TUHAN, AJARLAH KAMI BERDOA
(Seri Pengajaran Doa Bapa Kami):
“Bapa Kami yang Di Sorga”
(Mat. 6:9a)
oleh: Denny Teguh Sutandio
PENDAHULUAN
Sejak beberapa puluh tahun lalu, Kekristenan sedang diterpa oleh arus pengajaran doa Yabes yang dipopulerkan oleh Dr. Bruce H. Wilkinson. Doa ini diambil dari 1 Tawarikh 4:10. Meskipun doa yang dinaikkan Yabes itu tidak salah (perhatikan konteks), namun mengekstremkan doa Yabes lah yang dapat dikatakan salah. Mengapa? Karena Alkitab hanya mencatat doa Yabes saja yang berisikan hal-hal yang kelihatannya “egois.” Alangkah bijaksananya, jika kita ingin berdoa, kita belajar berdoa seperti yang Kristus ajarkan kepada para murid-Nya.
Di dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus mengajarkan satu doa yang begitu indah dan agung, yaitu: Doa Bapa Kami, namun sayang doa yang begitu agung, indah, dan sarat dengan theologi yang ketat TIDAK laris di dalam Kekristenan zaman sekarang, karena doa ini bukan doa yang memuaskan keinginan manusia, tetapi memuliakan Allah. Dari sini, kita belajar bahwa di zaman sekarang, manusia semakin hidup di luar Allah dan memuaskan keinginan duniawi, bahkan hal-hal rohani pun “dibaptis” dalam nama “yesus” menjadi sesuatu yang memuaskan keinginan diri. Sungguh tragis!
Meskipun dunia kita anti dengan doa Bapa Kami, adalah bijaksana dan rendah hati ketika kita meneladani doa yang diajarkan oleh Tuhan kita Yesus Kristus.
Bagi Prof. J. I. Packer, D.Phil., ada 7 aktivitas rohani yang berbeda di dalam Doa Bapa Kami ini, yaitu:
“menghampiri Allah dalam penyembahan dan percaya; menyadari pekerjaan dan kemuliaan-Nya, dalam pujian dan ibadah; mengakui dosa dan memohon pengampunan; memohon dicukupkannya kebutuhan-kebutuhan kita dan orang lain; bergumul dengan Allah untuk berkat, seperti Yakub yang bergumul dalam Kejadian 32 (Allah senang diajak bergumul); menerima dari Allah setiap situasi sebagai alat pembentukan bagi seseorang; dan mentaati Allah dengan setia dalam kelebihan dan kekurangan.”[1]
Bahkan Prof. J. I. Packer, D.Phil. berkata bahwa Doa Bapa Kami merupakan pengarah doa-doa kita selanjutnya yang paling aman untuk menjaga agar doa kita tetap di dalam kehendak Allah.[2]
Berikut isi doa Bapa Kami yang diajarkan Tuhan Yesus di dalam Matius 6:9-13:
“Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga. Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat. (Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.)”[3]
Mari kita belajar satu per satu isinya. Pada bagian 1 ini, kita hanya akan membahas frasa “Bapa kami yang di Sorga”.
BAPA (Mat. 6:9)
Dalam bahasa Yunani, kata “Bapa” adalah Pater dan dalam strukturnya, kata ini menandakan sebuah panggilan (vocative). Di sini berarti, di awal doa, Kristus mengajar kita untuk memanggil Allah sebagai Bapa, di mana kata “Bapa” ini menunjukkan ada ikatan kekeluargaan intim antara Allah dengan umat-Nya (bdk. Mzm. 103:13). Kita sebagai umat-Nya diperkenankan memanggil Allah sebagai Bapa, karena kita telah dilahirbarukan Roh Kudus (Rm. 8:15). Inilah wujud imanensi Allah[4] yang hendak Kristus ajarkan kepada para murid-Nya. Roh Kudus melayakkan kita memanggil Bapa, sedangkan mereka yang tidak dibaptis Roh Kudus (=mereka yang belum percaya kepada Kristus) TIDAK layak menyebut Allah sebagai Bapa.
Dengan memanggil Allah sebagai Bapa, maka secara langsung, kita menyadari bahwa kita adalah anak-anak-Nya. Anak-anak Allah adalah mereka yang telah dipilih oleh Allah sebelum dijadikan, lalu dipanggil, dibenarkan, dan dimuliakan-Nya kelak di dalam Kristus (Rm. 8:29-30). Atau menggunakan bahasa Petrus, anak-anak Allah adalah “orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya.” (1Ptr. 1:2)
Di sini, kita belajar yang disebut anak-anak Allah adalah HANYA mereka yang telah dipilih Allah untuk percaya kepada Kristus. Orang-orang yang belum atau bahkan menolak untuk percaya kepada Kristus TIDAK layak disebut anak-anak Allah. Dari konsep ini, marilah kita hari ini dengan bijak TIDAK sembarangan menyebut orang yang tidak percaya kepada Kristus sebagai anak Tuhan, karena penyebutan itu jelas melawan Alkitab dan berdosa, karena menyamakan yang bukan milik Allah sebagai milik Allah!
KAMI (Mat. 6:9)
Dalam bahasa Yunani, kata “kami” adalah hēmon yang merupakan kata ganti kepemilikan (genitive) orang pertama jamak. Menurut tata bahasa Yunani, kata hēmon ini diterjemahkan sebagai milik kami (our).[5] “Kami” di sini menunjuk kepada siapa? Menurut konteks di dalam Injil Matius, kata “kami” menunjuk kepada para murid-Nya yang kepadanya Kristus berkhotbah di atas bukit (Mat. 5:1; bdk. Luk. 11:1).
Meskipun di Lukas 11:2, tidak ada kata “kami” di dalam teks Yunaninya, sedangkan di Matius 6:9 memuat kata “kami”, perbedaan itu bukanlah hal yang patut dirisaukan, karena artinya sama saja. Apa artinya? Ketika Kristus mengucapkan kata “kami” di Matius 6:9 dan tidak mengucapkan kata “kami” di Lukas 11:2 (“Jawab Yesus kepada mereka: "Apabila kamu berdoa, katakanlah: Bapa,”), Ia hendak mengajar para murid-Nya bahwa mereka yang berada di dalam satu tubuh Kristus bersama-sama bersehati berdoa kepada Allah yang sama, yaitu Allah Bapa.
Di sini, kita belajar bahwa satu Allah Bapa yang diajarkan Kristus adalah satu Allah yang diimani oleh semua umat pilihan-Nya yang telah ditebus oleh darah Kristus! Dengan kata lain, orang-orang yang tidak percaya kepada Kristus TIDAK sedang menyembah Allah Bapa seperti yang disembah oleh orang percaya. Mengapa saya perlu menegaskan konsep ini? Karena saya telah menjumpai ada 2 orang Kristen (satu dari Kristen Katolik, yang satunya dari Kristen Karismatik) yang berkata bahwa orang-orang Islam menyembah “Allah” yang sama dengan orang Kristen yaitu menyembah Allah Bapa. Konsep ini jelas tidak sesuai dengan ajaran Alkitab, karena Allah orang Kristen adalah Allah Tritunggal dan secara khusus, Allah Bapa yang disembah orang Kristen adalah Allah yang berpribadi yang TIDAK dapat dipersamakan dengan “Allah” dari agama mana pun!
DI SORGA (Mat. 6:9)
“Di Sorga” yang dalam bahasa Yunaninya en tois ouranois (baca: en tois uranois; dalam bahasa Inggris: in the heaven; artinya: di dalam Sorga) menunjuk kepada “tempat” di mana Allah bertakhta/tinggal. Di dalam Perjanjian Lama, Yakub menyebut rumah Allah sebagai sorga (Kej. 28:17). Musa mengidentikkan Sorga sebagai tempat kediaman Allah yang kudus (Ul. 26:15; bdk. 1Raj. 8:30). Raja Daud menyebut Sorga sebagai takhta Allah (Mzm. 11:4). Di dalam Septuaginta, kata “Sorga” di dalam Mazmur 11:4 adalah ouranōi yang juga dipakai di dalam Matius 6:9.
Di sini, kita mendapatkan penjelasan bahwa ketika kita berdoa: Bapa kami yang ada di (dalam) Sorga, ini berarti kita yang ada di bumi sedang berdoa kepada Bapa di Sorga. Dengan kata lain, ada suatu ketransendenan Allah[6] yang hendak diajarkan Kristus. Di sini, Kristus hendak mengajar kita bahwa doa yang tepat adalah doa yang dipenuhi dengan rasa hormat dan takut kepada Allah yang berdaulat.
Namun, hari-hari ini, kita melihat beberapa (atau banyak?) orang Kristen dan pemimpin gereja diindoktrinasi bahwa kita harus mengklaim janji Allah di dalam doa (semboyannya: name it and claim it/sebut dan tuntutlah!). Hal ini jelas tidak sesuai dengan Alkitab dan menghina Allah, mengapa? Karena Alkitab mengajar bahwa Allah itu adalah Allah yang setia yang pasti selalu menepati janji-Nya. Dengan mengklaim janji Allah itu membuktikan bahwa Allah itu tidak setia dan pelupa yang perlu diingatkan setiap hari. Bukankah itu tindakan yang melecehkan Allah?
Dari ketiga poin yang telah kita pelajari (Bapa, kami, di Sorga), maka kita mendapatkan pengajaran Kristus yang komprehensif tentang natur Allah di dalam doa, yaitu kita sebagai umat-Nya di dalam Kristus menyembah Allah yang nun jauh di sana (transenden) sekaligus yang dekat dengan kita (imanen) dan konsep iman ini mempengaruhi kita dalam berdoa. Doa Kristen adalah doa yang didasari oleh kerinduan umat-Nya untuk berkomunikasi intim dengan Allah sebagai Bapa, sekaligus menyadari bahwa Bapa itu tetap adalah Allah yang Mahakudus, sedangkan manusia adalah makhluk berdosa.
Biarlah dengan berdoa “Bapa kami yang di Sorga”, kita diajar pertama-tama untuk menyembah Allah kita sebagai Bapa (yang dekat dengan kita, umat-Nya), namun Bapa itu tetap sebagai Allah yang harus kita sembah dan permuliakan selama-lamanya. Amin. Soli Deo Gloria.
[1] J. I. Packer, Kristen Sejati III: Doa Bapa Kami, terj. Sutjipto Subeno dan Susiana J. Subeno. (Edisi keempat). (Surabaya: Momentum Christian Literature, 2005), hlm. 8.
[2] Ibid., hlm. 8-9.
[3] Bandingkan isi doa ini dengan Lukas 11:2-4, “Bapa, dikuduskanlah nama-Mu; datanglah Kerajaan-Mu. Berikanlah kami setiap hari makanan kami yang secukupnya dan ampunilah kami akan dosa kami, sebab kamipun mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan.”
[4] Allah yang imanen adalah Allah yang mendekat kepada umat-Nya dan menyertai umat-Nya selama-lamanya. Wujud Allah yang imanen itu adalah Tuhan Yesus Kristus (Immanuel).
[5] William D. Mounce, Basics of Biblical Greek (Grammar) (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2009), hlm. 92.
[6] Allah yang transenden berarti Allah yang nun jauh di sana yang tak terjangkau oleh manusia.
No comments:
Post a Comment