ASPECTS OF LOVE
oleh : Denny Teguh Sutandio
Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku. Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap.
(1 Korintus 13:1-8)
Setiap tanggal 14 Februari, kita memperingati hari kasih sayang atau yang disebut Valentine Day. Setiap orang mengekspresikan hari spesial ini dengan memberikan bunga atau coklat atau yang lain kepada pasangan atau teman atau istri/suami mereka. Mereka beranggapan hari Kasih Sayang adalah suatu hari khusus untuk lebih memperhatikan pasangan atau teman lain. Sebenarnya, inti dari hari kasih sayang (dan juga setiap hari di dalam hidup kita) adalah kasih. Pada renungan Valentine ini, kita akan merenungkan apa sih makna kasih dari sudut pandang Alkitab, dengan demikian kita tidak lagi ditipu oleh beragam filsafat dan ajaran dunia tentang kasih.
Bagian yang akan kita pelajari tentang arti kasih adalah dari 1 Korintus 13:1-8. Tetapi sebelumnya, mari kita menyelidiki latar belakangnya. Surat Paulus yang pertama kepada jemaat di Korintus ditulis kira-kira pada tahun 54-55 M pada akhir perjalanan Paulus ketiga. Kemungkinan besar, surat ini ditulis Paulus dari kota Efesus. Perlu diketahui, kota ini bukan kota sempit, tetapi kota metropolitan, pusat perdagangan dan tempat bertemunya orang-orang dari seluruh negara, Mesir, Yunani, Latin, Siria, dll. Selain itu, kota ini juga sangat parah, karena kota ini dipenuhi dengan kuil Afrodite (dewi cinta) yang didirikan pada puncak-puncak akropolis (bagian kota di atas bukit) dan ribuan kuil pelacuran. Nama kota ini sangat buruk, bahkan sumber Handbook to the Bible memberikan keterangan bahwa nama kota ini dipakai sebagai kata sindiran untuk kehidupan yang tak bermoral ini, “dikorintuskan”. Sebagaimana penduduk Korintus terdiri dari berbagai bangsa, maka jemaat di Korintus pun tidak jauh berbeda, terdiri dari banyak orang non-Yahudi dan sedikit orang Yahudi. Karena latar belakang mereka yang kafir membuat banyak dari mereka yang hidup sembrono. Handbook to the Bible memberikan keterangan bahwa alasan Paulus menuliskan surat kepada jemaat ini, di antaranya karena ada perpecahan jemaat, penyalahgunaan “kemerdekaan” orang Kristen, kekacauan di dalam ibadah, dll (hlm. 663). Karena latar belakang kota ini begitu mengerikan, oleh karena itu Paulus menuliskan surat yang cukup keras kepada jemaat di Korintus. Bahkan saya pernah mendengar seorang hamba Tuhan pernah mengatakan bahwa sebenarya Paulus menuliskan suratnya lebih dari dua kepada jemaat di Korintus, tetapi Tuhan mengizinkan hanya dua surat yang dikanonisasikan, mungkin karena surat-surat Paulus lainnya terlalu keras atau alasan lain. Beragam masalah yang dihadapi Paulus di kota ini tidak membuat Paulus patah semangat, tetapi justru Paulus semakin giat berapi-api mengajar jemaat Korintus agar bertumbuh di dalam pengenalan akan Kristus. Salah satu pertumbuhan pengenalan akan Kristus adalah di dalam mengerti karunia Allah. Bagian ini dibahas Paulus di dalam tiga pasal (12 s/d 14). Di dalam pasal 12, Paulus mengajar bahwa beragam karunia Allah berasal dari satu Roh (ayat 4), lalu karunia Allah ini diberikan kepada masing-masing orang secara berbeda untuk membangun tubuh Kristus (ayat 7) dan semua karunia Allah diberikan oleh Roh Kudus hanya kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya (ayat 11). Lebih lanjut, Paulus menjelaskan tentang prinsip unity in diversity di dalam jemaat Tuhan di dalam ayat 12 s/d 31, lalu ditutup dengan suatu dorongan Paulus kepada jemaat Korintus yaitu berusaha (terjemahan dari Yunani: merindukan) untuk memperoleh karunia yang lebih utama lagi (ayat 31). Apakah karunia yang paling utama itu ? Jawabannya : KASIH. Hal inilah yang akan kita bahas di dalam renungan ini.
Di pasal 12 ayat 31, Paulus sudah berkata bahwa karunia yang paling utama (atau bisa diterjemahkan: paling besar) itu adalah KASIH. Hal ini ditekankan ulang oleh Paulus di pasal 13 ayat 1 s/d 3 tetapi dengan penekanan yang lebih jelas. Kata kasih yang digunakan di seluruh pasal ini dalam bahasa Yunaninya adalah Agape (kasih yang tidak bersyarat; bersumber dari Allah) Di dalam 3 ayat pembuka di pasal 13, Paulus menegaskan pentingnya kasih di atas segalanya, yaitu :
Pertama, kasih lebih penting dari semua perkataan manusia (ayat 1). Paulus jelas mengatakan bahwa sia-sia sajalah manusia pandai berbicara dengan semua bahasa manusia ataupun bahasa dari malaikat, jika itu tidak dilakukan atas dasar kasih. Kesia-siaan itu ditunjukkan Paulus dengan ibarat: seperti gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. Gong yang berkumandang tetapi tidak dikumandangkan pada saat yang tepat dan jelas akan menjadi suara yang sia-sia. Demikian juga, semua karunia Allah yang berkaitan dengan perkataan akan menjadi sia-sia jika tidak dilakukan atas dasar kasih. Mari kita mengintrospeksi, berapa banyak kata-kata kita diucapkan dengan dasar kasih ?
Kedua, kasih lebih penting dari semua karunia supranatural Allah (ayat 2a). Paulus mengajar bahwa kasih lebih penting dari semua karunia Allah yang supranatural seperti bernubuat dan mengetahui segala rahasia serta memiliki pengetahuan. Mengapa ia mengatakan hal ini? Karena ia memahami bahwa jemaat Korintus adalah jemaat yang masih dipengaruhi oleh filsafat dan budaya Yunani yang menjunjung tinggi rasio. Ia telah mengajar bahwa kasih Kristus yang berkorban di kayu salib itu lebih tinggi daripada rasio manusia di pasal 1 ayat 18 s/d 25. Dan di bagian ini, Paulus kembali mengajar jemaat Korintus bahwa semua karunia Allah itu meskipun berguna tetapi sia-sia jika tanpa kasih. Bagaimana dengan kita? Kita seringkali menganggap gelar akademis, pendidikan tinggi, dll adalah segalanya, padahal jika itu semua tanpa kasih yang benar kepada Allah, hal tersebut menjadi sia-sia. Tidak ada salahnya dengan pengetahuan dan doktrin tentang Firman Tuhan, karena itu penting, tetapi jangan sampai kasih ditiadakan hanya demi debat theologi yang sia-sia. Mari kita menjadikan kasih yang benar kepada Allah dan Firman-Nya sebagai sumber dari studi kita akan doktrin.
Ketiga, kasih lebih penting dari iman yang sempurna (ayat 2b). Di sini, Paulus menjelaskan bahwa iman itu sah dan penting, karena itu adalah anugerah Allah, tetapi jika iman itu tanpa didasarkan pada kasih, itu menjadi sia-sia. Apa artinya? Apakah berarti kasih lebih penting daripada iman, lalu yang penting mengasihi, tidak perlu beriman? Tidak. Yang Paulus maksudkan adalah iman kita harus didasarkan pada kasih Allah kepada manusia dan kasih manusia kepada Allah dan sesama. Iman sejati dibentuk setelah kelahiran baru dari Roh Kudus dan kelahiran itu dimungkinkan karena kasih Allah telah memilih beberapa dari manusia untuk menjadi umat-Nya di dalam Kristus. Kasih Allah itulah yang harus kita implikasikan kembali kepada Allah dan sesama. Mengutip perkataan Rev. Dr. John S. Piper dalam bukunya Desiring God, kita menjadi sarana pemantul kasih Allah. Dan itu menunjukkan bahwa iman kita beres di hadapan Tuhan. Sedangkan, iman yang tidak beres akan terwujud melalui kasihnya yang tidak murni (mengharapkan imbalan) atau bahkan tidak pernah mengasihi (khususnya jiwa-jiwa). Sampai sejauh mana iman kita didasari oleh kasih Allah ?
