The Authority of Christ Over Satan
Nats: Mat. 8:28-34
Pada bagian pertama dari sub tema the discipleship of Christ ini Injil Matius mengambil dua contoh golongan murid, yakni: 1) golongan eksternal, yaitu orang Farisi, orang yang dianggap sebagai orang religius, dan 2) golongan internal, yaitu murid Tuhan Yesus sendiri. Melalui kedua contoh ini, Matius ingin membukakan pada kita bahwa Kristus sebagai pemegang kuasa tertinggi berotoritas mutlak atas manusia dan Dia menuntut setiap orang yang mau menjadi pengikut-Nya taat pada semua ketetapan-Nya. Di bagian kedua, Matius juga membukakan bahwa bukan hanya manusia saja yang harus tunduk pada Kristus sebagai pemegang otoritas tertinggi akan tetapi alam semesta pun juga harus tunduk pada-Nya. Tidak ada satu kuasa dari manusia manapun di seluruh alam semesta ini yang dapat meneduhkan angin ribut dalam sekejap dan hanya dengan sekali perintah. Hanya Dia yaitu Yesus, Anak Allah sang Pencipta dan Pemilik alam semesta ini yang mempunyai kedaulatan kuasa itu.
Di bagian ketiga, Matius membukakan bahwa kuasa Kristus bukan hanya sebatas manusia dan alam semesta saja. Tidak! Kristus juga berkuasa atas setan. Manusia paling takut dengan kuasa kegelapan. Masalah pelik mulai timbul, di satu pihak, manusia ingin lepas dari kuasa kegelapan itu namun di pihak lain, manusia tidak ingin lepas. Sebagai pengikut Kristus sejati, kita harus melepaskan diri dari segala bentuk kuasa iblis yang menjerat hidup kita bahkan kita harus mengubah pola berpikir kita yang selama ini telah dibentuk oleh setan. Dibandingkan dengan Injil Markus dan Injil Lukas, Matius yang paling singkat menuliskan bagian dimana Tuhan Yesus mengusir setan dari orang yang kerasukan setan. Matius tidak mencatat siapa nama setannya, berapa jumlahnya, dan lain sebagainya sebab memang bukan disana fokusnya. Fokus utamanya adalah otoritas Kristus atas dosa dan sikap manusia terhadap dosa.
1. Otoritas Kristus melampaui teritorial.
Tuhan Yesus pergi ke seberang, yaitu di daerah Gadara yang terletak di wilayah Timur sungai Yordan dan orang Yahudi menganggap wilayah Gadara sebagai daerah kafir seperti halnya Samaria. Orang Yahudi membatas dirinya sedemikian rupa sampai-sampai mereka rela berjalan memutar demi supaya kakinya tidak menginjak daerah orang kafir. Namun ke daerah yang dianggap kafir inilah Tuhan Yesus pergi. Tuhan Yesus mau menyatakan bahwa otoritas-Nya bukan hanya ada di wilayah Yahudi atau di tengah-tengah orang Yudea saja. Tidak! Otoritas Tuhan Yesus tidak dibatasi oleh wilayah atau teritorial tertentu; Kerajaan yang sedang Kristus genapkan bukanlah sebatas Kerajaan Israel seperti yang dimengerti oleh orang Yahudi. Tidak! Kerajaan Kristus adalah Kerajaan Sorga yang wilayahnya mencakup seluruh alam semesta. Secara konsep hal ini dimengerti oleh manusia namun secara konsep pulalah kita sulit mengimplikasikannya.
Abraham Kuyper, seorang teolog reformed sekaligus filsuf, politikus dan ilmuwan berpendapat kalau setiap orang Kristen sebenarnya tahu bahwa Yesus sebagai pemegang otoritas tertinggi berkuasa mutlak atas hidup manusia namun ketika hal itu diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari maka nyatalah sekarang bahwa Yesus tidak menjadi Raja dan Tuhan atas hidup kita. Seharusnya kita menyadari seperti halnya Abraham Kuyper: “tidak ada satu inci pun di dalam hidupku dimana Tuhan tidak berkuasa atasnya.“ Kristus adalah otoritas tertinggi maka Ia tidak dibatasi oleh suatu wilayah teritorial tertentu dan sebagai pemegang otoritas tertinggi, Ia berhak atas semua aspek hidup kita. Sayangnya, manusia tidak memperkenankan Tuhan menjadi Raja dan Tuhan atas hidupnya, manusia membatasi otoritas Tuhan hanya sampai di wilayah tertentu saja. Apakah kita akan menjadi lebih bahagia dan beruntung ketika kita memutuskan lepas dari tangan Kristus? Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bisakah manusia itu independen murni ketika ia memutuskan untuk lepas dari tangan Kristus? Hal ini merupakan cerminan dari semangat kebebasan manusia yang ingin mengeksistensikan dosa. Orang tidak menyadari lepas dari Kristus justru akan menghilangkan makna terpenting dalam hidup mereka.
Ironisnya, banyak orang berpikir sebaliknya yakni menjadi anak Tuhan membuat hidup susah sebab terlalu banyak larangan. Pikiran seperti ini persis seperti anak kecil, ia akan marah ketika dilarang orang tuanya bermain pisau. Anak kecil tidak pernah berpikir kenapa larangan itu dibuat sebab pemikirannya belum sampai pada pengertian bahwa pisau itu akan membahayakan dirinya. Bukan tanpa alasan kalau Tuhan membatas kita sedemikian rupa dengan larangan-larangan. Otorisasi Allah bukanlah dictatorship yang dengan semena-mena membatas kita tanpa alasan. Tidak! Semua itu Kristus kerjakan demi untuk kebaikan kita, yaitu supaya kita diselamatkan, supaya kita hidup dalam kebajikan dengan demikian “gambar dan rupa Allah“ itu termanifestasi dalam hidup kita. Ironisnya, manusia ingin keluar dari panggilan Tuhan. Coba pikirkan, sampai dimanakah kekuatan tangan, kaki dan otak kita sehingga dengan kemampuan sendiri kita dapat lepasi dari situasi dan jepitan dunia yang rusak ini? Firman Tuhan menegaskan bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar; manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang (1Tim. 3:2).
Celakanya, hari ini, banyak orang Kristen yang hidupnya tidak mencerminkan hidup sebagai anak Tuhan sejati, banyak anak Tuhan yang telah dikuasai iblis. Sesungguhnya, manusia itu menyadari kalau hidupnya sangatlah hina, nilai hidupnya rendah tapi orang mencoba untuk berafiliasi seolah-olah dirinya orang baik di tengah dunia dengan kalimat-kalimat yang sepertinya positif padahal di balik kalimat indah itu ada maksud yang licik. Pertanyaannya sekarang adalah berada di bawah otoritas siapakah kita, apakah kita menyerahkan diri di bawah otoritas iblis ataukah otoritas Tuhan? Ingat, tidak ada satu inci dalam hidup kita dimana Tuhan tidak berkuasa atasnya. Bisakah kita berkata seperti Paulus: “Hidupku bukan aku lagi tetapi Kristus yang hidup dalamku“ (Gal. 2:20). Kalau kita mengaku bahwa kita adalah pengikut Kristus sejati maka biarlah Kristus saja yang berotoritas atas seluruh hidup kita. Memang, banyak tantangan yang mesti kita hadapi sebab iblis pasti tidak akan membiarkan begitu saja namun percayalah Tuhan yang berotoritas akan memberikan kekuatan sehingga kita dapat menghadapi tantangan itu.
2. Otoritas Kristus lebih besar dari otoritas iblis.
Pengakuan pertama bahwa Kristus adalah Anak Allah justru bukan keluar dari mulut murid-murid-Nya melainkan keluar dari mulut iblis. Setibanya Tuhan Yesus di seberang, yaitu di daerah Gadara datanglah dua orang kerasukan setan menemui Yesus. Kalau biasanya ia datang untuk menganggu dan menakuti orang-orang tapi kini ia sendiri yang takut ketika bertemu dengan otoritas sejati: “Apa urusan-Mu dengan kami, hai Anak Allah? Adakah Engkau ke mari untuk menyiksa kami sebelum waktunya?“ Iblis tahu bahwa kekuatan yang ia punyai sekarang hanya bersifat sementara saja maka ketika Kristus datang iblis memohon supaya ia tidak disiksa pada hari itu. Tidak ada satu orang pun yang berani lewat ke daerah itu sebab orang yang kerasukan setan itu sangat garang dan mengerikan. Bukankah kita juga seringkali menunjukkan sikap demikian, yakni kita lebih takut pada setan daripada takut Tuhan. Terhadap Tuhan kita berani berbuat kurang ajar tetapi pada orang yang kerasukan setan kita tidak berani bermain-main padahal setan sangat takut ketika bertemu dengan Tuhan. Jadi, sangatlah tidak logis kalau anak Tuhan takut pada anak setan justru sebaliknya setan seharusnya takut pada Tuhan sebab Tuhan pemegang otoritas tertinggi.
Seringkali, diri kita sendirilah yang menjadikan Allah itu kecil maka tidaklah heran kalau kemudian semua masalah kita menjadi besar karena hidup kita telah terkunci oleh pikiran kita yang telah dikuasai oleh setan. Memang ironis, kita lebih takut pada manusia yang telah dikuasai oleh iblis namun kita tidak takut pada otoritas Tuhan yang lebih besar yang telah membuat iblis takut dan gemetar. Kalau kita mengakui Yesus sebagai Raja dan Tuhan atas hidup kita lalu sudahkah otoritas yang sejati itu menguasai hidup kita? Celakalah, kalau kita salah menempatkan posisi maka pastilah kita tidak akan merasakan ketenangan dalam hidup, kita selalu dicekam ketakutan apalagi ketika kita berhadapan dengan kuasa setan. Injil Markus dan injil Lukas mencatat iblis itu bernama Legion yang berarti banyak, hal ini menunjukkan besarnya kekuatan iblis yang merasuk namun kuasa setan yang besar itu menjadi sangat kecil ketika berhadapaan dengan kuasa Tuhan Yesus. Ada dua sikap yang ditunjukkan oleh orang yang berada di luar Kristus dan keduanya bersifat negatif, yaitu: 1) orang yang secara fisik dibelenggu iblis sehingga ia menjadi sangat berbahaya sampai tidak ada seorang pun yang berani melalui jalan itu, 2) orang yang egois dan mengusir Yesus untuk pergi dari tempat itu. Orang Gadara tidak berani mengusir orang yang dirasuk setan itu sebab mereka sangat takut namun, ironis ketika Tuhan Yesus datang dan mengusir setan itu, mereka justru mengusir Yesus pergi. Mereka tidak dapat melihat otoritas sejati yang ada pada diri Kristus itu bukan karena mata mereka buta, tidak, mereka melihat namun tidak melihat, mereka mendengar namun tidak mendengar dan mereka tidak mengerti. Pertanyaannya adalah siapa mereka sehingga mereka berani mengusir Kristus pemegang otoritas tertinggi? Orang tidak menyadari otoritas Kristus adalah otoritas positif dan tidak perlu ditakuti. Ketakutan manusia pada setan yang berotoritas negatif itu menyebabkan manusia akhirnya berafiliasi dan pro dengan kuasa kejahatan. Manusia mau tunduk dan diikat dengan kuasa kejahatan tapi dengan kuasa kebajikan, manusia tidak mau tunduk. Inilah manusia berdosa. Marilah kita evaluasi diri dan jujur, siapakah yang berotoritas atas hidup kita, Tuhan atau iblis? Tidak ada orang lain yang tahu otoritas siapakah yang ada dalam kita, hanya kita sendiri yang tahu. Segeralah bertobat dan memohon ampunan pada Tuhan dengan demikian kita dapat bersaksi dan menyadarkan manusia betapa bahagia dan indah kalau kita hidup di bawah otoritas Tuhan. Memang benar, secara kasat mata, kita tidak melihat hal-hal yang spektakuler ketika kita berada di bawah otoritas Kristus namun disanalah kita akan merasakan ketentraman seperti Daud yang dapat berkata, “Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau....“
3. Otoritas Kristus berkaitan dengan pola pikir.
Otoritas Tuhan berkait erat dengan cara berpikir Tuhan. Otoritas Tuhan memberikan pilihan, otoritas itu memberikan nilai, otoritas itu membuat kita harus merekonstruksi cara berpikir kita. Mengikut Tuhan dan mengikut setan merupakan dua hal yang berbeda maka seorang anak Tuhan ketika melihat orang kerasukan setan, ia akan melihat orang tersebut sebagai orang yang harus diselamatkan sebab satu nyawa lebih berharga daripada seluruh harta di dunia. Berbeda dengan anak iblis, mereka lebih menghargai babi daripada nyawa manusia karena itulah mereka mengusir Yesus keluar dari Gadara. Mengikut Kristus membuat kita tahu mana yang lebih bernilai dan mana yang tidak. Tuhan sangat menghargai nyawa manusia tapi sebaliknya, iblis lebih pro pada babi. Andai, satu ekor babi seharga 5 juta rupiah maka itu berarti 2000 ekor babi berharga 10 milyar rupiah dan setan lebih menghargai babi. Kalau ia anak iblis pasti akan langsung kelihatan cara berpikir kita ia langsung menghitung untung dan rugi. Sebagai anak Tuhan yang sejati seharusnya kita meneladani Kristus yang menghargai satu nyawa manusia. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh isi dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya? (Mat. 16:26).
Harga nyawa manusia bukanlah 10 milyar rupiah atau sama dengan 2000 ekor babi, tidak, harga nyawa manusia sangat mahal sehingga demi untuk menebus nyawa manusia, Tuhan Yesus rela mati. Sayang, kita sendirilah yang menyamakan harga kita dengan babi, konsep nilai kita menjadi rusak sebab kita selalu berpola pikir babi, pig thinking. Ketika kita menilai manusia hina maka itu berarti kita menilai diri kita sendiri hina. Kita menilai orang ini cocok seharga beberapa ekor babi tanpa kita sadari sesungguhnya kita bukan berbicara tentang orang lain melainkan kita telah menilai harga diri kita sendiri. Sebab orang lain akan memikirkan lain, konsep pikir orang lain tidak sama dengan konsep berpikir kita. Perhatikan, Tuhan Yesus berpikir nyawa manusia lebih berharga dari 2000 ekor babi tetapi orang Gadara lain, mereka berpikir 2000 ekor babi itulah yang lebih berharga dari nyawa manusia. Hari ini, demi sebuah sepeda motor, orang bisa membunuh orang lain namun demi orang-orang berdosa seperti inilah Tuhan Yesus rela mati dan menjadi tebusan bagi kita. Dunia menghargai hidup manusia sangat murah dan tidak berarti, hanya di hadapan Tuhan saja, hidup kita dihargai sangat mahal.
Tuhan tidak melihat dari fenomena belaka, Ia melihat dari esensi, itulah sebabnya Ia menilai sebuah nyawa dengan sangat mahal. Kita menjadi bernilai bukan karena dunia yang menilai tetapi jadilah manusia yang bernilai di dalam Kerajaan Sorga. Hanya di hadapan Tuhan saja diri kita menjadi sangatlah bernilai, yakni senilai dengan darah Kristus domba Allah yang tercurah. Ia, yang tidak menyayangkan anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia? (Rm. 8:32). Kalau demikian pertanyaannya adalah masihkah anda menyerahkan hidupmu di bawah otoritas setan? Amin.
(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
No comments:
Post a Comment