06 March 2007

DOKTRIN ALKITAB DAN PENAFSIRANNYA (Denny Teguh Sutandio)

BAB 2
DOKTRIN ALKITAB DAN PENAFSIRANNYA
(BIBLIOLOGI DAN HERMENEUTIKA)




Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab 1 bahwa Alkitab adalah wahyu khusus Allah yang tertulis yang diperuntukkan hanya bagi umat pilihan-Nya (anak-anak Tuhan), maka doktrin Alkitab ini begitu penting dan menjadi dasar dari pembentukan theologi Kristen (prolegomena). Oleh karena itu, orang Kristen yang sejati dengan pengertian theologi Reformed yang ketat mempercayai Alkitab sebagai Firman Allah yang tak mungkin bersalah dalam naskah asli (autographa)nya baik dalam segi sejarah maupun pesan (infallibility and inerrancy of the Bible) dan pengertian ini akan menentukan semua pembentukan theologia yang sehat.

2.1 Alkitab adalah Firman Allah
Alkitab sebagai Firman Allah berarti Alkitab itu murni adalah Firman Allah (pandangan theologia Reformed) dan sama sekali bukan mengandung/berisi Firman Allah (pengaruh dari “theologia” liberal/modernisme lama {Williamson, 2006, p. 10}) atau bukan juga Alkitab menjadi Firman Allah (pengaruh dari theologia Neo-Orthodoks/modernisme baru dari Karl Barth/Barthianisme yang meracuni keKristenan di dalam mayoritas gerakan Karismatik/Pentakosta yang mengajarkan adanya perbedaan antara logos/Firman yang tertulis dan rhema/firman Allah secara pribadi yang tidak tertulis {Williamson, 2006, p. 10}). Apakah perbedaan antara ketiga pandangan ini ? Pandangan “theologia” liberal yang mengajarkan bahwa Alkitab berisi Firman Allah, berarti di dalam presuposisi ini, ada bagian-bagian di mana Alkitab bukan firman dari Tuhan. Lalu, pandangan Neo-Orthodoks/modernisme baru yang mengajarkan bahwa Alkitab menjadi Firman Allah, berarti di dalam presuposisi ini, semua ayat Alkitab itu hanya tulisan manusia dan baru menjadi Firman Allah jika Allah berbicara kepada pembacanya secara pribadi (kalau begitu, jika Allah tidak “berbicara”, maka Alkitab hanyalah tulisan manusia biasa). Kedua hal ini ditolak oleh theologia Reformed yang mempercayai bahwa Alkitab itu seluruhnya adalah Firman Allah.

Lalu, kalau Alkitab adalah Firman Allah, bukankah banyak orang dunia menyerangnya dengan mengatakan bahwa di dalam Alkitab ada bagian yang berkontradiksi satu dengan yang lain ? Bagaimana kita dapat menjawab dan menantang serangan mereka ? Sebelumnya, patutlah kita bersyukur kepada Allah, Sang Pengwahyu Alkitab, karena Ia mewahyukan diri-Nya di dalam Alkitab dengan sangat mengherankan. Saya sebut mengherankan, karena Alkitab yang adalah Firman Allah dipercayakan penulisannya pada manusia tetapi tetap di dalam kontrol Allah. Ini berarti Allah tetap memakai manusia (para nabi dan rasul-Nya) untuk menuliskan Firman-Nya dengan tetap mempertimbangkan seluruh keberadaan manusia. Contohnya, ketika Rasul Paulus menuliskan suratnya kepada jemaat di Roma, kita harus tetap memperhatikan konteks dan latar belakang jemaat Roma sehingga kita dapat mengetahui misalnya, mengapa Paulus mengatakan bahwa di dalam kebaktian mereka ada bersalam-salaman sambil cium kudus (Roma 16:16). Juga, di dalam menuliskan suratnya kepada jemaat di Galatia, Paulus mengkritik Yudaisme (agama Yahudi) yang mengajarkan bahwa keselamatan bukan hanya percaya Injil, tetapi harus berbuat baik, dll, sehingga di dalam Galatia 1:6-10, Paulus membicarakan tentang “injil” lain (“injil” versi Yudaisme tadi) dan terkutuklah mereka yang mengabarkan dan menerima “injil” palsu tersebut. Hal serupa dengan keempat Injil. Injil Matius dituliskan untuk orang-orang Yahudi dan bertema Kristus adalah Raja, sedangkan Injil Lukas dituliskan untuk orang-orang Romawi (perhatikan nama “Teofilus” pada Lukas 1:1) dan bertema Kristus adalah Anak Manusia. Sehingga kalau ada orang Islam (khususnya) yang menyerang kita bahwa antara Injil Matius dan Lukas ada perbedaan kisah/peristiwa, maka kita dapat menjawab dan menantang mereka untuk melihat konteks penulisan kedua Injil ini.

