01 July 2010

Bab 4: Reforming Reformed

BAB 4
REFORMING REFORMED




Setelah melihat ciri khas positif dan negatif dari Reformed, maka apa yang harus dilakukan oleh Reformed? TIDAK ada cara lain: Reformed harus BERTOBAT. Reformed harus di-Reformed-kan lagi. Apa yang lebih di dalam iman Reformed patut diteladani, namun apa yang kurang di dalam iman Reformed perlu direformasi lagi dan beberapa hal yang perlu direformasi di dalam gerakan Reformed saat ini:
I. Pentingnya Kerendahan Hati
Yang terpenting yang harus direformasi dalam gerakan Reformed hari-hari ini adalah kerendahan hati. Makin lama saya makin memperhatikan beberapa Reformed telah menjadi arogan dan menganggap remeh gerakan dan gereja lain, kemudian ajaran dari gerakan dan gereja lain dikarikaturkan sendiri untuk nantinya dikritik habis-habisan (mengutip pernyataan teman gereja saya, Sdr. Jimmy Sumendap, M.T.). Lucu bukan? Mengapa Reformed menjadi arogan? Karena Reformed menganggap bahwa Reformed paling benar. Ingatlah, Reformed memang satu-satunya theologi yang membangun doktrinnya dari perspektif kekekalan secara komprehensif dan konsisten, namun hal ini hendaknya TIDAK membuat Reformed menjadi sombong. Hal ini seharusnya membuat Reformed makin lama makin rendah hati. Coba ingat kembali perkataan Dr. John Calvin bahwa beliau mempersembahkan hatinya kepada Tuhan dengan tulus dan murni. Di manakah hati yang tulus dan murni di kalangan Reformed saat ini? Hati yang tulus dan murni ditandai dengan kerendahan hati. Seberapa pentingkah kerendahan hati? Dua orang theolog zaman ini menjelaskan signifikansi penting kerendahan hati. Seorang apologet Kristen terkenal, Dr. Ravi Zacharias, D.D. memaparkan, “Kerendahan hati adalah batu pijak bagi melayani Tuhan.”[1] Jika ingin melayani Tuhan, bukan segudang gelar akademis yang diperlukan, namun kerendahan hati, sebuah hati yang mau ditegur, diajar, dan belajar. Begitu juga halnya dengan Rev. John Stephen Piper, D.Theol. memaparkan, “Kerendahan hati hanya bisa bertahan di dalam hadirat Allah. Ketika Allah berlalu, kerendahan hati berlalu… kerendahan hati mengikuti Allah bagaikan suatu bayangan.”[2] Kerendahan hati untuk melayani sebenarnya berasal dari Allah, sehingga jika kita ingin rendah hati, teruslah berada dalam hadirat Allah, maka Ia akan menjaga hati kita terus-menerus murni dan siap ditegur, diajar, dan belajar. Mari kita mengaplikasikan kerendahan hati seperti apa yang harus dimiliki oleh seorang Reformed?
A. Kerendahan Hati Untuk Mau Ditegur dan Diajar
Siapa yang menegur dan mengajar Reformed? Tentu pertama-tama Tuhan bisa melalui hamba Tuhan dan orang Reformed sendiri (internal) maupun juga bisa melalui hamba Tuhan dan orang Kristen non-Reformed. Teguran dan pengajaran itu bisa berupa khotbah, uraian artikel, penyampaian secara langsung, diskusi, dll. Semua cara yang Tuhan pakai untuk menegur dan mengajar kembali Reformed hendaknya benar-benar diperhatikan dengan seksama oleh Reformed. Meskipun terkadang kritik orang non-Reformed kepada orang Reformed bersifat “menghakimi” tanpa melihat langsung (=fitnahan) dan terkesan kontradiksi dengan dirinya sendiri, namun kritikan tersebut tetap harus kita perhatikan dan refleksikan. Terus terang, saya dahulu seorang penganut Sola Reformed, sehingga barangsiapa yang mengkritik Reformed akan saya kritik balik. Namun puji Tuhan, lama-kelamaan Ia membuka hati dan pikiran saya melalui sharing pribadi dengan Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. (hamba Tuhan Reformed) untuk terus-menerus mengintrospeksi diri, sehingga “iman” saya dahulu yang Sola Reformed kemudian berubah sesuai dengan iman Reformed awal, yaitu: Sola Scriptura (hanya oleh Alkitab)! Bukankah Reformed percaya: Ecclesia Reformata Semper Reformanda Secundum Verbum Dei (gereja-gereja Reformed terus-menerus di-Reformed-kan sesuai dengan firman Allah)? Mengapa semboyan ini tidak diaplikasikan secara nyata oleh Reformed ketika ada yang mengkritik Reformed? Meskipun tidak semua kritikan itu baik dan Alkitabiah, namun alangkah bijaksananya jika kita sebagai orang Reformed tetap menerima dan merenungkan kritikan itu sesuai dengan prinsip Alkitab.

