Renungan Reformasi 2011
REFORMASI DAN SOLA SCRIPTURA
oleh: Denny Teguh Sutandio
“Orang-orang Yahudi di kota itu lebih baik hatinya dari pada orang-orang Yahudi di Tesalonika, karena mereka menerima firman itu dengan segala kerelaan hati dan setiap hari mereka menyelidiki Kitab Suci untuk mengetahui, apakah semuanya itu benar demikian.”
(Kis. 17:11)
Sungguh menarik catatan Alkitab tentang orang-orang Yahudi di Berea di mana mereka tidak seperti orang-orang Yahudi di kota lain yang membenci Kristus dan para rasul “tanpa alasan yang jelas.” Orang-orang Yahudi di Berea dicatat oleh dr. Lukas sebagai orang yang baik hatinya. Kata Yunani untuk baik hatinya adalah eugenesteroi yang seharusnya diterjemahkan open-minded (pikirannya terbuka). Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. menerjemahkannya sebagai “lebih terbuka pikiran.”[1] Mereka bukan orang yang ngotot dengan pandangannya sendiri, tetapi pikirannya terbuka dengan pengajaran yang disampaikan Paulus dan Silas. Dalam hal apa mereka terbuka pikirannya? Dokter Lukas mencatat bahwa mereka menerima firman yang disampaikan Paulus dan Silas dengan rela hati. Rela hati di dalam bahasa Yunaninya adalah prothumias yang berarti keinginan yang kuat (eagerness) atau kerelaan (readiness). Beberapa terjemahan Alkitab dalam bahasa Inggris (English Standard Version dan Analytical-Literal Translation) menerjemahkannya sebagai eagerness (New American Standard Bible dan New International Version menerjemahkannya: great eagerness), namun ada juga terjemahan Alkitab (King James Version, Revised Version, dan Young’s Literal Translation) yang menerjemahkannya sebagai readiness of mind. Dengan kata lain, orang-orang Yahudi di Berea yang lebih terbuka pikirannya adalah mereka yang dengan rendah dan rela hati siap menerima pengajaran dari Paulus dan Silas.
Namun uniknya, mereka bukan hanya rendah hati dan rela menerima pengajaran tersebut, tetapi mengujinya dari Kitab Suci. Kata “menyelidiki” dalam teks Yunaninya anakrinontes yang seharusnya diterjemahkan menguji/memeriksa. Kata “Kitab Suci” di sini tentu merujuk pada Perjanjian Lama, karena di zaman gereja mula-mula waktu itu, Alkitab Perjanjian Baru belum ada. Mereka memeriksa Kitab Suci apakah apa yang diajarkan Paulus dan Silas itu benar. Kata “mengetahui” di dalam teks LAI tidak ditemukan dalam teks asli (Yunani)nya. Bahkan dokter Lukas mencatat bahwa orang-orang Yahudi di Berea menyelidiki Kitab Suci SETIAP HARI. Ini berarti, mereka mencintai firman Allah (konteksnya: Perjanjian Lama) dan mendasarkan semua pengajaran mereka dan apa yang mereka dengarkan dari orang lain dari Kitab Suci (bukan dari tradisi Yahudi). Dengan kata lain, mereka menyelidiki/memeriksa Kitab Suci apakah apa yang disampaikan Paulus dan Silas sesuai dengan Kitab Suci atau tidak. Setelah menyelidiki Kitab Suci, di ayat 12, dokter Lukas mencatat, “Banyak di antara mereka yang menjadi percaya; juga tidak sedikit di antara perempuan-perempuan terkemuka dan laki-laki Yunani.”
Dari perenungan tentang orang-orang Yahudi di Berea, kita belajar dua poin penting yaitu: adanya keterbukaan pikiran (rendah hati mau belajar dari orang lain) sekaligus kritis menyelidiki Kitab Suci untuk menguji suatu ajaran benar atau tidak. Mereka bukan orang yang keras kepala seperti saudara-saudara mereka di kota lain dan mereka juga bukan orang yang memusatkan hidup mereka pada tradisi Yahudi yang kolot, namun mereka berpusat pada Kitab Suci, menyelidikinya, rendah hati menerima pengajaran dari para rasul sambil mengujinya, dan akibatnya, banyak dari mereka akhirnya percaya kepada Kristus (Kis. 17:12). Keterbukaan pikiran dan menyelidiki Kitab Suci inilah yang akan menjadi refleksi bagi kita menjelang hari Reformasi Gereja.
Peristiwa reformasi di dalam gereja berawal dari para reformator awal seperti John Wycliffe (1329-1384) di Inggris, John Hus (1373-1415) di Bohemia, dan Savonarola (1452-1498) di Florence. John Wycliffe sering disebut bintang pagi Reformasi (The Morning Star of Reformation). Tentang John Hus, orang sering menyebut John Hus mengeluarkan telur reformasi dan Luther yang mengeraminya. Setelah munculnya tiga reformator awal, maka gereja mendapat tantangan eksternal yaitu munculnya gerakan kembali kepada keluhuran budaya klasik yang dikenal sebagai Renaissance. Di dalam gerakan Renaissance, muncullah kaum Biblical Humanist dengan tokoh-tokohnya: John Reuchlin (1455-1522) dan Desiderius Erasmus (1466-1536). Dari gerakan ini, muncullah gerakan Reformasi gereja oleh Dr. Martin Luther.[2]
Setiap tanggal 31 Oktober, gereja-gereja Protestan merayakan hari Reformasi Gereja di mana pada tanggal 31 Oktober 1517, Dr. Martin Luther, mantan rahib Katolik Roma dari ordo Agustinian memakukan 95 tesis di depan pintu gereja Wittenberg yang mengkritik semua ajaran Gereja Katolik Roma. Dr. Luther melakukan reformasi gereja pada awalnya bukan ingin mendirikan gereja baru di luar Katolik Roma, tetapi ingin mereformasi gereja Katolik Roma waktu itu yang sudah makin tersesat jalannya, misalnya dengan menjual surat pengampunan dosa (indulgensia). Berbagai semboyan yang dicetuskan oleh Dr. Martin Luther: sola gratia (hanya oleh anugerah Allah), sola fide (hanya melalui iman), sola Scriptura (hanya Alkitab), dan Soli Deo Gloria (kemuliaan hanya bagi Allah). Tindakan mereformasi gereja ini dilakukan Dr. Luther setelah ia menyelidiki Perjanjian Baru khususnya di Surat Roma. Tindakan Luther mengingatkan kita akan semangat orang-orang Yahudi di Berea yang setiap hari menyelidiki Kitab Suci untuk menguji suatu pengajaran apakah benar atau tidak, namun bedanya, orang-orang Yahudi di Berea mendapati pengajaran Paulus dan Silas itu benar, sedangkan Dr. Luther mendapati ajaran Gereja Katolik Roma itu salah. Namun tindakan Dr. Luther ini ditentang oleh pihak Gereja Katolik Roma dan Dr. Luther dianggap pembangkang yang harus diekskomunikasikan. Bahkan Gereja Katolik Roma mengadakan Konsili Trente (1545-1563) untuk merumuskan ulang ajaran-ajaran mereka khususnya melawan Luther, dkk. Tindakan Gereja Katolik Roma ini mirip seperti tindakan orang-orang Yahudi di kota-kota lain selain Berea yang ngotot dengan pandangan sendiri yang berdasarkan tradisi yang turun-menurun. Kengototan mereka didasarkan BUKAN dari penyelidikan Alkitab yang saksama dan juga dari tulisan-tulisan bapa gereja, tetapi dari pengertian mereka sendiri akan Alkitab dan tulisan (beberapa) bapa gereja (yang cocok dengan ajaran Katolik). Jika pihak Katolik menuduh Dr. Luther dan orang-orang Reformasi tidak setia pada tradisi bapa gereja, sebenarnya merekalah yang tidak setia kepada Alkitab dan tulisan para bapa gereja, karena terbukti para bapa gereja sendiri TIDAK sepakat berkenaan dengan ajaran-ajaran tertentu. Dari peristiwa ini, kita belajar bahwa seorang yang tidak tunduk di bawah otoritas Alkitab akan menjadi seorang yang ngotot dengan pengertiannya sendiri dan tidak mau sedikit pun berubah.
Peristiwa reformasi Dr. Luther ini diteruskan oleh reformasi di Inggris oleh Thomas Cranmer, reformasi di Skotlandia oleh John Knox, Philip Melanchton, Ulrich Zwingli, Dr. John Calvin, Dr. Theodore Beza, dll. Setelah persitiwa reformasi Dr. Luther, gereja-gereja Lutheran merumuskan pengakuan imannya di Diet of Augsburg yang bernama: The Augsburg Confession (bahasa Latinnya: Confessio Augustana) pada 25 Juni 1530 di hadapan Kaisar Charles V dari Jerman.[3] Reformed (tidak melulu terbatas pada pengaruh John Calvin) terus berkembang dan meluas di seluruh Eropa dan Amerika. Di Jerman, disusunlah Katekismus Heidelberg sebagai pedoman pengakuan iman gereja-gereja Calvinis dalam bahasa Jerman dan Belanda. Penyusunnya adalah dua theolog muda, Zacharius Ursinus dan Caspar Olevianus.[4] Setelah itu di Belgia, dibentuklah Belgic Confession of Faith di mana penulis tunggalnya: Guido de Bres pada tahun 1561.[5] Kemudian, muncullah tokoh-tokoh Reformed generasi berikutnya yang dikenal dengan kaum Puritan di Inggris untuk melawan gereja di Inggris yaitu: Dr. John Owen, M.A., Oliver Cromwell, John Bunyan, dll. Nah, dari kaum Reformed ini, disusunlah Pengakuan Iman Westminster pada tahun 1646 oleh Oliver Cromwell bersama 121 pendeta dan 30 orang awam di Ruang Yerusalem di dalam Westminster Abbey. Selain itu juga disusun Katekismus Singkat Westminster (1647) dan Katekismus Besar Westminster (1648). Pengakuan Iman Westminster menekankan inspirasi dan otoritas Alkitab, theologi perjanjian/kovenan, dan keseimbangan antara kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia dalam penebusan umat manusia. Pengakuan iman ini meluas ke Skotlandia dan hingga sekarang.[6] Setelah itu, dibentuklah Canons of Dort di Belanda (The Decision of the Synod of Dordt on the Five Main Points of Doctrine in Dispute) yang diadopsi dari Sinode Dort di Dordrecht pada tahun 1618-19 untuk melawan kaum Remonstrant/pengikut Jacobus Arminius.[7] Banyak orang Kristen diberkati melalui gerakan ini. Inti theologi Reformed (tidak melulu identik dengan John Calvin) yang berakar dari gerakan Reformasi Luther adalah kedaulatan Allah, meskipun tidak pernah meniadakan tanggung jawab manusia. Gerakan Reformed inilah yang mempengaruhi seorang pengkhotbah dari gereja Methodis, Rev. George Whitefield, pengkhotbah yang terkenal dengan khotbahnya, “Sinners in the Hand of An Angry God” (Orang-orang Berdosa Di Tangan Allah yang Murka), Rev. Jonathan Edwards, A.M., dan juga pengkhotbah yang dijuluki Pangeran Pengkhotbah (Prince of Preachers), yaitu Rev. Charles Haddon Spurgeon dari gereja Baptis.
