oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Seringkali sebagai orang Kristen kita didikte oleh asumsi-asumsi dunia, yang terkadang memang secara logis terlihat benar. Tetapi ada beberapa celah yang perlu kita soroti, sehingga kita tidak mau dijebak di dalamnya.
a. Kekristenan Ideal tapi Tak-Teraplikasikan
Salah satu asumsi yang seringkali didengungkan oleh mereka yang Kristen tapi tanggung adalah satu konsep bahwa ajaran iman Kristen itu sangat ideal, sangat baik, sangat tinggi, agung, tetapi sayang, nggak bisa diterapkan. Inilah pergumulan saya ketika mau jadi Kristen. Bagi saya, percuma saya jadi Kristen memegang ajaran Kristen yang sedemikian bagus, tetapi nggak bisa diterapkan. Bukankah itu sama dengan mimpi di siang hari bolong. Maka saya akan hidup dalam penipuan diri yang sangat besar. Dasar itulah yang menjadikan saya studi secara serius dan mendalami iman Kristen dan prinsip-prinsip ajaran Kristen yang tegas dan agung itu dan melihat dimana lubangnya. Setelah menjalani sekian lama, saya percaya sungguh dan mengalami sungguh bahwa iman Kristen bukanlah iman menara gading yang palsu, yang hanya merupakan utopia, tetapi betul riil dan bisa dijalankan.
Masalahnya adalah orang-orang yang sudah sebelumnya menetapkan bahwa itu mustahil. Orang-orang ini didikte oleh dunia, bahwa kalau hidup di dunia tidak mungkin dengan iman Kristen, harus dengan cara dunia. Asumsi ini yang justru perlu dipertanyakan. Betulkah cara dunia itu yang bisa diterapkan? Ataukah cara dunia itu yang akan membawa kepada kebinasaan? Betulkah dengan korupsi, manipulasi, kolusi, semua baru bisa jalan, ataukah justru semua itu yang membuat secara global sistem dunia ini menjadi macet, mempersulit diri, merusak diri, dan pada akhirnya justru menghancurkan diri?
Banyak orang pikir Mat 16:24-26 adalah ajaran yang absurd dan merugikan (orang harus menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Kristus setiap hari). Tetapi justru cara itulah yang terbaik bagi manusia.
b. Dunia berdosa harus diatasi dengan cara berdosa
Salah satu konsep yang sangat berakar secara natural dalam diri manusia, apalagi yang sudah berkembang dan berakar dalam dosa, adalah pola "mata ganti mata" dan "gigi ganti gigi." Konsep ini pada dasarnya tidak salah kalau diterapkan secara tepat, yaitu dari Allah terhadap manusia (antara Pencipta terhadap ciptaan), bukannya manusia terhadap Penciptanya, atau ordo yang tidak mutlak terhadap ordo yang mutlak. Tetapi egoisme manusia telah membuang segala bentuk pembedaan yang hakiki ini. Akibatnya, muncul konsep, kalau dunia yang berdosa menggunakan cara berdosa, maka itulah juga cara yang harus ditempuh setiap orang untuk bisa survive di tengah dunia.
Celakanya, ketika kita sudah menjadi Kristen, sikap ini masih terus kita bawa. Gejala ini juga tampak pada murid-murid Yesus sebelum mereka mengerti sesungguhnya apa itu Kekristenan dan pola pikir Kristen. Mereka berusaha menggunakan cara-cara yang musuh mereka lakukan, dan berusaha untuk membalas mereka juga menggunakan cara yang dunia lakukan.
Salah satu konsep seperti ini berlaku khususnya di dunia bisnis, yaitu bahwa dunia bisnis memang sudah dikenal sebagai dunia yang kotor, sehingga kalau bergerak disitu yang harus berkanjang lumpur. Makanya jangan pakai baju putih. Lebih baik pakai celana gombal saja. Dunia berdosa perlu dihadapi juga dengan cara dosa.