Ambil contoh, beberapa Reformed sering dikritik baik oleh jemaatnya sendiri maupun orang Kristen non-Reformed bahwa beberapa Reformed “dingin” dan kurang ada kehangatan bersekutu antar jemaat. Mengapa ada kritikan semacam itu? Karena beberapa Reformed terlalu berkutat dengan hal-hal theologis dan doktrinal melalui seminar dan studi literatur, sehingga setelah seminar usai, maka banyak jemaat pulang ke rumah masing-masing tanpa ada sharing sedikit tentang berkat yang didapat melalui seminar, dll. Bagaimana sikap Reformed? Ada yang merasionalisasinya dengan berkata bahwa yang penting itu doktrin yang beres dibangun, karena persekutuan itu hanya indah dipandang mata (superficial). Saya pribadi memang menyetujui sebagian konsep ini, banyak persekutuan itu hanya untuk saling menyenangkan, bukan untuk saling mengajar, menegur, dan menguatkan. Namun sebenarnya rasionalisasi ini sekaligus menunjukkan kebenaran tuduhan terhadap Reformed yang “dingin”. Reformed yang rendah hati seharusnya menerima kritikan tersebut dan mencoba untuk memperbaharuinya. Belajarlah sharing sedikit tentang berkat firman kepada sesama saudara seiman kita di dalam gereja. Jika ada teman kita yang bersalah, tegurlah dengan sopan dan kasih. Jika ada teman kita yang putus asa, hiburlah dan berikan kata-kata yang menunjukkan simpati kita (bukan hanya menggombal/terlalu puitis).

Dan yang terakhir yang perlu diperhatikan dalam kerendahan hati model ini adalah pentingnya Reformed untuk mengkritik diri ketimbang sibuk mengkritik ajaran lain. Saya terus memperhatikan beberapa Reformed (khususnya beberapa hamba Tuhan dan beberapa jemaat yang “senior”) kurang memiliki self-introspection dan lebih menunjukkan kritik kepada ajaran (dan orang) lain. Alangkah bijaksananya jika Reformed memulai terlebih dahulu kritik terhadap diri sendiri, baru mengkritik orang lain, sehingga kita menjadi teladan hidup bagi orang lain.


B. Kerendahan Hati Untuk Mau Belajar dari Hamba Tuhan Lain Non-Reformed
Kerendahan hati tipe kedua ini yang makin lama makin jarang saya jumpai di kalangan Reformed, mengapa? Karena Reformed terlalu arogan menyatakan diri sebagai satu-satunya kebenaran. Kembali, apa maksudnya ketika saya mengatakan bahwa Reformed perlu rendah hati belajar dari hamba Tuhan lain non-Reformed? Maksud saya adalah sebagai orang Reformed, kita perlu belajar dari hamba Tuhan lain non-Reformed untuk mengintrospeksi diri kita dan menumbuhkan iman kita. Untuk belajar dari hamba Tuhan lain non-Reformed, kita memang perlu ekstra ketat menyeleksinya, seberapa bermutu dan bertanggungjawabkah hamba Tuhan non-Reformed tersebut. Saya akan memberikan pengalaman saya pribadi. Saya dahulu berasal dari sebuah gereja Karismatik terbesar di Surabaya, kemudian ayah saya mengenalkan saya kepada theologi Reformed melalui kaset khotbah Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK) dari hamba-Nya, Pdt. Dr. Stephen Tong. Kemudian makin lama melalui mendengarkan khotbah SPIK Pdt. Stephen Tong, iman saya makin diteguhkan tentang finalitas Kristus dan keunikan theologi Reformed. Meskipun demikian, waktu itu, saya “terpaksa” berada di sebuah gereja Karismatik lain (GBI Alfa Omega, Surabaya), sampai akhirnya 31 Oktober 2004, saya dan keluarga aktif beribadah di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Andhika, Surabaya. Nah, pada saat saya dahulu masih di GBI Alfa Omega tersebut dan telah mendengarkan khotbah Pdt. Stephen Tong, saya berjumpa dengan seorang pendeta Bethel yang berbeda dari pendeta Bethel yang lain melalui khotbah mimbar di GBI Alfa Omega, beliau adalah Pdt. Dr. (HC) Erastus Sabdono, D.Th. yang menggembalakan Gereja Bethel Indonesia (GBI) Rehobot, Jakarta. Dari situ, saya mengamati keunikan Pdt. Erastus sebagai pendeta Bethel yang cukup menguasai bahasa asli Alkitab (Ibrani dan Yunani) dan secara theologi, mendekati inti theologi Reformed: kedaulatan Allah. Setelah saya berbakti di GRII Andhika, sampai sekarang, saya tetap mengoleksi khotbah Pdt. Dr. Erastus Sabdono baik dalam bentuk MP3 (yang saya download dari website GBI Rehobot) maupun di radio Bahtera Yudha FM, Surabaya. Saya pun mengcopy artikel Pdt. Erastus (yang telah saya seleksi ketat) di website GBI Rehobot untuk saya publikasikan di milis, Facebook, dll. Terus terang, saya juga banyak diberkati melalui mendengarkan khotbah Pdt. Erastus, karena khotbah-khotbah beliau juga sama kerasnya seperti khotbah Pdt. Dr. Stephen Tong dan terlebih lagi, khotbah-khotbah beliau kebanyakan bersifat reflektif yang jarang saya jumpai di kalangan Reformed yang selalu “bermain” di tataran filsafat dan theologi yang berat-berat (bukan berarti saya anti yang berat-berat lho). Meskipun dalam beberapa poin dari ajaran Pdt. Erastus, saya kurang sependapat, namun secara mayoritas, khotbah beliau layak diperhitungkan sebagai salah satu khotbah yang bertanggungjawab dari pendeta Bethel.

Selain itu, saya juga mulai melirik buku-buku rohani non-Reformed dan mulai membeli dan tentunya membacanya (dengan selektif). Misalnya, saya menyukai buku The Christian Atheist karya Rev. Craig Groeschel, M.Div. Buku ini ditulis bukan oleh seorang pendeta Reformed, namun isinya bersifat Injili dan melawan ajaran kemakmuran. Meskipun secara kuantitas, saya memang lebih banyak membeli buku-buku Reformed, namun tidak menutup kemungkinan, saya mencoba membeli buku-buku non-Reformed. Mungkin dari buku-buku non-Reformed, saya juga bisa belajar banyak hal yang mungkin kurang dibahas di dalam buku-buku Reformed. Untuk mulai membaca buku-buku non-Reformed, memang diperlukan pengertian theologi yang ketat dahulu, sehingga kita bisa menyensor dalam buku-buku tersebut, mana ajaran yang bertanggungjawab dan mana yang ngaco.




II. Perlunya Bersatu
Selain kerendahan hati, yang perlu direformasi dalam gerakan Reformed adalah persatuan. Semangat bersatu di beberapa Reformed hampir tidak ada, malahan yang terjadi sebaliknya, bahkan, antar cabang dalam satu plang/nama gereja Reformed yang sama saja sering berkelahi. Mengapa mereka tidak mau bersatu? Alasannya simple, namun dipoles dengan kata-kata “rohani”, misalnya “beda visi.” Sebenarnya intinya bukan beda visi, namun beda konsep dan pendekatan Reformed. Ada juga beda organisasi. Kalau masalah organisasi gereja, saya tidak bisa berkata apa-apa, karena saya bukan ketua sinode, hehehe. Namun andaikan alasannya beda organisasi gereja (dan juga kebijakan yang diambil), pertanyaan saya, mengapa gereja yang sama-sama Reformed tidak mau saling mendukung hanya dengan alasan organisasi? Apakah salah satu gereja Reformed merasa kehilangan domba-dombanya jika jemaat dari gereja Reformed yang satu pindah ke gereja Reformed yang lain?

Bagaimana halnya dengan beda pendekatan Reformed? Ada pendekatan Reformed yang frontal mengkritik habis-habisan gereja lain, ada juga pendekatan Reformed yang friendly (bersahabat) dengan gereja lain untuk nantinya dibawa untuk mengerti theologi Reformed. Yang paling parah ada pendekatan Reformed yang tidak Reformed, yaitu pendeta/hamba Tuhan yang kuliah theologi di seminari theologi Reformed di luar negeri, namun tidak membawa semangat dan theologi Reformed ketika kembali ke Indonesia. Bagi orang ini, Reformed atau tidak Reformed, tidak menjadi masalah. Pendekatan terakhir ini saya tidak setuju, karena Reformed memiliki keunikan yang tidak bisa dipersamakan dengan arus theologi lain. Kembali, untuk 2 pendekatan awal Reformed (Reformed frontal dan friendly Reformed), saya menghargai dua macam pendekatan tersebut dan saya tidak menghakimi mana yang paling Alkitabiah, karena Tuhan pun memakai hamba-hamba-Nya dari dua macam pendekatan ini untuk membawa banyak orang untuk kembali kepada Kristus dan theologi yang benar yang mendekati Alkitab. Kalau citra Reformed saja begitu rusak, bagaimana Reformed bisa bersaksi di tengah dunia ini? Apa kata dunia jika mereka melihat pengikut Kristus yang meneladani Calvin bisa bertengkar sendiri untuk hal-hal remeh?

Lalu, bagaimana Reformed bisa bersatu?
A. Tinggalkan “Tembok” Organisasi Gereja
Hal pertama yang harus digarap agar Reformed bisa bersatu adalah tinggalkan dan hancurkan semua “tembok” organisasi gereja. Jangan menghalangi pekerjaan Tuhan hanya dengan alasan “organisasi gereja”. Saya bukan anti organisasi gereja, namun saya sangat anti dengan orang Kristen, majelis, dan pendeta yang lebih memberhalakan organisasi gereja ketimbang khotbah yang bertanggungjawab. Apa gunanya organisasi gereja yang kuat dan terorganisir dengan rapi, namun khotbah yang disampaikan di atas mimbar benar-benar kering (tidak menumbuhkan iman) dan bahkan menidurkan jemaat? Saya terus ngeri melihat banyak gereja Protestan arus utama yang organisasi gerejanya begitu rapi, namun iman dari banyak jemaatnya rapuh ketika filsafat dunia menyerang. Pdt. Dr. Stephen Tong mengajar bahwa di dalam sebuah gerakan/gereja, dahulukan visi, pribadi-pribadi, dan baru terakhir organisasi gereja. Jangan dibalik. Mengapa di dalam gereja Reformed, ada gereja Reformed yang terlalu memberhalakan organisasi gereja sampai-sampai tidak mendukung acara Reformed lainnya? Yang saya perhatikan, alasan sebenarnya adalah mungkin karena ambisi pribadi atau ketidaksetujuan doktrin (sekunder) antara pendeta Reformed X dengan pendeta Reformed Y. Bagi saya, alasan-alasan tersebut tetap BUKAN alasan primer, malah alasan tersebut bisa saya kategorikan sebagai alasan childish yang ngambek kalau dirinya tidak dihormati/disetujui. Masa ini sich citra Reformed? Ayo Reformed, sadarlah dan bertobatlah. Untuk hal-hal sekunder bahkan tersier, belajarlah menerima keunikan masing-masing di dalam kubu Reformed, jangan memaksakan kehendak sendiri. Ingatlah, kita dipanggil untuk menjadi berkat di tengah dunia! Ingatlah, Reformed bukan sebuah gereja, namun gerakan yang harus melintasi batasan denominasi.


B. Bersatulah Antar Gereja dan Lembaga Reformed Untuk Menyelenggarakan Forum/Simposium Theologi dan Tukar Mimbar (Khotbah)
Setelah meruntuhkan tembok “organisasi gereja”, maka Reformed perlu bersatu antar gereja dan lembaga Reformed untuk menyelenggarakan forum/simposium theologi. Rupa-rupanya Reformed di Indonesia perlu belajar dari World Reformed Fellowship (WRF) sebagai persekutuan Reformed dunia yang terdiri dari gereja-gereja Reformed lintas denominasi di seluruh dunia. Reformed di Indonesia perlu bersatu untuk makin memberkati bangsa Indonesia. Saya berangan-angan, andaikan di Indonesia, gerakan Reformed saling melengkapi, maka nama Tuhan dipermuliakan. Gerakan Reformed yang saling melengkapi itu adalah gerakan Reformed lintas denominasi gereja yang menyelenggarakan simposium/seminar theologi bersama membahas masalah: theologi sistematika, theologi biblika, theologi historika, apologetika, filsafat, mandat Budaya, dll, sehingga Reformed yang menguasai Biblika bisa belajar dari Reformed yang menguasai Filsafat, begitu juga Reformed yang menguasai Theologi Sistematika bisa belajar dari Reformed yang menguasai Biblika dan Filsafat, dlsb, sehingga masing-masing Reformed bisa saling belajar, bertumbuh, dan berbuah bagi perluasan Kerajaan Allah di bumi ini.

Gerakan Reformed yang saling melengkapi ini juga bisa berupa adanya inisiatif pendeta/majelis gereja Reformed untuk bisa saling tukar mimbar. Misalnya, pendeta yang melayani di gereja Reformed A diundang berkhotbah di gereja Reformed B, begitu juga sebaliknya, sehingga jemaat di gereja Reformed A juga bisa belajar dari hamba Tuhan dari gereja Reformed B dan juga sebaliknya. Dengan demikian, masing-masing bisa belajar, bertumbuh, dan berbuah untuk bersaksi di tengah zaman ini. Coba bayangkan seorang jemaat Reformed di gereja Reformed yang hanya menekankan studi Biblika dan kurang menyentuh studi yang lain mengakibatkan jemaatnya hanya pandai berbahasa Ibrani dan Yunani dan bereksegese, namun ketika menjalankan mandat budaya dan mengerti filsafat, beberapa jemaatnya (tidak semua) amburadul. Bukan saja tidak karuan, bahkan ada salah satu jemaatnya yang menggunakan istilah agung seperti bergumul untuk maksud “sampah”, misalnya berpacaran dengan yang tidak seiman. Inilah akibat dari gereja Reformed yang hanya menekankan studi Biblika, namun secara doktrinal kurang ditekankan. Begitu juga halnya dengan gereja Reformed yang hanya menekankan studi doktrin/theologi sistematika dan filsafat, biasanya banyak yang jebol di dalam studi Biblika dan apologetika, karena yang dikuasai hanya theologi sistematika dan filsafat. Kalaupun mengusung tema Biblika (misalnya Pemahaman Alkitab), yang diuraikan tetap dari kerangka pikir theologi sistematika, bukan menggali Alkitab dengan teliti. Ayo gereja Reformed, marilah bersatu, wujudkan gerakan Reformed yang satu di dalam Sola Scriptura, jangan terpecah-pecah lagi.




III. Belajarlah Untuk Tidak Gegabah
Hal ketiga yang perlu direformasi dalam gerakan Reformed adalah belajar untuk tidak gegabah khususnya dalam menyoroti suatu ajaran. Artinya, sebelum bercuap-cuap di atas mimbar untuk mengkritik seseorang atau ajaran tertentu, biasakanlah menyelidiki seseorang dan/atau ajaran tersebut sampai tuntas dan JANGAN hanya mendengar dari kata orang! Misalnya, ketika mengkritik ajaran Pdt. Y, maka jangan langsung mengkritik ajaran Pdt. Y hanya karena mendengar dari orang lain atau mendengar dari khotbah singkat dari Pdt. Y atau membaca uraian Pdt. Z tentang ajaran Pdt. Y. Biasakan membaca dan mengamati langsung dari sumber utamanya (primary source) baik melalui buku-buku, uraiannya di dalam sebuah seminar khusus, diskusi langsung, dll, sehingga kita bisa mencegah kemungkinan salah tafsir. Saya mengamati kesalahan tafsir terjadi karena kita sebagai penerima kurang tuntas memahami berita dari si pembawa berita, sehingga kurangnya informasi dan pemahaman tersebut mengakibatkan kita menyalahtafsirkan si pembawa berita tersebut, yang lebih celaka, penyalahtafsiran ini kita ceritakan/khotbahkan di depan jemaat, sehingga jemaat mendengar kesalahan ajaran Pdt. Y dari kita yang mengkhotbahkannya, padahal maksud asli Pdt. Y tidaklah seperti yang disalahtafsirkan oleh kita. Hai orang-orang Reformed yang notabene jago/ahli tafsir Alkitab dengan teliti, mengapa kalian sembrono dan gegabah jika menafsirkan perkataan orang lain? Di manakah ketelitian kalian? Sadarlah Reformed, sadarlah!




IV. Paradoxical Christian (Reformed) Life-style
Hal terakhir yang perlu direformasi dalam gerakan Reformed adalah tentang gaya hidup. Sebagaimana salah satu kelemahan beberapa Reformed adalah masalah gaya hidup yang kaku alias jadul, maka gaya hidup paradokslah yang seharusnya menjadi gaya hidup Reformed. Saya menyebut paradoxical Christian (Reformed) life-style yang berarti sebuah gaya hidup Kristen khususnya Reformed yang menyeimbangkan antara pengejaran hikmat dan kesenangan (belajar dari Ev. Ivan Kristiono yang belajar dari Agustinus). Hari-hari ini, kita melihat dua gaya hidup ekstrem dalam Kekristenan, yaitu:

Pertama, terlalu liar mengejar kesenangan. Ada banyak orang Kristen yang gaya hidupnya terlalu liar, sering hang-out, namun lupa ke gereja, bahkan yang lebih parah, setahun ke gereja hanya 2x, yaitu waktu hari Paskah dan Natal. Yang paling parah, melakukan free-sex. Gaya hidup tipe ini berfokus pada kesenangan sesaat tanpa Allah.

Kedua, terlalu kaku mengejar hikmat. Model orang Kristen biasanya seorang yang kutu buku (bahkan kata Pdt. Sutjipto Subeno: RAYAP buku) dan suka kulakan khotbah dan seminar untuk mengisi otaknya saja. Orang model ini hanya mengerti buku-buku theologi dan filsafat, seperti: Dr. Louis Berkhof, Dr. Cornelius Van Til, Dr. Richard L. Pratt, Dr. Ronald H. Nash, Dr. D. A. Carson, Dr. John M. Frame, Socrates, Plato, Aristoteles, dll, namun jangan tanyakan kepada orang lain apakah dia memiliki akun Facebook (FB) atau Twitter, karena kebanyakan dari mereka sepakat menjawab, “TIDAK! Najis…” HeheheJ

Di antara dua gaya hidup yang ekstrem, belajar dari Agustinus, saya menawarkan solusi yang seimbang dan paradoks yaitu menggabungkan antara pencarian hikmat dan kesenangan. Seperti kata Agustinus, “Cintailah Tuhan dan lakukan segala sesuatu”, maka orang Kristen khususnya Reformed seharusnya mengerti bagaimana mencintai Tuhan dengan tulus dan sungguh-sungguh, dan setelah itu melakukan segala sesuatu dengan koridor Alkitab. Saya mau mengatakan sekali lagi: JANGAN menjadi orang Reformed yang paranoid (terhadap kesenangan, dll)! Jangan lebay, plis. Belajarlah menjadi orang Reformed yang waras yang bisa menyeimbangkan pengejaran hikmat melalui studi theologi dan Alkitab, namun juga tetap rileks dalam hidup sehari-hari misalnya dengan hang-out bersama-sama teman kita ke mal, dll, namun aktivitas rileks kita pun tetap harus ada batasnya, jangan sampai keterlaluan, misalnya dugem, menghisap narkoba, dll.

Catatan kaki:
[1] Ravi Zacharias, Sang Penenun Agung, terj. Christian Tirtha (Bandung: Pionir Jaya, 2009), hlm. 69.
[2] John S. Piper, Memerangi Ketidakpercayaan, terj. Grace P. Christian (Bandung: Pionir Jaya, 2010), hlm. 39.

No comments: