09 November 2007

Roma 3:27-28 : DIBENARKAN MELALUI IMAN ATAU PERBUATAN ?

Seri Eksposisi Surat Roma :
Kasih dan Keadilan Allah-9


Dibenarkan Melalui Iman atau Perbuatan ?

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 3:27-28.

Setelah Paulus memaparkan tentang fokus Pribadi Kristus sebagai Sumber Keselamatan manusia, ia menjelaskan tentang satu prinsip penting di dalam iman Kristen yaitu umat percaya dibenarkan melalui iman dan bukan melalui perbuatan.

Menyambung ayat-ayat sebelumnya, pada ayat 27a, Paulus mengatakan, “Jika demikian, apakah dasarnya untuk bermegah? Tidak ada!” Kalimat ini dapat diparafrasekan demikian, “Setelah kita mengerti bahwa Kristus adalah Sumber Keselamatan, lalu kalau begitu, apakah kita layak untuk bermegah/berbangga diri ?” Kata “bermegah” bisa berarti berbangga diri (boasting). Mengapa Paulus harus menyinggung masalah berbangga diri atau bermegah ini ? Karena manusia seringkali suka bermegah kalau sudah melakukan sesuatu yang “berharga”. Cara mereka bermegah adalah salah satunya dengan meminta imbalan berupa “surga” setelah mereka berbuat baik atau mungkin dengan menampilkan diri di depan TV sebagai orang yang telah melakukan pekerjaan baik. Itulah wujud nyata orang berdosa yang terus merasa diri “baik”, padahal jeleknya bukan main. Sesungguhnya jika mereka yang selalu mengklaim diri “berbuat baik” dibandingkan dengan Kristus yang Sumber Kebaikan, mereka pasti di titik pertama kalah total, tetapi herannya mereka merasa tetap “berbuat baik”. Di titik pertama, Paulus langsung menjawab bahwa kita tidak layak untuk bermegah apapun, karena kita itu manusia berdosa yang tidak layak apapun.

Selanjutnya, Paulus menspesifikkan wujud bermegah itu dengan mengatakan, “Berdasarkan apa? Berdasarkan perbuatan? Tidak, melainkan berdasarkan iman!” Kalau kita kembali melihat konteks penulisan surat Roma, maka kita dapat mengetahui bahwa Paulus menuliskan suratnya kepada orang-orang Yunani dan Yahudi di Roma. Budaya Yunani yang menguasai Roma membanggakan diri dengan filsafat, seni, dll yang mereka miliki, sampai-sampai banyak dari mereka menolak Kristus yang tersalib karena itu tidak masuk akal (1 Korintus 1:22b). Budaya Yunani kalau saya boleh aplikasikan adalah gambaran “theologia” liberal atau yang memakai nama kerennya sekarang : “theologia” religionum (social “gospel”) yang menyangkali inti keKristenan yaitu finalitas Kristus dengan dalih menghormati agama lain. Mereka tidak ada bedanya dengan orang-orang Yunani yang mengilahkan rasio, sehingga sesuatu yang di luar rasio itu tidak masuk akal. Padahal, sebenarnya rasio merekalah yang terbatas yang tidak mampu menampung sesuatu yang di luar/melampaui (beyond) rasio. Sedangkan, budaya Yahudi di mana Paulus dahulu ikut terlibat di dalamnya adalah sebuah budaya yang berdasarkan Taurat, tetapi karena terlalu legalistik, mereka akhirnya berpatokan pada perbuatan baik karena melakukan Taurat, sehingga mereka menetapkan aturan-aturan yang terlalu kaku bahkan ada yang menambahi Taurat. Selain itu, mereka juga adalah orang-orang yang menghendaki tanda-tanda mukjizat sebagai bukti penyertaan Tuhan. Mereka berpikir bahwa dengan melakukan serangkaian hukum Taurat, mereka diperkenan oleh Tuhan, padahal di dalam Perjanjian Lama sendiri, Allah sudah berfirman bahwa Abraham dibenarkan oleh Allah jauh sebelum Taurat diwahyukan. Mereka juga menghendaki sosok Mesias adalah sosok yang melepaskan mereka dari penderitaan dan penjajahan Romawi. Sehingga tidak heran, orang-orang Yahudi menolak Kristus karena Kristus tidak dapat memuaskan hasrat mereka yang menghendaki tanda-tanda mukjizat (1 Korintus 1:22a). Orang-orang Yahudi kalau saya boleh aplikasikan adalah gambaran “theologia” mukjizat/kemakmuran yang dianut oleh mayoritas gereja Karismatik/Pentakosta yang menekankan tanda-tanda mukjizat sebagai satu-satunya wujud kehadiran Allah. Sehingga mereka “beriman” bukan di dalam Allah, tetapi di dalam tanda-tanda mukjizat Allah. Tidak heran, ketika mereka sakit, gagal, miskin, dll, mereka akhirnya memberontak dan kecewa terhadap Allah karena Allah yang ada di dalam pikirannya adalah sosok Allah yang seperti Superman yang selalu memenuhi keinginannya sendiri. Mereka juga adalah orang-orang yang terlalu legalis, karena mementingkan karunia-karunia “roh” seperti bahasa roh, dll, sebagai tanda dipenuhi “roh kudus” dan masuk “surga”. Bagi mereka, meskipun percaya Alkitab dan Kristus, mereka lebih mempercayai adanya karunia “roh” atau adanya “wahyu-wahyu” baru yang melebihi Alkitab. Kedua macam orang ini dengan kedua budaya mereka menunjukkan bahwa ketika mereka bermegah diri atau berbangga atas apa yang mereka telah kerjakan akhirnya tidak membuahkan hasil apapun dan tidak memperkenan Allah.

Oleh karena itu, Paulus langsung mengajarkan bahwa manusia dibenarkan melalui iman (terjemahan King James Version mengartikannya hukum iman/law of faith). Dibenarkan melalui iman berarti manusia pilihan-Nya yang berdosa yang tidak layak ini dibenarkan melalui anugerah Allah yang memberikan iman di dalam Kristus, sehingga mereka dapat beriman dan iman mereka lah yang diperkenan Allah. Mengapa manusia dibenarkan melalui iman ? Karena iman melampaui (beyond) rasio dan tanda-tanda mukjizat/lahiriah yang merupakan hal-hal fenomenal. Allah kita bukanlah Allah yang mau ditipu oleh pengalaman fenomenal sesaat, seperti rasio (mewakili “theologia” liberal) dan tanda-tanda mukjizat (mewakili mayoritas “theologia” Karismatik/Pentakosta) ataupun legalistik. Di zaman Perjanjian Lama, Allah melalui nabi Amos memperingatkan bahwa Ia tidak suka akan korban-korban perayaan Israel karena mereka munafik dan berusaha “menyogok” Allah, padahal kelakuan mereka bejat. Ketika memilih pengganti Saul pun, Allah menyelidiki hati orang yang akan dipilih-Nya menjadi raja, dialah Daud. Mari kita memiliki pikiran seperti pikiran Allah yang tidak mementingkan hal-hal fenomenal tetapi hal-hal esensial sebagai inti keKristenan. Apakah hal-hal esensial itu ? Yaitu iman. Jadi, kita dibenarkan bukan karena “I do...” tetapi “I believe...” Ketika kita berkata, “I believe...”, berarti di saat yang sama, kita mengaku bahwa kita tak layak untuk berbuat baik apapun sehingga kita dapat dibenarkan di hadapan Allah. Itulah yang Allah inginkan, karena kita sesungguhnya sudah berdosa dan tak layak mengaku diri “berbuat baik”. Karena itu, konsep overman (F. Nietzsche menyebutnya Übermensch) adalah suatu utopia yang dihina dan ditolak oleh Allah. Dengan kata lain, ketika kita beriman, berarti kita tidak sedang membanggakan diri tetapi merendahkan diri di hadapan Allah sambil menerima anugerah-Nya yang membenarkan kita. Oleh karena itu, Geneva Bible Translation Notes menafsirkan ayat ini dengan mengajarkan, “...The result of justification is the glory of God alone: therefore we are justified by faith without works:…” (Hasil/akibat dari pembenaran adalah kemuliaan Allah saja : oleh karena itu kita dibenarkan melalui iman bukan perbuatan:...) Jadi, ketika kita bisa beriman, itu bukan inisiatif kita sehingga kita bisa berbangga diri. Itu ajaran iblis dan melawan Alkitab. Kalau benar, ketika kita beriman, itu inisiatif kita, sehingga tanpa itu, Allah “seolah-olah” kewalahan lalu murka, maka kita sedang mengilahkan manusia dan menghina Allah. Dengan kata lain, “theologia” Arminianisme dari Pelagianisme maupun Semi-Pelagianisme pada zaman Augustinus adalah “theologia” yang melawan Alkitab sekaligus melawan kedaulatan Allah yang diberitakan di dalam Alkitab dan meninggikan manusia (humanisme).

Selanjutnya, di ayat 28, Paulus langsung menyimpulkan pengajarannya, “Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat.” Kata “yakin” TIDAK sama dengan percaya, karena kata ini dalam bahasa Yunaninya bisa berarti menyimpulkan (conclude), berpikir (think), mengerti, dll. Dalam ayat ini, Paulus langsung membandingkan sekaligus membedakan dua macam pembenaran. Pembenaran sejati yang Allah kerjakan adalah pembenaran melalui iman, sedangkan “pembenaran” palsu dari agama-agama palsu duniawi adalah pembenaran melalui jasa baik, salah satunya melakukan hukum Taurat. Apa artinya iman di dalam ayat ini ? Kata “iman” di dalam ayat ini di dalam bahasa Yunani, pistis bisa berarti reliance upon Christ for salvation (bergantung pada Kristus untuk keselamatan) atau secara umum berarti moral conviction of religious truth or truthfulness of God (pertobatan moral akan kebenaran agama atau kebenaran Allah). Di sini, kita belajar dua macam arti iman, yaitu secara umum adanya pertobatan moral, dan kedua, secara khusus bergantung pada Kristus. Pertama, iman bukan sesuatu yang tidak realistis, tetapi iman adalah realita hidup yang melampaui rasio manusia, di mana salah satu contohnya adalah pertobatan moral. Ini yang dimengerti oleh agama-agama dunia, yaitu ketika manusia beriman, maka moralnya berubah atau ada pertobatan moral. Di dalam theologia Reformed dan mengutip pernyataan dari Pdt. Dr. Stephen Tong, hal ini disebut respon manusia terhadap wahyu umum Allah (penyataan diri Allah kepada semua orang tanpa kecuali) dalam bentuk hati nurani manusia (Pdt. Dr. Stephen Tong menyebutnya sebagai iman dasar/natural faith). Apakah iman dasar ini cukup ? TIDAK. Iman dasar ini tidak mungkin layak memenuhi syarat/kualifikasi seseorang dibenarkan di hadapan Allah. Sehingga, iman dalam pengertian dua lah yang layak memenuhi kualifikasi itu, yaitu bergantung pada Kristus. Iman sejati bukan bergantung pada kehebatan manusia, tetapi pada Kristus. Dengan kata lain, orang yang memiliki iman sejati berarti orang itu berani menyerahkan seluruh hidupnya kepada Kristus dan menTuhankan Kristus di dalam hidupnya (mengutip pernyataan dari Pdt. Sutjipto Subeno). Paulus yang menulis surat Roma ini sudah membuktikannya. Karena sudah beriman sungguh-sungguh di dalam Kristus, ia rela menderita dan bahkan mati demi memberitakan Injil. Petrus pun demikian rela disalib terbalik demi memberitakan Injil Kristus. Hal serupa dengan Yohanes rela diasingkan karena mengikut Kristus dan memberitakan Injil-Nya. Orang yang berani menTuhankan Kristus dan tidak lagi menghiraukan hidup mati/untung rugi yang diperolehnya berarti orang itu sudah beriman sejati, kalau belum, sangat perlu diragukan iman macam apa yang dimilikinya ? Oleh karena itu, kita perlu belajar dari Paulus yang dengan berani tanpa ragu mengatakan, “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.” (Filipi 1:21) Di dalam penderitaan sekalipun, Paulus juga berani mengucapkan imannya, “Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu; karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan.” (2 Timotius 1:12) Iman inilah yang mendorong dan menguatkan para rasul Kristus dan juga kita sebagai anak-anak sekaligus hamba-hamba-Nya dalam menunaikan mandat yang dipercayakan kepada kita. Kita percaya bahwa Kristus dan Roh Kudus hadir dan menyertai kita selama-lamanya bahkan di dalam penderitaan yang berat sekalipun.

Karena kita percaya, maka kita dapat memiliki hikmat sejati dan mendapatkan tanda-tanda mukjizat yang terjadi kehendak-Nya. Di sini, saya membagikan dua konsep, yaitu konsep pertama, iman sebagai utama dan kedua, iman sebagai hal yang dasar. Pertama, iman sebagai utama, berarti bukan hal-hal fenomenal yang terpenting yang diperkenan Allah atau memperkenan Allah, tetapi iman yang merupakan hal esensial yang terpenting di dalam keKristenan. Oleh karena itu, Dr. Loraine Boettner di dalam bukunya Reformed Faith (Iman Reformed) langsung mengidentikkan keKristenan dengan agama yang berdasarkan iman. Ibrani 11:1 mengajarkan tentang definisi iman, “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” Ibrani 11:6a juga memberikan penjelasan tentang keutamaan iman, “Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah.” Lalu, kalimat ini dilanjutkan, “Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia.” Iman adalah hal yang utama karena iman adalah percaya di dalam Allah bukan di dalam diri. Kedua, iman juga hal yang mendasar. Artinya, iman ini merupakan dasar sehingga kita dapat mengerti, bertindak, dll. Orang Kristen yang beriman tidak perlu meniadakan fungsi rasio (Ibrani 11:3). Pdt. Dr. Stephen Tong mengajarkan bahwa orang Kristen harus rasional, tetapi tidak boleh rasionalis. Apa bedanya ? Orang yang rasional adalah orang yang mempergunakan rasio semaksimal mungkin, tetapi orang yang rasionalis berarti orang yang terlalu memberhalakan/mengilahkan rasio sebagai satu-satunya sumber “kebenaran”. Iman Kristen tidak pernah meniadakan rasio, karena Alkitab sendiri mengajarkan bahwa Allah menciptakan dan mencerahkan rasio manusia (Lukas 24:45 ; Kisah Para Rasul 26:25). Sebaliknya, iman Kristen sebagai dasar untuk terus mengaktifkan rasio dalam menambah pengertian tentang pengenalan kita terhadap Allah. Iman Kristen seharusnya seperti yang diajarkan Paulus, “sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan, tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.” (Efesus 4:13-15) Iman Kristen sejati berusaha terus-menerus ingin mengenal Allah di dalam Alkitab melalui studi doktrinal Alkitab dan tentu saja untuk belajar Alkitab, orang Kristen harus mempergunakan rasio yang didasarkan pada iman yang beres. Dan lagi, orang Kristen mempergunakan rasio juga untuk hal-hal di luar rohani, misalnya politik, ekonomi, dll, tetapi tetap memakai sudut pandang Alkitab untuk mengkritisi semua hal jasmani ini. Itulah rasio orang Kristen yang beres yang sudah dikuduskan oleh Roh Kudus supaya tunduk kepada Kebenaran Allah di dalam Alkitab. Orang Kristen yang masih mengakui diri “Kristen” tetapi enggan memakai Alkitab sebagai sumber Kebenaran, berhati-hatilah terhadap orang ini karena mungkin saja orang ini belum atau bahkan bukan orang Kristen sungguh-sungguh karena rasionya masih diracuni oleh dosa dan belum dikuduskan oleh Roh Kudus. Rasio yang beres pasti dihasilkan dari iman yang beres, seperti kata Dr. Francis A. Schaeffer yang mengajarkan, “I do what I think and I think what I believe.” (aku melakukan apa yang kupikirkan dan aku memikirkan apa yang kupercaya). Kepercayaan seseorang mempengaruhi cara dia berpikir. Mengapa Dan Brown menuliskan buku The Da Vinci Code ? Apakah itu hak asasinya yang tidak boleh diganggu gugat ? TIDAK. Dan Brown menulis buku gila itu didasarkan pada pemikirannya yang tidak beriman atau beriman kepada atheisme atau skeptisisme yang meragukan kebenaran Alkitab. Meskipun dunia tidak bisa menggugat atau menghakiminya, tetapi ingatlah, suatu hari kelak, jika dia tidak mau bertobat, dia pasti dihakimi oleh Allah. Hak asasi manusia memang dapat dipegang dan diagungkan Dan Brown (dan manusia-manusia berdosa) selama di dunia, tetapi tidak berlaku di dalam kekekalan kelak. Kalau si Brown gila itu menulis buku berdasarkan pemikirannya yang skeptis dan atheis, adalah suatu kegilaan besar bagi orang “Kristen” jika mempercayai keotentikan bukunya dan bahkan sampai mengatakan bahwa setelah membaca bukunya, baru dapat menemukan “Tuhan” (bukan setelah membaca Alkitab, menemukan Tuhan) ! Lalu, iman itu hal yang mendasar sehingga kita bisa mengharapkan tanda-tanda mukjizat dari Allah. Mukjizat yang supranatural misalnya kesembuhan Ilahi, dll, masih berlaku sampai sekarang ini, karena Allah tidak berubah dari dahulu, sekarang sampai selama-lamanya (berkaitan dengan keberadaan, kasih, keadilan, dan kuasa-Nya). Tetapi kita jangan berhenti sampai di sini, karena itu sangat berbahaya. Memang benar bahwa mukjizat yang supranatural bisa diberikan setelah kita beriman, tetapi “beriman” dalam pengertian apa yang ada di dalam pikiran kita ? Banyak orang Karismatik/Pentakosta mengartikan “beriman” identik dengan Berpikir Positif atau mengklaim sesuatu (Sebut dan Tuntutlah !). Itu bukan iman, tetapi percaya diri. Seperti yang telah saya jelaskan di atas, iman berarti bergantung pada Kristus (bukan pada diri). Sehingga, ketika kita beriman, kita BUKAN sedang mengagungkan atau percaya diri, tetapi percaya di dalam Allah yang tentu saja berarti percaya di dalam kehendak-Nya yang berdaulat. Oleh karena itu, ketika kita sakit dan berdoa meminta kesembuhan Ilahi, kita beriman bahwa Allah sanggup/mampu menyembuhkan penyakit kita karena Allah itu Mahakuasa, dan di sisi lain di saat yang sama, kita pun harus mempercayai bahwa Allah yang Mahakuasa itu juga Allah yang belum tentu mau mengabulkan apa yang kita minta, karena kehendak-Nya berbeda dengan kehendak kita. Suatu pengajaran yang baik sekali dari Pdt. Dr. Stephen Tong yang menggabungkan antara beriman di dalam Allah yang Berdaulat dengan beriman di dalam Allah yang Mahakuasa. Banyak orang Karismatik/Pentakosta hanya mau beriman di dalam Allah yang “Mahakuasa” dan bukan Allah yang Berdaulat. Sebaliknya, banyak gereja Protestan liberal terlalu menekankan kedaulatan Allah, melupakan kuasa supranatural Allah/Allah yang Mahakuasa. Kedua ekstrim ini tidak dibenarkan Alkitab ! Kedua hal ini harus digabungkan karena kedua hal ini merupakan prinsip Alkitab. Bacalah kejadian Sadrakh, Mesakh dan Abednego di dalam Alkitab untuk mendapatkan adanya keseimbangan dan perpaduan dua konsep ini. Terakhir, iman sejati merupakan dasar untuk kita berbuat/bertindak dan setia kepada Allah. Ibrani 11:4 menjelaskan bahwa karena iman, Habel mempersembahkan korban yang lebih baik kepada Allah. Di ayat 8 di pasal yang sama, karena iman, Abraham taat untuk meninggalkan Urkasdim dan pergi ke tempat yang Tuhan akan tunjukkan kepadanya pada waktu itu. Di ayat 17, karena iman, Abraham berani mempersembahkan Ishak. Di ayat 24-25, karena iman, Musa berani tidak mau disebut anak Puteri Firaun, karena ia lebih suka menderita ketimbang hidup berfoya-foya. Selanjutnya, di dalam Ibrani 11 sampai dengan ayat 40, semuanya menceritakan tentang iman sebagai dasar yang menguatkan mereka berani bertindak dan setia kepada Allah dan panggilan-Nya. Meskipun harus menanggung aniaya berat, iman membuat Paulus, Petrus, dll, bahkan para nabi di dalam Perjanjian Lama tetap berani memberitakan Firman-Nya. Iman lah yang menguatkan mereka ketika mereka berada di dalam penderitaan sekalipun, karena mereka percaya di dalam Allah yang Berdaulat yang selalu menyertai dan beserta dengan mereka selama-lamanya.

Setelah kita merenungkan tentang dibenarkan melalui iman dan pengertian iman, maukah kita hari ini membuka hati dan pikiran lalu menerima Kristus sebagai Tuhan dan Raja di dalam hidup kita ? Adakah kita masih mendua hati dengan mengorbankan Kristus dan menggantinya dengan filsafat-filsafat dunia atheis yang mencengkeram hati kita ? Jika kita masih berlaku demikian, bertobatlah dan kembalilah hanya kepada Kristus, karena hanya Dia satu-satunya Sumber Keselamatan yang sangat dapat layak dipercayai. Amin. Soli Deo Gloria.

No comments: