18 July 2008

Bagian 4: Khotbah dan Teknik Berkhotbah (Homiletika)

IV. KHOTBAH DAN TEKNIK BERKHOTBAH (HOMILETIKA)
Sesudah memikirkan signifikansi dan aspek khotbah, sekarang kita akan memikirkan teknik berkhotbah. Seperti telah dijelaskan di atas, saya sudah menjelaskan khotbah yang terpenting bukan transfer data akademis yang kita dapatkan di sekolah/seminari theologi dan bukan juga teknik berkhotbah yang bagus, tetapi khotbah yang terpenting adalah khotbah yang memberitakan Firman. Konsep ini benar, tetapi ada tendensi lain di balik konsep ini yaitu tidak mementingkan teknik khotbah. Ada beberapa pengkhotbah yang karena terlalu mementingkan berita di dalam Firman, lalu tidak memerhatikan teknik berkhotbah. Saya menyetujui bahwa teknik berkhotbah itu adalah hal sekunder, tetapi tidak berarti teknik berkhotbah tidak perlu sama sekali. Teknik khotbah tetap perlu sebagai implikasi signifikansi dan aspek khotbah yang telah kita pelajari di atas.

Khotbah yang baik tetap memerhatikan teknik berkhotbah. Apa arti teknik berkhotbah? Teknik berkhotbah berarti cara yang digunakan oleh si pengkhotbah di dalam menyampaikan khotbah. Cara yang dipakai si pengkhotbah ini beraneka ragam, ada yang terlalu akademis, di sisi lain ada yang tidak karuan. Supaya kita tidak terjebak ke dalam kedua ekstrim ini, kita perlu memerhatikan satu poin penting di dalam teknik khotbah yaitu dinamika khotbah (dynamics of preaching). Dinamika khotbah ini meliputi dua hal: persiapan dan kuasa Roh Kudus; antara naskah dan isi khotbah. Mari kita memikirkan dua hal ini.
A. Dinamika Khotbah: Antara Persiapan dan Kuasa Roh Kudus
Teknik khotbah berdinamika yang pertama yaitu antara persiapan dan kuasa Roh Kudus. Di dalam gereja Kristen saat ini, ada dua kecenderungan ekstrim para pengkhotbah, yaitu di satu sisi, sangat memerhatikan persiapan sebelum berkhotbah, tetapi tidak terbuka pada kuasa Roh Kudus yang spontan. Di sisi lain, ada pengkhotbah yang terlalu mementingkan kuasa Roh Kudus, tetapi mengabaikan persiapan khotbah, sehingga khotbahnya pun asal-asalan, yang penting “dari Roh Kudus.” Kedua hal ini tidak benar. Jika kita terlalu menekankan persiapan yang matang tetapi tidak terbuka pada pimpinan spontan dari Roh Kudus berarti kita terlalu mengandalkan kehebatan manusia di dalam menyampaikan berita Firman. Sebaliknya, jika kita terlalu menekankan pimpinan spontan dari Roh Kudus dan tidak mempersiapkan khotbah dengan baik, itu berarti kita tidak bertanggungjawab. Teknik khotbah yang bertanggungjawab adalah teknik khotbah yang seimbang. Pdt. Billy Kristanto, M.C.S. mengajarkan bahwa teknik khotbah yang seimbang ini maksudnya si pengkhotbah harus menyiapkan khotbah semaksimal mungkin (bahkan kalau perlu sampai titik dan komanya sekalian) sambil tetap terbuka pada pimpinan spontan dari Roh Kudus (spontaneous guidance of the Holy Spirit). Mengapa harus seimbang? Karena di dalam keseimbangan ini, kita dituntut untuk tetap bertanggungjawab (mempersiapkan khotbah semaksimal mungkin) sambil tetap bergantung pada kuasa Roh Kudus yang kadang-kadang memakai mulut si pengkhotbah untuk membicarakan hal-hal yang tidak dipersiapkan sebelumnya. Dari sini, kita belajar bahwa dalam berkhotbah pun, kita dituntut menggabungkan antara kedaulatan dan kuasa Allah dengan tanggung jawab manusia yang tidak pernah berkontradiksi, namun berkaitan satu sama lain.

B. Dinamika Khotbah: Antara Naskah, Isi, dan Keluwesan Khotbah
Kedua, dinamika khotbah yang harus diperhatikan yaitu antara naskah, isi, dan keluwesan khotbah. Untuk poin kedua ini, pendekatannya agak subjektif. Ada empat kemungkinan yang cukup signifikan pada poin ini:
1. Tidak terpaku pada naskah khotbah, tetapi isi khotbahnya bermutu (sesuai dengan Alkitab), dan si pengkhotbah luwes menyampaikannya
Kemungkinan pertama adalah si pengkhotbah tidak terpaku pada naskah khotbah. Tidak terpaku dalam hal ini bukan berarti tidak melihat naskah khotbah sama sekali, tetapi artinya tidak terikat dengan membaca naskah khotbah terus-menerus. Seorang pengkhotbah dituntut untuk tidak terlalu terpaku pada naskah khotbah, mengapa? Karena pengkhotbah adalah seseorang yang menyampaikan berita Firman kepada jemaat dan secara otomatis pengkhotbah harus banyak berinteraksi dengan jemaat misalnya dengan sering menatap jemaat yang dia layani. Pengkhotbah juga bukan hanya tidak terpaku pada naskah khotbah saja, di bagian ini, pengkhotbah juga menyampaikan isi khotbah yang bermutu. Artinya, ada suatu struktur yang jelas di dalam khotbahnya, bukan asal-asalan. Struktur di sini bukan berarti struktur akademis yang kaku, tetapi struktur di sini adalah struktur pembahasan yang saling berkait antara satu bagian dengan bagian lain di dalam khotbahnya Meskipun ini bukan hal terpenting, tetapi hal ini tetap perlu diperhatikan. Ketiga, bukan hanya itu saja, si pengkhotbah juga dituntut luwes menyampaikan khotbah. Di sini, saya berbicara mengenai intonasi suara si pengkhotbah. Keluwesan dalam menyampaikan khotbah berarti si pengkhotbah harus memberikan intonasi suara yang lebih jelas ketika ia menekankan sesuatu yang perlu ditekankan di dalam khotbahnya. Intonasi suara harus jelas dimaksudkan agar jemaat berkonsentrasi pada penekanan tertentu dari si pengkhotbah dan juga agar jemaat tidak mengantuk.
Untuk model kemungkinan pertama ini, saya tidak bisa memungkiri bahwa setahu saya, hamba Tuhan/pengkhotbah yang bisa melakukan hal ini adalah Pdt. Dr. Stephen Tong. Beliau adalah seorang pengkhotbah yang sangat dinamis. Beliau hampir tidak terpaku pada naskah khotbah, meskipun tentu beliau telah mempersiapkan khotbahnya. Beliau juga adalah seorang pengkhotbah dengan isi khotbah yang bermutu, cukup terstruktur, dan mendalam. Selain itu, beliau tidak kaku dalam menyampaikan khotbah, artinya ada keluwesan di dalam menyampaikan khotbahnya. Beliau tidak monoton.

2. Terpaku pada naskah khotbah, isi khotbahnya bermutu (sesuai dengan Alkitab), dan si pengkhotbah luwes menyampaikannya
Kemungkinan kedua adalah si pengkhotbah terpaku pada naskah khotbah. Dalam arti, si pengkhotbah hampir sering melihat naskah khotbah. Saya tidak mengatakan ini tidak boleh, tetapi cara seperti ini kurang efektif. Banyak pengkhotbah yang sering melihat naskah khotbah lalu memberikan contoh bahwa Jonathan Edwards, seorang revivalis di Amerika Serikat juga membaca naskah khotbahnya. Itu tidak salah, tetapi jangan belajar dari seorang hamba Tuhan saja. Itu picik namanya. Mengapa saya mengatakan bahwa pengkhotbah yang terus melihat naskah khotbah itu kurang efektif? Karena si pengkhotbah itu tidak berinteraksi dengan jemaat. Coba Anda bayangkan jika si pengkhotbah membacakan naskah khotbahnya, “Saudara-saudara ...”, tetapi tidak menghadap ke jemaat, tetapi kepada naskah khotbahnya. Apa signifikansi berita mimbar seperti itu bagi jemaat? Jemaat, bagi pengkhotbah itu, berada di dalam naskah khotbahnya, bukan langsung dihadapi. Meskipun begitu, pengkhotbah ini tetap luwes menyampaikannya. Artinya, si pengkhotbah tetap bisa menguraikan sendiri apa yang dia cantumkan di dalam naskah khotbah yang dia bawa, misalnya dengan memberikan contoh, ilustrasi, dan sedikit kesaksian/humor.

3. Tidak terpaku pada naskah khotbah, isi khotbahnya tidak bermutu (tidak sesuai dengan Alkitab), tetapi si pengkhotbah luwes menyampaikannya
Jika poin pertama dan kedua masih ada sisi positifnya yaitu khotbahnya bermutu, maka pada kemungkinan ketiga ini, kita mendapati suatu keanehan. Keanehan itu adalah si pengkhotbah tidak terpaku pada naskah khotbah (dalam hal ini, saya terjemahkan: tidak menggunakan naskah khotbah), ia luwes menyampaikan khotbahnya, tetapi sayangnya tidak bermutu. Mengapa bisa demikian? Karena biasanya pengkhotbah seperti ini tidak mempersiapkan khotbah dengan baik. Ia asal mencomot ayat Alkitab mungkin sehari sebelum dia berkhotbah, lalu mencari ayat-ayat referensi dari Konkordansi Alkitab bahasa Indonesia untuk mendukung apa yang mau dia khotbahkan. Si pengkhotbah mungkin sekali membolak-balik dan mengutip puluhan ayat Alkitab, tetapi yang dia kutip selalu dia lepaskan dari konteksnya. Akibatnya, isi khotbah tersebut tidak lain hanya kutipan ayat Alkitab tanpa penguraian yang dalam. Itu yang saya katakan sebagai khotbah yang tidak bermutu, yaitu khotbah yang tidak menjelaskan ayat Alkitab secara mendalam beserta aplikasinya yang tepat.

4. Terpaku pada naskah khotbah, tetapi isi khotbahnya tidak bermutu (=tidak sesuai dengan Alkitab) ditambah si pengkhotbah kaku menyampaikannya.
Kemungkinan terakhir yang saya soroti ini adalah si pengkhotbah terpaku pada naskah khotbah, ditambah isi khotbahnya tidak bermutu, ditambah lagi si pengkhotbah kaku menyampaikannya. Ketika si pengkhotbah sudah memiliki teknik khotbah di tahap keempat ini, si pengkhotbah boleh dibilang gagal disebut pemberita Firman. Mengapa? Karena meski si pengkhotbah membaca naskah khotbah yang dia bawa, tetap saja, ia tak mampu mengembangkan apa yang dia persiapkan itu, sehingga terkesan monoton, ditambah tidak ada penggalian Alkitab yang komprehensif dan aplikatif.

Meskipun teknik berkhotbah di poin IV ini bukan hal terpenting, tetapi kita tetap saja perlu memerhatikan teknik berkhotbah, bukan untuk memuaskan telinga pendengar, tetapi agar berita yang kita sampaikan dapat diserap dengan lugas, tegas, jelas, dan mudah dimengerti.

No comments: