Memandang Kehidupan dari Sudut Pandang Allah ??
Pada bab 8 ini, kita akan mencoba menggali masing-masing pengajaran Rick Warren di dalam bab/hari kelima dalam renungan 40 harinya. Penggalian ini bisa bersifat positif maupun negatif dari kacamata kebenaran Firman Tuhan, Alkitab. Mari kita akan menelusurinya dengan teliti berdasarkan kebenaran Alkitab.
Pada bab ini, halaman 45, Warren dengan jelas mengungkapkan sudut pandang manusia memandang arti kehidupan (meskipun menggunakan tameng “dari sudut pandang Allah”. Marilah kita menelitinya. Pada halaman awal bab ini, ia mengutip perkataan Yakobus di dalam Yakobus 4:14b, “Apakah arti hidupmu?” ditambah pernyataan yang menurut saya sangat aneh dari Anais Nin, “Kita tidak melihat hal-hal sebagaimana adanya, kita melihat hal-hal itu sebagaimana keadaan kita.”
Komentar saya :
Seperti biasanya, penyakit lama Warren kambuh lagi, ia suka mengutip sekelumit pernyataan Alkitab tanpa melihat konteks dan keseluruhan ayat. Yakobus 4:14b dikutip hanya satu kalimat untuk ia jabarkan sendiri menurut keinginan berdosanya. Padahal di ayat 15, Yakobus berkata, “Sebenarnya kamu harus berkata: "Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu."” Tanpa membaca seluruh uraian Warren di bawahnya, kita sudah mengetahui bahwa hidup kita adalah hidup yang berserah kepada Tuhan (bandingkan dengan pemaparan saya tentang makna hidup poin keenam pada halaman 9 makalah ini). Hal ini tidak ia paparkan dalam tiga metafora pandangan Allah terhadap kehidupan (halaman 46), padahal konsep ini lebih penting dari segala ocehannya pada bab ini.
Yang lebih aneh lagi, ia mengutip pernyataan dari Anais Nin, tanpa menguji kebenaran pernyataan itu dari sudut pandang Alkitab. Pernyataan ini sudah salah di titik pertama, yaitu melihat segala sesuatu dari keadaan atau kacamata kita. Itulah realita manusia berdosa. Seorang apologet Reformed, Prof. Cornelius Van Til, Ph.D. dalam bukunya The Defense of The Faith memaparkan,
“When man fell it was therefore his attempt to do without God in every respect. Man sought his ideals of truth, goodness and beauty somewhere beyond God, either directly within himself or in the universe about him. God had interpreted the universe for him ..., but now he sought to interpret the universe without reference to God ; ...” (=Ketika manusia berbuat dosa, itu karena usahanya untuk berbuat tanpa Allah dalam setiap hal. Manusia mencari idamannya akan kebenaran, kebajikan dan keindahan pada suatu tempat di luar Allah, baik secara langsung di dalam dirinya atau di dalam alam semesta di sekitarnya. Allah telah menjelaskan alam semesta bagi manusia ..., tetapi sekarang manusia berusaha untuk menjelaskan alam semesta tanpa petunjuk Allah) (Til, 1955, p. 15)
Realita manusia berdosa adalah suatu realita yang enggan mengikutsertakan Tuhan di dalam hidup mereka, sehingga dengan kesoktahuannya mereka berani menginterpretasikan segala sesuatu dengan perspektifnya sendiri tanpa petunjuk dari Allah, lalu ketika mereka salah menginterpretasikannya, Allah lah yang mereka salahkan. Inilah kebejatan manusia yang tidak tahu berterima kasih dan sok tahu. Dan lebih parah lagi, hal ini juga meracuni pikiran banyak dosen yang mengklaim diri “Kristen” apalagi “melayani tuhan” di dalam gereja. Kembali, ketika kita melihat segala sesuatu dari kacamata atau keadaan kita, apa yang kita lihat jelas salah dan pasti salah, karena kita tidak melihat bukan dengan kacamata Allah sebagai Pencipta.
Selanjutnya, ia mengungkapkan hal yang mendukung pernyataan dari Anais Nin di atas,
Cara Anda memandang kehidupan Anda membentuk kehidupan Anda.
Bagaimana Anda mendefinisikan kehidupan menentukan masa depan Anda. Perspektif Anda akan mempengaruhi cara Anda memanfaatkan waktu Anda, membelanjakan uang Anda, menggunakan talenta Anda, dan menilai hubungan Anda. (Warren, 2005, p. 45)
Komentar saya :
Benar-benar, suatu kontradiksi yang aneh dan membingungkan. Di awal bab ini, Warren kelihatannya bertheologia Reformed, karena melihat kehidupan dari sudut pandang Allah (Theosentris), tetapi kenyataannya judul bab yang ia tuliskan ternyata bertolak belakang dengan masing-masing penjelasannya pada bab ini, apalagi pada paragraf pertama dan kedua dalam halaman 45 ini. Benarkah cara kita memandang kehidupan kita membentuk kehidupan kita ? Tidak. Itu perspektif dunia. KeKristenan diajarkan prinsip yang sangat indah yaitu bukan cara kita memandang kehidupan lah yang membentuk kehidupan, tetapi cara pandang Allah yang memandang kehidupan manusia saja yang dapat membentuk kehidupan manusia sejati. John Calvin pernah mengajarkan bahwa kalau kita ingin mengenal siapa diri kita, kita harus mengenal siapakah Allah. Mengapa ? Karena dengan mengenal siapa Allah, maka kita pasti mengenal dengan tepat siapa kita, karena kita adalah ciptaan-Nya yang dicipta segambar dan serupa dengan-Nya. Jangan sekali-kali bertanya tentang makna hidup kepada psikolog gila, eksistensialis, pragmatis, atau bahkan kepada Rick Warren ini. Semua itu membawa Anda bukan semakin mengenal hidup Anda di hadapan Allah, tetapi malahan membawa Anda semakin mengenal betapa pentingnya Anda bahkan daripada Allah sebagai Pencipta itu sendiri (ide pantheisme). Kembali, ketika kita mengembalikan seluruh makna kehidupan kita sebagai manusia kepada makna yang Allah inginkan, maka hidup kita pasti memiliki keindahan. Dan keindahan yang Anda miliki karena ada Allah di dalamnya akan menuntun setiap langkah hidup kita untuk terus-menerus bergantung dan berserah total kepada-Nya serta beriman di dalam-Nya. Kebergantungan dan iman kita di dalam-Nya yang terus-menerus dimurnikan melalui pencerahan Roh Kudus dan Firman-Nya, Alkitab akan mengakibatkan kita “dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” (Roma 12:2).
Selanjutnya, pada halaman 46, ia mengungkapkan kembali pernyataan bahwa banyak manusia dunia memakai metafora kehidupan Anda seperti sebuah pesta, balapan dan pertempuran. Tetapi ia mengatakan,
Bagaimana pandangan Anda tentang kehidupan ? Anda mungkin mendasarkan kehidupan Anda pada suatu metafora kehidupan yang keliru. Untuk memenuhi tujuan-tujuan yang untuknya Allah menciptakan Anda, Anda akan harus menantang pandangan umum dan menggantikannya dengan metafora Alkitab tentang kehidupan... (Warren, 2005, p. 46)
Komentar saya :
Dari sekelumit pernyataannya ini saja, saya menemukan ketiga kesalahan pada logika berpikir Warren.
Pertama, kalau Warren merasa bahwa semua metafora kehidupan yang orang dunia bangun itu salah, mengapa ia perlu mengatakan mungkin lagi (perhatikan kata-kata yang saya garis bawahi) ? Ini membuktikan bahwa Warren tidak konsisten.
Kedua, pada kalimat awal, ia meragukan bahwa mungkin pembaca bukunya ada yang mendasarkan kehidupannya pada suatu metafora kehidupan yang keliru, tetapi yang lebih aneh, ia mengatakan bahwa pembaca bukunya lah yang harus menantang pandangan umum tadi yang keliru menurut Warren dan menggantikannya dengan metafora Alkitab (menurutnya) tentang kehidupan. Kalau menurut Warren, metafora kehidupan para pembaca bukunya adalah keliru, maka Warren seharusnya mengatakan bahwa mereka dengan metafora kehidupan yang salah yang harus ditantang untuk berubah dan bukan menantang. Kesalahan logika ini membuktikan bahwa Warren kurang mengerti bahasa yang beres.
Ketiga, benarkah apa yang Warren katakan sebagai metafora “Alkitab” tentang kehidupan itu benar-benar yang Alkitab ajarkan ? Kalau memang benar demikian, seharusnya metafora Alkitab tentang kehidupan itu seharusnya memiliki nilai yang lebih tinggi yang tidak mampu disaingi oleh filsafat, agama, pengetahuan dan kebudayaan apapun di dunia ini tentang makna kehidupan. Ternyata faktanya, tidak demikian, apa yang ia paparkan selanjutnya tentang tiga metafora kehidupan yang katanya dari Alkitab, dapat ditemukan dengan mudah dalam pandangan agama, filsafat dan kebudayaan lainnya di dunia ini. Mari kita akan menyelidikinya satu per satu.
Bagi Warren, metafora kehidupan yang katanya dari Alkitab poin pertama adalah kehidupan adalah sebuah ujian. Memang benar, hidup tidak layak disebut hidup jika tidak ada ujian. Ini adalah pandangan umum dan tidak perlu diajarkan Alkitab ! Ia juga mengungkapkan, “Karakter dikembangkan dan ditunjukkan melalui ujian-ujian, dan seluruh kehidupan adalah ujian.” (Warren, 2005, p. 47). Ini pun tidak perlu diajarkan oleh Alkitab, semua orang dunia dengan filsafat-filsafat mereka pun sudah mengetahuinya ! Ketika ujian datang, ujian itu bisa menempa dan membentuk karakter manusia menjadi lebih baik (bagi orang yang otaknya masih beres), sedangkan ujian tersebut dapat membentuk karakter manusia menjadi lebih bejat (bagi orang yang otaknya sudah korslet/tidak beres). Dari semua pemaparannya tentang kehidupan adalah sebuah ujian, Warren terus mengungkapkan kata “Anda” terlalu banyak dan ini membuktikan bahwa meskipun katanya, kehidupan itu harus dilihat dari sudut pandang Allah, tetapi kenyataannya, hidup tersebut lebih berorientasi kepada manusia ketimbang kepada Allah. Lagi pula, Warren tidak menyebut pengajaran bahwa ujian itu membuat kita menyangkal diri dan memuliakan Allah. Ini kelemahan pengajarannya. Kalau hidup sekedar ujian, semua orang mengetahuinya, tetapi kalau ujian Allah itu membuat kita terus rela menyangkal diri demi memuliakan Allah, hal ini tidak mungkin ditiru oleh orang-orang dunia, mengapa ? Karena orang-orang dunia tidak mengenal Pribadi Allah yang sejati, dan sudah barang tentu, mereka pun tak pernah mungkin akan dapat menyangkal diri dan memuliakan Allah, meskipun bibir mulut dan sikap mereka seolah-olah menampakkan mereka seorang yang “religius” dan “beribadah kepada ‘tuhan’”. Orang-orang dunia begitu mudah mengucapkan “memuji Tuhan”, “beribadah”, dll, tetapi sambil beribadah di dalam bulan tertentu, mereka tidak bisa menyangkal diri lalu memaksa orang-orang lain yang tidak sepaham dengan mereka untuk menuruti keinginan mereka, misalnya, harus menutup toko, plaza, dll selama bulan “suci” mereka. Inikah beribadah ? TIDAK. Ini penipuan ibadah, persis seperti yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang berani menegur dan menyalahkan Kristus berbuat sesuatu di hari Sabat, padahal mereka sendiri pun juga ada yang melanggar hari Sabat. Alkitab sudah mengajarkan bahwa dari dulu sampai sekarang, kesalahan dan kemunafikan manusia itu tidak pernah habis, persis seperti yang diungkapkan dalam Pengkhotbah 1:9 (Terjemahan Baru), “Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.”
Kedua, bagi Warren, metafora kehidupan yang katanya dari Alkitab adalah kehidupan itu sebuah kepercayaan. Ia menjelaskan bahwa semua yang kita miliki adalah pemberian Allah dan harus dipertanggungjawabkan bagi Allah saja. Hal ini tentu tidak salah. Tetapi yang menjadi permasalahannya, di dalam poin ini, ia sama sekali tidak menunjukkan akibat tidak mempertanggungjawabkan anugerah Allah. Sebagai contoh, pada halaman 49-50, mengutip perumpamaan tentang talenta (Matius 25:14-29), ia hanya memaparkan bahwa hamba yang setia dalam tanggung jawab akan diberikan upah dan kepada hamba ini, Warren memaparkan bahwa ada tiga upah, yaitu peneguhan Allah (“Baik sekali perbuatanmu itu,”), promosi dan diberi tanggung jawab yang lebih besar dan terakhir (“aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar.”), perayaan (“Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.”). Warren tidak mengemukakan akibat negatif (hukuman) dari tidak mempertangugngjawabkan anugerah Allah, yaitu yang terdapat pada ayat 26-30, “Maka jawab tuannya itu: Hai kamu, hamba yang jahat dan malas, jadi kamu sudah tahu, bahwa aku menuai di tempat di mana aku tidak menabur dan memungut dari tempat di mana aku tidak menanam? Karena itu sudahlah seharusnya uangku itu kauberikan kepada orang yang menjalankan uang, supaya sekembaliku aku menerimanya serta dengan bunganya. Sebab itu ambillah talenta itu dari padanya dan berikanlah kepada orang yang mempunyai sepuluh talenta itu. Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan. Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya. Dan campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi."” Entah dengan alasan apa, Warren sengaja menghilangkan ayat terakhir ini (ayat 26-30) yang bagi saya perlu diajarkan untuk melihat keseluruhan perikop dan konteks yang ada, dan juga untuk mengajar orang Kristen untuk benar-benar mempertanggungjawabkan anugerah Allah dengan serius (tidak main-main). KeKristenan harus diajarkan secara seimbang yaitu pahala bagi mereka yang sudah menunaikan apa yang Allah inginkan dan hukuman bagi mereka yang mempermainkan anugerah Allah. Hal ini pula yang diajarkan oleh Yohanes 3:18 bahwa setiap orang yang percaya di dalam Kristus, mereka akan diselamatkan dan tidak turut dihukum, sebaliknya mereka yang tidak percaya di dalam Kristus, mereka telah berada di bawah hukuman.
No comments:
Post a Comment