Keempat, kasih jauh lebih penting dari semua tindakan sosial (ayat 3a). Di zaman sekarang, beberapa pemimpin gereja arus utama mengajar akan pentingnya aksi sosial, membantu korban bencana alam, dll dan itu sebagai sarana penginjilan (social “gospel”). Hal itu tidak salah, tetapi bukan hal yang esensial. Ayat 3 di pasal 13 ini membukakan kepada kita bahwa kasih bukan sekadar tindakan. Percuma saja orang menyumbang korban bencana alam, tetapi tidak keluar dari hati yang sungguh-sungguh mengasihi. Dermawan yang membantu orang lain tetapi tidak dari hati yang mengasihi akan terlihat dari kebanggaan mereka ketika mereka diliput oleh stasiun TV, koran, dll bahwa mereka sudah menyumbang (ingin dikenal orang lain). Itu adalah tindakan yang tidak pernah keluar dari hati yang mengasihi.
Kelima, kasih jauh lebih penting daripada pengorbanan yang sia-sia (ayat 3b). Kita seringkali mendengar ada beberapa orang Kristen yang sangat antusias mau mati bagi Kristus, tetapi sayangnya mereka tidak dipenuhi oleh kasih yang sejati akan Allah, sehingga antusiasme orang ini menjadi antusiasme yang kosong dan palsu. Hal ini dipaparkan Paulus di Roma 10:2 tentang orang Israel, “Sebab aku dapat memberi kesaksian tentang mereka, bahwa mereka sungguh-sungguh giat untuk Allah, tetapi tanpa pengertian yang benar.” Ada banyak orang Kristen yang berapi-api melayani Kristus, tetapi tidak dengan pengertian yang benar akan kebenaran dan kasih Allah yang sejati, sehingga pengorbanan mereka sia-sia. Pengorbanan sejati keluar dari motivasi hati yang murni di hadapan Allah, sehingga kalau kita mau berkorban dan mati bagi Kristus, kita harus memeriksa dan mengintrospeksi hati kita apakah sudah beres atau belum di hadapan Tuhan atau tidak.
Setelah memaparkan tentang 5 prinsip pentingnya kasih, maka Paulus menjelaskan aspek-aspek kasih pada ayat 4 s/d 8. Aspek-aspek kasih tidak sama dengan aspek-aspek kasih yang ditawarkan dunia postmodern yang berdosa, tetapi aspek-aspek kasih yang diajarkan Alkitab adalah aspek-aspek kasih yang tidak pernah ditawarkan dunia bahkan melampaui konsep dunia berdosa. Aspek-aspek kasih ini berkenaan dengan sikap hati dan motivasi yang murni di hadapan Tuhan, bukan sekadar tindakan. Rev. Dr. John S. Piper di dalam bukunya Desiring God memaparkan bahwa kasih bukan sekadar tindakan, tetapi kasih itu adalah luapan sukacita kita di dalam Allah. Luapan sukacita inilah yang dipaparkan Paulus di dalam kelima ayat berikut.
Pertama, kasih itu sabar (ayat 4). Sabar di sini berkaitan dengan tahan menderita (KJV : suffereth long). Dunia kita mengajarkan bahwa kasih itu tidak pernah menderita, bahkan ada yang mengajar bahwa orang yang “dikasihi” Tuhan tidak pernah melihat hari-hari yang buruk, sakit penyakit, dll. Firman Tuhan jelas mengajarkan bahwa justru kasih harus melewati penderitaan dan harus tahan di dalam penderitaan itu. Di dalam Alkitab, Ayub memiliki kasih karena ia tahan menderita. Paulus sendiri juga memiliki kasih, karena ia rela dan tahan menderita. Dan yang paling utama, Tuhan Yesus adalah Sumber Kasih dan Ia telah mempraktekkan apa yang telah diajarkan-Nya dengan tahan menderita bahkan rela mati di kayu salib demi menebus dosa umat-Nya. Bagaimana dengan kita? Apakah ketika penderitaan menghadang, mengancam, kita masih tetap sabar dan tahan serta setia kepada Tuhan ataukah kita sudah undur dari Tuhan?
Kedua, kasih itu murah hati (ayat 4). KJV menerjemahkannya kind (=baik). Kasih itu suka memberi, menunjukkan kebaikan. Tetapi kebaikan seperti apa? Apakah berarti harus memberikan segala sesuatu untuk menolong orang? Di sini bedanya keKristenan dengan filsafat dunia berdosa. Dunia berdosa mengajarkan amal baik, caranya berikan kepada orang miskin. Tidak ada salahnya dengan beramal, karena Alkitab juga mengajar bahwa kasih itu baik hati, tetapi Alkitab juga mengajar bahwa kita tidak boleh membela hak orang miskin. Di sini, prinsipnya jelas, kasih tidak boleh berlawanan dengan keadilan. Tuhan menuntut keseimbangan. Kasih yang melawan keadilan adalah sesuatu yang melawan natur Allah sendiri yang Mahakasih sekaligus Mahaadil.
