06 March 2007

IMAN DAN PENGETAHUAN (Pdt. Sutjipto Subeno)

IMAN DAN PENGETAHUAN

oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.


“Karena takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan. Tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.” (Amsal 1:7)

Ketika saya mengajar, ternyata para mahasiswa Kristen dari Universitas Kristen, sulit untuk bisa mengerti dan merelasikan bagaimana takut akan Tuhan, bisa menjadi awal dari pengetahuan. Dengan kata lain, tanpa takut akan Tuhan, seseorang tidak memiliki pengetahuan yang sejati. Ternyata orang-orang Kristen yang mengaku sebagai kaum terpelajar dan mempunyai pengetahuan, tidak mengerti dari mana asal mula pengetahuan yang sejati, dan bagaimana mereka tidak hidup untuk mendapatkan pengetahuan sejati tersebut. Dalam hal ini, mereka merasa telah memiliki pengetahuan yang diwakili dengan gelar tinggi yang mereka miliki. Di sini keKristenan perlu mengajak setiap orang percaya untuk menguji kembali kaitan takut akan Tuhan dan permulaan pengetahuan.

Takut akan Tuhan adalah Awal dari Pengetahuan
Dengan kata lain, jika kita tidak mempunyai rasa takut akan Tuhan, maka kita tidak memiliki pengetahuan, karena awal atau permulaan dari pengetahuan itu sendiri sudah tidak kita miliki. Hal inilah yang sangat membingungkan. Bagaimana seseorang sudah belajar sampai ke tingkat Doktoral, kemudian dikatakan tidak mempunyai pengetahuan, karena awal pengetahuannya tidak ada, akibat tidak takut akan Tuhan. Bagaimanakah kita mencoba melihat relasi ini ?

A. Hakekat Pengetahuan
Pertama-tama, kita perlu menyadari bahwa manusia seringkali menggabungkan atau merancukan antara materi dengan pengetahuan. Materi adalah bendanya, sedangkan pengetahuan adalah interpretasi terhadap benda tersebut. Jadi, jika kita melihat pohon, maka benda pohon itu adalah materi. Tetapi ketika benda tersebut kita sebut “pohon,” itu adalah interpretasi. Itulah pengetahuan. Kalau “pohon” itu kita sebut sebagai “pohin,” itupun tidak salah, sejauh semua orang juga bisa menerima atau sepakat disebut “pohin.” Mengapa orang Indonesia menyebut “pohon,” dan orang Inggris menyebut, “tree” ? Mengapa perlu dibedakan antara “pohon” dan “semak” ? Maka ketika kita mengaitkan antara realita materi dengan pengetahuan atas materi, terdapat suatu tindakan interpretasi atau penafsiran, di mana di dalamnya ada definisi atau pengertian yang dibangun di atasnya.

Pengetahuan Adalah Interpretasi Realita,
maka kita perlu mengerti seberapa jauh kita “tahu.” Bukan hanya kedalaman pengetahuan, tetapi juga kebenaran pengetahuan itu. Setiap benda kita interpretasikan, itu berarti benda itu ada di dalam penilaian subyektif kita. Di sini kita menyebutkan bahwa kita “tahu” benda itu. Tetapi ketika kita merasa sudah tahu, apakah pengetahuan kita itu benar ? Bagaimana kita mengetahui kebenaran pengetahuan ? Ketika kita melakukan penafsiran realita, kita langsung mengidentikkan realita dengan interpretasi realita itu.

Ketika seorang bayi melihat sebuah pohon, lalu dia diberitahu orang tuanya bahwa itu “pohon,” maka ia langsung menganggap pengetahuan itu sudah didapat. Dalam hal ini, anak itu mendapatkan pengetahuan a priori di dalam dirinya. Pengetahuan ini tidak lagi dipertanyakan, dan langsung ia percaya sebagai kebenaran. Celaka apabila seorang bayi mendapatkan interpretasi yang salah. Misalnya kakaknya memberitahu “gelas” sebagai “cangkir.” Maka selama-lamanya bayi ini ketika tumbuh akan meyakini bahwa gelas itu adalah cangkir. Ketika seseorang mengatakan bahwa itu bukan cangkir, tetapi gelas, maka anak itu tidak mudah mau percaya. Ia akan lebih mudah percaya jika ada teman yang justru mengkonfirmasi bahwa itu memang cangkir, bukan gelas. Walaupun konfirmasi itu justru salah. Pengetahuan a priori telah menjadi iman kepercayaan yang telah mengidentikkan materi dengan interpretasi materi. Di sini gap antara materi dan interpretasi materi dianggap tidak ada.

Apalagi jika permasalahan ini diperdalam dan diperluas, misalnya menanyakan : Dari mana asalnya pohon ? Seorang ibu mengatakan bahwa pohon itu dari biji yang jatuh di tanah, lalu tumbuh dan menjadi besar. Tetapi seorang ibu Kristen mengatakan bahwa : pohon itu diciptakan oleh Tuhan Allah, yang menciptakan ibu dan anak itu juga. Bagaimana tahu bahwa asal dari sebuah pohon adalah adanya “biji yang jatuh” dan bagaimana tahu bahwa asal dari sebuah pohon adalah karena dicipta oleh Tuhan Allah ? Di sini kita makin menyadari akan pentingnya pembedaan realita dan interpretasi realita. Sekaligus, ketika kita menyadari akan peranan pengetahuan a priori dalam diri manusia, maka kita melihat unsur iman percaya di dalam pengetahuan tersebut.


B. PENGETAHUAN DAN KEBENARAN
Upaya atau studi untuk mendapatkan pengetahuan yang sejati disebut epistemologi. Dari sudut pandang Kristen, di dunia ada dua asumsi kepercayaan dasar, dari mana kita bisa mendapatkan pengetahuan. Yang pertama adalah dari diri kita atau manusia itu sendiri, dan yang kedua adalah dari Tuhan Allah, Pencipta alam semesta dan segala isinya. Kedua aspek ini merupakan bentuk a priori, artinya : merupakan suatu praasumsi, atau kita sudah percaya begitu, dan tidak mudah untuk mau dipertentangkan. Asumsi ini sudah kita anggap benar, walaupun kita tahu bahwa kedua hal itu bertentangan.

Dalam hal ini kita tidak membicarakan realita materi itu sendiri, tetapi lebih kepada pengetahuan atas semua materi atau alam semesta ini. Seseorang bisa mengatakan bahwa secara hakekat, setiap benda dalam alam ini terjadi begitu saja, secara mendadak, tanpa tujuan dan makna. Tetapi seorang yang lain juga bisa mengatakan bahwa secara hakekat, setiap benda dalam alam ini terjadi karena ada Allah yang mencipta, dengan tujuan yang jelas, berdasarkan suatu hikmat yang sangat tinggi dan agung, dan di dalamnya terkandung makna yang dalam dan besar. Ketika ia mengatakan bahwa seluruh dunia ini dicipta oleh Tuhan, itu berada ada satu a priori bahwa seluruh kebenaran dimulai dari Allah Pencipta. Jika ia menolak hal ini, maka ia percaya penuh bahwa penentu kebenaran suatu pengetahuan adalah manusia itu sendiri, bukan Tuhan. Yang manakah yang lebih valid dari kedua “iman” ini ? Jika manusia menjadi penentu kebenaran suatu pengetahuan, berarti manusia adalah dirinya kebenaran. Dan konsekuensinya, pengetahuan manusia tidak pernah salah. Namun, realita menyangkali hal ini. Fakta mengatakan bahwa manusia bisa salah dan pernah salah. Dengan demikian, pengetahuan sejati tidak bisa disandarkan pada manusia. Manusia hanya bisa mendapatkan pengetahuan, tetapi bukan sumber pembenaran suatu pengetahuan. Dengan kata lain, kalau kita mengatakan A benar, maka pernyataan itu tidak bisa bersumber dari diri kita sendiri, tetapi harus kembali direferensikan ke Sumber Kebenaran yang sah, yaitu Tuhan sendiri.

Ketika kita belajar dan mendapatkan pengetahun tertentu, tanpa kita landaskan pada Kebenaran sejati, maka ilmu pengetahuan kita belum sah. Kita mungkin bisa melihat atau menganalisa suatu realita, tetapi kesimpulan yang kita ambil tidak sah. Misalnya, setelah diamati atau diselidiki, maka disimpulkan bahwa dunia ini merupakan hasil dari suatu proses evolusi. Kesimpulan itu bukanlah kesimpulan yang sah.

Yang sah adalah ketika Allah mengatakan melalui Firman-Nya bahwa dunia dan alam semesta adalah hasil karya-Nya, yang dicipta dengan tujuan yang mulia. Pengetahuan ini sah karena keluar dari Sumber Kebenaran yang sah dan tidak pernah salah.

Dari uraian di atas, bahwa penting sekali bagi kita untuk bukan sekedar mengetahui suatu pengetahuan, tetapi mengetahui validitas pengetahuan yang kita dapatkan. Jika pengetahuan itu didapat melalui spekulasi ilmu pengetahuan tanpa Allah, maka semua pengetahuan itu bermula atau start dengan kondisi yang tidak valid. Akibatnya, kesimpulan-kesimpulan yang ditimbulkannya akan mengalami cacat epistemologis. Maka, benarlah ungkapan Alkitab, bahwa “takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan.”


C. IMAN DAN PENGETAHUAN
Kini kita memasuki tahap penelaahan kita yang ketiga. Jika kita sudah tiba kepada tesis kita, yaitu bahwa “takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan,” maka kita perlu lebih mempertajam lagi pengertian kita akan relasi di antara keduanya.

Pertama, telah kita lihat di atas, bahwa seluruh ilmu pengetahuan dimulai dengan pendekatan a priori, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju. Sejak lahir kita memulai pengetahuan dengan percaya kepada informasi yang diberikan kepada kita. Maka semua ilmu pengetahuan harus dimulai dengan suatu kepercayaan. Pertanyaannya, apakah kepercayaan itu dibangun di atas percaya diri atau percaya Tuhan. Di sini obyek iman menjadi penentu semua pengetahuan yang kita dapat.

Kedua, jika upaya mendapatkan pengetahuan memerlukan pendekatan a posteriori, berarti pengetahuan tersebut harus dilandaskan pada pengetahuan lain yang telah terlebih dahulu didapatkan. Dan itu berlanjut terus seperti pendekatan Thomas Aquinas, yang harus berakhir pada Allah. Ini yang dikenal dengan pendekatan Ontologis. Dengan kata lain, kita tetap harus percaya di titik awal untuk kita bisa mendapatkan pengetahuan. Tanpa percaya, tidak ada pengetahuan. Dengan kata lain, jika Anda mencurigai dan tidak mempercayai suatu kebenaran, maka sekalipun kebenaran itu benar-benar benar, Anda tetap menolaknya. Semua bukti yang diberikan kepada Anda, akan Anda sangkal total.

Ketiga, kita melihat relasi yang lebih serius, yaitu ilmu pengetahuan ternyata tidak netral, karena merupakan produk iman. Seorang ateis tidak mungkin mengatakan bahwa dunia dan dirinya dicipta oleh Tuhan, sekalipun itu adalah ilmu pengetahuan yang benar. Jika ditanya, mengapa alam semesta ini bisa sedemikian teratur ? Mereka tidak mungkin bisa mengatakan bahwa itu karena dicipta oleh Allah yang teratur. Mungkin mereka akan mengatakan bahwa itu semua terjadi karena kebetulan, akibat adanya ledakan berjuta-juta tahun lalu. Ketika kita menanyakan dari mana mereka bisa tahu bahwa alam ini terjadi kebetulan atau mendadak, tanpa alasan dan tanpa pencipta, mereka tidak akan mampu menjawab secara ilmu pengetahuan. Mereka akan menjawab “secara agama.” Mereka yakin hal itu karena menurut pengetahuan demikian. Pengetahuan apa ? Mereka tidak bisa menjawab, karena tidak ada ilmu pengetahuan yang mampu menjawab secara akurat tentang hal ini, kecuali kita kembali kepada Pencipta alam semesta ini. Maka iman yang berbeda akan membawa pengetahuan pada arah dan kesimpulan yang berbeda. Thomas Kuhn, seorang filsuf ilmu pengetahuan, menegaskan bahwa setiap ilmu pengetahuan merupakan produk dari suatu paradigma tertentu di dunia sains saat itu. Jika paradigma (baca : iman) itu berubah, maka seluruh ilmu pengetahuan akan dilihat secara berbeda.

Dulu, di zaman Ptolomeus, salah jikalau kita mengatakan bahwa bumi mengelilingi matahari. Tetapi sejak Galileo Galilei, justru salah jikalau kita mengatakan bahwa matahari mengelilingi bumi. Mengapa ? Karena sebelumnya manusia percaya bahwa bumi adalah pusat alam semesta. Kini, kita tahu, bahwa baik bumi maupun matahari bukanlah pusat alam semesta. Matahari hanyalah pusat dari tata surya kita, sebuah sistem kecil di dalam Galaksi Bimasakti di mana kita berada, sementara di alam ini ada berjuta galaksi. Betapa kecilnya kita. Maka tanpa iman yang sejati, kita tidak akan mendapatkan ilmu pengetahuan yang sejati.


D. IMAN KRISTEN DAN PENGETAHUAN
Pada bagian yang terakhir kita akan melihat apa dampak dan signifikansi iman Kristen terhadap pengetahuan. Hal ini menjadi begitu penting, ketika kita bisa melihat penerapannya kepada dunia pendidikan. Kita akan segera tidak bisa tidur dan tidak bisa santai lagi ketika melihat sekolah-sekolah yang ada, dan dampaknya bagi dunia ilmu pengetahuan, khususnya bagi diri kita sendiri.
Pertama, Iman Kristen menekankan bahwa iman sejati bukanlah iman yang menentang seseorang yang mau mendapatkan ilmu pengetahuan. Tuhan adalah Tuhan yang mencipta alam semesta dan juga mencipta manusia. Iman Kristen sangat mengkritisi penyelewengan ilmu pengetahuan saat ini, tetapi bukan berarti iman Kristen melawan atau tidak setuju dengan orang yang mau belajar dan mencari ilmu pengetahuan. Iman Kristen yang sejati akan membawa seseorang kepada pengetahuan yang sejati dan sekaligus mendorong seseorang untuk belajar sebaik mungkin, tanpa perlu mengalami konflik. Para tokoh seperti Augustinus, Blaise Pascal, Abraham Kuyper, Johan Keppler, dll, adalah orang-orang Kristen yang beriman baik, bahkan menjadi theolog. Tetapi di pihak lain mereka adalah ilmuwan-ilmuwan yang berjuang di dunia ilmu pengetahuan dengan iman yang mereka miliki untuk mendapatkan pengertian yang tepat dan berkembang terus. Adalah bukan iman Kristen pandangan yang mengatakan bahwa ketika seseorang beriman Kristen, maka ia tidak perlu mempelajari ilmu pengetahuan. Atau adanya anggapan bahwa ilmu pengetahuan itu dari setan, karena mempelajari hal-hal dunia. Dunia inipun milik Tuhan, dicipta oleh Tuhan, dan berjalan sesuai dengan aturan Tuhan. Memang sejak Kejatuhan, dunia menjadi rusak dan terkutuk, tetapi itu bukan berarti seluruh hakekatnya hilang.

Kedua, orang Kristen sejati akan memiliki dasar interpretasi pengetahuan yang tepat. Interpretasi realita yang tepat adalah ketika ketika interpretasi itu dilakukan seturut interpretasi Allah. Allah adalah Pencipta semua obyek pengetahuan, sedangkan Ia sendiri bukan obyek pengetahuan, melainkan subyek pengetahuan. Maka, pada saat kita ingin belajar tentang Allah (obyek), kita harus belajar dari Allah (subyek). Dan dari sini juga kita mempelajari semua pengetahuan lainnya. Interpretasi yang tepat terhadap ilmu pengetahuan akan sangat berdampak pada kehidupan manusianya sendiri. Ketika seseorang salah mengerti suatu pengetahuan, maka kesimpulan yang diperoleh akan salah. Dengan kesimpulan yang salah, maka seseorang akan mengambil tindakan yang salah. Di sini kita melihat kerusakan dunia yang diakibatkan oleh begitu banyak orang yang menganggap diri “belajar” dan “bergelar tinggi” namun justru mengambil kebijakan yang merusak seluruh tatanan dunia. Sebaliknya, dengan interpretasi yang tepat, kita akan mengerti realita dengan tepat dan itu mengakibatkan kita melihat koneksi dan dampak-dampak yang akan timbul jika orang mengambil langkah yang salah. Jelaslah bahwa interpretasi realita yang tepat sangat penting.

Ketiga, iman Kristen memberikan isi kepada ilmu pengetahuan. Tanpa iman yang sejati, seluruh ilmu pengetahuan kehilangan isi dan makna. Apakah itu ilmu ? Maka orang dunia akan memberikan definisi (baca : interpretasi) yang salah. Isi definisi yang tepat hanya jika orang itu tahu bahwa ilmu pengetahuan hanya suatu derivasi (turunan) kemampuan manusia dari Allah untuk mau mengerti apa yang telah dicipta oleh Allah. Ada beberapa hal yang bisa kita lihat di sini.
a) Kita mengerti dengan tepat mengapa kita harus mempelajari ilmu pengetahuan, yaitu karena kita akan ciptaan tertinggi yang dipercaya oleh Tuhan untuk mengelola alam ciptaan-Nya ini seturut kehendak-Nya. Itu berarti kita harus menjadi penatalayan alam yang baik. Orang dunia belajar tentang ilmu pengetahuan, untuk kemudian merusak dan menghancurkannya. Tidak heran jika dunia berdosa ini akan terus semakin rusak sampai kiamat nanti.
b) Kita mengerti hakekat dari setiap benda di dalam alam yang kita pelajari, karena semua ciptaan ini dari Allah adanya. Dengan demikian, kita tidak pernah akan mempersamakan derajat manusia dengan binatang, atau binatang dengan tumbuhan. Kita tidak pernah perlu sibuk mengurus UFO dan sejenisnya. Dan masih banyak hal lain yang sebenarnya hanya akan membawa manusia pada kerugian dan kesia-siaan.
c) Kita akan bisa membedakan metodologi ilmu di dalam mengerti setiap bidang atau level, sehingga tidak menganggap sama antara mempelajari manusia dengan mempelajari alam, apalagi mempelajari Allah. Orang dunia mengalami kerancuan metodologi sains, sehingga menggabungkan mistik dengan realita, ilmiah dengan iman, dan berbagai kebingungan lainnya.

Melalui ungkapan ringkas ini, kita menyadari juga betapa pentingnya sekolah atau pendidikan yang berbasiskan iman Kristen yang baik dan benar. Banyak orang tua atau pendidik tidak menganggap serius masalah iman yang mendasari semua pelajaran yang diberikan. Mereka menganggap semua itu sama saja. Toh 2 + 2 = 4. Memang dengan iman yang benar, 2 + 2 tidak akan menjadi 5, tetapi interpretasi mengapa jawabannya 4 dan bukan 5, akan terjadi perbedaan yang besar. Mari kita lebih serius lagi melihat pentingnya mendidik anak-anak kita dengan iman yang sejati, apalagi jika pendidikan itu mengambil waktu yang cukup signifikan dalam hidup anak. Maka peranan orang tua dalam mendidik balita, tidak tergantikan oleh baby sitter ; peranan guru Kristen ynag baik tidak tergantikan oleh guru Ateis. Kedua posisi ini mengambil porsi yang terbesar dalam menanamkan iman kepada seorang anak. Kita rindu, anak-anak kita akan bertumbuh menjadi anak-anak yang memiliki ilmu pengetahuan yang disorot dari sudut pandang Firman Tuhan, sehingga bisa memberikan sumbangsih terbaik bagi seluruh hidup manusia dan dunia di sekelilingnya. Amin.

Sumber : Artikel utama pada Bulletin LOGOS edisi 2/2006



Profil Pdt. Sutjipto Subeno :
Pdt. Sutjipto Subeno, S.Th., M.Div. dilahirkan di Jakarta pada tahun 1959. Beliau menyerahkan diri untuk menjadi hamba Tuhan ketika sedang kuliah di Fakultas Teknik Elektro Universitas Trisakti Jakarta. Menyelesaikan studi Sarjana Theologia (S.Th.)-nya di Sekolah Tinggi Theologia Reformed Injili Indonesia (STTRII di Jakarta tahun 1995 dan tahun 1996 menyeleselaikan gelar Master of Divinity (M.Div.)-nya di sekolah yang sama.

Setelah pelayanan di Malang dan Madura, sejak tahun 1990 beliau bergabung dengan Kantor Nasional Lembaga Reformed Injili Indonesia di Jakarta. Beliau melayani di bidang literatur yang meliputi penerjemahan dan penerbitan buku-buku teologi. Selain itu beliau juga mengelola Literatur Kristen Momentum di Jl. Tanah Abang III/1 (sejak tahun 1993) dan di Jl. Cideng Timur 5A-5B (sejak tahun 1995).
Beliau ditahbiskan sebagai pendeta pada Mei 1996 dan mulai Juni 1996 menjadi gembala sidang Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Surabaya (Andhika). Selain sebagai gembala sidang, saat ini beliau juga sebagai direktur operasional dari penerbitan dan jaringan toko buku Momentum dan direktur International Reformed Evangelical Correspondence Study (IRECS), sebuah sekolah teologi korespondensi untuk awam berbahasa Indonesia dengan jangkauan secara internasional. Selain itu beliau adalah dosen terbang di Sekolah Theologia Reformed Injili (STRI) Jakarta dan Institut Reformed di Jakarta. Beliau juga adalah co-founder Pendidikan Reformed Injili LOGOS (www.logos.sch.id) yang dimulai di Surabaya dan berkembang di Bintaro, Jakarta.

Beliau juga banyak melayani khotbah dan seminar di berbagai gereja, persekutuan kampus dan persekutuan kantor, baik di dalam negeri maupun di luar negeri; seperti Yogyakarta, Palembang, Batam, Singapura, Australia dan Eropa (Jerman dan Belanda).

Beliau menikah dengan Ev. Susiana Jacob Subeno, B.Th. dan dikaruniai dua orang anak bernama Samantha Subeno (1994) dan Sebastian Subeno (1998).

No comments: