakan untuk mempermudah manusia, namun perlu diperhatikan, tidak semua teknologi itu baik. Ada teknologi yang baik yang memudahkan kita misalnya untuk membaca Alkitab melalui aplikasi di handphone atau BlackBerry atau i-Phone, namun ada juga teknologi yang membuat kita menjadi rusak dan lupa segala sesuatu, misalnya menggunakan BB berlebihan bisa mengakibatkan kita lupa berdoa setiap pagi, dll. Bahkan menurut berita, karena terlalu menggandrungi Facebook (FB), seorang ibu rumah tangga sampai melupakan semua tugas rumah tangganya. Bijaksanalah menggunakan teknologi, sehingga kita bukan diperbudak oleh teknologi, tetapi menjadi tuan atas teknologi. Sebaliknya jangan paranoid dengan teknologi, misalnya selama mengemudi kendaraan, tidak boleh menggunakan BB, HP, dll. Memang benar, mengemudi kendaraan sambil ber-BB ria atau ber-SMS, itu berbahaya, namun apakah larangan tersebut juga berlaku pada waktu traffic light berwarna merah? Tolong jangan paranoid! Cara bijak kita menggunakan teknologi:
Pertama, pakailah teknologi seefektif mungkin. Belilah salah satu (atau beberapa) produk teknologi setelah kita mengerti apa kegunaannya. Jangan pernah membeli barang elektronik hanya karena gengsi. Misalnya, ada orang yang hanya bisa mengetik SMS dan telepon rela membeli BlackBerry atau Nokia E71.
Kedua, aturlah penggunaannya sebijak mungkin. Misalnya, ketika khotbah disampaikan di gereja, sangkal diri kita untuk tidak membuka BB meskipun ada BBM, kecuali kita membuka BB untuk membaca Alkitab. Ketika lagi kencan atau bersama dengan pasangan kita, kurangi periode membuka BB (jika ada BBM atau chat lain yang tidak jelas dan tidak penting, tidak usah dibalas) dan perbanyaklah waktu berkomunikasi dengan pasangan kita. Saya tahu ini merupakan tantangan yang sulit, apalagi bagi kita yang sudah maniak BB yang menjadikan BBnya sebagai “ilah” kedua. Kalau waktu luang, silahkan pergunakan BB sesuka hati, namun perlu diingat juga, jangan mempergunakan seluruh waktu luang hanya untuk membuka BB. Waktu luang juga bisa dipakai untuk membaca buku, bersenda gurau, menelpon, dll.
9. Cuek
Pragmatisme yang berakibat pada sikap hidup cuek sedang menggejala khususnya pada banyak generasi muda di zaman ini, namun apa yang harus orang Kristen lakukan? Apakah cuek itu 100% salah? Di dalam pemikiran banyak generasi muda, cuek disebabkan karena mereka sudah bosan dengan kondisi dunia sekitarnya yang kacau dan rusak atau mungkin juga karena dalam dirinya, mereka masa bodoh dengan hal-hal penting. Hal ini bisa dimaklumi, tetapi TIDAK bisa dibenarkan. Orang Kristen harus menjadi berkat bagi dunia dengan menggarami dan menerangi dunia, sehingga orang Kristen tidak boleh masa bodoh dengan lingkungan sekitarnya. Orang Kristen harus PEKA terhadap kondisi zaman. Namun perlu diperhatikan kepekaan tersebut TIDAK perlu ekstrem sampai-sampai peka memperhatikan semua masalah pribadi orang. Kekristenan mengenal apa arti persekutuan tubuh Kristus di mana sesama saudara seiman harus saling berbagi, menguatkan, menegur, mengajar, dan menghibur, namun berhati-hatilah, jangan ubah konsep persekutuan menjadi konsep komunis. Apa bedanya? Konsep persekutuan adalah konsep di mana masing-masing orang dengan RELA membagikan berkat entah itu dari pengalaman pribadi maupun permasalahan pribadi kepada orang, sehingga saudara seiman lain dapat belajar, menegur, menguatkan, mengajar, dan menghibur, sedangkan konsep komunis adalah konsep di mana masing-masing orang dipaksa oleh orang lain untuk berbagi cerita pribadi, padahal orang yang dipaksa tersebut ENGGAN bercerita. Di dalam persekutuan tubuh Kristus, kita tetap menghargai hal-hal pribadi dari orang lain yang tidak perlu dibagikan jika memang orang tersebut tidak mau membagikannya. Dalam hal ini, kita boleh cuek, karena masing-masing orang memiliki privasi sendiri yang kita tidak perlu mengetahuinya!
10. Penderitaan
Berita pembunuhan, pemerkosaan, bencana alam, dll kian marak di dunia kita, sehingga beberapa orang menyimpulkan bahwa hidup adalah penderitaan. Bagaimana pandangan iman Kristen? Iman Kristen tidak menyangkal realitas penderitaan, karena itu konsekuensi logis dari dosa yang juga sesuai dengan fakta. Namun iman Kristen TIDAK pernah mengidentikkan hidup dengan penderitaan. Iman Kristen percaya bahwa di dalam hidup ada penderitaan, namun di dalam hidup pula ada pengharapan dan kemenangan. Dengan kata lain, penderitaan adalah salah satu segmen dalam kehidupan Kristen yang di dalamnya orang Kristen harus berkorban atas apa yang diyakininya (Mat. 16:24). Namun, penderitaan itu bukan akhir segala-galanya, karena ada kemenangan dan pengharapan setelah penderitaan, sebagaimana Kristus bangkit dari antara orang mati setelah Ia disalibkan, mati, dan dikuburkan. Pengharapan dan kemenangan itu tersedia bagi umat pilihan-Nya bukan hanya kelak di dalam kekekalan namun juga di dalam dunia ini tatkala umat-Nya sedang menderita karena nama Kristus. Artinya, meskipun mereka sedang menderita karena nama Kristus, mereka menemukan ada sukacita tersendiri di balik penderitaan. Tidak heran, ketika Kekristenan dianiaya di zaman Kaisar Romawi, Nero, Kekristenan bukan makin surut dan hilang, justru semakin berkembang pesat, sehingga ada satu istilah yang dikemukakan bagi Kekristenan: semakin dihambat, semakin merambat. Ini semua terjadi karena ada pengharapan, sukacita, dan kemenangan di dalam hidup orang yang HANYA beriman kepada Kristus. Mereka dapat menyatakan imannya dengan berani seperti yang dinyatakan oleh Rasul Paulus di dalam Roma 8:35-37, “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? Seperti ada tertulis: "Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan." Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita.”
IV. KESIMPULAN DAN TANTANGAN
Bagaimana dengan kita? Ketika dunia menawarkan kepada kita 13 variasi makna hidup sedangkan Allah hanya “menawarkan” satu makna hidup sejati, manakah yang kita pilih? Jika hidup diletakkan di tangan manusia, maka manusia tersebut akan makin lama makin tak berpengharapan, karena manusia itu terbatas dan berdosa. Makin berharap pada diri sendiri, manusia makin rusak dan mengalami jalan buntu. Tidak ada jalan lain, kembalilah kepada Allah, Sang Sumber Hidup yang daripada-Nya segala sesuatu berasal. Kembalilah kepada Allah Trinitas, Allah yang berpribadi dan berdaulat dan Alkitab, firman-Nya yang tak mungkin bersalah yang menjadi patokan dan sumber yang memimpin langkah hidup kita demi hormat dan kemuliaan-Nya. Biarlah Roh Kudus membuka hati dan pikiran kita agar kita makin hidup memuliakan nama-Nya. Amin. Soli Deo Gloria.
1 comment:
Saya hendak menambahkan satu lagi: Hidup adalah perbuatan. Ingat itu!
Post a Comment