27 September 2007

Roma 3:10-12 : BERDOSA TERHADAP ALLAH-1

Seri Eksposisi Surat Roma :
Kasih dan Keadilan Allah-3


Berdosa Terhadap Allah-1

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 3:10-12.

Setelah Paulus memaparkan tentang tiga sifat dosa, maka ia mulai menguraikan masing-masing dosa tersebut mulai ayat 10 sampai dengan 18 yang meliputi dosa secara pikiran, perasaan, perkataan dan berakhir pada dosa tindakan. Khusus pada bagian ini, saya hanya akan membahas hanya tiga ayat, mulai ayat 10-12 yang berbicara mengenai presuposisi dasar dari dosa itu sendiri, di mana semua dosa di dalam ketiga ayat ini adalah berdosa kepada Allah, bukan berdosa biasa (hanya sekedar kelemahan manusia, dll). Setiap dosa pada intinya bukan sekedar dosa biasa seperti orang-orang postmodern paparkan, tetapi lebih menunjuk kepada dosa kepada Allah, karena dosa sebenarnya adalah pelarian dari kehendak Allah atau ketidaksetiaan kepada-Nya dan perintah-Nya. Mari kita melihat wujud-wujudnya.

Ayat 10 dimulai dengan pernyataan, “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak.” International Standard Version (ISV) menerjemahkan, “Not even one person is righteous.” (= “Tidak satu orang pun yang baik adil.”) Terjemahan ISV memang hampir sama dengan banyak terjemahan Inggris lainnya dan Indonesia, tetapi terjemahan ini dirangkum di dalam satu pernyataan yang tidak diulang yaitu tidak satu orang pun yang baik adil/benar, sedangkan banyak terjemahan (KJV, Terjemahan Baru LAI, ESV) sama-sama menggunakan pengulangan, yaitu, “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak.” Ayat 10 ini hendak menunjukkan kepada kita bahwa tidak ada seorang pun yang tidak berbuat dosa. Ini sifat dosa pertama yang Paulus telah ungkapkan di ayat 9, yaitu dosa yang universal, tidak peduli pria wanita, tinggi pendek, besar kecil, orang tua maupun anak-anak, dll, semua orang sudah berdosa atau tidak ada yang benar. Apa yang dimaksud dengan kata “benar” di sini ? Kata “benar” dalam ayat ini di dalam terjemahan Inggris adalah righteous, di mana bahasa Yunaninya dikaios yang bisa berarti baik adil. Kalau kita melihat referensi ayat ini yaitu di dalam Mazmur 14:1-3 (khususnya ayat 3b) dan Mazmur 53:2-4 (khususnya ayat 4b), maka kata “benar” berarti berbuat baik, di mana kata ini dalam bahasa Ibrani juga bisa berarti baik, benar, adil. Selain dosa yang bersifat universal, ayat ini juga bisa menandakan ketidakadaan standar benar bagi manusia. Ketika Paulus mengajarkan bahwa tidak ada yang benar, tentu saja ia juga mengajarkan bahwa orang yang tidak benar itu sendirinya tidak mengenal apa itu benar/kebenaran (standar kebenaran). Mengapa demikian ? Standar kebenaran sudah dicemari oleh dosa manusia ketika manusia pertama (Adam dan Hawa) mulai mengganti otoritas Allah sebagai Sumber Kebenaran dengan dirinya yang menempatkan iblis sebagai “sumber kebenaran”. Dosa mengakibatkan standar kebenaran menjadi pudar dan kehilangan arah. Tidak heran, karena kehilangan standar ini, manusia mulai mencari “standar-standar” lain yang dirasa mampu memenuhi kebutuhan akan keterhilangan makna hidup yang dahulu diisi oleh Kebenaran Allah. Apakah “standar-standar” itu ? Bisa berupa rasio, materi, seks, kehebatan diri, kekuasaan, dll. Semua “standar” ini akhirnya mengakibatkan mereka melakukan apapun tanpa pertanggungjawaban dan pengertian yang beres, lalu mereka menyangka bahwa dengan berbuat baik mereka sudah “dibenarkan” Allah. Itu semua adalah akibat kehilangan standar kebenaran. Bagaimana dengan kita ? Apakah kita sebagai orang Kristen sudah mengenal Kebenaran ? Ataukah kita masih tidak mengenal Kebenaran meskipun sudah berpuluh-puluh tahun mengikut Kristus apalagi melayani Tuhan ? Jika kita belum mengenal Kebenaran Allah di dalam Alkitab, maka belajar berusahalah mengenal-Nya karena Ia adalah Sumber Kehidupan dan Kebenaran bagi kita yang tersesat. Semakin kita meniadakan-Nya, tidak berarti hidup kita semakin beres, sebaliknya hidup kita semakin tak bernilai, tersesat dan akhirnya binasa.

Salah satu “standar-standar” palsu yang manusia buat adalah mengilahkan rasio sebagai “kebenaran”. Mereka pikir rasio adalah segala-galanya, padahal Allah melalui Paulus berkata, “Tidak ada seorangpun yang berakal budi,” (Roma 3:11a) Terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) mengartikannya, “tidak seorang pun yang mengerti”. Kata “mengerti” dalam BIS lebih tepat dengan terjemahan bahasa Inggris : understand (mengerti). Kalau kita coba menelusuri lebih lanjut di dalam Mazmur 14:1-4 (khususnya ayat 2) dan Mazmur 53:2-4 (khususnya ayat 3), kita akan mendapati satu fakta yang lebih mendalam, yaitu Allah melihat dari Surga untuk mengamati apakah ada anak-anak manusia yang berakal budi dan mencari Allah. Ini berarti apa yang manusia anggap di dalam rasio sebagai “kebenaran”, bagi Allah, itu suatu kesia-siaan, karena dari Surga Allah memandang ke bawah untuk mencari manusia yang berakal budi, tetapi ditutup dengan kesimpulan bahwa mereka hidup telah menyimpang dari jalan-Nya. Ini seharusnya menjadi peringatan bagi kita yang terus mendewakan rasio kita. Rasio memang dianugerahkan oleh Allah untuk dipakai memuliakan Allah, tetapi rasio manusia tetap terbatas, sehingga apapun yang melampaui rasio biarlah iman yang berbicara dan mendahuluinya. Mujizat memang tidak dapat dipikirkan secara rasio tetapi itu bukan illogical (tidak masuk akal), tetapi di luar kemampuan akal manusia. Mengapa Allah mengatakan bahwa tidak ada orang yang mengerti sedangkan banyak dari mereka selalu menganggap diri serba mengerti apapun ? Mereka dianggap oleh Allah tidak berakal budi/mengerti karena pengertian dan akal budi mereka dibangun di atas presuposisi superioritas manusia dan kehebatannya yang melawan Allah. Pengertian yang sejati dibangun bukan di luar Allah dan Firman-Nya, tetapi di atas dasar Firman Allah, karena takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan (Amsal 1:7a). Kata “takut” ini bukan sekedar perasaan, seperti kita “takut” setan di malam hari. “Takut” di sini menunjukkan suatu sikap hati dan pikiran kita yang hanya berfokus kepada Allah dan Firman-Nya, Alkitab. Marilah kita berusaha membangun pengertian di atas dasar Alkitab, karena itulah pengertian yang Allah kehendaki.

Apakah akibat dari orang yang tidak mengerti/berakal budi ? Akibatnya adalah mereka menjadi pragmatis dan atheis, masa bodoh apakah ada Allah atau tidak. Mengapa bisa demikian ? Orang yang tidak mengerti Kebenaran tentu akan masa bodoh/cuek apakah Kebenaran itu ada, karena bagi orang itu, yang penting adalah bagaimana menikmati hidup seenak dan sepraktis mungkin (tanpa mempedulikan eksistensi Allah, bahkan kalau perlu meniadakan eksistensi Allah itu lebih “enak”, karena baginya “Allah” itu sangat “mengganggu” dengan beragam peraturan yang “mengikat”nya). Tepatlah, apa yang Allah katakan melalui Paulus, “tidak ada seorangpun yang mencari Allah” (ayat 11b). Kata “mencari” dalam bahasa Yunani bisa berarti menyembah (worship). Seperti yang telah saya katakan, seorang yang sudah tidak berakal budi, tentu hidup pragmatis, masa bodoh dengan keberadaan Allah, dan tentunya orang tersebut tidak perlu mencari/menyembah Allah. Itulah kondisi semua manusia berdosa. Tetapi sayangnya realita ini tidak disukai oleh manusia. Sambil berdosa, manusia berupaya membangun suatu agama sebagai suatu “pencarian” akan “Allah”. Jadi, di dalam agama, manusia bukan mencari penyelesaian dari dosa, tetapi malahan menambah dosa dengan mengatakan “yang bukan Allah” sebagai “Allah” bahkan tidak jarang yang mengilahkan dirinya sendiri. Kalau kita kembali mereferensikan ayat ini dengan Mazmur 14:2 dan Mazmur 53:3, maka sudah jelas perkataan bahwa tidak ada seorangpun yang mencari Allah itu bukan dilontarkan oleh manusia, tetapi oleh Allah sendiri. Allah yang sejati berfirman bahwa tidak ada seorang pun yang mencari/menyembah-Nya. Ini berarti ada suatu konfirmasi dari Allah sendiri tentang realita kebobrokan manusia yang bukan mencari perkenanan Allah, tetapi malahan membuat Allah murka (bandingkan Mazmur 14:1 ; 53:2). Hal serupa juga terjadi dalam perjalanan bangsa Israel. Mereka sudah memiliki Taurat, lalu mereka sombong, beberapa raja mereka dikisahkan menyelesaikan persoalannya tanpa mengandalkan Allah. Hal ini terus berlangsung di zaman Tuhan Yesus, ketika Kristus menyatakan Kebenaran, bukan orang atheis yang menolak-Nya, tetapi justru para ahli Taurat/agamawan yang menolak dan bahkan menyalibkan-Nya. Apakah dengan menyelidiki Taurat, sebenarnya para ahli Taurat sedang mencari dan menyembah Allah? TIDAK. Mereka sebenarnya sedang mencari celah-celah agar Taurat dapat dijadikan hukum bagi orang-orang Yahudi lalu membuat pengecualian bagi para ahli Taurat sendiri. Apakah kita juga berlaku demikian dengan mencari ayat-ayat Alkitab yang cocok tanpa mengerti keseluruhan Alkitab ? Jika kita berlaku demikian, kita tidak ada bedanya dengan para ahli Taurat dan kita tidak sedang mencari/menyembah Allah, tetapi sedang memperalat Allah. Marilah kita mengintrospeksi hal ini, apakah kita sedang mencari/menyembah Allah atau kita menyembah diri dan memperalat Allah ?

Seorang yang tidak menyembah/mencari Allah pastilah hidupnya tidak berarah. Tepatlah seperti yang Paulus katakan di ayat berikutnya, yaitu ayat 12a, “Semua orang telah menyeleweng,” BIS mengartikannya “sudah menjauhkan diri dari Allah ;” Terjemahan Yunani bisa diartikan menghindari (avoid) atau menurun dari standar kekudusan/kesalehan (decline {from piety}). Hidup yang tidak berarah dari orang yang tidak menyembah Allah pastilah orang itu di dalam hidupnya selalu menjauhkan dirinya dari Allah atau “membunuh” Allah, persis seperti yang dilakukan oleh F. Nietzsche dengan ide gilanya “DOG (Death of God) Theology” yang mengajarkan bahwa “Allah” sudah “dibunuh mati” oleh dirinya bukan dengan senjata tetapi dengan pikirannya sendiri. Inilah kegilaan manusia yang berdosa. Mengapa mereka menjauhkan diri dari Allah ? Mereka melakukan hal itu karena mereka menganggap bahwa diri merekalah “Allah” yang hebat, superior, dll. Hal ini pertama kali dilakukan oleh Adam dan Hawa yang menyeleweng atau menjauhkan diri dari Allah ketika iblis menawari mereka untuk makan buah pengetahuan yang baik dan jahat. Mereka menganggap diri mereka yang berhak menentukan manakah yang benar, Allah atau iblis. Dan ketika mereka bertindak demikian, maka tentulah iblis yang mereka pilih, mengapa ? Karena iblis lah yang lebih cocok dengan keinginan berdosa mereka. Bangsa Israel berlaku hal yang tidak jauh berbeda. Mereka setia kepada Allah di kala penderitaan menyerang dan ketika tidak ada penderitaan, mereka berubah setia dan menyembah ilah-ilah lain. Ketika mereka menyembah ilah lain, mereka sedang menempatkan diri mereka sebagai yang superior dan menjauhkan diri dari Allah. Mereka hanya mau Allah memenuhi keinginan mereka dan ketika Allah tidak mengabulkan permintaan mereka, mereka marah dan bersungut-sungut. Ini jugalah kehidupan orang-orang di abad postmodern yang serba pragmatis, dualis, humanis dan materialis. Iman tidak lagi menjadi hal yang paling penting dan mendasar, tetapi hal-hal sekuler lah yang menjadi “ilah” di dalam hidup mereka. Tidak heran, seorang dosen “Kristen” menyatakan bahwa religion dan science tidak ada hubungannya (pengaruh dualisme Plato). Apakah ketika mereka menganggap diri hebat, superior dan tidak membutuhkan Allah dengan menjauhkan diri dari-Nya, berarti mereka memang benar-benar hebat, berguna, dll ? TIDAK.

Orang yang selalu menganggap diri hebat, pandai, superior, dll, di mata Allah, “mereka semua tidak berguna,” (ayat 12). Kata “tidak berguna” di dalam terjemahan BIS adalah “sesat”. Sebenarnya di mata Allah, orang dunia yang selalu menganggap diri hebat adalah tidak ada apa-apanya atau tidak berguna atau tidak layak (worthless). Mengapa Allah mengatakan “tidak berguna” bagi mereka yang sombong atau menyombongkan diri ? Karena Allah menghendaki kita bersikap rendah hati. Bagi Allah, seorang yang rendah hati lah yang disebut berbahagia (Matius 5:5 ; BIS). Pemikiran Allah ini tentu berbeda dari pemikiran manusia di dalam memandang masalah konsep nilai. Manusia selalu menganggap diri orang baik kalau mereka telah berbuat baik, tetapi bagi Allah, manusia yang baik adalah manusia yang menganggap diri tidak baik yang perlu proses pembenaran terus-menerus. Perbedaan ini bukan perbedaan biasa, tetapi perbedaan yang signifikan, di mana ketika kita memang baik tetapi tidak berani mengatakan diri orang baik berarti kita rendah hati dan ingin terus-menerus diproses oleh Tuhan, sehingga justru menunjukkan kebaikan kita itu sejati. Jika tidak, lalu kita menggembar-gemborkan diri sebagai orang baik lalu layak masuk Surga karena perbuatan baik kita, di titik pertama, kita sudah tidak baik, karena orang baik bagi Allah adalah orang yang dinilai Allah mau berada di dalam proses pembenaran dan pengudusan terus-menerus yang dikerjakan oleh Roh Kudus. Tanpa itu, jangan harap ada orang disebut Allah sebagai orang baik. Orang dunia yang selalu menganggap diri hebat, baik, dll, bukan hanya dikatakan tidak berguna, tetapi juga SESAT. Mengapa SESAT ? Karena mereka ingin mencari apa yang ingin mereka capai tanpa mempedulikan Allah. SESAT di mata Allah berarti tidak berada di dalam jalur yang Allah tetapkan. Bagaimana dengan kita ? Apakah kita juga menganggap diri berguna lalu kita menjadi sombong ? Berhati-hatilah, ketika kita menganggap diri “berguna”, justru di situlah, Allah menganggapnya tidak berguna. Biasakanlah diri kita untuk menempatkan diri sebagai hamba yang rendah hati yang menganggap diri hanya sebagai sarana Tuhan bukan Tuhan sendiri, sehingga apapun yang kita kerjakan adalah untuk memuliakan Allah, dan bukan memuliakan diri.

Orang yang tidak berguna atau sesat akan berakibat orang itu mutlak tidak dapat bisa berbuat baik, seperti yang dikatakan Paulus, “tidak ada yang berbuat baik, seorangpun tidak.” Kata “berbuat baik” di dalam terjemahan BIS adalah “berbuat yang benar”. Apakah ada perbedaan dua kata ini ? Tentu. Orang dunia banyak mengklaim diri sudah berbuat baik, padahal benarkah “baik” menurut standar mereka adalah BAIK menurut standar Allah ? Jadi, lebih tepat mengatakan bahwa berbuat benar lebih beres ketimbang berbuat baik. Berbuat benar pasti berbuat baik, tetapi berbuat “baik” belum tentu berbuat benar. Bagi mereka yang menolak menyembah Allah dan yang sesat jalannya tentu tidak suka berbuat benar, karena bagi mereka, kebenaran tidak memiliki signifikan apapun. Bagaimana dengan kita ? Apakah kita sebagai orang yang telah ditebus oleh Kristus juga tidak bertindak apapun yang benar ? Sudah seharusnya kita sebagai anak-anak pilihan-Nya melakukan apa yang benar di mata-Nya karena itulah yang dikehendaki-Nya.

Soli DEO Gloria. Solus Christus.

No comments: