oleh : DR. ANITA PURNOMOSARI
Pada bulletin Logos edisi 1, kita telah membahas bahwa Pemerintah Indonesia akan mengganti kurikulum 2004 yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Namun pada 15 Juli 2006 Pemerintah mengeluarkan statement bahwa sekolah dipersilahkan mengembangkan kurikulum sendiri. Guru diberi kebebasan untuk mengembangkreasi pembelajaran sesuai kondisi dan potensi yang memungkinkan mutu pendidikan meningkat. Sejauh apakah kurikulum itu dibebaskan ? Apakah kemudian pemerintah tidak lagi ikut campur tangan dengan urusan kurikulum ini ?
Kebebasan Bersyarat
Di dalam pernyataannya tentang kurikulum yang akan dipergunakan pada tahun ajaran ini, Pemerintah menegaskan bahwa para guru dipersilahkan untuk mengembangkan kurikulum di sekolah masing-masing dengan mengacu pada Standar isi dan Standar Kompetensi Lulusan hasil rumusan Pemerintah, yang dalam hal ini dilakukan oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan). Apakah ini berarti kurikulumnya tidak berubah? Atau sebaliknya ? Apakah berarti KBK 2004 sudah tidak berlaku lagi dan para guru boleh menentukan kurikulumnya sendiri, asal tidak lepas dari Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan ? Kalau begitu, apakah yang dimaksud kurikulum itu sendiri ? Apakah Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan itu? Kebebasan apakah yang dimiliki oleh para guru saat ini ?
Kurikulum adalah seperangkat alat yang berfungsi untuk mengajar seseorang. Di sekolah misalnya, yang termasuk di dalam kurikulum adalah :
· Isi dari apa yang diajar
· Metodologi pengajaran (termasuk di dalamnya adalah alokasi waktu, buku pelajaran, dan cara mengajar di kelas)
· Penilaian hasil belajar.
Pada tahun ini, mulai Juli 2006, Pemerintah hanya menetapkan poin 1 saja, yaitu isi atau materi yang harus diajarkan kepada siswa. Sedangkan mengenai metodologi pengajaran dan cara penilaian hasil belajar, dibebaskan kepada para guru. Kebebasan yang dimiliki oleh para guru adalah kebebasan di dalam mengembangkan isi dari apa yang diajarkan. Mengembangkan artinya adalah menambahkan sesuatu dari apa yang telah ditetapkan. Boleh menambah, tetapi tidak boleh mengurangi.
Isi atau materi yang harus diajarkan kepada para siswa, diatur di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006. Di dalam peraturan tersebut, yaitu pada pasal 1 ayat 1, dikatakan bahwa : “Standar isi untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang selanjutnya disebut Standar Isi mencakup lingkup materi minimal dan tingkat kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu”.
Matematika : Perbedaan Antara KBK 2004 dengan Standar Isi 2006
Kita selaku orang tua ataupun guru, tentunya ingin tahu, perubahan apakah yang akan kita hadapi saat ini, bukan ? Perlukah kita mengganti buku pegangan anak-anak kita, atau perlukah kita mencarikan “tempat les” yang baru bagi anak-anak kita ?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, kita akan mencoba melihat apakah perbedaan nyata di antara isi kedua kurikulum tersebut, yang mana di dalam eidsi kali ini kita akan batasi hanya pada bidang studi matematika tingkat sekolah dasar kelas 1 hingga kelas 6 saja. Sedangkan untuk mata pelajaran yang lainnya akan kita bahas pada edisi-edisi yang berikutnya.
Matematika, di dalam pengajarannya dibagi atas 3 bagian, yaitu :
· Bilangan dan operasi bilangan (seperti penjumlahan, perkalian, akar, pangkat, pemfaktoran, dll)
· Geometri dan pengukuran (luas, keliling, berat, waktu, sistem koordinat, dll)
· Statistik atau pengelolaan data (mulai kelas 6 SD).
Secara garis besar, pembagian isi matematika adalah sama antara KBK 2004 dengan Standar Isi 2006. Perbedaan terletak pada hasil belajar atau kompetensi minimal yang harus dicapai oleh para siswa selama belajar matematika. Pada KBK 2004, siswa tidak dituntut untuk dapat mengaplikasikan materi yang diajarkan, sedangkan pada standar isi 2006, siswa dituntut untuk dapat mengaplikasikan rumusan-rumusan matematika. Misalnya, saat ini siswa kelas 1 SD dituntut untuk dapat menyelesaikan masalah yang melibatkan penjumlahan dan pengurangan bilangan dua angka, menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan waktu dan panjang, di mana pada KBK 2004 pembelajaran hanya bersifat sebagai pengenalan. Untuk siswa kelas 2 SD, saat ini pelajaran geometri dan pengukuran lebih difokuskan kepada pengaplikasiannya, sedangkan pada KBK 2004 lebih pada taraf pengenalan saja. Demikian juga pada kelas-kelas yang berikutnya hingga kelas 6 SD, semua materi lebih cenderung pada pengaplikasian dari pada pengenalan dasar. Untuk pelajaran statistik, saat ini siswa kelas 6 SD tidak hanya dituntut untuk dapat membaca, mengumpulkan, dan menyajikan data saja, melainkan harus pula dapat menafsirkan sajian data dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan data. Hal ini berarti siswa kelas 6 SD sudah harus mampu untuk menyajikan data ke bentuk tabel dan diagram gambar, batang dan lingkaran, menentukan rata-rata hitung dan modus sekumpulan data, mengurutkan data termasuk menentukan nilai tertinggi dan terendah serta menafsirkan hasil pengolahan data.
Sikap Kita
Membaca artikel di atas, niscaya kita akan beranggapan bahwa matematika merupakan sesuatu yang sangat mengerikan, entah itu bagi anak-anak maupun para orangtua. Bagaimana kita sebagai orangtua sebaiknya membantu anak-anak kita tercinta di dalam belajar matematika ? Atau bahkan, jika memungkinkan, kita pasti sangat ingin membantu anak-anak kita di dalam belajar matematika, bukan ?
Mungkinkah anak-anak kita belajar matematika terintegrasi dengan iman Kristen kita ? Bukankah pelajaran matematika, merupakan suatu alat yang kita peroleh dari Tuhan untuk semakin mengerti kebenaran Tuhan dan yang pasti dapat kita gunakan untuk memuliakan Tuhan ? Seandainya memang demikian, bagaimanakah caranya agar semua itu terjadi ? Seandaianya saja jawabannya adalah tidak, maka para orangtua wajib mengevaluasi ulang, apakah matematika yang didapatkan oleh anak-anak mereka sesuai dengan tujuan sebenarnya.
Keberhasilan Belajar
Setiap orangtua (dan juga guru) pasti menginginkan anak-anaknya memperoleh hasil yang memuaskan untuk setiap mata pelajaran di sekolah. Biasanya indikator yang dipakai oleh para orangtua adalah nilai tes atau ujian. Nilai tes yang tinggi menggambarkan seorang anak telah mencapai hasil yang memuaskan dan berarti pula telah mencapai tujuan dari mata pelajaran tersebut. Demikian pula halnya di dalam belajar matematika. Cukupkah indikator ini kita gunakan sebagai acuan di dalam melihat keberhasilan seorang anak di dalam belajar matematika ? Kita sebagai pengikut Kristus, pasti akan mengatakan TIDAK CUKUP. Anak-anak harus dapat mengaplikasikannya kelak di dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Peranan orangtua dan guru di dalam keberhasilan mengajar matematika adalah sangat besar. Anak-anak tidak hanya belajar dari apa yang tercantum di dalam buku pegangan (text book) atau dari guru, akan tetapi seorang anak lebih cenderung untuk belajar konsep dasar, pola pikir atau juga filosofi matematika. Secara tidak sadar, anak-anak tetap akan mengaplikasikan pola pikir tersebut di dalam kehidupannya sehari-hari hingga di akhir hidupnya, walaupun (mungkin) mereka sudah lupa akan rumus-rumus yang telah diterimanya. Karena itu, di dalam membantu anak-anak kita di dalam belajar matematika, kita tidaklah boleh melupakan akan prinsip dasar dari matematika itu sendiri sehingga kita dapat menanamkannya kepada diri anak-anak kita.
Prinsip Dasar Matematika
1. Berasal dari Tuhan
Pada saat seorang anak mulai belajar matematika, maka ia harus mengetahui lebih dahulu, bahwa matematika berasal dari Tuhan. Seorang anak perlu mengetahui bahwa antara matematika dan Alkitab tidak ada pertentangan satu sama lain, karena matematika bersumber pada Alkitab. Kita bisa memberikan beberapa contoh dari operasi perhitungan matematika, yang ada di dalam Alkitab. Misalnya operasi penjumlahan (Kejadian 5:3-31 ; Bilangan 1:20-46) ; pengurangan (Kejadian 18:28 dst) ; perkalian (Imamat 25:8 ; Bilangan 3:46 dst) ; dan pembagian (Bilangan 31:27 dst). Jika seorang anak tidak mengetahui hal ini, maka si anak bisa jadi memiliki pandangan bahwa matematika hanya ada di dalam pemikiran manusia, dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan kehidupan beragamanya. Alkitab hanya berhubungan dengan agama dan matematika hanya berhubungan dengan sekolah.
Matematika merupakan alat yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia untuk lebih mengerti akan ciptaan Tuhan di dunia ini. Di dalam matematika sama sekali tidak diajarkan sesuatu untuk menentang Allah. Semakin mengerti matematika, seharusnya seseorang semakin yakin akan Allah.
2. Kebenaran (Truth)
Ilmu matematika adalah ilmu pasti. Di dalam matematika, seorang anak belajar menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Hanya ada kata BENAR atau SALAH. Tidak boleh ada kata TERGANTUNG atau BISA BENAR BISA SALAH. Tidak boleh ada kata TIDAK BENAR TETAPI JUGA TIDAK SALAH.
Semua yang benar di dalam matematika harus dapat diuji kebenarannya, sebaliknya semua yang salah di dalam matematika juga harus dapat dibuktikan letak kesalahannya. Bandingkan dengan ayat pada Filipi 4:8, “Semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.”
3. Keteraturan (Order)
Tuhan memiliki natur yang bersifat bilangan (angka). Hal ini tercermin dari sifat Trinitas Tuhan. Kita mengenal akan Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus. Alkitab juga mencatat, bahwa Tuhan juga menggunakan “matematika” di dalam ia mengatur dunia ini. Tuhan menyebut jumlah bintang-bintang (Mazmur 147:4), Tuhan menghitung jumlah rambut di kepala manusia (Matius 10:30), Tuhan mengukur jumlah air di laut, jarak langit dan bumi, banyaknya debu di bumi, berat gunung atau bukit (Yesaya 40:12).
Tuhan memberikan kepada kita bilangan/angka dan sistem matematika agar kita lebih mengerti akan ciptaan Tuhan. Tuhan menciptakan dunia ini dengan sangat teratur, karena diri Allah adalah teratur.
Setiap buku atau cara kita mengajar matematika kepada anak-anak kita haruslah menunjukkan keteraturan ini pula. Periksa kembali daftar isi dari buku matematika yang dimiliki oleh anak-anak kita. Setiap kali seorang anak selesai belajar satu bab dan menuju bab yang berikutnya, pastikan bahwa si anak telah benar-benar selesai, dan dia akan memulai sesuatu yang baru. Bab yang sebelumnya haruslah menjadi dasar untuk mengerti bab yang selanjutnya dan setiap bab harus berkesinambungan satu sama lain. “Segala sesuatu harus berlangsung dengan sopan dan teratur.” (1 Korintus 14:40)
4. Pengertian yang Benar
Di dalam 1 Tesalonika 5:21 dikatakan, “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.” Dari sini kita boleh belajar bahwa Tuhan menghendaki kita untuk hidup secara bijaksana dan penuh pengertian. Anak-anak harus mampu bertanya “mengapa”, meneliti kembali segala sesuatu dan memverifikasikan setiap apa yang telah dia pelajari. Di dalam belajar matematika, tahapan ini harus dilakukan pula. Seorang anak tidak hanya melulu diberikan rumus-rumus yang harus dia hafal, tetapi ia harus tahu dari mana asal mula rumus tersebut, dan bagaimana kelak pengaplikasiannya di dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Kita perlu memeriksa kembali cara mengajar kita kepada anak-anak kita, dan juga terutama buku-buku pegangan yang dimiliki oleh anak-anak kita. Buku pegangan anak yang baik, tidak hanya berisikan rumus-rumus matematika, tetapi juga harus terdapat ilustrasi tentang dari mana rumus itu diperoleh. Kita juga perlu menjelaskan kepada anak, bagaimana konsep dasar dari rumus itu sendiri dan bagaimana cara mengaplikasikannya. Setiap contoh soal harus menggambarkan tahapan-tahapan penyelesaian yang teratur dan terarah. Setiap soal harus membatu anak untuk dapat mengerti konsep dan makna dari rumus matematika yang telah diperoleh sebelumnya.
5. Pertanggungan Jawab
Di dalam matematika, seorang anak juga mulai belajar mempertanggungjawabkan sesuatu dengan benar dan tepat. Matematika merupakan suatu alat yang penting untuk membentuk pola pikir yang bertanggungjawab bagi seorang anak. Matematika sekaligus merupakan suatu alat untuk belajar berpikir deduktif (dari suatu rumusan kepada aplikasinya) dan bukan sebaliknya.
Setiap rumus-rumus di dalam matematika, haruslah dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Pada saat seorang anak menggunakan suatu rumus tertentu, maka ia harus tahu mengapa ia menggunakan rumus tersebut dan mengapa bukan rumus yang lain. Demikian pula tahapan di dalam penyelesaian matematika pun haruslah memiliki suatu alasan yang benar, pasti, dan berurutan. Dengan belajar matematika, kita berharap setiap anak didik dapat mencerminkan sikap hidup yang demikian pula. Benar, teratur dan berurutan. Sehingga kita, selaku orang tua atau guru, boleh berharap bahwa suatu saat kelak anak-anak kita dapat bersikap seperti Paulus, seperti yang tercantum pada Kisah Para Rasul 17:2, “Seperti biasa Paulus masuk ke rumah ibadat itu. Tiga hari Sabat berturut-turut ia membicarakan dengan mereka bagian-bagian dari Kitab Suci.” Kata “membicarakan” di sini berasal dari kata dialegomai yang artinya berdialog, berdebat untuk mempertahankan sesuatu dengan sikap logika yang tepat.
6. Aplikasi
Setelah kita mengetahui prinsip-prinsip dasar pada matematika seperti yang dicantumkan pada butir 1 hingga 5, maka kita haruslah dapat mengajarkan kepada anak-anak untuk dapat mengaplikasikannya. Kita hendaklah senantiasa mengingat apa yang dikatakan Yesus Kristus seperti yang dicatat di dalam Yohanes 13:17, “Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kami, jika kamu melakukannya.” Dengan belajar matematika dengan baik dan benar, maka si anak sejak kecil sudah mulai dilatih untuk belajar tentang kebenaran, keteraturan, pengertian yang benar dan bertanggungjawab, dan juga mulai belajar untuk dapat menyatakan kebenaran itu dengan penuh tanggung jawab.
7. Memuliakan Tuhan
Semua ilmu yang kita berikan kepada anak-anak kita, haruslah dapat digunakan untuk memuliakan Tuhan. Dapatkah matematika untuk dipergunakan sebagai alat untuk memuliakan Tuhan ? Jika matematika berasal dari Allah, dapatkah kita mengatakan bahwa matematika juga dapat untuk memuliakan Tuhan ? Kita sebagai pendidik (baik orang tua maupun guru) wajib menanamkan sikap, bahwa dengan matematika kita pun dapat memuliakan Tuhan. Contoh yang jelas adalah pada saat anak belajar data dan statistik, maka seorang anak akan mulai belajar bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Semua hal di dunia ini hanya terjadi atas kehendak dan izin Allah. Kita tidak bisa mengatur “suka-suka” kita. Semuanya sudah diatur sedemikian rupa oleh Tuhan dengan pasti, rapi dan teratur.
Demikianlah, sebagai orang tua dan juga guru, kita wajib meletakkan prinsip-prinsip dasar ini kepada anak-anak kita. Kita tidak boleh lupa untuk menjelaskan pada anak-anak kita, bahwa kita memang perlu belajar matematika. Kita harus senantiasa meyakinkan anak-anak kita. Dengan belajar matematika kita akan semakin mengerti keteraturan yang ada di dalam diri Allah. Dan akhirnya matematika dapat pula kita gunakan untuk dapat lebih memuliakan Tuhan. Seperti halnya yang tercantum pada 1 Korintus 10:31, “Lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.” Dengan semakin mengerti prinsip-prinsip matematika, anak-anak kita akan semakin dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, dan yang juga akhirnya akan semakin dapat memuliakan Tuhan. Tuhan yang Mahaagung dan Bijaksana. Untuk itu dibutuhkan disiplin yang tinggi, rajin serta tekun di dalam menjalani proses belajar dan mengajar matematika. Memang, patut disadari, bahwa matematika bukanlah ilmu yang ringan, namun kita boleh memakai nasehat Paulus yang ditujukan kepada Timotius (dan tentunya untuk kita semua), “Ikutlah menderita sebagai seorang prajurit yang baik dari Kristus Yesus.” (2 Timotius 2:3)
Sumber :
Artikel pada Buletin LOGOS edisi 2.
Profil Dr. Anita Purnomosari :
Dr. Anita Purnomosari adalah anggota jemaat Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Andhika, Surabaya yang telah menyelesaikan studi doktoral (S-3)nya. Beliau terlibat di dalam pelayanan Pendidikan Reformed Injili LOGOS sebagai tenaga pengajar di sekolah LOGOS.
No comments:
Post a Comment