Ketiga, kasih itu tidak cemburu (ayat 4). Dunia berdosa mengajar bahwa di dalam hubungan suami-istri, jika suami tidak mencemburui istri, maka itu adalah tanda sang suami tidak mencintai istrinya. Tetapi Alkitab justru mengajar bahwa kasih tidak pernah cemburu. Di sini, saya menafsirkan bahwa kasih berhubungan dengan trustworthiness (=keadaan dapat dipercaya). Seorang suami yang tidak cemburu kepada istrinya, itu berarti sang istri adalah sosok pasangan yang dapat dipercaya, tetapi jika tidak, itu tanda awas bagi sang istri untuk lebih setia lagi. Di dalam kasih, tidak ada saling curiga.
Keempat, kasih itu tidak memegahkan diri (Bahasa Indonesia Sehari-hari: membual) dan sombong (ayat 4). Dunia menawarkan konsep kasih yang merasa diri hebat, terkenal, dll. Contohnya, orang yang menyumbang korban dengan bangga tersenyum ketika dia diliput oleh media. Tetapi Alkitab mengajarkan hal yang lain. Di dalam bagian ini, Alkitab hendak mengajarkan bahwa kasih tidak suka menonjolkan diri (KJV: puffed up) dan selalu rendah hati. Pdt. Billy Kristanto pernah berkata bahwa banyak orang Kristen yang melayani Tuhan merasa dirinya significant (berarti), seolah-olah tanpa dia, gereja kacau bahkan hancur. Hal ini jelas menunjukkan tidak adanya kasih di dalam banyak orang Kristen yang mengaku melayani Tuhan. Seorang Kristen yang sungguh-sungguh memiliki kasih tidak akan merasa diri hebat, lalu sombong. Ada baiknya kita memperhatikan nasehat Pdt. Dr. Stephen Tong tentang konsep melayani, “No one comes to help, no one comes to contribute, but everyone comes to serve and to learn.” (terjemahan bebas: tidak seorang pun yang datang untuk membantu pekerjaan Tuhan, berkontribusi di dalam pelayanan Tuhan, tetapi setiap orang datang untuk melayani Tuhan dan belajar akan kebenaran Firman). Kalau kita sungguh-sungguh melayani Tuhan, mari kita menghilangkan kata “membantu Tuhan” dari kamus kita, mari kita belajar rendah hati, karena kitalah yang sebenarnya harus dibantu oleh Tuhan, bukan kita yang membantu Tuhan (seolah-olah tanpa kita, Tuhan kewalahan).
Kelima, kasih tidak melakukan yang tidak sopan (ayat 5a). Di sini, kasih berkaitan erat dengan kekudusan. Allah yang Mahakasih juga adalah Allah yang Mahakudus, sehingga dosa manusia tetap harus dihukum, karena dosa itu suatu kejijikan di hadapan Allah, tetapi karena kasih, Ia rela menjadi manusia demi menebus kita yang berdosa serta menjadikan kita anak-anak-Nya yang terkasih supaya kita hidup kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Setelah kita ditebus oleh darah Kristus, sudah seharusnya kita menjunjung tinggi kekudusan, suatu moralitas yang beres di hadapan Tuhan, melakukan tindakan-tindakan yang sopan. Tetapi dunia kita menawarkan konsep kasih sebagai dasar untuk melegalkan free-sex. Mereka berdalih dengan argumentasi kasih untuk mengatakan bahwa free-sex itu sah (yang penting, sama-sama suka/cinta). Hari ini, kita perlu bertobat dari tipuan iblis ini. Tuhan menghendaki kita hidup kudus seperti Dia adalah kudus (Imamat 20:7; 1 Petrus 1:16).
Keenam, kasih tidak mencari keuntungan diri sendiri (ayat 5b). Berarti, kasih sejati tidak pernah egois. Kasih selalu memberi dan berkorban dengan prinsip kebenaran (lihat ayat 6). Sedangkan dunia menawarkan konsep “mengasihi” dengan prinsip win-win solution. Seorang penjual produk tertentu berkata bahwa mereka memperhatikan (care) dan mengasihi para pelanggannya yang kesulitan/membutuhkan, tetapi benarkah tindakan mereka? TIDAK. Mereka mengasihi supaya mereka mendapat keuntungan dari si klien/pelanggan. Jika si klien tidak menanggapi perkataan si penjual, maka jangan harap si penjual produk itu bisa memperhatikan dan mengasihi si klien. Sebaliknya, Alkitab justru mengajarkan bahwa kasih itu selalu God-centered, selalu berpusat pada Allah, memperhatikan kepentingan orang lain, bukan kepentingan diri. Di dalam kehidupan kita, apakah kita selalu memperhatikan kepentingan orang lain tanpa menuntut jasa ataukah kita mengikuti prinsip dunia berdosa yang ingin mencari keuntungan diri sendiri?
Ketujuh, kasih tidak pemarah (ayat 5c). Terjemahan Yunani dari kata “pemarah” bisa diartikan tersinggung (Hasan Sutanto, 2003, hlm. 933). King James Version menerjemahkannya bahwa kasih tidak mudah terprovokasi. Dengan kata lain, ayat ini tidak sedang mengajarkan bahwa kasih tidak boleh marah, tetapi kasih tidak mudah terprovokasi dan tersinggung. Kemarahan itu sah-sah saja, asalkan tidak boleh lahir dari dendam dan berlangsung lama. Itu disebut kemarahan yang kudus (holy anger). Kembali, di dalam kasih seharusnya kita tidak mudah tersinggung atau terprovokasi, sebaliknya di dalam kasih, kita memaafkan dan mengampuni. Mungkin ini sulit, tetapi biarlah kiranya Tuhan memimpin kita untuk melakukannya.
Kedelapan, kasih tidak dendam (ayat 5d). Ini yang penting. Di dalam kasih ada pengampunan, tidak mendendam kepada orang lain. Terjemahan Yunani dari kata ini dapat diartikan tidak mengingat yang jelek (Hasan Sutanto, 2003, hlm. 933). Jangankan orang dunia, banyak orang Kristen yang katanya mengasihi dan melayani Tuhan, tetapi masih menyimpan dendam, tidak mau berkomunikasi dengan ‘musuh’ kita. Kita masih mengingat hal-hal yang jelek yang sudah dilakukan orang lain kepada kita. Mari kita belajar mengintrospeksi diri, kalau kita pernah disakiti orang lain, maukah kita pertama kali mengampuni dia? Ini sangat sulit, karena ini membutuhkan penyangkalan diri yang ketat, tetapi biarlah kita berdoa agar kiranya Tuhan memampukan kita untuk melakukannya.
Kesembilan, kasih berpusat pada kebenaran (ayat 6). Di sini, Paulus memakai dua kata Yunani yang unik. Dia berkata bahwa kasih tidak bersukacita karena ketidakadilan (Yunani: adikia; dari kata dikaiosune artinya kebenaran keadilan/righteousness), tetapi karena kebenaran (Yunani: aletheia artinya kebenaran mutlak). Di sini, ada dua tahap. Paulus hendak mengajar bahwa di dalam kasih yang sejati, kita seharusnya membenci ketidakadilan (tahap pertama), dan setingkat lebih tinggi, kita justru semakin bersukacita karena adanya kebenaran mutlak. Mengapa saya katakan setingkat lebih tinggi? Karena kata aletheia berarti kebenaran mutlak jauh melampaui konsep kebenaran keadilan (dikaiosune), di mana righteousness menyangkut sebuah proses dalam hidup manusia. Bagaimana dengan dunia berdosa? Dunia kita menawarkan kasih yang tanpa kebenaran. Tidak jarang kita mendengar seseorang mengajar bahwa kita tidak perlu menegur yang salah, tetapi marilah kita saling “mengasihi”. Apakah yang salah tidak boleh ditegur dengan alasan “kasih”? Paulus yang mengajar tentang prinsip kasih di dalam 1 Korintus 13 ini juga adalah Paulus yang pernah menyampaikan kata-kata yang keras bahkan kutukan kepada para pemberita “injil” palsu yang tidak memberitakan Kristus dengan beres di dalam Galatia 1:6-8. Ini membuktikan kasih sejati harus berkaitan erat dengan kebenaran, karena kasih tanpa kebenaran adalah kasih yang hampa dan tak berisi.
Kesepuluh, kasih menanggung segala sesuatu (ayat 7a). Kata “menutupi” dalam ayat 7a kurang tepat dan bisa disalahtafsirkan, seolah-olah mengajarkan bahwa kasih menutupi segala sesuatu termasuk dosa. Terjemahan Yunani dari kata ini yang lebih tepat diartikan menanggung (Hasan Sutanto, 2003, hlm. 933). Kasih yang menanggung segala sesuatu menunjukkan bahwa kasih itu tidak egois, yang cuek dengan masalah orang lain, tetapi kasih selalu memperhatikan kepentingan orang lain, bahkan membantu sebisa mungkin. Kita bisa belajar dari Alkitab bahwa jemaat suatu kota membantu jemaat kota lain yang kekurangan. Itu adalah suatu persekutuan yang indah di antara umat Allah yaitu menanggung segala sesuatu, yang kuat menanggung yang lemah. Biasakan hidup kita tidak memperhatikan kepentingan sendiri, tetapi hidup memperhatikan dan menjadi berkat bagi orang lain.
Kesebelas, kasih percaya segala sesuatu (ayat 7b) Hal ini tidak berarti kita percaya kepada segala sesuatu tanpa pikir panjang. Tidak. Maksud dari ayat ini adalah di dalam kasih sejati, kita percaya segala sesuatu, karena kita tahu bahwa yang kita percayai itu dapat diandalkan. Di dalam kasih antar sesama umat Tuhan, sudah seharusnya tidak perlu ada rasa saling curiga, karena masing-masing umat Tuhan saling percaya dan dapat diandalkan. Bagaimana dengan kita di dalam persekutuan kita di gereja? Apakah kita bisa dipercaya atau jangan-jangan kita adalah jemaat yang paling tidak dipercayai? Mari kita mengintrospeksi diri kita masing-masing.
Keduabelas, kasih mengharapkan segala sesuatu (ayat 7c). Di dalam kasih ada pengharapan. Ketika kita mengasihi Allah, kita tentu berharap hanya kepada Allah sebagai satu-satunya Sumber Pengharapan kita. Ketika kita berharap kepada Allah, di saat itu pula kita tidak perlu kuatir, karena obyek pengharapan kita adalah obyek yang pasti. Di dalam kasih, kita mengharapkan sesuatu yang dapat diandalkan. Sudahkah kita berharap hanya kepada Allah, Sang Kekasih Jiwa kita di dalam kasih sejati ?
Ketigabelas, kasih bertahan menanggung segala sesuatu (ayat 7d). Sekilas, bagian ini mirip dengan poin pertama dan kesebelas, tetapi ada sedikit perbedaan penekanan dan di bagian ini, Paulus memberi penekanan bahwa kasih bukan hanya sabar/tekun menderita, tetapi kasih sabar dan tekun menanggung segala sesuatu. Kita bukan hanya sabar/tekun di dalam penderitaan, tetapi kita juga harus tekun menanggungnya dan tidak mengeluh. Seringkali kita hanya tekun di dalam penderitaan (tidak sampai murtad), tetapi kita selalu bersungut-sungut. Hari ini, Alkitab mengajar bahwa kasih tekun menanggung segala sesuatu. Di dalam Alkitab, Ayub bukan hanya tekun menghadapi penderitaan, ia juga sabar dan dengan sukacita berharap kepada Allah di dalam penderitaan, itulah sukacita kita sejati di dalam penderitaan. Sudahkah kita mengalami sukacita itu ketika penderitaan datang?
Dan aspek terakhir dari kasih yaitu kasih itu tidak berkesudahan (ayat 8) dibandingkan dengan nubuat, bahasa roh dan pengetahuan. Ini adalah aspek everlasting dari kasih, karena kasih yang dalam bahasa Yunani adalah Agape adalah kasih yang tak bersyarat dan bersumber hanya dari Allah saja.
Semoga renungan yang singkat ini menegur kita (termasuk saya) agar kita semakin bertumbuh lebih dalam ke arah kebenaran Allah. Amin. Soli Deo Gloria.
1 comment:
thx God!! thx buat artikel yang dimuat, stelah membacanya membuat iman wa terbangun. kebetulan juga lagi mencari tau tentang kasih.
terutama kasih sepasang kristen yang sedang pacaran..
mungkin bisa dimuat juga artikel tentang tu. thx a lot.. Tuhan memberkati!
Post a Comment