oleh : Pdt. DR. STEPHEN TONG
Abad 20 ini saya sebut sebagai abad yang sangat bodoh, a very stupid century. Saya tidak terlalu cepat mengambil kesimpulan ini sebelum menganalisa kepada paruh terakhir abad ini. Abad 20 dianggap oleh umum sebagai abad yang paling maju. Seperti yang kita lihat, perkembangan teknologi dan ilmu amat maju dengan pesat, lebih luas, lebih mendalam dan lebih konkrit dalam 94 tahun terakhir ini.
Di sepanjang sejarah sejak abad Masehi sampai akhir abad 19 perkembangan teknologi dan ilmu tidak bisa dibandingkan dengan 94 tahun terakhir ini. Kalau mata kita hanya tertuju kepada fenomena ini, kita akan tertipu dan tidak dapat melihat kepada esensi yang lebih dalam. Orang yang ditipu secara fenomena, hanya melihat lahiriah belaka. Orang yang bijak mau menembus ke dalam esensi yang sesungguhnya.
Abad 20 dimulai dengan optimisme yang naif dan diakhiri dengan optimisme yang naif pula. Pada awal abad 20 manusia sedang bermimpi dan membayangkan hari depan yang cerah dan kesuksesan yang mungkin dicapai manusia melalui potensi yang ada pada dirinya. Tetapi apa yang diimpikan itu di dalam beberapa belas tahun kemudian mulai disadari terlalu naif. Mengapa demikian? Sebab waktu itu manusia sedang menaruh pengharapan yang begitu besar terhadap ideologi-ideologi yang diajarkan pada abad 19.
Di dalam sejarah filsafat, abad 19 disebut sebagai the age of ideology dan abad 20 disebut the age of analyze. Abad iman, abad kepercayaan, abad rasio, abad pencerahan, abad ideologi dan abad analisa. Tapi saya lebih suka mengatakan abad di mana kita hidup sekarang ini bukan abad analisa, melainkan abad yang bodoh.
Pada permulaan abad 20 manusia begitu yakin yang ditemukan ideologi dan sistem pikiran abad 19. Lalu mereka menganggap itulah kebenaran. Apalagi Imanuel Kant telah mengatakan bahwa dunia mulai dewasa. Kalimat telah menjadi sumber inspirasi bagi Agust Comte (bapak Positivisme) yang mengatakan bahwa manusia yang sudah matang dan dewasa berada di dalam era scientific. Maka abad 20 manusia dengan optimis menuju kepada penemuan-penemuan scientific dan segala penguraian yang main kompleks, makin rumit dan makin sempurna dalam segala bidang. Jika kita melihat apa yang dicari dan dituntut oleh ilmuwan dan filsuf, politikus, dan sosiolog pada permulaan abad 20 semua mempunyai warna yang sama, mereka percaya dunia ini maju terus berdasarkan sodoran pikiran evolusi. Evolusi telah menjadi suatu induk pengaruh yang penetrasi ke dalam 4 bidang besar:
1. Sejarah dan proses waktu.
2. Teologi.
Bahkan teolog-teolog yang tidak lagi beriman ketat kepada kitab suci berdasarkan Reformasi menganggap Allahlah yang memimpin proses evolusi, Allah memakai evolusi di dalam menciptakan dunia ini. Ini disebut Theistic Evolution.
3. Sosiologi dan ekonomi.
Menurut Hegel seluruh dunia ini berada di dalam metoda dialektik. Dialektikal materialisme yang dikemukakan oleh Hegel (guru besar Karl Marx), oleh Marx diadopsi menjadi suatu interpretasi bagaimana menjelaskan perkembangan ekonomi sepanjang sejarah.
4. Politik.
Penetrasi ini juga masuk ke dalam bidang politik dan kemiliteran. Sehingga di dalam sejarah kita melihat orang seperti Lenin dan Mao Tze Dong yang mau memakai pikiran Marx itu untuk memaksa orang menerima komunisme di dalam politik.
Permulaan abad 20 sedang di dalam pengetahuan ilmu biologi, ekonomi, filsafat, politik, sosiologi, semua telah mengambil evolusi sebagai pikiran apriori, yaitu pasti benar, lalu penetrasi ke dalam segala bidang kebudayaan manusia. Mereka mencoba menegakkan suatu mimpi yang besar untuk menyambut satu zaman yang agung akan tiba. Mimpi yang optimistik, dan optimisme yang naif ini lalu mulai dirusak oleh Perang Dunia I. Pada 1914-1918 kita melihat letusan Perang Dunia I menghanguskan begitu banyak hasil dari tumpukan kristalisasi kebanggaan kebudayaan di dalam bangunan, seni, dll. Bukan saja demikian, PD I juga membuat manusia yang terlalu optimistik itu akhirnya sadar siapa manusia itu sebenarnya. Kembali kepada pikiran yang asal, manusia kemudian berusaha menemukan identitas manusia di dalam alam semesta, what is human identity in the universe.
Evolusi memberikan apa? Evolusi memberikan suatu pikiran khayalan, bahwa manusia bukan pada mulanya peta dan teladan Allah sekarang jatuh menjadi orang berdosa, sebaliknya manusia dulu adalah binatang tapi sekarang sudah begitu berkembang sempurna sehingga tak perlu pesimis. Berarti masih ada hari depan yang begitu indah. Evolusi bukan hanya menginterpretasi, evolusi secara tidak sadar menjanjikan hari depan yang cerah. Evolusi di dalam kesinambungan proses sejarah ini memberikan suatu janji di bawah sadar akan hari depan yang paling indah akan tiba, sehingga seolah-olah mendorong manusia maju, seolah-olah memberikan optimisme yang kuat untuk futurologi, tetapi tidak mungkin evolusi yang keluar hanya berdasarkan otak manusia yang dicipta, yang terbatas dan terpolusi oleh dosa itu, mungkin terlepas oleh racun dosa yang berada di dalamnya, karena di dalam kemajuan terus menerus, bukan hanya sasaran yang diberikan tetapi satu metodologi yang harus dipakai, yaitu konsep seleksi alam. Seleksi alam mengatakan yang kuat berhak untuk bertahan, yang lemah harus digeser. Itu sudah menjadi racun yang mengakibatkan keberanian kaum imperialis, kaum kolonialis, dan orang-orang yang begitu kejam untuk membasmi, menghancurkan dan memusnahkan bangsa-bangsa yang lebih lemah atau yang kurang berpengetahuan. Evolusi telah memberikan racun kepada pemikir seperti Hitler, sehingga ia menganggap segala tindakannya untuk agresi kepada orang lain adalah berdasarkan suatu prinsip natural yang sah dan resmi: Jerman adalah bangsa yang tertinggi. Jermanlah yang berhak memerintah seluruh dunia dan yang lain harus dibasmi.
Percaya terhadap evolusi bukan hanya sekadar memilih percaya salah satu cara di antara beberapa macam teori-teori yang ada. Percaya terhadap evolusi berarti menerima racun yang membuat seluruh umat manusia menuju kepada kehancuran. (Harus ada teolog yang memberikan petunjuk semacam ini dan menggugah manusia untuk menyadari apa yang telah dipilihnya. Namun sayang, orang berbeban seperti ini tidak banyak muncul dari mimbar gereja. Itu sebabnya, Gereja tidak memimpin dunia. Kita dipanggil untuk menjadi terang. Namun masalahnya, menerangi siapa? Untuk apa kamu menjadi terang? Dengan cara apa? Dan mendapat cahaya darimana?)
Abad ini perlu peringatan demikian. Tetapi orang yang berintelek tinggi, hati nuraninya rendah, dan tidak mau sadar bahwa diri mereka telah diracun oleh paham yang berbahaya ini. Tetapi ada seorang yang ikut menjadi pendeta militer di dalam regu penyerang di tengah-tengah tentara Jerman bernama Paul Tillich (orang ini betul-betul tinggi inteleknya, karena sejarah mencatat ia memperoleh 15 gelar doktor). Meskipin Tillich tinggi inteleknya, sayangnya ia tidak terbentuk dalam struktur teologi yang benar. Namun dengan jujur Tillich menulis satu kalimat dalam buku hariannya "Yang aku lihat bukan reruntuhan jatuhnya bangunan yang indah. Yang aku lihat adalah hancurnya kebudayaan manusia karena kecongkakan filsafat yang salah." Waktu ia menulis kalimat itu, saya bisa mencium adanya hati nurani intelektual sebagian kecil yang masih berfungsi pada dirinya.
Optimisme yang naif mulai diguncang oleh PD I. Pada tahun 1919, setahun setelah PD I yang memusnahkan 7 juta manusia, dan mengakibatkan berjuta-juta istri menjadi janda dan anak menjadi yatim, yang mengakibatkan stress dan frustasi, kegagalan, loneliness, dan tidak tahu arti hidup, dunia makin sadar kebodohannya. Untuk itu maka di Paris diadakan suatu konferensi perdamaian mengangkat kembali makalah Imanuel Kant, yang berjudul "TO WHAT THE ETERNAL PEACE" (menuju kepada perdamaian kekal). Dalam konferensi ini mereka memutuskan untuk tidak ada perang lagi. Satu kali perang, hanya 4 tahun, harus menelan 7 juta jiwa. Daripada memakai senjata, lebih baik berunding. Pada waktu hal ini dibahas, mereka merayakan hasil konferensi dengan pawai dan mengatakan tidak akan ada lagi peperangan. Tapi 20 tahun persis setelah konferensi itu, pecahlah PD II, yang menghancurkan lebih banyak kota, membunuh lebih banyak jiwa, ± 35 juta jiwa. Tetapi baru 3 tahun yang lalu Yelstin mengatakan kalimat yang begitu mengejutkan saya, "Sebenarnya menurut statistik 35 juta jiwa itu adalah adalah angka yang palsu. Karena angka yang sesungguhnya harus ditambah dengan 35 juta kematian yang lain yang belum pernah diumumkan keluar di Rusia." Jadi paling sedikit 70 juta orang yang tewas dalam PD II.
Tahun lalu saya berkesempatan mengunjungi 2 kota di Kiev dan Minsk dan baru 3 minggu yang lalu saya melayani di Moskow dan Leningrad, saya menyaksikan Rusia adalah bangsa yang patut dikasihani sebagai korban dari segelintir pemimpinnya yang menaruh diri untuk menguji suatu teori. Waktu saya berkhotbah di Ukraina, saya tidak berani minum air yang sudah dicemarkan oleh radiasi Chernobyl, jadi saya pergi ke Dollar Shop (membayar harus hanya dengan dollar), di mana harga sebotol air US $3, karena diimpor dari Perancis ke Kiev. Bayangkan berapa mahal hidup di sana.
Waktu saya memikirkan kembali apa nasib manusia, saya menyimpulkan beberapa hal: Negara-negara yang mengidolakan Karl Marx (karena Marx adalah ekonom terbesar dalam sejarah. Tak ada seorang filsuf meneliti dan menganalisa dengan teori yang begitu rumit dan mendetail mengenai segala kemungkinan dan potensi ekonomi lebih tuntas daripada Marx), apa yang terjadi? Terbukti teori ekonom yang terbesar, kalau disetujui sepenuhnya oleh suatu negara, pasti ekonominya bangkrut. Komunisme menyodorkan keadilan yang paling tuntas kepada masyarakat untuk menyongsong hari depan yang indah, di mana komunisme berjanji meratakan kekayaan. Akhirnya terbukti mereka tak pernah meratakan kekayaan, hanya meratakan kemiskinan saja.
Lalu saya melihat, mengapa Tuhan mengizinkan hal ini terjadi? Tiga minggu yang lalu di Moskow, seorang profesor bertanya kepada saya mengapa kalau Allah memperbolehkan manusia diuji oleh teori yang salah, Allah tega memilih RRC yang mempunyai penduduk yang paling banyak untuk disiksa dan menderita puluhan tahun? Ini kalimat yang tajam. (Di Indonesia, kadang-kadang saya menerima pertanyaan dari otak yang tajam, tapi itu jarang sekali). Jikalau Allah memperbolehkan manusia dicobai oleh semacam filsafat yang salah, mengapa tidak memilih bangsa yang kecil, mungkin St. Marino, Vaticano, dan kerajaan Monaco yang penduduknya sedikit. Mengapa justru Allah memperbolehkan Tiongkok ada di bawah eksperimen komunisme yang mengakibatkan berpuluh-puluh juta manusia mati di situ? Saya tahu pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Saya hanya menjawab, Allah tidak pernah membuang siapapun. Sebenarnya, manusialah yang membuang Allah. RRC mencatat ratusan kali menganiaya orang Kristen, memenjarakan pendeta, melawan Tuhan, menolak misionari dan membunuh orang-orang yang mengabarkan Injil. Profesor itu mulai sadar, ini memang benar. Pada waktu manusia tidak lagi memperallahkan Allah sebagaimana seharusnya dihormati, maka Allah memperbolehkan manusia di dalam pilihan menolak Allah untuk secara tidak sadar ditolak oleh Allah. Yang arif menjadi pasif, yang berinisiatif menjadi yang dibuang. Inilah paradoks bijaksana Allah yang melampaui marifat manusia. Pada waktu manusia merasa tidak perlu Allah dan menganggap diri cukup pandai mengatur segala sesuatu dengan sikap otonom, Allah membiarkannya untuk menjadi eksperimen membuktikan kesalahannya.
Dan antara PD I dan PD II timbullah satu generasi yang disebut "the Lost Generation." Lost generation menjadi suatu pangkalan suburnya filsafat eksistensialisme, di mana suatu jalan telah terbuka bagi pemuda-pemudi untuk menuju atheisme tanpa mereka sadari dan munculnya topeng-topeng agama tapi di dalamnya ada kekosongan yang luar biasa. Akhirnya setelah berpuluh-puluh tahun mereka baru sadar semuanya tidak seperti yang diimpikan. Saya menyimpulkan seluruh arus pikiran eksistensialisme yang pernah merajalela pikiran kaum intektual di seluruh dunia tahun 50-an sampai tahun 80-an dari Eropa ke Amerika dan akhirnya ke Asia ini, hanya dalam 2 kalimat, "Eksistensialisme selalu memperbincangkan kekosongan seperti kosong itu ada. Eksistensialisme selalu memperbincangkan keberadaan seperti ada itu tidak ada."
Mengapa abad 20 ini saya sebut sebagai abad yang bodoh? Karena abad 20 adalah abad yang tidak menghasilkan pemikir yang penting. Saya tidak perlu setuju teori filsafat yang mengatakan "A man is what he thinks", karena sebagai teolog Kristen, saya mempunyai definisi "A man is what he reacts before God." Kalau kita hanya berhenti pada kalimat "A man is what he thinks" seperti kaum idealist atau rasionalis, atau jika kita hanya berhenti pada "A man is what he eats" seperti materialisme, itu terlalu dangkal. Tetapi meskipun ada filsafat yang mengatakan, "A man is what he thinks", rasionalisme dan idealisme hanya memberitahukan kepada kita bahwa manusia selalu menjadikan diri pusat (anthroposentric of life-style), tanpa menghasilkan sesuatu dari pikirannya. Di mana pemikir-pemikir agung abad 20? Seolah tidak ada yang berpengaruh besar. Dan abad 20 sudah menjadi abad yang menjual diri. Abad 20 sudah menjadi abad yang berkompromi kepada abad 19. Abad 20 menjadi abad di mana kita tidak mempunyai otonomi atas diri kita sendiri. Abad 20 menjadi abad di mana kaum intelektual mengosongkan pikiran lalu diisi dengan apa yang disodorkan pemikir abad 19. Abad 20 tidak menghasilkan seorang pemikir yang bisa memberikan arah kepada umat manusia. Abad 20 hanya menghasilkan orang-orang yang mengosongkan otak lalu membuat Marx, Kierkegaard, Nietszche, dll. menjadi pemimpin pikiran mereka. Sehingga selama abad 20, kita hidup, bergerak, mencari segala langkah, dan menemukan segala teknologi, tapi apa yang kita temukan itu dibanding dengan abad 19 berlainan sekali. Pemikir-pemikir abad 20 hanya memikirkan wadah tidak memikirkan isi. Membuat kapal terbang, komputer, radio, satelit, roket, dan segala macam penemuan besar, hanya untuk menjadi wadah, bukan menjadi isi. Kapal terbang dibuat untuk mengangkut para pedagang yang pergi ke sana sini secepat mungkin, untuk mengangkut turis yang pergi ke sana kemari karena kebanyakan uang. Komputer untuk mengisi data-data yang berhubungan perdagangan komersil. Pemikiran-pemikiran yang berkembang pesat di abad 20 kebanyakan bersumber dari abad 19. Dan kita memakai seluruh abad ini menjadi tempat praktek para pemikir yang sudah mati. Selama 70 tahun Asia membuat diri menjadi budak abad 19. Dari 1919-1989 pemuda pemudi yang berada di Tien An Men berpawai dan berteriak. Apa yang mereka teriakkan persis sama. Akibatnya mereka digilas oleh tank. Darah, daging, dan tulangnya sampai remuk, lalu diangkut dan dibakar di Beijing. Itulah penindasan komunisme terhadap pemuda pemudi di sana. Yang diteriakkan tahun 1919 adalah "Kami menginginkan demokrasi, kebebasan" juga diteriakkan oleh pemuda di tahun 1989. Istilah yang sama, slogan yang sama, mimpi yang sama. Berarti selama 70 tahun apa yang diimpikan belum tercapai. Abad 20 menjanjikan apa? Abad 20 memimpikan apa? Abad 20 mendapatkan apa? Kita melihat dalam perkembangan seluruh umat manusia, betul kita perlu eksperimen, pengalaman. Tetapi pengalaman mengajar kepada kita bahwa pengalaman kita banyak kebodohan. Hegel mengatakan satu kalimat, "Sejarah mengajarkan satu pengajaran terbesar kepada umat manusia yaitu manusia tidak pernah pengerima pengajaran dari sejarah." Kita telah membuang 80-90 tahun untuk mempraktekkan komunisme, akhirnya baru kita sadar bahwa komunisme itu salah! Kita memakai 90 tahun mempraktekkan eksistensialisme akhirnya baru sadar bahwa itu salah! Kita memakai 90 tahun untuk mempraktekkan evolusi, akhirnya baru sadar bahwa evolusi salah! Kita memakai 90 tahun untuk mempraktekkan positivisme dan berkembang menjadi logical positivisme, akhirnya baru sadar kalau itu salah! Bukankah abad 20 ini abad yang bodoh? Bukankah abad 20 ini abad yang kita hamburkan dengan eksperimen yang membawa kita kembali kepada permulaan, belum tahu apa-apa?!
Sekarang hanya tersisa 6 tahun sebelum kita menutup abad 20, yang pernah menghasilkan banyak perkembangan teknologi ini. Kita mempunyai kapasitas, kita mempunyai instrumen, kita mempunyai segala bangunan yang hebat, tetapi isinya apa? Jikalau ada tape recorder tidak ada perkataan penting yang direkam, tape itu tetap kosong. Jikalau ada kapal terbang yang mempercepat lalu lintas, tapi tidak ada program yang bisa berguna bagi seluruh dunia, hanya mempercepat perkembangan kekayaan orang yang rakus tak habis-habis, itu tidak ada gunanya. Jika mimbar makin bagus, gedung gereja makin besar, tapi yang dikhotbahkan tidak menstimulir pikiran, tidak membawa otak manusia kembali kepada firman Tuhan, hanya mengumpulkan lebih banyak persembahan untuk pendeta, itu tidak berguna. Jikalau mimbar didirikan tapi bukan untuk menyampaikan firman, tapi tidak membawa keadilan dan kemajuan sungguh-sungguh untuk meningkatkan moral manusia, jikalau ilmu pengetahuan makin lama makin maju, kedokteran makin lama makin maju, bisa menyembuhkan banyak penyakit akibat hidup amoral, kedokteran menjadi wadah untuk menolong perkembangan imoralitas juga. Semua wadah itu perlu kembali dengan satu prinsip mengisi inti yang memuliakan Tuhan. Setelah dunia barat berkembang, sekarang mereka mulai sadar lagi bahwa perkembangan ini membawa manusia ke mana? Ada 4 hal yang berteriak kepada manusia: You are in danger, you are in danger, you are in danger and you are in danger. What kind of danger? Fusi, polusi, AIDS, immoralitas barat. Apa yang kita terima dari kerusakan lingkungan adalah akibat sains. Pada waktu kita mengembangkan sains, hanya ilmuwan Kristen yang mengerti dan memakai sains untuk memuliakan Allah.
Fusi dan polusi menyadarkan sebagian orang jika hanya ada sains dan kemajuan teknologi saja ini tidak berguna dan berbahaya. AIDS, imoralitas, kriminal yang presentasinya saat ini telah berkembang bersama dengan kemajuan suatu negara. Waktu berada di Leningrad (St. Petersburg) saya naik kapal di atas sebuah sungai yang begitu indah, ada museum Harmitage yang nomor 2 terbesar di seluruh dunia (adalah istana yang asli yang dipakai menyimpan koleksi seni sejumlah 2.947.000 buah karya seni. Ada tiang yang dilapis emas, marmer dan granit yang berbeda bentuknya). Namun pada sisi kota yang lain, nampak sebuah penjara. Waktu kapal lewat di sana, seorang penerjemah saya dalam bahasa Inggris ke Rusia berkata, "Stephen, inilah penjara terbesar di kota ini. Bisa menampung 100.000 orang. Saat ini isinya lebih dari 40% dari kapasitas, hingga berjejal-jejal. Jika ada narapidana baru masuk, terpaksa harus mengusir yang lama." Saya membaca sebuah surat kabar yang mengatakan negara yang memiliki tindak kriminal terbesar adalah Rusia, kedua Amerika. Di Rusia perbandingannya 100.000:574, tiap 100.000 orang Rusia, yang harus dipenjara adalah sejumlah 574 orang. Di Amerika tiap 100.000 orang, yang dipenjara 543 orang. Bagaimana dengan Indonesia? Puji Tuhan! Tiap 100.000 orang, hanya 22 yang dipenjara, lumayan!
Inilah manusia. Manusia maju, negara maju teknologinya sekaligus maju kriminalitasnya. Negara maju teknologinya, tindakan kriminalnya lebih canggih lagi. Kota New York setiap hari ±450 mobil hilang. Di kota London setiap hari 347 mobil yang hilang. Sepuluh tahun yang lalu di New York setiap tahun ±2.000 pembunuhan dan LA 970 orang dibunuh. Sekarang di Amerika ±190 juta senapan yang ada di tangan orang sipil. Negara itu berpenduduk 250 juta jiwa, tapi punya senjata api 190 juta orang. Jika 1% dari 190 juta orang pemilik senapan itu ada yang gila, berarti ada 1,9 juta manusia gila yang sementara waktu tidak menembakkan senjatanya dengan brutal. Saya tidak tahu abad 20 mau ke mana? Dan sekrang ini makin dekat habis, manusia terus mendapat ancaman: engkau dalam bahaya! Engkau dalam bahaya! Engkau dalam bahaya! Futurologis yang bukan Kristen seperti Alvin Toffler, Naisbitt semua menunjukkan ada hari depan yang indah, tanpa memberi peringatan dari firman Tuhan, itu yang saya kuatirkan. The world needs Christian prophetic ministry. This world needs young people who dedicated their lifes to God. This generation admitt your guidance. And if you want to guidance the world, you need to be guided by Holy Spirit with the Bible. Saya sedang menanti satu generasi yang otaknya tajam luar biasa, lalu takluk di bawah firman Tuhan dan berkata, "Tuhan pakailah saya untuk menjadi perabot-Mu, alat-Mu." Pada waktu saya melihat mahasiswa sekolah teologi yang mau cepat-cepat keluar untuk mendapat gelar S.Th. dan jadi pendeta dan mendapat gaji yang cukup besar tiap bulan, saya lihat itu tidak ada harapan. Waktu saya melihat mahasiswa yang belajar memakai uang orang tuanya yang bekerja membanting tulang, hanya supaya kepala yang bundar menjadi persegi, lalu pulang ke desa dan membanggakan diri, saya bilang no hope! Istri alm. Dr. Francis Schaeffer mengatakan, "Tiap tahun USA menghasilkan ribuan Ph.D., tapi di mana pahlawan yang berjuang untuk kerajaan Tuhan, untuk Kristus? Saya tidak lihat." Saya ingin mencucurkan air mata dan berdoa di hadapan Tuhan. Waktu saya lihat mimbar yang bagus dan mewah tapi diberikan khotbah yang tidak karuan dan tidak sesuai dengan Alkitab, saya begitu sedih. Biar seluruh dunia membenci saya, biar pendeta-pendeta membuat isu Stephen Tong tidak ada Roh Kudus, saya berkata kepada Saudara, yang membuat saya gigih berkhotbah, melayani berpuluh-puluh tahun itulah Roh Kudus, bukan roh saya. Tapi yang membuat orang-orang kelihatan ada Roh Kudus tapi hidup, keuangan, dan seks tidak karuan, tapi masih berani naik mimbar, berani menafsir Alkitab tidak karuan, itu pasti bukan dari Roh Kudus. Pemuda pemudi yang kritis dan betul-betul mau taat pada pimpinan Tuhan, mulai hari ini bangun, jangan tidur! Pada waktu seluruh dunia sedang menyambut zaman baru (new age), inilah pertama kali barat berkompromi dengan timur. Dulu barat menghina, menjajah, mengagresi, infasi timur, sekarang mulai berubah. Barat mulai datang ke timur, bertapa, bermeditasi.
Waktu saya melihat pemuda pemudi dari Asia belajar di Toronto dan sulit berbahasa Inggris, lalu mengikuti kuliah sambil merengut, lalu saya melihat di Borobudur ada seorang barat yang gundul sedang meditasi, saya membandingkan, yang satu buka matanya pakai pikiran dan yang satu tutup mata tanpa pikiran, inilah globalisasi. Timur mencari ilmu di barat, barat sedang mencari ketenangan di timur. Dunia sedang berglobalisasi. Yang timur sedang mengisi otak di barat, yang barat sedang mengisi hati di timur. Kita kembali mendengar Yesus Kristus berkata, "Barat, engkau mencari Jalan atau hanya ketenangan hidup? Timur, engkau Kebenaran atau hanya titel dan pengetahuan? Aku memberikan jawaban: Akulah Jalan, Akulah Kebenaran, dan Akulah hidup. Tidak ada seorangpun dapat kembali kepada Bapa kecuali melalui Aku." Saya tetap memegang Alkitab, the answer is only in Jesus Christ. Except Christ, there is no answer. Setelah kita mendapat isyarat you are in danger, manusia tidak mau belajar dari sejarah.
Sekarang kita akan menuju abad 21, seperti abad 20 dimulai dengan naif, menunggu lagi hari depan yang cerah. Sebagai seorang hamba Tuhan yang dilahirkan untuk menyaksikan berakhirnya abad 20, saya geleng kepala. Hai umat manusia, ke manakah engkau? Optimisme, hari depan cerah karena evolusi. Tuhan berkata, "Kembali kepada-Ku, di sinilah tempat pangkalan pengharapanmu. Di sini sasaran imanmu dan di sini ada cinta kasih yang memberi kepuasan pada jiwamu. Pada waktu Gramedia sudah mencetak ribuan buku mengenalkan New Age Movement, saya melihat pendeta-pendeta yang katanya pemimpin Gereja masih belum tahu apa arti istilah itu. Gerakan Zaman Baru sudah merupakan suatu air bah yang melanda seluruh pelosok kebudayaan, tetapi sedikit sekali pemimpin-pemimpin Kristen, khususnya kaum intelektual Kristen yang melihat berapa besar ancaman dan perbedaan antara arus itu dengan kekristenan tradisional.
New age movement menjadi penipu baru untuk umat manusia. Pada waktu kita melihat buku-buku new age movement diterjemahkan ke dalam bentuk komik, novel, tulisan cerita, dan dalam bidang periklanan serta slogan TV, banyak orang yang tidak sadar. Selama 2 tahun terakhir apa yang menonjol di TV sudah banyak dipengaruhi oleh new age movement. Berapa besar bahayanya jika kita tidak sadar dan tidak mencegahnya? Siapakah yang menjamin kamu layak menjadi terang dunia? Jangan menipu diri, belajar, mengabdi dan serahkan hidupmu kembali kepada Tuhan.
Renungan ini ditranskrip dari seminar bagi mahasiswa di Universitas Gajah Mada (Yogyakarta) dan Universitas Sam Ratulangi (Manado), September 1994
Sumber: Majalah MOMENTUM No. 24 - Oktober 1994
Disarikan dari :
http://www.geocities.com/reformed_movement
Profil Pdt. DR. STEPHEN TONG :
Pdt. DR. STEPHEN TONG lahir di Fukien, Tiongkok pada tahun 1940. Beliau melayani Tuhan sejak tahun 1957, baik di dalam bidang penginjilan, teologi, maupun penggembalaan. Pelayanan beliau yang telah terbukti menjadi berkat bagi zaman ini telah menarik perhatian banyak pemimpin gereja, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Perhatian tersebut khususnya ditujukan kepada Reformed Theology yang senantiasa beliau tegaskan. Sejak tahun 1974, beliau mengadakan seminar-seminar di Surabaya. Pada tahun 1984, beliau mulai mengadakan Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK) di Jakarta, untuk menegakkan doktrin Reformed dan semangat Injili. SPIK dipimpin Tuhan untuk menjadi pendahuluan bagi berdirinya Lembaga Reformed Injili Indonesia (LRII) pada tahun 1986, di mana Pdt. Dr. Stephen Tong mengajak Pdt. Dr. Yakub Susabda dan Pdt. Dr. Caleb Tong untuk menjadi pendiri bersama. Pada tahun 1995, beliau mendapat gelar Honorary Doctor of Leadership in Christian Evangelism (D.L.C.E.) dari La Madrid International Academy of Leadership, Filipina. Sebelumnya beliau telah menamatkan studi Bachelor of Theology (B.Th.) di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang.
Selain memimpin Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK), Pdt. Dr. Stephen Tong juga mendirikan Sekolah Teologi Reformed Injili (STRI) Surabaya (1986), STRI Jakarta (1987), dan STRI Malang (1990). Beliau juga memperluas seminar-seminar pembinaan iman tersebut ke kota-kota besar lainnya di Indonesia dan kota-kota di luar negeri, yang pelaksanaannya diserahkan kepada Stephen Tong Evangelical Ministries International (STEMI). Sejak tahun 1991 hingga saat ini, Pdt. Dr. Stephen Tong menjabat sebagai Rektor STTRII dan sejak tahun 1998 sebagai Rektor Institut Reformed.
Selain menegakkan doktrin Reformed di Indonesia, beliau juga pernah menjadi dosen tamu pada seminari-seminari di luar negeri, termasuk di China Graduate School of Theology di Hong Kong (1975 dan 1979), China Evangelical Seminary di Taiwan (1976), Trinity College di Singapura (1980, dan memberikan ceramah-ceramah termasuk di Westminster Theological Seminary, Regent College dan lain-lain di Amerika Serikat.
Di samping itu, Pdt. Dr. Stephen Tong pernah menjabat sebagai dosen teologi dan filsafat di Seminari Alkitab Asia Tenggara (1964-1988), pendiri STEMI (1979), pendiri Jakarta Oratorio Society (1986), pendiri Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) pada tahun 1989, Gembala Sidang GRII Pusat, ketua Sinode GRII, pendiri Institute Reformed for Christianity and the 21st Century (1996) di Indonesia dan Amerika, Christian Drama Society (1999).
No comments:
Post a Comment