Hamba Kristus dan Fokus Injil
oleh : Denny Teguh Sutandio
Nats : Roma 1:1-7
Surat Roma adalah salah satu surat yang ditulis oleh Rasul Paulus sekitar tahun 57 M. Selama perjalanan pelayanannya, Paulus tidak pernah mengunjungi jemaat Roma. Ia hanya mengunjungi kota Roma sebentar saja (Kisah Para Rasul 23:11-22), lalu ia dipindahkan ke Kaisarea (Kis. 23:23-35). Kota Roma adalah ibu kota sebuah kerajaan yang terbentang dari Inggris sampai ke Arab, sebuah kota yang kaya dan termasuk kosmopolitan serta sebagai pusat diplomatik dan perdagangan dunia yang terkenal pada waktu itu. Kekaisaran Romawi berada dalam suatu keadaan yang damai dan makmur (Pax Romana). Jemaat Roma yang merupakan campuran bangsa Yahudi dan bangsa-bangsa lain pertama kali terbentuk dari penginjilan yang dilakukan oleh Rasul Petrus di hari Pentakosta (Kis. 2:10), ketika para pendatang dari Roma sedang berkumpul di Yerusalem. Surat Roma ini menduduki posisi yang penting berkenaan dengan pengajaran Paulus yang paling gamblang akan Injil dan iman Kristen sejati, sehingga surat yang ditulis setelah surat-surat Tesalonika, Korintus, Galatia dan sebelum surat-surat Kolose dan Efesus ini mempengaruhi para tokoh gereja dari Bapa Gereja Augustinus, Dr. Martin Luther, John Bunyan dan Wesley yang akhirnya mengembalikan keKristenan kepada Injil yang sejati. Setelah penulisan surat ini (sekitar tahun 64 M), terjadi penganiayaan besar dari Kaisar Nero yang mengkambinghitamkan orang-orang Kristen dengan menuduh mereka membakar kota Roma (padahal Nero lah yang membakar kota Roma). Hal ini dilakukan karena Nero membenci orang-orang Kristen dan menganggap mereka penentang kaisar karena tidak mau menyembah kaisar sebagai “Tuhan”.
Pada awal suratnya, seperti pada surat-suratnya yang lain, Paulus mengemukakan identitasnya sebagai rasul Yesus Kristus, atau di Roma 1:1 disebut sebagai “hamba Kristus Yesus yang dipanggil menjadi rasul”. Kata “hamba” dalam bahasa Yunaninya doulos yang artinya budak. Konsep hamba/budak/servant dipakai oleh Rasul Paulus menunjuk kepada suatu jabatan yang boleh dikatakan rendah, karena seorang budak bertugas melayani tuannya. Di dalam Perjanjian Lama, budak adalah orang yang dibeli. Ini tercantum di dalam Kejadian 43:18, di mana saudara-saudara Yusuf sadar betul siapa mereka di hadapan Yusuf. Di dalam ayat ini, sebagai budak, mereka benar-benar kehilangan hak mereka, bahkan harta milik mereka (dalam ayat ini, keledai saudara-saudara Yusuf) dapat diambil oleh tuan mereka. Selain itu, Imamat 25:45-46, konsep ini mengajarkan bahwa budak itu dibeli. Di sini, Paulus sadar bahwa dirinya adalah budak Kristus karena Kristus telah membeli dirinya dengan darah-Nya yang menebus dosa-dosanya. Konsep budak/hamba ini seharusnya menjadi pelajaran bagi kita, di mana kita yang telah ditebus oleh Kristus merupakan budak-budak-Nya. Kalau kita sebagai budak-budak-Nya, maka tidak ada yang patut dipertahankan sebagai milik kita, sebaliknya kita harus menyerahkan segala sesuatu yang kita miliki kepada-Nya sebagai Tuan sekaligus Tuhan (Kurios) di dalam hidup kita (Roma 12:1-2 ; 1 Petrus 3:15). Konsep kedua di dalam Perjanjian Lama tentang hamba menunjukkan seorang yang beribadah kepada Allah. Di dalam Mazmur 119:49, hamba dikaitkan dengan seorang yang mengingat dan berharap akan firman-Nya, selanjutnya, di dalam Yesaya 56:6, hamba berkaitan dengan orang yang memegang teguh perjanjian (covenant)-Nya. Di dalam hal ini, Paulus sangat beribadah kepada Allah, maka beliau disebut hamba-Nya. Kita yang adalah hamba-hamba Kristus seharusnya bukan hanya bersyukur atas anugerah penebusan-Nya, tetapi juga bersedia menaati apa yang diperintah-Nya dan bersedia berkata TIDAK kepada dosa. Konsep ketiga tentang hamba di dalam Perjanjian Lama adalah berkaitan dengan orang yang sungguh-sungguh melayani orang lain. Di dalam Kejadian 24:2, 10, 17, 34-67, konsep ini semakin jelas di mana hamba Abraham melayani Abraham dan Ishak dengan sungguh-sungguh, bahkan hamba ini meminta tanda dari Tuhan untuk menunjukkan istri yang sesuai untuk Ishak, tuannya. Demikian pula, halnya dengan 1 Raja-raja 19:19-21, di mana Elisa sebagai hamba dari Elia sungguh-sungguh melayani Elia, nabi Tuhan. Di dalam hal ini, Paulus sungguh-sungguh mengabdi dan melayani satu-satunya Tuan di dalam hidupnya yaitu Kristus sendiri, sehingga apapun yang Kristus perintahkan, Paulus taat mutlak. Kita pun sebagai hamba-hamba Kristus wajib membayar harga dalam mengikut Kristus (Matius 16:24), di mana kita wajib mewartakan Injil Kristus kepada semua orang sesuai amanat agung-Nya (Matius 28:19-20).
Di dalam Roma 1:1, Paulus bukan hanya sekedar hamba Kristus Yesus, tetapi ia juga “dipanggil menjadi rasul”. Kata “dipanggil” dalam bahasa Yunaninya kletos yang artinya ditunjuk (appointed) secara khusus dan kata “rasul” dalam bahasa Yunaninya apostolos yang berarti delegasi atau duta besar Injil (ambassador of the Gospel) atau utusan (messenger). Di sini, Paulus selain menyebut dirinya sebagai hamba Kristus, ia juga rasul-Nya atau utusan Kristus atau duta besar Injil sebagai dasar/fondasi gereja (Efesus 2:20). Seorang dipanggil menjadi rasul memiliki ciri-ciri, yaitu sezaman dengan Yesus atau menjadi saksi mata hidup Tuhan Yesus dan/atau dipilih oleh Kristus sendiri. Kesebelas murid Tuhan Yesus (Yudas Iskariot tidak termasuk) disebut para rasul ditambah Paulus sebagai ganti Yudas Iskariot disebut rasul, karena Kristus sendirilah yang memilihnya secara khusus (Kisah 9:3-6). Paulus bukan hanya dipanggil menjadi rasul, tetapi juga “dikuduskan untuk memberitakan Injil Allah.” Kata “dikuduskan” di dalam Alkitab Terjemahan Lama (TL) lebih tepat diterjemahkan diasingkan (separated) dan kata “diasingkan” ini cocok dengan bahasa Yunaninya aphorizo yang juga bisa berarti dipisahkan atau dibedakan. Kita sebagai anak-anak Tuhan pun berada di dalam kondisi yang sama yaitu kita sedang dipisahkan dari dunia untuk menjadi anak-anak adopsi-Nya untuk memberitakan Injil Kristus. Lalu, apa bedanya Paulus dan para rasul Kristus lainnya dengan kita yang sama-sama dipisahkan oleh Allah untuk memberitakan Injil-Nya ? Paulus dan para rasul Kristus lainnya menyatakan diri sebagai hamba yang dipisahkan untuk memberitakan Injil Allah berada dalam posisi peletak pertama pemberita Injil setelah Kristus (meneruskan berita Injil dari Kristus sendiri), sedangkan kita memberitakan Injil berada di dalam posisi meneruskan berita Injil dari Kristus dan para rasul-Nya (kita menunaikan fungsi kerasulan, tetapi tidak berjabatan rasul).
Kalau kita melihat ulang sejarah siapakah Paulus, kita akan semakin bersyukur bahwa Paulus yang dahulu bernama Saulus, seorang penganiaya jemaat Tuhan dapat menjadi rasul-Nya. Paulus dahulu bernama Saulus (Si Besar). Saulus adalah seorang murid dari Gamaliel, (pengajar Taurat terkemuka pada waktu itu) ia sangat membenci para pengikut Kristus (pengikut Jalan Tuhan), sehingga dengan legitimasi dari para ahli Taurat Yahudi, ia pergi ke Damsyik untuk menganiaya para jemaat Tuhan. Saulus dulu adalah budak dosa, di mana ia melayani dosa sebagai tuannya. Ia pikir bahwa dengan menjalankan syariat-syariat Yudaismenya, ia memperoleh keselamatan (sama seperti yang dianggap oleh banyak orang Indonesia dengan agama mayoritasnya), padahal sebenarnya ia sedang berada di bawah dosa atau menjadi hamba dosa dengan menindas kebenaran dengan kelaliman (Roma 1:18). Ketika Saulus dan juga kita adalah budak dosa, maka ia dan kita sama-sama terjerat dan terikat dengan belenggu dosa serta tidak ada yang dapat melepaskan belenggu dosa kita, kecuali Kristus. Perjumpaan Saulus dengan Kristus sendiri di tengah perjalanan menuju Damsyik (Kisah 9:3-9) membukakan dan membebaskannya dari belenggu dosa, sehingga ia yang berganti nama menjadi Paulus (Si Kecil) sekarang menjadi hamba kebenaran yaitu hamba Kristus di mana ia dengan rela hati dan siap sedia untuk mati bagi Kristus dan Injil-Nya. Ketika kita dulu menjadi budak dosa telah dimerdekakan oleh darah Anak Domba Allah, maka kita sekarang tidak berarti tidak menjadi budak siapapun, tetapi kita justru tetap budak, tetapi menjadi budak Kristus, artinya kita melayani-Nya untuk selama-lamanya, setia kepada-Nya dan firman-Nya, taat mutlak kepada-Nya dan firman-Nya, dan siap mati demi nama-Nya. Paulus rela tidak mendapatkan nama yang termasyur seperti ketika dulu dia menjadi murid Gamaliel. Semua yang dulu dianggap untung, sekarang dianggap rugi oleh Paulus, karena pengenalannya akan Kristus lebih berharga dari apapun juga (Filipi 3:8-9). Itulah jiwa hamba Kristus.
Uniknya, di dalam ayat 2-4, Paulus langsung mengaitkan Injil dengan nubuatan dalam Perjanjian Lama (Kejadian 3:15, dll), di mana inti Injil adalah Kristus Yesus yang bernatur manusia dan Allah (perhatikan ayat 3-4, yaitu “tentang Anak-Nya, yang menurut daging diperanakkan dari keturunan Daud, dan menurut Roh kekudusan dinyatakan oleh kebangkitan-Nya dari antara orang mati, ...”). Bahasa Indonesia Sehari-hari lebih jelas mengartikan kedua ayat ini, “Kabar Baik itu mengenai Anak Allah, Tuhan kita Yesus Kristus. Secara manusiawi, Ia adalah keturunan Daud, tetapi secara ilahi Ia ternyata adalah Anak Allah. Itu terbukti dengan kuasa yang luar biasa melalui kebangkitan-Nya dari kematian.” Kristus bernatur manusia, terbukti bahwa Ia adalah keturunan Daud (Matius 1:1-17), dan Kristus pula bernatur Allah, terbukti bahwa Ia bangkit dari kematian untuk mengalahkan kuasa dosa, iblis dan maut. Di sini, konsep dwi natur Kristus dinyatakan dengan jelas oleh Paulus. Inti Injil adalah Kristus. Setiap “injil” yang tidak lagi memberitakan tentang Kristus adalah “injil-injil” palsu (Galatia 1:6-10). Kalau kita melihat kondisi keKristenan di abad postmodern, inti Injil sudah digeser dari karya Kristus yang menebus dosa menjadi dua kubu “penting” yaitu “injil” kesehatan dan kemakmuran (health and prosperity ‘gospel’) yang menekanan mujizat kesembuhan dan pemulihan ekonomi karena adanya penebusan Kristus, di sisi lain adanya “injil” sosial (social ‘gospel’) yang menawarkan bahwa Kristus melepaskan semua manusia dari beban penderitaan dan kesengsaraan dunia (menolak karya Kristus yang menebus dosa). Kalau Paulus tetap memberitakan Injil Kristus yang murni dengan menekankan karya Kristus yang menebus dosa manusia, maka sudah sepatutnya kita pun juga memberitakan Injil Kristus yang murni tanpa dibumbui dengan segala hal yang tidak mutlak diajarkan oleh Alkitab. Kemudian, Paulus menjelaskan bahwa melalui karya Kristus sebagai Pengantara antara manusia yang berdosa dengan Allah yang Mahakudus, maka kami (Paulus dan para rasul Kristus) menerima anugerah atau kasih karunia dan jabatan rasul untuk memberitakan Injil kepada semua bangsa agar mereka boleh percaya dan taat kepada-Nya. Di sini, Paulus bukan hanya membahas bahwa inti Injil adalah Kristus, ia pun sedang membicarakan tentang Injil yang universal, artinya Injil bukan terbatas bagi orang-orang Yahudi, tetapi juga perlu diberitakan kepada semua bangsa tanpa kecuali, agar beberapa dari mereka (yang telah dipilih-Nya) boleh meresponi Injil-Nya dengan percaya dan taat kepada-Nya. Memberitakan Injil yang berintikan Kristus harus direalisasikan dengan tidak memandang bulu, sebagaimana Kristus mengasihi semua orang tanpa pandang bulu. Artinya, kita harus memberitakan Injil kepada semua orang tanpa kecuali dengan berita bahwa Tuhan Yesus Kristus satu-satunya Juruselamat dunia dan hasil akhirnya membawa orang-orang yang diinjili semakin percaya dan taat kepada-Nya. Penginjilan yang beres dan bertanggungjawab bukan hanya berpusatkan Kristus (Kristosentris), tetapi juga menuntun kepada Kristus. Penginjilan yang hanya mengajar tentang Kristus, tetapi tidak menuntun kepada Kristus, akan menjadi penginjilan yang sia-sia. Artinya, penginjilan itu hanya sekedar berupa teori-teori yang dirumuskan tanpa ada pergumulan dan keputusan men-Tuhan-kan Kristus di dalam hidup sehari-hari. Inilah yang Paulus sebut sebagai “taat kepada nama-Nya” sebagai respon dari iman kepada Kristus. Kata “taat” dalam bahasa Yunaninya hupakoe yang artinya penundukan (submission) atau kepatuhan (obedience). Seorang yang taat adalah seorang yang tunduk (tidak membantah) kepada perintah-perintah-Nya. Di sini, konsep taat sama dengan konsep penyerahan total (total surrender) kepada Allah sebagai satu-satunya yang mutlak patut dipercayai dan diimani tanpa salah dan kepada firman-Nya, Alkitab sebagai satu-satunya fondasi iman Kristen yang paling konsisten, bertanggungjawab dan tanpa salah. Mengapa anak-anak Tuhan dapat berserah total dan taat kepada Allah ? Karena Allah sajalah satu-satunya yang patut dipercayai sebagaimana ynag diajarkan oleh Rasul Paulus kepada Timotius di dalam suratnya 2 Timotius 1:12, “Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu; karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan.” Paulus tidak malu sedikitpun di dalam menanggung aniaya, karena dirinya tahu kepada siapa dia mempercayakan hidupnya yaitu kepada Allah yang memelihara hidupnya sampai akhir. Adakah kita juga bersedia dengan rela hati menyerahkan hidup kita untuk terus-menerus dipimpin oleh Roh-Nya sehingga hidup kita makin menyerupai Kristus dan memuliakan Allah ?!
Di ayat 6-7a, Paulus langsung menunjuk jemaat-jemaat Roma sebagai orang-orang dari semua bangsa yang dipanggil oleh Allah menjadi milik Kristus sama seperti Paulus. Kita sebagai anak-anak Tuhan pun dipilih dan dipanggil oleh Allah sebelum dunia dijadikan (Roma 8:29-30) untuk diadopsi menjadi milik Kristus serta kita dikuduskan (atau “dijadikan orang-orang kudus” di dalam ayat 7a) agar serupa dengan gambar Kristus, Putra Sulung Allah. Di sini, Paulus mengaitkan konsep predestinasi (pemilihan Allah) dengan konsep Injil dan Kerajaan Allah, di mana Allah yang mengasihi anak-anak-Nya, memilih mereka, menentukan, memanggil mereka melalui Injil Kristus yang diberitakan, membenarkan dan memuliakan mereka kelak di dalam kerajaan-Nya. Kalau kita secara status sudah dipanggil Allah menjadi milik Kristus, itu berarti sudah seharusnya kita menaklukkan diri kita di bawah kuasa-Nya. Mengapa demikian ? Karena kita sudah dibeli dan harganya telah lunas dibayar oleh pengorbanan Kristus. 1 Korintus 6:20 mengajarkan, “Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” dan 1 Korintus 7:23 juga mengajarkan, “Kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar. Karena itu janganlah kamu menjadi hamba manusia.” Kalau pada 1 Korintus 6:20, Rasul Paulus mengaitkan konsep kita yang telah dibayar lunas oleh pengorbanan Kristus dengan hidup kudus/suci, maka di dalam 1 Korintus 7:23, Paulus juga mengaitkannya dengan konsep menghambakan diri di bawah Allah. Sungguh amat menarik, di dalam 1 Korintus 7:22, Paulus mengemukakan suatu istilah yang paradoks, yaitu, “Sebab seorang hamba yang dipanggil oleh Tuhan dalam pelayanan-Nya, adalah orang bebas, milik Tuhan. Demikian pula orang bebas yang dipanggil Kristus, adalah hamba-Nya.” Mungkin sekali, manusia dunia berpikir bahwa tentunya seorang hamba itu adalah orang yang terikat, tetapi Paulus mengatakan hal yang berbeda yaitu bahwa seorang hamba yang dipanggil oleh Allah adalah orang bebas, dan disusul dengan pernyataan bahwa hamba itu meskipun orang bebas tetapi milik Tuhan. Artinya, meskipun setiap anak Tuhan adalah hamba Allah yang telah dimerdekakan dari dosa, mereka tetaplah milik Tuhan yang wajib menghambakan diri bukan kepada manusia, tetapi kepada Allah. Di sini, saya mencoba memberikan suatu konsep circular (melingkar) yang terus berkait satu sama lain, yaitu kita adalah hamba Allah yang sudah diselamatkan melalui pemberitaan Injil, kemudian dilanjutkan dengan suatu tindakan yaitu memberitakan Injil supaya orang lain juga bertobat dan juga menjadi hamba Allah setelah mendengar Injil, lalu orang lain itu pula juga memberitakan Injil, begitu seterusnya. Seperti Rasul Paulus yang dulunya bernama Saulus adalah penganiaya jalan Tuhan, lalu setelah Kristus sendiri menemuinya di tengah perjalanan menuju Damsyik, lalu ia dipanggil menjadi hamba Kristus dan memberitakan Injil salah satunya kepada jemaat di Roma dan Paulus juga ingin jemaat di Roma setelah mendengar Injil dan menerima Kristus serta menjadi hamba-Nya juga bersedia memberitakan Injil dan menjadi saksi-Nya. Jadi, ini adalah suatu lingkaran yang saling terkait di mana sebagai seorang hamba Kristus yang tentu juga milik Kristus, kita harus rela memberitakan Injil sebagai respon aktif kita sebagai hamba Kristus yang sudah ditebus oleh darah-Nya. Kemudian di akhir ayat 7, Paulus memberikan berkat yang merupakan gabungan dari tradisi Yunani dan Yahudi. Berkat ini merupakan suatu salam hangat dari Rasul Paulus kepada jemaat-jemaat di Roma yang belum pernah dikunjunginya (lihat ayat 8). Ucapan salam dan berkat ini merupakan bukti perasaan kasih Paulus kepada jemaat di Roma yang di dalam ayat-ayat selanjutnya hal ini diperjelas.
Maukah kita hari ini menjadi hamba-Nya yang hanya memberitakan Injil Kristus yang murni tanpa ditambah oleh hal-hal yang tidak perlu dan tidak mutlak di dalam Alkitab ? Amin.
No comments:
Post a Comment