Selain itu, (naskah asli) Alkitab yang adalah Firman Allah ditulis oleh lebih dari 40 orang penulis (para nabi dan rasul) di dalam zaman Perjanjian Lama sampai dengan Perjanjian Baru secara simultan menuliskan satu inti yang sama yaitu finalitas Kristus dan karya-Nya. Mengapa harus 40 orang penulis ? Bukankah ada agama yang mengklaim “melengkapi” semua agama lalu mengajarkan bahwa “kitab suci” mereka langsung “jatuh” dari atas (entah itu “surga” atau “atap” ?) dan ditulis oleh satu orang saja, yaitu “nabi” mereka ? Secara logis, orang yang mengklaim menerima wahyu Allah tidak boleh satu, mengapa ? Karena kalau hanya ada satu orang mengklaim menerima wahyu Allah, siapa yang dapat mengujinya ? Kedua, kalau benar “kitab suci” mereka “diwahyukan” Allah, yang sungguh sangat absurd/tidak masuk akal adalah “kitab suci” mereka hanya berbahasa tertentu (Arab), seolah-olah “Allah” hanya bisa berbahasa Arab. Ketiga, kalaupun “kitab suci” seolah-olah kelihatan terjadi secara “mukjizat” yaitu jatuh dari atas/diturunkan oleh “Allah”, maka sejujurnya bagi Allah, tentu hal itu tidaklah sulit, sedangkan yang lebih sulit yang harus Allah kerjakan, Alkitab tak pernah jatuh dari atas, tetapi ditulis melalui perantaraan manusia yang hidup dalam beragam zaman, bahasa, budaya, kedudukan sosial (raja {mis. Daud, Salomo, dll}, nelayan {mis. Simon Petrus}, dokter {mis. Lukas}, dll) tetapi memiliki satu benang merah dan tujuan yang sama yaitu finalitas Kristus dan karya-Nya (mengutip pernyataan dari Pdt. Sutjipto Subeno). Puji Tuhan, karena Ia telah mewahyukan Alkitab.


2.2. Inspirasi Alkitab : Makna, Problematika dan Jawabannya
Kalau kita percaya bahwa Alkitab adalah Firman Allah, berarti kita tentu mempercayai bahwa Alkitab itu diinspirasikan oleh Allah. 2 Timotius 3:16a menurut terjemahan King James Version adalah, “All scripture is given by inspiration of God,” atau menurut terjemahan New International Version (NIV) adalah, “All scripture is God breathed and is useful for teaching.” Kata “inspirasi” sendiri dalam bahasa Yunani theopneustos yang berarti dihembusi/diberikan nafas oleh Allah. Berarti, Alkitab kita murni dari Allah. Tetapi ada beberapa keberatan dari orang lain, misalnya
Pertama, ada yang mengatakan bahwa apakah kalau begitu Allah memakai tangan-Nya untuk menuliskan Alkitab atau manusia yang dipakai Allah atau bagaimana ? Allah lah yang mewahyukan Alkitab, tetapi tidak berarti Ia tak menggunakan manusia. Allah tetap menggunakan manusia tetapi manusia tidak dipakai-Nya sebagai mesin yang hanya tinggal menulis apa yang Allah perintahkan. Allah yang memakai manusia sebagai penulis wahyu-Nya dipakai-Nya dengan membiarkan para penulis yang hidup pada zaman/waktu tertentu dengan latar belakang kebudayaan tertentu menuliskan apa yang Allah nyatakan. Berarti Allah tidak mematikan kehendak, emosi, pikiran dan kebiasaan penulis. Mengapa hal ini perlu ? Bukankah lebih “enak” Alkitab itu langsung “jatuh” dari Allah ? Kalau Alkitab langsung “jatuh” dari Allah, bagaimana kita sebagai anak-anak-Nya dapat mengerti bahasa-Nya yang sungguh rumit dan tak terselami ?? Oleh karena itu, inspirasi Alkitab sangat penting karena menghadirkan manusia yang dipakai Allah untuk mengkomunikasikan penyataan Allah melalui bahasa manusia yang dapat dimengerti. Tanpa adanya bahasa manusia, tak mungkin manusia dapat mengerti keseluruhan penyataan Allah. Misalnya, di dalam Yesaya 59:1, Allah melalui Nabi Yesaya berkata, “Sesungguhnya, tangan TUHAN tidak kurang panjang untuk menyelamatkan, dan pendengaran-Nya tidak kurang tajam untuk mendengar;” Apakah benar menurut ayat ini, Allah memiliki tangan dan telinga ? TIDAK. Ini adalah gaya bahasa Anthopomorphis yang memakai bahasa manusia pada diri Allah. Hal ini juga dapat dibaca di dalam Mazmur 51:11. Kalau kita kembali kepada Yesaya 59:1, ayat ini berarti pemeliharaan dan pertolongan Tuhan itu cukup bagi manusia, sehingga manusia tidak perlu kuatir, tetapi ayat selanjutnya membukakan realita bahwa manusia tidak pernah mengerti pemeliharaan Allah, sehingga mereka mempermainkannya dengan berbuat dosa. Dengan kata lain, penggunaan gaya bahasa ini menunjukkan bahwa Allah memakai sarana manusia untuk mengkomunikasikan penyataan-Nya agar penyataan-Nya dapat dipahami dengan bahasa manusia. Ini juga merupakan bentuk Allah yang imanen/dekat dengan kita.

Kedua, kalau Alkitab diinspirasikan Allah, maka mengapa di dalam Alkitab terdapat hal-hal yang jorok, misalnya perzinahan (Kejadian 19:30-38), bohong (Kejadian 27:18-24) dan bahkan kata-kata yang diucapkan iblis (Matius 4) ? Apakah dengan demikian Alkitab layak disebut buku “tabu” atau “jorok” ? TIDAK. Justru karena membukakan realita jorok inilah, Allah melalui Alkitab ingin jujur membukakan realita keberdosaan manusia dan perlunya mereka bertobat dan kembali kepada-Nya di dalam Kristus. Inilah kejujuran Alkitab ! Periksalah seluruh “kitab suci” agama lain, adakah yang seperti Alkitab yang jujur membukakan realita kebejatan manusia ? Ini pun membuktikan bahwa ada hati Allah di dalam setiap bagian Alkitab yang menginginkan manusia tidak mencontoh manusia yang telah berdosa atau mengikuti perkataan iblis, tetapi hanya taat, setia dan takut kepada Allah dan kehendak-Nya. Dengan kata lain, saya ingin mengatakan bahwa inspirasi Alkitab juga berkaitan dengan isi hati Allah kepada umat-Nya.


2.3. Ketidakbersalahan Alkitab dan Masalah Penafsiran Alkitab
Kemudian, pengakuan iman Reformed menyatakan bahwa naskah asli Alkitab tidak bersalah. Ini berarti hanya naskah asli Alkitab yang sempurna/akurat, dan kenyataannya naskah asli Alkitab ini sekarang tidak ada. Kemudian, naskah asli Alkitab ini diterjemahkan dan disalin ulang pada beberapa terjemahan lalu terjemahan ini disalin lagi sehingga pada zaman sekarang kita menemukan beragam variasi terjemahan Alkitab dengan berbagai bahasa negara (bahkan bahasa daerah). Apakah berarti Alkitab yang kita miliki sekarang tidak benar lagi ? TIDAK. Alkitab secara hakekatnya adalah Firman Allah, tetapi karena naskah asli Alkitab sudah tidak ada (diizinkan Allah, karena kalau masih ada, bisa diberhalakan oleh manusia dan nantinya menjadi “Kaabah” kedua bagi orang Kristen), maka di dalam mengerti Alkitab, kita perlu menafsirkan Alkitab. Kita perlu menafsirkan Alkitab karena adanya jangka waktu yang panjang dan tak terjembatani antara para penulis awal (dan penerima/pembaca surat/kitab penulis tersebut) dengan kita yang hidup di zaman sekarang sebagai pembaca selanjutnya/belakangan (mengutip pernyataan dari Pdt. Thomy J. Matakupan).

Doktrin penafsiran Alkitab (hermeneutika) yang dipegang oleh theologia Reformed adalah Alkitab menafsirkan dirinya sendiri (Sciptura sui interpres). Ini berarti, kalau ingin mengerti makna asli Alkitab dengan tepat, kita tidak perlu memakai filsafat manusia atau agama lain untuk mengertinya, melainkan kita harus kembali mengerti apa yang Alkitab sedang ajarkan secara totalitas. Mengerti dan menafsirkan Alkitab secara totalitas dapat saya bagi menjadi beberapa prinsip : pertama, mengerti dan menafsirkan Alkitab secara utuh. Artinya, di dalam mengerti dan menafsirkan satu bagian (ayat) Alkitab, kita harus memperhatikan bagian (ayat/pasal/kitab) lainnya di dalam Alkitab sehingga kita tidak membuat Alkitab berkontradiksi satu sama lain. Misalnya, dalam Yakobus 2:26, Yakobus mengajarkan bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati. Jangan membangun doktrin hanya dalam satu ayat ini lalu mengajarkan bahwa perbuatan baik sangat penting bagi keselamatan, tetapi bangunlah doktrin dengan tetap memegang ayat ini sambil memperhatikan apa yang Paulus ajarkan tentang diselamatkan dan dibenarkan melalui anugerah dan iman di dalam surat Roma (mis. Roma 3:23-25), Efesus (mis. Efesus 2:8-9), dll, sehingga kita mendapatkan pengertian dan iman yang kokoh bahwa bukan melalui jasa baik kita dibenarkan, tetapi melalui anugerah Allah yang memberikan iman di dalam Kristus sekaligus merupakan janji yang meneguhkan iman kita bahwa kita yang berdosa ini dibenarkan hanya melalui anugerah Allah dan iman. Kedua, mengerti dan menafsirkan Alkitab dengan memperhatikan konteks dan latar belakang penulisan. Ketika kita ingin mengerti dan menafsirkan suatu ayat di dalam Alkitab, misalnya Galatia 1:6 tentang “injil” lain, jangan langsung memakai “kacamata” (perspektif/paradigma) modern untuk mengertinya, tetapi berusahalah membaca buku-buku pengantar surat Galatia untuk membaca dan mengerti latar belakang yang terjadi pada waktu surat Galatia ditulis oleh Paulus, yaitu munculnya Yudaisme yang mengajarkan bahwa perbuatan baik diperlukan selain beriman sebagai syarat diselamatkan. Latar belakang ini kalau sudah dimengerti, maka kita baru dapat mengaplikasikannya di dalam kehidupan saat ini (perhatikanlah konsep what God said dan what God says di dalam Alkitab). Selain itu, jangan mengerti dan menafsirkan satu atau beberapa ayat lepas dari konteks perikop yang sedang dibahas, karena semua ayat saling berkaitan satu sama lain. Ketiga, mengerti dan menafsirkan Alkitab dengan membandingkan berbagai terjemahan Alkitab dan langsung dengan bahasa asli Alkitab (Ibrani dan Yunani). Hal ini sangat penting untuk mendapatkan kekayaan pengertian sekaligus memperkuat iman kita. Misalnya, di dalam Roma 1:16, Paulus berkata, “Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, …" Jika kita hanya mengerti dan menafsirkan ayat ini memakai terjemahan bahasa Indonesia, kita tidak akan mengerti makna dari “mempunyai keyakinan yang kokoh”, tetapi ketika kita membaca terjemahan bahasa Inggris, salah satunya King James Version yang mengartikan, “For I am not ashamed of the gospel of Christ:”, kita akan mendapatkan pengertian yang menyeluruh bahwa Paulus yang memiliki keyakinan yang kokoh ternyata tidak pernah malu akan Injil Kristus. (Mengenai hal penafsiran Alkitab, masih banyak yang harus diuraikan, dan hal tersebut sudah saya susun di dalam makalah saya yang lain yang berjudul, “Bagaimana Menafsirkan Alkitab Dengan Bertanggungjawab ?”)


2.4 Kanonisasi Alkitab dan Tentang Apokrifa
Setelah mengerti ketidakbersalahan Alkitab, kita perlu mengerti tentang kanonisasi Alkitab. Istilah “kanon” berasal dari bahasa Yunani yang berarti “tongkat pengukur” atau standar atau norma, sehingga kanon berarti tulisan yang bersifat sakral dan otoritatif. Istilah ini dipakai oleh Paulus di dalam Galatia 6:16, sekitar pada abad 4 M, untuk mengacu pada sekumpulan kitab-kitab yang diakui gereja sebagai “dasar aturan” bagi iman dan kehidupan orang percaya. Dan pada zaman sekarang, Allah telah memelihara wahyu-Nya dengan mengizinkan ke-66 kitab sampai ke tangan kita sebagai wahyu Allah. Mengapa harus 66 kitab ? Bukankah Islam mengajarkan bahwa “Injil” Barnabas itu yang asli, sedangkan keempat Injil di dalam Alkitab adalah palsu? Bukankah ada “Injil” Yudas yang sedang populer di abad ini ? Mana yang benar ? Apa kriteria kanonisasi Alkitab ? Ev. Dra. Trivina Ambarsari S., S.Th. di dalam bukletnya Doktrin Alkitab, memaparkan tiga tanda kanonitas :
*. Kitab tersebut ditulis atau disahkan oleh para nabi/rasul.
*. Kitab tersebut diakui otoritasnya di kalangan gereja mula-mula.
*. Kitab tersebut mengajarkan hal yang selaras dengan kitab-kitab lainnya yang jelas termasuk dalam kanon.

Oleh karena itu, marilah kita mengerti kitab-kitab apa yang masuk di dalam Kanonisasi Alkitab ini :
2.4.1 Pembagian Kitab dalam Kanonisasi Alkitab Perjanjian Lama
a) Taurat, yang terdiri dari 5 kitab (disebut Pentateuch) yang ditulis oleh Musa, yaitu Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan.
b) Sejarah, yang terdiri dari 12 kitab : Yosua, Hakim-hakim, Ruth, 1-2 Samuel, 1-2 Raja-raja, 1-2 Tawarikh, Ezra, Nehemia, dan Ester.
c) Nyanyian, yang terdiri dari 5 kitab : Ayub, Mazmur (disebut juga Kitab Puisi), Amsal, Pengkhotbah dan Kidung Agung.
d) Nubuatan, yang terdiri dari 5 kitab nabi besar : Yesaya, Yeremia, Ratapan, Yehezkiel dan Daniel ; serta 12 kitab nabi kecil : Hosea, Yoel, Obaja, Yunus, Mikha, Nahum, Habakuk, Zefanya, Hagai, Zakaria dan Maleakhi (urutan ini tidak disusun secara kronologis).

2.4.2 Pembagian Kitab dalam Kanonisasi Alkitab Perjanjian Baru
a) Injil, yang terdiri dari 4 kitab : Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Dengan kata lain, “Injil” Barnabas, Yudas, dll adalah “injil” palsu (Galatia 1:6-10).
b) Sejarah, yang terdiri dari 1 kitab : Kisah Para Rasul yang mencatat perkembangan keKristenan khususnya yang dikerjakan oleh para rasul Kristus, seperti Paulus, Petrus, dll setelah kenaikan-Nya.
c) Surat-surat, yang terdiri dari : a) 14 kitab surat Paulus : Roma, 1-2 Korintus, Galatia, Efesus, Filipi, Kolose, 1-2 Tesalonika, 1-2 Timotius, Titus, Filemon dan Ibrani ; b) 7 surat non-Paulus : Yakobus, 1-2 Petrus, 1-3 Yohanes dan Yudas.
d) Kitab Apokaliptik, yang terdiri dari kitab Wahyu yang mengandung penglihatan, wahyu tentang akhir zaman dan hal-hal yang akan datang (future).
(Ambarsari, 2002, pp. 20-22)

Umat Katolik Roma selain mengakui 66 kitab, mereka juga menambahkan kitab Apokrifa yang berarti “tersembunyi”. Kitab ini ditulis di masa antara kitab Maleakhi dan Matius. Padahal menurut sejarah Yahudi, momen itu adalah momen diamnya Allah (the silence of God), atau Allah tidak berbicara apapun kepada umat-Nya (bandingkan Ibrani 1:1-2). Kata “nabi-nabi” di dalam Ibrani 1:1 jelas menunjuk kepada Perjanjian Lama, oleh karena itu, perlu diragukan keabsahan kitab-kitab Apokrifa ini sebagai kanon.
Di dalam kitab Apokrifa, Ev. Trivina Ambarsari juga menyatakan adanya kesalahan dalam bidang sejarah, kronologi, dan peta bumi. Contohnya, Nebukadnezar menjadi raja rakyat Asyur di Niniwe (Yudit 1:1), padahal Nebukadnezar adalah Raja Babel. (Ambarsari, 2002, p. 23) Jadi, kaum Protestan sepakat tidak mengakui Apokrifa sebagai wahyu Allah, tetapi hanya sebagai bacaan rohani yang tidak berotoritas apapun.


2.5 Tujuan Alkitab
Terakhir, kalau kita telah mempelajari sedikit tentang doktrin Alkitab ini, lalu apakah tujuan Alkitab itu sendiri ? Rasul Paulus di dalam 2 Timotius 3:16-17 mengajarkan, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.” Mari kita bahas satu per satu. Tujuan Alkitab adalah : pertama, mengajar. Kata ini di dalam bahasa Yunani bisa berarti mengajar doktrin, menyampaikan peringatan (instruction). Dengan kata lain, Alkitab bertujuan mengajar kita untuk lebih mengerti Allah, natur dan seluruh hal menyangkut-Nya (misalnya, karya-Nya, dll) (Pdt. Sutjipto Subeno menyebutnya sebagai Penciptaan/Creation). Kedua, menyatakan kesalahan. Dalam bahasa Yunani, kata ini bisa berarti menyatakan pertobatan/perubahan (conviction). Artinya, Alkitab sedang membukakan realita keberdosaan manusia yang najis dan menegur mereka supaya bertobat (Pdt. Sutjipto Subeno menyebutnya sebagai Dosa/Fall). Ketiga, memperbaiki kelakuan. Kata ini bisa berarti pembenaran/pembetulan (correction). Selain menegur orang supaya bertobat, Alkitab juga meluruskan jalan mereka atau mengembalikan mereka kepada Kebenaran Allah di dalam Kristus (Pdt. Sutjipto Subeno menyebutnya sebagai Penebusan/Redemption). Dan keempat, mendidik orang dalam kebenaran (kata “kebenaran” ini di dalam bahasa Yunani : dikaiosune {berarti kebenaran keadilan ; lihat Matius 6:33} bukan aletheia {berarti kebenaran sejati/Kebenaran ; lihat Yohanes 14:6}). Kata ini identik dengan mendidik/melatih orang di dalam kebenaran keadilan. Berarti, Alkitab menuntun manusia pilihan-Nya terus-menerus berjalan di dalam Kebenaran Allah sampai kepada kesudahan alam (Pdt. Sutjipto Subeno menyebutnya sebagai proses penyempurnaan/Consummation). Keempat tujuan ini akhirnya membawa manusia semakin diperlengkapi untuk berbuat baik bagi kemuliaan Allah (Roma 11:36 ; Efesus 2:10).

No comments: