JOHN & ELIZABETH FREEMAN
(dihukum mati di India – 1857)
Pemberontakan India di tahun 1857 adalah suatu pemberontakan oleh orang-orang “Agama Lain” dan kaum Brahmana (kasta tertinggi dalam Hindu) melawan pemerintah Inggris dan khususnya orang-orang Kristen. Pemberontakan tersebut merenggut delapan nyawa misionari Amerika, termasuk John Edgar Freeman dan istrinya Elizabeth dari lembaga Misi di Futtehgurh.
Misi di Futtehgurh dimulai 20 tahun sebelumnya dan yang termasuk di dalamnya sebuah panti asuhan dan sekolah Kristen. Ketika lagi dan lebih banyak lagi orang-orang India datang kepada Kristus dalam beberapa tahun, daerah di sekitar lembaga misi tersebut menjadi sebuah desa Kristen.
John Freeman berhasil dengan misi pelayanannya. Selama tahun pertama di India, ia mengalami kehilangan yang besar atas kedua anak perempuannya dan segera setelah itu disusul dengan istrinya. Seorang pengamat menulis bahwa “pelayanan penghiburan” John selama masa kegelapan adalah “menunjukkan kemuliaan dan kuasa dari dalam, pemberian dan penguatan dari atas.”
John Freeman bertemu dengan istri keduanya, Elizabeth, ketika ia pulang sementara waktu ke Amerika. Surat-surat Elizabeth dari India menggambarkan selera humor dan suatu kemampuan spesial dalam menginjil dan mengajar. Elizabeth dikuatkan oleh anak-anak yatim yang ia ajar Firman Tuhan untuk tetap tinggal di desa Kristen misi tersebut dan menikah.
Dalam bulan-bulan terakhir sebelum kematian martir mereka, John dan Elizabeth mendengar bermacam-macam laporan mengenai “pemberontakan” di bagian lain India ; yang mana seluruh jemaat Tuhan dibantai. Mereka mengkhawatirkan jemaat mereka yang merupakan penduduk asli, tetapi mereka terus-menerus memperbaharui harapan mereka di dalam Tuhan. Di saat-saat terakhir, kelompok yang terdiri dari delapan misionaris Futtehgurh meninggalkan desa dengan perahu menyusuri Sungai Ganges, walaupun demikian mereka mengalami penyerangan yang dilakukan oleh orang-orang desa dan tentara yang beringas dari kedua sisi tepi sungai. Akhirnya, air yang dangkal menghalangi perahu mereka untuk bergerak lebih jauh, dan mereka tergelincir ke dalam sebuah pulau di Cawpore.
Selama empat hari, mereka berhasil selamat di pulau tersebut sampai akhirnya ditangkap oleh orang-orang “Agama Lain”. Mereka lalu diikat dan dipaksa berjalan hingga kelelahan menuju suatu desa terdekat. Pada tanggal 13 Juni 1857, mereka ditembak mati pada pukul 7 pagi, di hadapan regu tembak.
Sudah jelas, orang-orang Kristen ini disiapkan untuk “menyerahkan hidup bagi Kristus dan jika perlu demi rencana-Nya”, dan mereka telah membayar harganya. Dalam surat terakhirnya, Elizabeth Freeman menulis, “Aku terkadang berpikir kematian kita akan membawa kebaikan yang lebih lagi daripada yang kita lakukan selama hidup ; jika demikian, biarlah ‘kehendak-Nya yang jadi.’ Haruskah aku diminta untuk menyerahkan hidupku, jangan bersedih saudari terkasih, bahwa aku datang ke sini, dengan sukacita yang luar biasa aku akan mati bagi-Nya yang menyerahkan hidup-Nya demi aku.”
Sumber :
Buletin Kasih Dalam Perbuatan (KDP) November-Desember 2007 halaman 12.
Diketik ulang oleh : Denny Teguh Sutandio.
No comments:
Post a Comment