Manusia Lama Vs Manusia Baru-1
Perbedaan Esensial-1 : Adam dan Kristus
oleh : Denny Teguh Sutandio
Nats : Roma 5:12-17.
Setelah kita mempelajari enam prinsip penderitaan penebusan Kristus sebagai teladan dan pengharapan bagi kita yang menderita karena nama Kristus di dalam ayat 6-11, maka ia mulai menjelaskan tentang perbedaan esensial antara Adam sebagai manusia pertama dan Kristus sebagai manusia/Adam kedua. Adam Clarke di dalam Adam Clarke’s Commentary on the Bible menegaskan bahwa Paulus memaparkan bagian ini sampai akhir pasal 5 dengan satu pengajaran bahwa manusia membutuhkan anugerah Allah di dalam Kristus yang menebus dosa semua manusia (baik Yunani maupun Yahudi, bukan “semua” dalam arti harafiah). Di dalam ayat 12-17, Paulus menjelaskan tentang perbedaan manusia pertama dengan kedua secara pokok (ayat 12 dan 15 menjadi kunci), dilanjutkan dengan perinciannya mulai di ayat 18. Untuk itu, mari kita mempelajarinya satu per satu.
Pada ayat 12, Paulus menjelaskan, “Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.” Di sini, Paulus kembali menjelaskan konsep dosa yang sudah dijelaskannya tetapi dengan penekanan pembeda antara manusia lama yaitu di dalam Adam dengan manusia baru yaitu di dalam Kristus. Di ayat ini, Paulus menjelaskan tentang ngerinya dosa dengan tiga bagian penjelasan, yaitu :
Pertama, dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang. Kata “oleh” menurut bahasa Yunaninya lebih tepat diterjemahkan through (melalui), sehingga arti aslinya adalah dosa telah masuk ke dalam dunia melalui satu orang. Satu orang yang dimaksud adalah Adam (Kejadian 3:6). Kalau kita melihat kembali Kejadian 3:6, “Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminyapun memakannya.”, kita mendapati yang pertama kali berdosa tentu adalah Hawa, tetapi Adam juga ikut bersalah karena taat kepada istrinya, Hawa. Inilah dosa manusia pertama, yaitu ketidaktaatan (akan dijelaskan pada Roma 5:18-21) dan pembalikan posisi/ordo yang seharusnya. Tetapi mengapa Paulus menyebut satu orang yang berdosa itu Adam (baca ayat 14), dan bukan Hawa, padahal Hawa yang dahulu berbuat dosa ? Adam sebagai perwakilan umat manusia yang berdosa, karena dia dahulu yang mendapat mandat dari Allah untuk tidak memakan buah pengetahuan baik dan jahat (Kejadian 2:16-17). Adam yang telah menerima mandat itu seharusnya mengajar Hawa dan menegur tindakannya ketika Hawa berbuat salah/dosa, karena yang menerima mandat dari Allah adalah suami/pria, tetapi realita yang terjadi adalah Adam tidak menegur Hawa malah menyetujui tindakan Hawa. Itulah dosa. Di dalam Kejadian 3:6, ada beberapa dosa yang dilakukan Hawa, yaitu : pertama, melihat dengan bayang-bayang yang tidak beres. Dosa dimulai ketika seseorang mulai melihat apa yang tidak seharusnya dilihat dengan motivasi yang tidak beres. Melihat perempuan yang cantik dan seksi tidak ada larangannya, tetapi melihat perempuan yang cantik dan seksi serta menginginkannya, Tuhan Yesus mengajarkan bahwa hal itu adalah dosa perzinahan (Matius 5:28). Hal yang sama juga dilakukan oleh Hawa, yaitu melihat buah pengetahuan yang baik dan jahat dengan bayangan bahwa buah itu enak/sedap dimakan dan memberikan “pengertian”. Kedua, setelah melihat dengan bayangan yang tidak beres, Hawa memutuskan untuk mengambil buah itu dan memakannya. Kalau di titik pertama, sesuatu dikatakan dosa jika melihat dengan motivasi/bayangan yang tidak beres, maka Hawa lebih kurang ajar lagi, karena ia berani mengambil keputusan yang lebih berdosa, yaitu mengambil buah itu dan memakannya. Permasalahan terjadi bukan ketika makan buah lalu berdosa, tetapi esensi masalah terletak pada ketidaktaatan Hawa (dan tentu Adam). Ketidaktaatan menghasilkan keputusan yang tidak taat/tidak beres. Dan lagi, ketiga, Hawa tidak mau “sendirian” berdosa, ia juga “membagikan” dosanya kepada Adam dengan memberikan buah itu kepada Adam. Itulah dosa manusia. Manusia tidak mau berdosa sendirian, ingin mengajak orang lain juga ikut berdosa. Tidak usah heran, banyak agama dan gereja yang tidak beres selalu menarik pengikut sebenarnya bukan untuk makin mengenal Tuhan dan Firman-Nya (Alkitab), malahan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan demi kesesatan. Dan yang paling parah, kesalahan Hawa diterima/disetujui oleh Adam. Begitu juga dengan dunia kita, ketika setan menawarkan filsafat postmodernisme, atheisme, hedonisme, materialisme, dualisme, dll, banyak manusia bahkan tidak sedikit orang “Kristen” tergiur dan akhirnya menyetujui filsafat-filsafat tersebut. Itu saya sebut sebagai dosa kedua. Dosa pertama adalah ketidaktaatan, dan dosa kedua adalah kelanjutan dari dosa pertama, yaitu mencoba mencari jalan keluar sendiri di luar Allah.
Kedua, dosa menghasilkan maut. Geneva Bible Translation Notes memberikan keterangan bahwa dosa yang telah dilakukan manusia pertama menghasilkan perasaan bersalah (guiltiness) dan perasaan bersalah itu menghasilkan maut (upah dosa ialah maut -> Roma 6:23). Ketika Allah menciptakan manusia, Ia menciptakan dengan amat baik (Kejadian 1:31). Tentu artinya, Ia menciptakan manusia dengan kapasitas kelengkapan (bukan kesempurnaan), berarti manusia tidak dapat mati atau memiliki hidup kekal. Tetapi sayangnya, akibat ketidaktaatan kepada Allah (dosa), manusia akhirnya harus mati, karena ia sendiri yang dengan bodohnya memutuskan hidupnya. Kematian manusia disebabkan karena dosa, sehingga jangan pernah menyalahkan Tuhan ketika kita atau orang yang kita kasihi meninggal. Itu adalah suatu konsekuensi wajar dari dosa (meskipun kematian tetap diizinkan Allah). Kalau kita kembali ke Kejadian 3, maka kita membaca bahwa setelah Adam dan Hawa berdosa, meskipun mereka masih “hidup” tetapi secara rohani mereka sudah mati (terputusnya hubungan antara Allah dengan manusia) dan nantinya, mereka akan mati secara fisik secara perlahan-lahan. Dengan kata lain, kata “maut” atau kematian mempunyai beberapa arti, yaitu pertama, mati secara fisik, yaitu ketika kita meninggal dan dikuburkan ; kedua, mati secara rohani, yaitu terputusnya hubungan antara Allah dengan manusia dan ketiga, mati kekal adalah kematian selama-lamanya di neraka. Dan dosa manusia mengakibatkan ketiga macam kematian itu. Orang-orang yang masih menyangkal dan di luar Kristus pun pasti mengalami tiga jenis kematian ini. Ini membuktikan kengerian efek dari dosa.
Ketiga, maut telah menjalar kepada semua orang karena semua orang telah berbuat dosa. Dosa mengakibatkan maut dan maut itu juga telah menjalar kepada semua orang. Kata “menjalar” sama artinya dengan merambat/meluas (International Standard Version : spread). Ketika manusia pertama harus mati akibat dosa, maka kita yang hidup di zaman postmodern pun harus mati. Dewasa ini, ada banyak cara yang dilakukan setan untuk menipu manusia postmodern agar mereka tidak merasa “pesimis” atau merasa kalah, yaitu dengan mengindoktrinasi mereka bahwa mereka itu baik, hebat, pintar, dll, lalu ada yang menggunakan pengajaran “Alkitab” untuk mendukung doktrin mereka, yaitu dengan mengatakan bahwa Allah menciptakan manusia itu dengan amat baik (tetapi sengaja tidak menekankan manusia yang amat baik itu jatuh ke dalam dosa). Tetapi herannya, semakin pintar, hebat, dll manusia postmodern, toh, lambat laun, pada saatnya mereka harus mati, karena mereka itu fana sifatnya. Inilah yang setan tidak bisa tanggulangi (tidak bisa sungguh-sungguh menghidupkan mereka yang sudah mati), karena ia tak punya hak untuk mengambil hidup mati manusia tanpa izin Allah. Mengapa kita sekarang ini harus mati dan menanggung dosa manusia pertama (disebut dosa asal/original sin) ? Apakah Allah tidak adil ? Banyak orang menanyakan hal ini, lalu disambung dengan pertanyaan lain, “Bukankah tanpa dosa asal, manusia bisa berbuat baik ?” Ini inti/esensi pertanyaan dan penyataan yang hendak ia keluarkan ketika ia bertanya bahwa mengapa kita harus memiliki dosa asal sejak lahir. Andaikata, jikalau, umpama, manusia tidak memiliki dosa asal, apakah dijamin mereka tak berbuat dosa ? TIDAK ! Mengapa ? Karena manusia itu ciptaan Allah dan terbatas serta fana sifatnya, otomatis tak mungkin menyamai Allah. Oleh karena itu, pertanyaan mengapa dosa asal itu harus kita terima harus dijawab dengan satu pengoreksian bahwa semua manusia pada hakekatnya adalah ciptaan dan mengandung bibit dosa, sehingga meskipun andaikata (tidak mugkin terjadi) dosa asal tidak ada, manusia tetap berdosa. Lalu, dari mana dosa aktual yang kita perbuat (dosa yang kita perbuat sehari-hari) ? Dari dosa asal. Jadi, logikanya adalah dosa asal mengakibatkan dosa aktual yang “dikembangkan” oleh masing-masing individu dan sebagai akibat parahnya, jika orang ini tidak bertobat, ia pasti mengalami tiga jenis kematian yang telah disebutkan di atas.
Dari mana kita bisa mengetahui tentang realita dosa ini ? Dari wahyu Allah di dalam Taurat, seperti yang dijelaskan Paulus di dalam ayat 13, “Sebab sebelum hukum Taurat ada, telah ada dosa di dunia. Tetapi dosa itu tidak diperhitungkan kalau tidak ada hukum Taurat.” Dari Taurat lah, kita mengenal dosa. Tetapi, bukankah Paulus di pasal-pasal sebelumnya mengajar bahwa kita diselamatkan bukan karena menjalankan Taurat ? Bukankah dengan kata lain Taurat tidak perlu ? TIDAK ! Taurat tetap perlu dan penting bagi orang-orang Kristen sekalipun. Mengapa ? Karena Taurat sebenarnya menelanjangi dosa manusia. Memang Paulus mengatakan bahwa sebelum Taurat ada, dosa sudah ada di dunia ini, tetapi sayangnya manusia tidak menyadari hal ini. Sehingga Taurat sebagai Hukum Allah diwahyukan sebagai cermin bagi manusia yang sok berbuat baik dan hebat itu agar mereka sadar bahwa diri mereka berdosa dan najis di hadapan-Nya. Ditambah lagi, ketika Rasul Yakobus mengatakan bahwa ketika kita tidak melakukan salah satu dari 10 Hukum Allah berarti kita tidak menaati seluruh hukum Allah (Yakobus 2:10-11) membuktikan bahwa kita itu memang tidak sempurna menjalankan apa yang diperintahkan-Nya. Atau dengan kata lain kita lebih suka memilih untuk taat kepada hukum Allah yang cocok dengan kita dan tidak taat kepada hukum Allah yang tidak cocok (atau dengan alasan “tidak masuk akal” atau “tidak relevan”) dengan kita. Lalu, pertanyaan selanjutnya mengapa Paulus mengatakan bahwa kalau tidak ada Taurat maka tidak ada dosa yang diperhitungkan ? Bukankah lebih “enak” jika tidak ada Taurat, sehingga kita tidak perlu “kerepotan” untuk memperhitungkan dosa ? TIDAK. Itu anggapan konyol. Mengapa harus ada hukum Allah ? Bukankah Allah itu Mahakasih ? Allah memang Mahakasih sekaligus Mahaadil. Atribut-atribut Allah tidak boleh dipisahkan satu sama lain, akibatnya sangat fatal. Allah yang Mahaadil adalah Allah yang membenci dosa manusia, mengapa ? Karena Ia adalah Allah yang Mahakudus yang jijik melihat dosa. Di dalam Perjanjian Lama, kita membaca berkali-kali Allah menegur dosa orang Israel karena kemunafikan mereka, yaitu mereka seolah-olah kelihatan beribadah, mempersembahkan korban, dll, tetapi hati mereka busuk, persis seperti yang Tuhan Yesus katakan, “kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran.” (Matius 23:27) Adanya hukum Allah membuktikan dan menerangi kegelapan dan dosa-dosa kita, dan itu seharusnya membuat kita sadar dan bertobat.
Bukan hanya dosa, maut pun dijelaskan Paulus di ayat 14, “telah berkuasa dari zaman Adam sampai kepada zaman Musa juga atas mereka, yang tidak berbuat dosa dengan cara yang sama seperti yang telah dibuat oleh Adam, yang adalah gambaran Dia yang akan datang.” Kata “berkuasa” dalam bahasa Yunani basileuō identik dengan kerajaan/kekuasaan raja. Dengan kata lain, kematian mau tidak mau harus dialami oleh semua orang, bahkan para nabi Allah sekalipun (kecuali atas perizinan Allah, seperti kasus Henokh—Ibrani 11:5). Inilah universalitas dosa dan universalitas maut. Universalitas maut dijelaskan Paulus tetap menguasai orang-orang yang “tidak berbuat dosa” sekalipun (atau tidak berbuat dosa dengan cara yang sama seperti yang Adam lakukan). Artinya, mereka yang juga tidak berdosa seperti Adam pun harus menanggung akibat Adam, karena yang namanya dosa tetap harus dihukum. Bagaimana dengan kita ? Kita seringkali berargumentasi bahwa kita tidak sejahat Adam, tetapi mengapa kita tetap harus menerima hukuman ? Seperti yang telah dijelaskan di atas, kita sudah mewarisi dosa asal dan dosa itu tetap harus dihukum. Jangan pernah mengukur dosa dari skala kecil atau besarnya, tetapi ukurlah dosa di hadapan Allah yang Mahakudus, maka kita baru akan sadar betapa jijik dan joroknya kita di hadapan-Nya. Jalan keluar dari masalah dosa ini sudah disebutkan sedikit oleh Paulus di ayat 14 yaitu “Dia yang akan datang.” Hal ini dijelaskan lagi secara rinci di ayat 15.
Banyak manusia dunia mencari jalan agar keluar dari jerat dosa misalnya dengan berbuat amal, menuruti syariat-syariat agama, dll, tetapi apa yang Tuhan sendiri ajarkan ? Melalui Paulus, Tuhan mengajarkan, “Tetapi karunia Allah tidaklah sama dengan pelanggaran Adam. Sebab, jika karena pelanggaran satu orang semua orang telah jatuh di dalam kuasa maut, jauh lebih besar lagi kasih karunia Allah dan karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya atas semua orang karena satu orang, yaitu Yesus Kristus.” Di sini, Paulus membandingkan sekaligus memisahkan dua hal yaitu antara karunia Allah dan pelanggaran (bahasa Yunaninya berarti penyelewengan) Adam/manusia. Karunia Allah pada kalimat pertama menggunakan bahasa Yunani charisma yang bisa berarti deliverance (from danger or passion) (=pembebasan/pelepasan dari bahaya atau nafsu {jahat}) Ini berarti karunia Allah (King James Version/KJV : free gift) menunjuk pada dibebaskannya umat pilihan Allah dari belenggu kegelapan dosa dan dibawanya mereka kepada terang-Nya yang ajaib (1 Petrus 2:9). Hal ini jelas berbeda total dari penyelewengan Adam yang membawa manusia yang diwakilinya bukan kepada terang Allah tetapi kepada kegelapan dosa (“jatuh di dalam kuasa maut”). Selain itu, kasih karunia Allah juga dilimpahkan-Nya atas semua orang. Kata semua orang lebih tepat diterjemahkan banyak orang (KJV memakai kata many, dan bukan all). Ini adalah sebuah konsekuensi logis. Kalau dosa manusia pertama membawa malapetaka bagi keturunannya, maka anugerah Allah di dalam Adam Kedua, yaitu Kristus membawa berkat bagi keturunannya (semua umat pilihan-Nya di dalam Kristus). Berkat ini adalah berkat pembenaran melalui iman (ayat 16).
Dampak dari pembedaan kasih karunia Allah vs penyelewengan Adam adalah pembenaran oleh iman vs penghukuman. Hal ini dipaparkan Paulus di ayat 16, “Dan kasih karunia tidak berimbangan dengan dosa satu orang. Sebab penghakiman atas satu pelanggaran itu telah mengakibatkan penghukuman, tetapi penganugerahan karunia atas banyak pelanggaran itu mengakibatkan pembenaran.” Di titik awal pada ayat ini, Paulus sudah menegaskan bahwa karunia Allah tidak dapat diimbangkan/disamakan dengan dosa satu orang. Di mana letak ketidakberimbangan/ketidaksamaan itu ? Dengan arti yang cukup baik, Bahasa Indonesia Sehari-hari menerjemahkan, “...Sebab sesudah satu orang melakukan pelanggaran, keluarlah vonis, "Bersalah". Tetapi sesudah banyak orang berbuat dosa datanglah hadiah dari Allah yang menyatakan, "Tidak bersalah".” Dengan kata lain, penghakiman berlaku atas satu orang yang melakukan dosa/pelanggaran/penyelewengan atau karena satu orang berdosa, maka Allah memvonis mereka “bersalah/berdosa”, tetapi pembenaran oleh iman dari Allah berlaku bagi banyak orang yang sudah berdosa atau meskipun banyak orang berdosa (tidak hanya satu orang saja), Allah dengan kedaulatan, kasih dan keadilan-Nya menyatakan bahwa mereka tidak bersalah lagi atau dinyatakan benar (righteous). Inilah letak keunggulan anugerah Allah yang jauh lebih indah dan berharga daripada apapun juga. Pembenaran oleh iman menunjukkan kasih sekaligus keadilan-Nya kepada manusia pilihan-Nya. Pembenaran melalui iman menunjukkan kasih-Nya, karena Ia mengetahui bahwa dengan usaha sendiri, manusia tak mungkin bisa mencari jalan keluar dari jerat dosa, sehingga Ia mengaruniakan Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk mati disalib demi menebus dosa manusia pilihan-Nya, sehingga mereka (umat pilihan-Nya) cukup bertobat dan beriman di dalam Kristus dengan sungguh-sungguh, mereka pasti dibenarkan dan diselamatkan. Pembenaran melalui iman menunjukkan keadilan-Nya, karena hanya umat pilihan-Nya yang menerima pembenaran oleh iman, dan sisanya secara otomatis “dibuang” oleh-Nya. Saya bisa menyimpulkan hal ini karena di ayat ini, pembenaran oleh iman dikatakan berlaku bagi banyak orang (bukan semua orang) ! Kata “banyak orang” tentu menunjuk kepada orang-orang yang telah dipilih-Nya sebelum dunia dijadikan (Efesus 1:4).
Bukan hanya pembenaran melalui iman, orang-orang pilihan-Nya juga menerima hidup sejati dan kuasa karena Kristus (ayat 17). King James Version menerjemahkan, “For if by one man's offence death reigned by one; much more they which receive abundance of grace and of the gift of righteousness shall reign in life by one, Jesus Christ.)” Selain dibenarkan melalui iman, umat pilihan-Nya juga menerima anugerah Allah yang berkelimpahan dan pemberian kebenaran keadilan yang berkuasa di dalam kehidupan kita melalui Satu Orang, Yesus Kristus. Ini menunjukkan adanya hak istimewa (privilege) kita sebagai anak-anak Allah yaitu memiliki hidup yang penuh dengan kelimpahan anugerah Allah sekaligus pemberian kebenaran keadilan. Hal ini juga diajarkan oleh Tuhan Yesus sendiri, “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” (Yohanes 10:10b). Hidup berkelimpahan jangan diartikan hidup sukses, kaya, penuh uang, dll. Itu bukan yang sedang diajarkan oleh Tuhan Yesus di dalam perikop tersebut. Hidup berkelimpahan adalah hidup yang sungguh-sungguh hidup di dalam anugerah dan pemeliharaan Allah. Orang yang hidup berkelimpahan tidak tentu hidupnya kaya, banyak uang, dll, tetapi orang yang hidup berkelimpahan adalah orang yang sungguh-sungguh mengerti hidup (hidup yang sungguh-sungguh hidup) di dalam kerangka anugerah, pemeliharaan dan kedaulatan Allah. Banyak orang dunia hidup tetapi sebenarnya mereka mati (hidup yang tidak sungguh-sungguh hidup), karena mereka hidup seperti mesin di luar kehendak dan jalan Allah. Tetapi anak-anak Allah mengerti makna hidup, karena mereka benar-benar hidup di dalam kerangka kedaulatan Allah yang memimpin hidupnya sehari-hari. Hidup yang dipimpin oleh Allah Roh Kudus adalah hidup yang berkelimpahan yang tak bisa dibandingkan dengan kekayaan materi, kekuasaan, atau apapun juga.
Sudahkah kita sadar akan dosa kita dan dampaknya ? Sudahkah kita hari ini datang dan kembali kepada Kristus ? Sudahkah kita mengalami hidup berkelimpahan di dalam Kristus ketika kita datang kepada-Nya sekarang ? Biarlah ini menjadi refleksi bagi hidup kita yang mungkin terasa kering dan hampa ketika mengikut Kristus atau mengikuti ilah-ilah di luar Kristus. Amin. Soli Deo Gloria.
No comments:
Post a Comment