Di Belanda, di abad XIX-XX, theologi Reformed mempengaruhi salah seorang mantan perdana menteri Belanda, Prof. Dr. Ds. Abraham Kuyper. Selain itu, juga ada Herman Bavinck dan Herman Dooyeweerd. Ketika “theologi” liberal pengaruh rasionalisme pada kira-kira 4 abad yang lalu mulai menyerang Kekristenan, para theolog Reformed berdiri dengan teguh melawan liberalisme tersebut dan memelihara iman Kristen yang murni. Ketika “theologi” liberal mulai meracuni Princeton Seminary (yang didirikan oleh Presbyterian Church, U.S.A.) dengan ditandatanganinya Auburn Affirmation oleh 1300 “hamba Tuhan” pada tahun 1924 yang menegaskan bahwa doktrin-doktrin penting seperti iluminasi Alkitab, kelahiran Kristus dari anak dara Maria, penebusan-Nya yang menggantikan, kebangkitan jasmani Kristus, dan kedatangan-Nya yang kedua kali dalam arti harfiah tidak diwajibkan sebagai keyakinan bagi calon hamba Tuhan, maka Dr. J. Gresham Machen yang termasuk salah satu dari sejumlah pihak dari Presbyterian Church, U.S.A. yang menolak afirmasi tersebut keluar dari Princeton Seminary dan mendirikan Westminster Theological Seminary pada tahun 1929.[8] Di Westminster Theological Seminary, Rev. Prof. Cornelius Van Til, Ph.D. diminta menjadi profesor sampai masa pensiunnya pada tahun 1972. Semangat theologi Reformed selalu mengajak semua orang Kristen benar-benar kembali kepada Alkitab.
Namun sejarah mencatat, gerakan Reformed yang mula-mula memegang teguh otoritas Alkitab dan memperjuangkan serta mengajak orang Kristen kembali kepada Alkitab akhirnya beberapa di antaranya berubah haluan menjadi mementingkan keinginan pribadi. Sebagai contoh, setelah Dr. J. Gresham Machen meninggal pada tahun 1937, Presbyterian Church of America (PCA) yang dibentuknya kemudian terjadi perpecahan. Sejumlah hamba Tuhan meninggalkan PCA dan membentuk Bible Presbyterian Church. Demikian juga Prof. Allen MacRae yang dahulu bersama-sama dengan Dr. J. Gresham Machen mendirikan Westminster Theological Seminary, kemudian meninggalkan Westminster Seminary dan mendirikan Faith Theological Seminary dengan kontroversinya meliputi: dispensasionalisme, “kemerdekaan Kristen” (legitimasi bagi orang Kristen untuk mempergunakan minuman beralkohol), dll.[9] Tidak heran, jika denominasi Reformed/Presbyterian di zaman sekarang cukup banyak memiliki cabang. Sebagai contoh, di sebuah hotel di Singapore, saat saya membuka dan melihat buku kuning daftar gereja-gereja di Singapore, terdapat klasifikasi-klasifikasi khusus denominasi gereja: Katolik, Baptis, Fundamentalis, Orthodoks, dll dan khusus gereja Reformed/Presbyterian terdapat klasifikasi lagi: Bible Presbyterian Church, Independent Presbyterian Church, Reformed Presbyterian Church, dll. Di satu sisi, didirikannya banyak gereja Reformed ada sisi positifnya, yaitu supaya masing-masing gereja Reformed menjadi berkat di sekelilingnya, namun di sisi lain, perpisahan gereja-gereja Reformed ini timbul hanya karena perbedaan dalam hal-hal sekunder. Kalau kita memperhatikan fakta di atas, didirikannya Faith Theological Seminary oleh Prof. Allen McRae setelah keluar dari Westminster Theological Seminary, bukan Westminster Seminary tidak setia kepada Alkitab, tetapi karena perbedaan dalam doktrin akhir zaman, dll yang notabene adalah hal-hal sekunder.
Tetapi puji Tuhan, belakangan ini, saya mengamati di Amerika, gerakan Reformed tidak lagi terpecah-pecah. Para pendeta Reformed Baptis seperti Rev. John S. Piper, D.Theol.[10], Prof. R. Albert Mohler, Ph.D., Rev. Mark E. Dever, Ph.D., Prof. Wayne Grudem, Ph.D., dll dapat bersatu dengan mereka yang Reformed (non-Baptis), seperti: Rev. Prof. Sinclair B. Ferguson, Ph.D., D.D., dll, Reformed Dispensasionalis[11] seperti Rev. John F. MacArthur, Jr, D.D., Litt.D. (Pendeta-Pengajar di Grace Community Church, Sun Valley, California, U.S.A.)[12], dan Reformed Anglikan seperti Rev. Prof. James Innell (J. I.) Packer, D.Phil.[13] Saya melihat kemajuan ini, ketika saya membaca buku-buku yang ditulis bersama oleh Rev. John S. Piper, D.Theol., Rev. John F. MacArthur, Jr., D.D., Litt.D., Rev. Dr. Randy T. Alcorn, dkk, yaitu: STAND. Kemudian, mereka saling memberikan rekomendasi/endorsement atas buku-buku yang mereka tulis, seperti buku Systematic Theology: An Introduction to Biblical Doctrine yang ditulis oleh Prof. Wayne Grudem, Ph.D. direkomendasikan oleh Rev. Prof. J. I. Packer, D.Phil. (seorang pendeta Anglikan-Reformed), Rev. John S. Piper, D.Theol., Prof. Roger R. Nicole, Th.D., Ph.D., D.D. dari Reformed Theological Seminary, U.S.A., dll. Selain itu, buku Humility: True Greatness yang ditulis oleh Rev. C. J. Mahaney direkomendasikan baik oleh pendeta dan profesor Reformed Baptis dan juga salah satu pendeta Reformed (non-Baptis), Rev. J. Ligon Duncan III, D.Phil. dari First Presbyterian Church, U.S.A. Bahkan ada symposium khusus bertajuk Together for Gospel yang menghadirkan empat pembicara: Rev. J. Ligon Duncan III, D.Phil. (Pendeta Senior di First Presbyterian Church, Jackson, Mississippi, U.S.A.), Rev. Mark E. Dever, Ph.D. (Pendeta Senior di Capitol Hill Baptist Church, Washington, DC, U.S.A.; Reformed Baptis), Prof. R. Albert Mohler, Jr., Ph.D. (Presiden di Southern Baptist Theological Seminary, Louisville, KY, U.S.A.; Reformed Baptis), dan Rev. C. J. Mahaney.[14] Ini membuktikan Reformed mulai bersatu di Amerika, meskipun tidak menutup kemungkinan beberapa Reformed di Amerika tetap merasa diri “jagoan” dan tidak mau bersatu dengan kaum Reformed lain. Dan yang lebih parah, model Reformed inilah yang diimpor ke Indonesia.
Di Indonesia, gerakan Reformed dibagi menjadi dua: strictly Reformed (Reformed ketat) diwakili oleh gerakan Reformed Injili yang didirikan oleh hamba-Nya, Pdt. Dr. Stephen Tong sekitar tahun 1980-an[15] dan friendly Reformed (Reformed yang bersahabat) dari Pdt. Prof. Joseph Tong, Ph.D., M.B.A. (adik kandung Pdt. Dr. Stephen Tong). Pdt. Dr. Stephen Tong berjuang gigih menegakkan theologi Reformed di Indonesia, sementara itu Pdt. Dr. Joseph Tong menyebut friendly Reformed sebagai smiling Reformed (Reformed yang tersenyum) karena bagi beliau, Reformed tidak seharusnya ngotot, tetapi bersahabat mengajak sebanyak mungkin orang Kristen dengan lemah lembut untuk mengenal theologi Reformed. Karena saya berada di dalam gereja yang digembalakan Pdt. Dr. Stephen Tong dan saya juga beberapa kali mendengar khotbah dari Pdt. Dr. Joseph Tong, maka saya menyimpulkan bahwa Tuhan memakai setiap hamba Tuhan itu berbeda-beda. Yang dipentingkan bukan ikut gerakan Reformed yang dipimpin siapa, tetapi kembali kepada Alkitab. Ini yang sering kali hilang dari suara Reformed. Reformed sering mendengungkan ikut gerakan Reformed tertentu. Saya tidak mengatakan bahwa kita tidak boleh menyebut hal demikian, namun intinya bukan pada gerakan Reformed, tetapi pada Alkitab. Bukankah semangat Reformed adalah Sola Scriptura?
Dari pengertian ini, kita mendapatkan penjelasan bahwa semangat Reformasi dan Reformed pada intinya mengajak orang Kristen kembali kepada Alkitab dengan prinsip penafsiran yang bertanggung jawab. Bukankah juga gereja-gereja Reformed memiliki moto: ecclesia Reformata semper reformanda secundum Verbum Dei yang berarti gereja-gereja Reformed terus-menerus di-Reformed-kan sesuai dengan firman Allah? Moto inilah yang mengakibatkan gereja Reformed yang sehat adalah gereja Reformed yang rendah hati dan siap dikoreksi oleh Alkitab jika ada ajaran-ajarannya yang kurang setia terhadap Alkitab. Semangat rendah hati dan kembali kepada Kitab Suci yang diteladankan oleh orang-orang Yahudi di Berea dan para reformator hendaklah menjadi semangat kita yang mengaku diri orang Kristen. Bagaimana menjalankan dua hal itu?
Orang Kristen pada umumnya dan orang Reformed pada khususnya harus mendasarkan iman, ajaran, dan praktik hidupnya hanya pada Alkitab saja. Mereka tunduk di bawah otoritas Alkitab. Sebagai seorang yang tunduk di bawah otoritas Alkitab, maka kita tentu juga seorang yang menyelidiki Alkitab dengan bertanggung jawab. Di sini, peran eksegese Alkitab yang tepat harus dijalankan. Kita bisa belajar menyelidiki Alkitab dengan lebih bertanggung jawab dengan membaca buku-buku theologi khususnya studi Biblika. Misalnya, saya diberkati melalui buku Gospel and Spirit: Issues in New Testament Hermeneutics oleh Prof. Gordon D. Fee, Ph.D. dan buku Kesalahan-kesalahan Eksegetis yang ditulis oleh Prof. D. A. Carson, Ph.D. Kedua buku ini mengajar saya pribadi bagaimana berhati-hati dalam mengeksegese Alkitab dan jangan membiarkan presuposisi theologi kita berperan terlalu besar ketika mengeksegese Alkitab.[16] Nah, setelah itu, pada suatu kesempatan, kita tentunya bersosialisasi dengan orang Kristen dari gereja lain dan sebagai saudara seiman, maka saudara seiman itu mungkin mau berdiskusi tentang iman Kristen dengan kita. Bagaimana reaksi kita? Apakah kita langsung memasang tembok dengan berprasangka bahwa theologi kita paling benar? Hentikan itu. Bagi saya, adalah bijaksana jika kita tetap berdiskusi dengan saudara seiman itu dengan dasar Alkitab. Dengan kata lain, kita dan saudara seiman tersebut sama-sama menyelidiki Alkitab dengan prinsip-prinsip yang bertanggung jawab (bukan asal main comot ayat Alkitab). Jika dari hasil diskusi tersebut, kita menemukan ajaran theologi kita atau pengertian yang pernah kita dengar waktu kecil di gereja kurang setia pada teks Alkitab, maka tugas kita yang tepat adalah bukan ngotot dengan pengertian kita, tetapi berani mengubah pengertian kita, supaya sesuai dengan Alkitab.[17] Sedangkan jika terbukti iman saudara seiman kita yang kurang setia pada teks Alkitab, maka tugas kita adalah membimbingnya untuk lebih mendalami Alkitab dengan lebih bertanggung jawab. Jika dari hasil diskusi tersebut, kita dan saudara seiman kita tidak menemukan jawaban yang tepat, maka berkonsultasilah dengan hamba Tuhan yang mendalami studi Biblika dengan bertanggung jawab atau/dan beli dan bacalah buku-buku studi Biblika yang menjelaskan ayat itu dengan eksegese Alkitab yang teliti. Jika segala hal sudah kita kerjakan, namun tetap menemukan jalan buntu entah itu karena adanya variasi penafsiran dari buku dan hamba Tuhan yang kita tanya atau memang buku dan hamba Tuhan tersebut tidak bisa menafsirkan teks Alkitab itu dengan jelas, maka tugas kita adalah belajar saling menghormati iman masing-masing, jika iman tersebut adalah dalam hal-hal sekunder. Belajarlah untuk tidak menghakimi saudara seiman lain yang berbeda doktrin dalam hal-hal sekunder sebagai sesat, dll, tetapi bersatulah dengan mereka, karena mereka dan kita hanya berbeda doktrin sekunder yang tidak perlu dipermasalahkan. Meskipun kita berbeda doktrin sekunder, kita tetap beriman dalam hal-hal primer seperti Allah itu Trinitas, Kristus adalah Allah dan manusia, Alkitab itu firman Allah, dll.
Biarlah menjelang hari Reformasi gereja ini, kita sebagai orang Kristen pada umumnya dan orang Reformed pada khususnya meneladani semangat orang-orang Yahudi di Berea dan para reformator yang menyelidiki Kitab Suci sekaligus rendah hati. Berhentilah menjadi orang Kristen yang sok tahu dan mengakulah jika kita memang benar-benar tidak mengetahuinya. Amin. Soli Deo Gloria.
[1] Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia Jilid I (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2006), hlm. 731.
[2] Yakub Tri Handoko, Sejarah Gereja Umum (Diktat Kuliah, Sekolah Theologi Awam Reformed, 2010), hlm. 58-60.
[3] http://en.wikipedia.org/wiki/Augsburg_Confession
[4] http://reformed.ac.id/katekismus-heidelberg/
[5] http://www.prca.org/bc_index.html
[6] A. Kenneth Curtis, dkk, 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen, terj. A. Rajendran (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hlm. 96.
[7]http://www.reformed.org/documents/index.html?mainframe=http://www.reformed.org/documents/canons_of_dordt.html; Katekismus Heidelberg, Pengakuan Iman Belgia, dan Kanon Dort disebut sebagai “Three Forms of Unity” (http://www.prca.org/bc_index.html)
[8] John M. Frame, Cornelius Van Til: Suatu Analisis Terhadap Pemikirannya, terj. Irwan Tjulianto (Surabaya: Momentum, 2002), hlm. 24-25.
[9] Ibid., hlm. 26.
[10] Rev. Dr. John S. Piper memiliki keyakinan doktrin akhir zaman: Postmillenialisme.
[11] Aliran theologi Reformed yang mempercayai doktrin akhir zaman: Dispensasionalis yang mengajarkan dunia ini dibagi menjadi beberapa dispensasi. Aliran doktrin akhir zaman ini merupakan cabang dari Premillenialisme, sehingga sering disebut sebagai Premillenialisme Dispensasionalis.
[12] http://en.wikipedia.org/wiki/John_F._MacArthur
[13] http://www.monergism.com/thethreshold/articles/bio/jipacker.html
[14] http://t4g.org/about/people-history/
[15] Strictly Reformed tidak identik dengan extreme(ly) Reformed. Meskipun Pdt. Dr. Stephen Tong berjuang menegakkan theologi Reformed secara ketat, namun beliau BUKANlah seorang Reformed yang ekstrem yang mengatakan bahwa semua gereja di luar Reformed itu sesat. Hal ini terbukti di gereja yang beliau gembalakan di Jakarta tetap mempublikasikan brosur acara seminar Injili misalnya brosur Seminar Sola Scriptura yang bersifat interdenominasi gereja. Bahkan beliau sendiri yang mengumumkan acara ini dan pernah mengundang salah satu pembicara dalam seminar tersebut untuk berkhotbah di kebaktian bahasa Inggris di gereja yang beliau gembalakan. Bagi saya, extreme(ly) Reformed (istilah yang saya ciptakan sendiri) adalah suatu “aliran” Reformed baru yang mati-matian memperjuangkan theologi Reformed dan menolak semua bentuk perbedaan termasuk dalam hal-hal sekunder, seperti: baptisan anak, dll. Aliran Reformed ekstrem ini tidak berada di satu gereja Reformed tertentu, tetapi juga ada di gereja Injili. Saya pernah mendengar seorang pendeta Reformed di sebuah gereja Injili di Surabaya yang sangat alergi dengan tepuk tangan di dalam kebaktian gereja dan ada juga pendeta Reformed lain yang mencap gereja Reformed tertentu di Surabaya sebagai gereja yang bertheologi Arminian hanya karena di gereja Reformed tersebut di kebaktian sorenya menggunakan tata ibadah kontemporer.
[16] Saya tidak mengatakan bahwa ketika kita mengeksegese Alkitab, kita tidak perlu memiliki presuposisi theologi, karena bagaimanapun juga presuposisi theologi kita pasti ada di balik eksegese kita akan Alkitab. Namun, yang saya tekankan di sini adalah jangan memasukkan terlalu banyak presuposisi theologi ketika kita sedang mengeksegese Alkitab, karena jika kita melakukan hal itu, kita sebenarnya membungkam apa yang hendak teks Alkitab katakana kepada kita.
[17] Misalnya, sebagai orang Kristen, sejak remaja, sering kali kita mendengar pendeta/hamba Tuhan mengajar bahwa kata kasih dalam bahasa Yunani ada 4: agapē, philia, eros, dan storge. Lalu, si pendeta berkata bahwa keempat arti kata kasih itu berbeda-beda, salah satunya: agapē berarti kasih tanpa syarat yang dikaitkan dengan kasih Allah. Jangan heran, ada pendeta yang menafsirkan bahwa perbedaan kata kasih yang dipakai Yesus pada pertama dan kedua (agapaō) dengan ketiga (phileō) di Yohanes 21:15-17 berarti Yesus menurunkan standar kasih supaya Petrus dapat mengasihi-Nya. Penyelidikan teks Yunani yang teliti mengatakan bahwa kedua kata Yunani itu tumpang tindih/sama. Benarkah agapaō (atau agapē) berarti kasih tanpa syarat yang dikaitkan dengan kasih Allah? Rev. Prof. Donald A. Carson, Ph.D. di dalam bukunya Kesalahan-kesalahan Eksegetis memaparkan bahwa jika agapē dikaitkan dengan arti khusus, bagaimana menafsirkan kata kasih di 2 Samuel 13:15 menurut Septuaginta (Perjanjian Lama Bahasa Ibrani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani)? Di 2 Timotius 4:10, ketika Paulus menyebutkan bahwa Demas meninggalkannya karena Demas mengasihi dunia sekarang yang jahat, kata kasih di situ teks Yunaninya adalah agapaō, lalu apakah ini artinya kasih tanpa syarat, lalu dikaitkan dengan kasih Allah? (D. A. Carson, Kesalahan-kesalahan Eksegetis, terj. Lanna Wahyuni {Surabaya: Momentum, 2009}, hlm. 28-29)
No comments:
Post a Comment