Tetapi kalau kita kaji lebih cermat, adakah satu bidang di dunia ini yang tidak tersentuh oleh dosa? Bahkan di dunia agama, dosa masuk begitu hebat, sehingga dunia keagamaanpun tidak bisa bersih dan suci murni. Fakta ini perlu disadari, sehingga kita sadar, kemana kita lari, kita juga akan berhadapan dengan fakta yang sama. Bukan hanya dunia bisnis (atau lebih sempit: cuma di kantorku saja) yang brengsek. Seringkali ada orang Kristen yang berpindah dari satu kantor ke kantor lain, karena ia merasa kantornya "kurang Kristen." Ia mencari lingkungan yang imun, tanpa virus dan tanpa bakteri. Maka satu-satunya tempat bagi dia adalah karantina.
Sejauh kita hidup, tidak mungkin kita bisa berharap ada satu tempat yang murni suci tanpa tersentuh dosa. Tetapi yang menjadi masalah, justru bagaimana di tengah dunia berdosa kita bisa tidak berdosa, atau lebih tepat memperjuangkan kehidupan pertumbuhan iman yang tidak berhenti berproses.
Salah jika kita mau didikte oleh asumsi dunia. Dunia berdosa tidak perlu dihadapi juga dengan cara dosa. Itu hanya menunjukkan bahwa kita jauh berada di bawah dunia, karena dunia yang mendikte kita. Seharusnya, kita bisa memberikan alternatif kepada dunia, untuk melihat cara penanganan yang lebih baik. Kita bukan mau membalik dunia, tetapi memberikan alternatif, sehingga dunia bisa melihat bahwa bukan cara mereka saja yang bisa dijalankan. Terobosan seperti ini memang membutuhkan tenaga, pemikiran, serta pengorbanan lebih besar. Tetapi sama seperti dunia juga berjuang keras untuk mendikte kita, marilah kita jangan mau dihanyutkan begitu saja, tetapi berjuang untuk juga menyodorkan alternatif kebenaran kepada dunia. Kita perlu merombak paradigma dunia dengan paradigma Kristen yang sejati. Baru dari situlah ada dasar pijak yang sejati dan acuan interpretasi yang benar untuk anak Tuhan bisa hidup di tengah dunia berdosa.
c. Kesucian Instan (Instant Holiness)
Asumsi ketiga yang sangat menyulitkan orang Kristen adalah konsep kesucian instan. Satu tekanan yang sengaja dunia berdosa kerjakan terhadap orang Kristen adalah tuntutan kesucian instan ini. Mereka tidak mau menerima konsep paradoks dan prinsip proses dinamis pertumbuhan Kristen.
Asumsi ini menekankan bahwa ketika kita menjadi Kristen, maka kita menjadi ciptaan baru, menjadi anak Tuhan, menjadi orang benar dan orang kudus. Istilah-istilah ini tidak salah, bahkan mutlak benar, tetapi interpretasinya yang bisa salah. Konsep ini kemudian dipakai dan dijadikan "truf" oleh orang non-Kristen untuk menekan orang Kristen. Mereka langsung menuntut kesempurnaan dari orang tersebut. Maka asumsi ini menjadi tekanan bagi orang Kristen, yaitu ketika bertobat, ia harus segera menjadi suci sempurna, tidak ada kesalahan atau dosa yang dilakukan lagi, semua konsepnya menjadi Alkitabiah murni dan hidupnya menjadi malaikat. Celakanya, banyak orang Kristen, yang mendapat tekanan untuk bersaksi dan memberitakan Injil "termakan" oleh asumsi ini, sehingga mereka berjuang keras untuk menjadi malaikat (atau orang suci). Akibatnya mereka menjadi stress berat. Setelah stress berat, banyak orang Kristen yang akhirnya malah meninggalkan konsep kesucian Kristen dan berkembang menjadi liar, karena mereka anggap tokh mau suci juga nggak bisa, mendingan nggak usah jadi Kristen sekalian, atau menerima segala kebrengsekan hidup sebagai kewajaran.
Kita perlu sadar, bahwa sekalipun ketika bertobat kita langsung berstatus orang kudus, tetap kita berada di dalam proses untuk mencapai kesempurnaan status itu. Kita perlu memperkenankan Tuhan dan Firman-Nya menggarap hidup kita secara dinamis di dalam proses waktu. Kita tidak bisa menuntut Tuhan merubah kita dalam waktu satu detik menjadi orang sempurna. Di dalam pembinaan-Nya Tuhan Yesus membiarkan murid-murid-Nya berproses di dalam waktu. Mereka seringkali berbuat salah, masih menyakiti hati Gurunya, masih bertentangan pola pikirnya, bahkan sempat menyangkal secara telak Tuhannya ketika berada di dalam kesulitan. Tokh Tuhan tidak "memecat" mereka menjadi murid. Tuhan memperkenankan adanya proses waktu untuk menjadikan mereka alat-alat yang efektif di tangan-Nya.
Tuntutan Kristen instan membuat banyak orang Kristen menjadi stress atau munafik. Mereka berusaha menampilkan hidup yang palsu demi agar bisa menunjukkan "ke-instan-annya." (mirip supermi). Memang kita perlu memproses hidup kita sebaik mungkin dan secepat mungkin bisa bertumbuh, tetapi kita perlu membiarkan proses itu terjadi di dalam waktu. Semakin kita bertumbuh, semakin kita mampu mengerti hidup dan panggilan kita di hadapan Tuhan, serta bagaimana kita menggarapnya sesuai dengan kehendak Tuhan. Untuk itu, kita perlu terus belajar, memproses diri dan siap dibentuk oleh Tuhan.
Setelah menyoroti beberapa hal di dalam bagian pertama, kembali kita bisa menyoroti beberapa problema asumsi dunia yang seringkali menyulitkan Kekristenan dan merusak konsep iman orang Kristen.
Dalam bagian kedua ini, kita akan secara khusus menyoroti kesalahan-kesalahan asumsi
A. MAN IS GOOD (manusia pada hakekatnya baik)
Salah satu anggapan dasar yang senantiasa berusaha dipertahankan oleh manusia adalah bahwa manusia itu baik. Kalau ada yang tidak baik itu hanyalah karena pengaruh lingkungannya. Karena itu, manusia sulit menerima fakta kejahatan yang ada di sekelilingnya. Yang lebih berbahaya lagi, konsep ini bisa berlanjut lebih jauh sampai pada kesimpulan bahwa Allah itu tidak ada. Mereka langsung mempertanyakan, jika Allah ada, mengapa masih ada kejahatan, mengapa ada cacat, peperangan, bahkan kematian. Mereka beranggapan bahwa mereka hanyalah "menjadi korban" dari lingkungan atau situasi di sekelilingnya.
Sepintas lalu, asumsi di atas seperti benar dan masuk akal. Namun, jika kita telusur lebih dalam lagi, kita segera sadar bahwa asumsi itu bukan hanya salah total, tetapi bisa berdampak bahaya bagi manusia itu sendiri.
Alkitab dengan tegas menyatakan bahwa setelah Adam jatuh ke dalam dosa, maka setiap manusia sudah berdosa dan tidak ada yang benar (Kej 3; Rom 3:9-23). Dan Tuhan Yesus mengkonfirmasikan bahwa tidak ada yang baik, kecuali Allah (Mat 19:16-17). Ide ini mendobrak ilusi manusia di atas. Manusia beranggapan bahwa manusia itu baik, padahal Tuhan sendiri menegaskan bahwa manusia berdosa itu tidak baik. Di sini terjadi kontras pandangan. Di dalam kasus ini, jelas kita harus melihat kebenaran firman sebagai presuposisi utama (band. dengan artikel "Presuposisi Teologi"). Jadi jelas asumsi dunia berdosa, bahwa manusia berdosa itu baik, tidak mungkin benar.
Namun, penjelasan seperti ini tidaklah mudah diterima oleh para penganut paham atau asumsi diatas, sebelum meyakini sungguh, bahwa asumsi itu memang benar-benar tidak benar. Kita mungkin bisa melihat beberapa aspek untuk menunjukkan bahwa apa yang Alkitab katakan memang mutlak benar.
Pertama, kita mencoba menelusur asumsi itu dari dalam asumsi itu sendiri. Jika manusia itu memang baik, maka apa yang dilakukan oleh manusia akan baik. Tetapi pada faktanya, kita perlu menguji kembali, apa yang manusia lakukan. Benarkah mayoritas manusia itu baik. Dunia menyatakan bahwa tidak ada satu negara di dunia ini yang tidak memerlukan polisi dan pengadilan. Juga tidak ada satu negara yang penjaranya sama sekali kosong, karena orang-orang ditempat itu baik semua. Itu menunjukkan bahwa kejahatan, yang merupakan fakta riil yang melawan kebaikan, ada di seluruh dunia. Maka dari dalam diri asumsi itu sendiri, yaitu bahwa manusia pada hakekatnya baik, sudah terlawan oleh fakta yang menyatakan bahwa pada hakekatnya manusia jahat (tidak ada kambing jahat atau buah pepaya jahat, atau batu yang jahat, karena mereka tidak beretika) ada di mana-mana. Manusia memerlukan pendidikan moral dan pengajaran etika yang keras untuk bisa bermoral dan tidak jahat. Sebaliknya, untuk manusia menjadi kurang baik, tidak perlu dilakukan usaha apapun secara serius. Semua ini hanya membuktikan bahwa pada hakekatnya manusia berdosa itu jahat, bukannya baik. Manusia yang baik hanya terjadi ketika Allah mencipta Adam, tetapi keadaan ini sudah berubah sejak dosa masuk ke dalam diri manusia. Itulah yang Alkitab nyatakan kepada dunia.
Kedua, asumsi bahwa kalau manusia menjadi jahat adalah akibat pengaruh lingkungan, sebenarnya membuktikan bahwa manusia itu secara mayoritas jahat (paling tidak dari lingkungan itu). Siapakah yang disebut sebagai lingkungan yang menjadikan manusia itu jahat? Jawabnya adalah manusia juga. Jadi kalau manusia menjadi jahat karena produk lingkungan, berarti ia sendiri merupakan bagian dari pembentuk kejahatan, karena ia sendiri adalah bagian dari apa yang dikenal sebagai "lingkungan." Kalau ia mau mengatakan bahwa ia tidak jahat, tetapi semua manusia lain yang jahat, sikap itu sendiri sudah sangat jahat, karena mempersalahkan begitu banyak orang untuk tidak mau mengakui kejahatan diri sendiri. Kita yang mengatakan bahwa saya jahat karena lingkungan saya jahat, hanyalah usaha untuk melempar kesalahan kita pada pihak lain untuk mau melepaskan tanggung jawab. Sikap itupun pada dirinya sendiri sudah tidak baik, dan membuktikan bahwa kita pada hakekatnya tidak baik.
B. MAN AS THE MEASURE OF EVERYTHING (Manusia sebagai pengukur ultimat)
Ada dua alasan penting yang sangat urgen yang menyebabkan asumsi ini dipandang sebagai asumsi yang tak-terelakkan. Yang pertama adalah manusia tidak bisa tidak membutuhkan acuan untuk pengambilan keputusan. Jika manusia adalah robot yang mutlak diatur dan tidak ada pertanggung-jawaban yang harus dipikul. Alasan kedua adalah manusia tidak memiliki pilihan lain (kecuali Tuhan yang ditolaknya) untuk menjadi acuan pengambilan keputusan itu, sehingga pilihan terbaik adalah diri sendiri menjadi acuan ultimat bagi pengambilan keputusan itu. Untuk itu, manusia harus dianggap cukup layak menjadi dasar pijak dan pengukur dari segala keputusan yang harus diambil. Benarkah demikian?
Alasan pertama memang alasan yang sangat penting. Memang tidak ada kemungkinan bagi manusia untuk bisa melakukan pertimbangan pengambilan keputusan tanpa adanya acuan pokok sebagai dasar pijaknya. Untuk kita mengambil keputusan, perlu ada reference point. Dengan kata lain, reference-point (titik referensi) ini merupakan acuan yang dimutlakkan dan dianggap sebagai standar kebenaran untuk menentukan kebenaran atau kesalahan hal-hal lainnya. Tanpa referensi ini, tidak ada pertimbangan yang bisa diambil.
Namun masalahnya, seringkali manusia tidak lagi menyadari adanya titik referensi ini, karena sudah menjadi pola dalam hidupnya, tidak pernah dipertanyakan keabsahannya, dan terus-menerus dipakai secara otomatis. Akibatnya, seringkali pula seseorang menjadi bingung ketika ia harus mulai mengevaluasi ulang titik referensi ini. Ia harus mulai kembali menelusuri pola berpikir dan cara dia mengambil keputusan. Ketika ia memperhatikan dengan seksama, segera ia akan menyadari setiap pengambilan keputusannya didasarkan pada satu pertimbangan tertentu yang sama/tetap. Inilah titik-referensinya. Dan yang paling sering menjadi titik referensi adalah diri sendiri (self). Dari sini kita memasuki alasan kedua.
Prinsip homo-mensura (manusia sebagai pengukur ultimat) sudah disodorkan kepada manusia sejak dari jaman pra-Aristotle di era filsafat Gerika kuno. Demikian pula, filsafat Timur sudah melakukan tindakan yang sama namun dengan cara yang lebih tidak langsung. Dalam dunia Timur, pandangan yang dipakai adalah panteisme dan humanisme mistik. Manusia harus menuruti jalan alam, dan melakukan apa yang selaras dengan alam. Tetapi apa yang dikatakan ini pada hakekatnya tetap ditentukan kembali oleh manusia itu sendiri. Apa yang selaras dan apa yang tidak selaras, apa yang dianggap baik atau dianggap tidak baik, bukan ditetapkan oleh penentu luar, tetapi ditetapkan oleh manusia itu sendiri. Akibatnya, tetap manusia itulah yang menjadi penentu terakhir dan menjadi standar dari keputusan dasar yang ditegakkannya. Hal ini terlihat bahwa ketika sama-sama berpandangan bahwa langit yang menetapkan, tetap manusia-manusia itu menetapkan apa yang langit tetapkan atau tidak. Dengan kata lain, baik di Timur maupun di Barat, penentu terakhir adalah manusia itu sendiri.
Alkitab justru mengajarkan prinsip yang berbeda. Ketika manusia membutuhkan standar atau acuan dasar (titik referensi), itu pada dirinya membuktikan bahwa manusia itu sendiri bukanlah acuan dasar. Manusia adalah makhluk relatif yang membutuhkan relasi untuk menjadi patokan. Itu sebab, manusia satu dan manusia lain akan berbeda-beda di dalam mempertimbangkan satu masalah. Tidak ada kesamaan seragam seluruh manusia di dalam menetapkan sesuatu. Jadi, jika si A menetapkan ini, maka B akan menetapkan itu. Itu menunjukkan bahwa A dan B bersifat relatif, karena keduanya adalah manusia. Jadi yang namanya manusia tidak memiliki referensi mutlak pada dirinya sendiri. Jika manusia A memutlakkan diri, maka sebenarnya ia sedang melanggar naturnya sebagai manusia dan melecehkan semua manusia lainnya, seolah-olah mereka semua bukan manusia. Tetapi kalau semua manusia memutlakkan diri, itu hanya membuktikan bahwa kemutlakkan itu palsu, karena ternyata yang sama-sama mutlak itu tidak mutlak kebenarannya, karena kebenaran sejati tidak pernah bisa bertentangan seperti itu.
Alkitab menegaskan bahwa yang berhak menjadi titik referensi adalah Dirinya Kebenaran itu sendiri. Hanya Kebenaran yang berhak menyatakan apa benar dan apa salah. Kalau yang salah mengatakan sesuatu benar, maka yang dinyatakan benar oleh si salah, pada dirinya adalah salah.
Karena manusia mencari kebenaran, dan dengan demikian pasti ia bukan dirinya kebenaran, maka kebenaran itu harus ada di luar dirinya dan di atas dirinya. Kebenaran itu harus ditaati dan diikuti oleh manusia, maka tidak mungkin kebenaran itu berada di bawah manusia, sehingga bisa diatur oleh manusia. Kalau demikian, pasti ia tidak layak untuk ditaati. Kalau kebenaran itu harus di atas manusia, padahal manusia itu adalah makhluk yang hidup dan berakal budi, maka jelas Kebenaran itu tidak mungkin merupakan benda mati dan tak berakal budi. Dengan kata lain, Kebenaran sejati haruslah Kebenaran yang berpribadi. Dan memang inilah yang diberitakan oleh Alkitab, yang tak mungkin diberitakan oleh siapapun juga dalam spekulasi pikiran manusia. Alkitab menegaskan bahwa hanya Tuhan Yesus Kristus yang adalah Dirinya Kebenaran itu sendiri. Ia adalah Kebenaran yang hidup, yang berpribadi dan yang berhak menguasai manusia, karena Ialah Firman, yang mencipta manusia dan alam semesta ini.
Dengan demikian sangatlah salah apabila manusia menganggap dirinya sebagai dasar kebenaran ultimat, dan semua kebenaran tergantung apa yang ia anggap benar. Yang benar adalah ia harus kembali kepada Firman, karena memang Firman itulah dasar kebenaran yang pantas dan layak disandari, karena Ia adalah kebenaran yang sejati. Hanya dengan kembali kepada Firman kita mendapatkan reference-point yang sejati.
C. MAN SHOULD DETERMINE HIS OWN DESTINY (Manusia penentu nasibnya)
Sebagai kelanjutan dari asumsi kedua, maka manusia akan lanjut dengan beranggapan bahwa tidak ada siapapun yang bisa menolong manusia kecuali manusia itu sendiri. Dengan kata lain, manusia harus bisa menentukan nasibnya sendiri, atau lebih tepat, kalau manusia tidak mau melakukan, maka iapun akan menjadi korban dari nasibnya sendiri. Anggapan ini bukan hanya dipegang oleh para Ateis, tetapi juga oleh para Deis, yaitu orang-orang yang masih percaya ada Tuhan, bahkan percaya bahwa Tuhan itu yang mencipta manusia, tetapi mereka meyakini bahwa Tuhan itu tidak bisa berbuat apa-apa atas manusia, atau dengan kata lain, setelah mencipta, maka Allah melepaskan manusia untuk menentukan nasibnya sendiri.
Sepintas, pikiran ini sepertinya mengharuskan manusia betul-betul memikirkan bagaimana kita harus hidup efektif dan berani berjuang untuk tidak sekedar menerima "nasib" dan hidup secara skeptis. Namun jika dilihat dari sudut pandang Kristen, asumsi ini memiliki bahaya yang sangat besar, karena ditegakkan di atas pra-asumsi yang salah.
Pemikiran ini mempunyai dua dasar pikir, yaitu: (a) Tuhan hanya bisa mencipta, tetapi tidak kuasa atas sejarah dan pergerakan alam, sehingga mau tidak mau, manusialah yang menentukan semuanya. Dan (b) manusia adalah makhluk yang mampu dan mempunyai kekuatan untuk menjalankan nasibnya sendiri secara totalitas. Padahal justru kedua pra-asumsi itulah yang salah.
Pertama, Allah bukan hanya bisa mencipta, tetapi Ia juga penopang dan pemelihara alam semesta. Alkitab menegaskan bahwa Allah adalah Tuhan atas sejarah. Hal ini dinyatakan dengan berbagai fakta dan penjelasan Alkitab, seperti seluruh sejarah berada di dalam kurun waktu, sedangkan waktu itu sendiri dicipta oleh Allah yang sendirinya berada di luar waktu. Dengan demikian, seluruh sejarah tidak mungkin lepas dari kontrol Allah. Alkitab juga menegaskan bahwa Allah adalah Allah yang Mahakuasa. Itu berarti, tidak ada kuasa apapun yang lebih besar dari kuasa-Nya sendiri, sehingga tidak ada apapun yang bisa membatasi diri-Nya kecuali diri-Nya sendiri. Dengan demikian, jika manusia merasa dia lebih hebat dari Allah, itu satu asumsi yang sangat memalukan, karena menyatakan arogansi manusia sebagai makhluk yang dicipta.
Kedua, manusia bukan hanya dicipta, tetapi sebagai ciptaan, ia menjadi makhluk yang terbatas. Ia terbatas secara ruang dan waktu, ia juga terbatas secara kemampuan dan tenaga. Manusia tidak pernah bisa menetapkan apa yang akan terjadi satu jam dimukanya. Ia juga tidak bisa berada di dua tempat yang berbeda pada saat yang sama. Banyak hal yang ia tidak ketahui dan tidak mampu lakukan. Dengan demikian sungguh sombong jika ia menyatakan (eksplisit atau implisit) bahwa ia adalah penentu nasibnya sendiri. Dalam banyak aspek memang kita turut bekerja di dalam menggarap nasib kita. Kita memang bukan robot yang diprogram, tetapi kita harus tahu bahwa masih ada kuasa yang lebih besar dari kita, dan mau tidak mau kita harus bergantung kepada-Nya. Kesadaran ini adalah kesadaran yang justru wajar. Itulah kesadaran sebagai makhluk yang bergantung (dependent-being). Maka Alkitab menyatakan bahwa kita harus bersandar pada Tuhan, dan nilai serta perjalanan hidup kita harus dikonfirmasikan di hadapan Tuhan. Itulah cara terbaik dan pola hidup yang sesungguhnya dari satu makhluk yang bernama "manusia."
Sumber : http://www.grii-andhika.org
Profil Pdt. Sutjipto Subeno :
Pdt. Sutjipto Subeno, S.Th., M.Div. dilahirkan di Jakarta pada tahun 1959. Beliau menyerahkan diri untuk menjadi hamba Tuhan ketika sedang kuliah di Fakultas Teknik Elektro Universitas Trisakti Jakarta. Menyelesaikan studi Sarjana Theologia (S.Th.)-nya di Sekolah Tinggi Theologia Reformed Injili Indonesia (STTRII) di Jakarta tahun 1995 dan tahun 1996 menyeleselaikan gelar Master of Divinity (M.Div.)-nya di sekolah yang sama.
Setelah pelayanan di Malang dan Madura, sejak tahun 1990 beliau bergabung dengan Kantor Nasional Lembaga Reformed Injili Indonesia di Jakarta. Beliau melayani di bidang literatur yang meliputi penerjemahan dan penerbitan buku-buku teologi. Selain itu beliau juga mengelola Literatur Kristen Momentum di Jl. Tanah Abang III/1 (sejak tahun 1993) dan di Jl. Cideng Timur 5A-5B (sejak tahun 1995).
Beliau ditahbiskan sebagai pendeta pada Mei 1996 dan mulai Juni 1996 menjadi gembala sidang Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Surabaya. Selain sebagai gembala sidang, saat ini beliau juga sebagai direktur operasional dari penerbitan dan jaringan toko buku Momentum dan direktur International Reformed Evangelical Correspondence Study (IRECS), sebuah sekolah teologi korespondensi untuk awam berbahasa Indonesia dengan jangkauan secara internasional. Selain itu beliau adalah dosen terbang di Sekolah Theologia Reformed Injili (STRI) Jakarta dan Institut Reformed di Jakarta.
Beliau juga banyak melayani khotbah dan seminar di berbagai gereja, persekutuan kampus dan persekutuan kantor, baik di dalam negeri maupun di luar negeri; seperti Yogyakarta, Palembang, Batam, Singapura, Australia dan Eropa (Jerman dan Belanda).
Beliau menikah dengan Ev. Susiana Jacob Subeno, B.Th. dan dikaruniai dua orang anak bernama Samantha Subeno (1994) dan Sebastian Subeno (1998). Pada tahun 2000, beliau bersama anak-anak Tuhan yang menempuh pendidikan theologia di Sekolah Theologia Reformed Injili Surabaya (STRIS) Andhika bergumul masalah pendidikan dan pada tahun 2006, beliau akhirnya mendirikan Pendidikan Reformed Injili LOGOS (LOGOS Reformed Evangelical Education) untuk Playgroup, Kindergarten dan Elementary.
No comments:
Post a Comment