oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.
Nats: 1 Korintus 9:19-23 (3)
Dalam beberapa khotbah yang lalu kita sudah belajar bahwa status Paulus sebagai hamba Allah (9:15-18) membuat ia bebas dari semua orang (seorang budak tidak mungkin memiliki dua tuan). Walaupun ia bebas dari semua orang, namun Paulus rela menghambakan diri pada semua orang (9:19). Sebagai contoh, ia mau menjadi seperti orang Yahudi maupun mereka yang hidup di bawah Hukum Taurat supaya ia bisa memenangkan mereka (9:20). Dalam khotbah kali ini kita akan melihat dua kelompok orang yang lain yang kepada mereka Paulus pun mau menghambakan diri. Mereka adalah orang yang tidak hidup di bawah Hukum Taurat (9:21) dan mereka yang lemah (9:22a).
Bagi Orang yang Tidak Hidup Di Bawah Hukum Taurat (ay. 21)
Di ayat ini Paulus menyinggung tentang orang yang tidak hidup di bawah Hukum Taurat (ay. 21a). Dalam teks Yunani dipakai sebutan anomos (a = tidak; nomos = hukum). Kata ini dalam Alkitab seringkali memiliki arti negatif yang merujuk pada orang/tindakan yang anti atau melanggar hukum (Luk. 22:37; Kis. 2:23; 2Tes. 2:8; 1Tim. 1:9; 2Ptr. 2:8). Apakah arti seperti ini yang dimaksud Paulus di 1 Korintus 9:19-23?
Kita tampaknya harus memikirkan alternatif arti yang lain, karena arti di atas tidak sesuai dengan konteks 1 Korintus 9:19-23. Paulus sedang memikirkan anomos dalam arti status (orang yang tidak memiliki Hukum Taurat = non Yahudi), bukan tindakan (orang durhaka/pelanggar Hukum Taurat). Ada beberapa alasan yang kuat mengapa kita sebaiknya memahami anomos di ayat ini bukan secara negatif. Pertama, walaupun kata sifat anomos sering berarti negatif, tetapi kata keterangan anomōs pernah dipakai Paulus untuk orang-orang non Yahudi secara umum yang berdosa tanpa Hukum Taurat (Rm. 2:12). Dari konteks yang ada anomōs di sini berarti “orang yang tidak memiliki Taurat”, bukan yang melanggar Taurat (bdk. “berdosa tanpa Taurat”, “dihakimi tanpa Taurat”). Kedua, paralelisme dengan kelompok “mereka yang hidup di bawah Hukum Taurat” (hypo nomon, 9:20b) mendorong kita menafsirkan anomos secara sejajar tetapi kebalikan dari hypo nomon. Karena hypo nomon lebih mengarah pada status sosial Yahudi, maka anomos juga kemungkinan besar dipahami dalam konteks status sosial non-Yahudi. Ketiga, jika anomos di 9:21 merujuk pada pelanggar Hukum Taurat, maka Paulus tidak mungkin mengungkapkan “aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah Taurat”. Ia tidak mungkin mengikuti dosa mereka, apalagi di ayat ini ia juga menambahkan “aku tidak hidup di luar hukum Allah tetapi di bawah Hukum Kristus”. Jadi, anomos di sini merupakan ungkapan lain untuk orang-orang non-Yahudi yang tidak hidup di bawah Taurat.
Ketika Paulus mengatakan bahwa ia hidup seperti anomos, ia tidak mungkin memaksudkan ini secara etnis, karena ia secara etnis tidak mungkin berubah dari orang Yahudi menjadi orang non-Yahudi. Ungkapan ini pasti merujuk pada kebiasaan hidup atau budaya non Yahudi. Secara khusus, Paulus sedang membicarakan tentang kebiasaan makan, karena memang isu di pasal 8-10 adalah tentang makanan. Di tengah komunitas non-Yahudi Paulus mengikuti pola makan mereka. Ia tidak keberatan jika harus membeli bahan makanan di pasar yang pasti sudah dipersembahkan sebelumnya kepada para dewa (10:25-26). Ia tidak menghindari ajakan makan orang lain (10:27).
Tindakan ini membutuhkan keberanian yang besar dan pemahaman teologis yang kuat. Bagi orang Yahudi, makan bersama orang non-Yahudi merupakan sesuatu yang sangat sensitif, menimbulkan ketidaknyamanan dan agak mustahil untuk dilakukan (Kis. 10:11-15, 28; Gal. 2:11-14). Cara memasak maupun memakan orang non-Yahudi tidak mungkin memenuhi peraturan kosher (halal) versi Yahudi. Bagaimanapun, Paulus rela membangun relasi dengan orang non-Yahudi dengan resiko bahwa ia harus merasa tidak terbiasa dan berpotensi untuk disalahpahami orang Yahudi yang lain. Ia bisa saja dianggap sebagai pelanggar Taurat atau orang yang gaya hidupnya plin-plan sesuai pergaulan yang ada.
Paulus selanjutnya memberi tambahan bahwa ia tidak hidup di luar hukum Allah (ay. 21b). Dalam teks Yunani kita dengan mudah menemukan permainan kata di sini: Paulus menjadi seperti anomos, tetapi ia sendiri bukanlah anomos Allah. Ia memang mengadopsi kebiasaan orang non-Yahudi yang tidak memiliki Taurat, tetapi bukan berarti bahwa ia sendiri hidup tanpa aturan. Ia mau menjadi “without law” (tanpa hukum), tetapi ia bukan“lawless” (“pelanggar hukum”). Hal ini mengajarkan sesuatu yang sangat penting bahwa kebebasan Kristiani di dalam Kristus bukan berarti “antinomianisme” (sebuah paham yang menekankan kebebasan mutlak tanpa aturan sama sekali). Kita memang tidak hidup di bawah Taurat lagi, namun itu bukanlah izin untuk hidup secara sembarangan (Rm. 6:14-15).
Bagi Paulus orang percaya tidak mungkin hidup tanpa hukum. Kita berada di bawah hukum Allah (7:19). Dengan demikian kita bisa mengatakan bahwa selalu ada batasan dalam kebebasan Kristiani. Dalam kaitan dengan isu seputar makanan, Paulus pun memiliki batasan yang jelas. Ia tidak mau makan bersama orang non-Yahudi di dalam kuil mereka, karena itu tergolong penyembahan berhala (10:6-22). Ketika ia menerima undangan makan orang lain dan tindakan itu menjadi batu sandungan, Paulus memilih untuk tidak meneruskan makan (10:28).
Penegasan Paulus bahwa ia tidak hidup di luar hukum Allah merupakan sesuatu yang perlu dilakukan. Paulus memikirkan dua tujuan di sini. Ia ingin menghindari kesalahpahaman atau fitnahan orang lain yang sering menuduh dia meniadakan tuntutan hukum (Kis. 21:21; Rom 3:8) untuk menyenangkan hati banyak orang (Gal. 1:10). Ia juga ingin menegur sebagian jemaat Korintus yang menganggap keselamatan di dalam Kristus sebagai alasan untuk hidup sembarangan (5:1-3; 6:13). Mereka secara sembarangan menggunakan kebebasan Kristiani sampai menjadi batu sandungan bagi orang lain (8:9).
“Hukum Allah” yang dimaksud Paulus sangat berkaitan dengan Kristus (ay. 21c). Hukum ini adalah hukum Kristus. Paulus jelas tidak sedang mengatakan bahwa Hukum Taurat bukanlah hukum dari Allah. Apa yang ingin disampaikan Paulus di sini adalah perspektif yang baru tentang Taurat. Orang Kristen tetap memiliki “Taurat”, yaitu Taurat yang dituliskan Allah dalam hati kita sebagai tanda perjanjian yang baru, seperti yang dinubuatkan oleh para nabi (Yer 31:31-33). Hukum ini diletakkan di dalam diri kita melalui karya Roh Kudus (36:26-27). Dalam Roma 8:2 Paulus secara jelas mengajarkan (NASB “For the law of the Spirit of life in Christ Jesus has set you free from the law of sin and of death”).
Semua tuntutan Taurat sudah digenapi di dalam Kristus melalui ketaatan-Nya yang sempurna (Rm. 8:3-4). Ia memang datang untuk menggenapi Taurat, bukan meniadakannya (Mat. 5:17-19). Di dalam Kristus Taurat telah diberi makna baru. Bagi orang Kristen Taurat bukanlah sebuah legalisme ataupun kumpulan persyaratan untuk keselamatan. Keagamaan legalistik seperti ini (terutama versi Farisi) pasti akan menimbulkan rasa letih lesu dan menjadi beban yang sangat berat bagi mereka yang hidup di bawahnya (Mat. 11:28), karena itu Yesus menawarkan sesuatu yang lain. Kekristenan tetap memiliki beban dan kuk tersendiri, namun kuk ini enak dan bebannya pun ringan, karena kekristenan merupakan proses belajar dari Tuhan Yesus (Mat. 11:29-30). Hidup Kristus merupakan “Taurat” bagi kita. Inilah yang dimaksud dengan hukum Kristus. Sama seperti Kristus telah menunjukkan kasih kepada orang lain, demikian pula ketika kita melakukan hal yang sama kita telah memenuhi hukum Kristus (Gal. 6:2). Sama seperti Kristus telah rela menghambakan diri bagi orang lain (Mrk. 10:43-45), demikian pula Paulus mau mengikuti hukum Kristus ini dengan jalan menjadi hamba bagi semua orang (1Kor. 9:19, 22b). Pendeknya, apa yang dinasehatkan Paulus di 1 Korintus 8-10 dapat dirangkum dalam satu kalimat “jadilah pengikutku sama seperti aku telah menjadi pengikut Kristus” (11:1). Inilah hukum Kristus, Taurat yang sejati.
Bagi Orang yang Lemah (ay. 22a)
Kelompok terakhir yang disinggung Paulus adalah orang yang lemah (asthenēs, ayat 22a). Sekilas kita mungkin berpikir bahwa Paulus sedang membicarakan tentang orang yang lemah secara hati nurani di 8:7-13. Dalam Roma 14:1-15:3 Paulus juga membahas tentang perdebatan seputar makanan dan ia menyinggung tentang orang yang lemah secara hati nurani. Kesan tersebut akan memudar apabila kita memperhatikan konteks yang lebih sempit di 9:19-23. Dalam konteks ini Paulus sedang membicarakan tentang orang-orang yang belum diselamatkan, sebagaimana tersirat dari frase “supaya aku memenangkan mereka…” yang muncul berkali-kali. Dari petunjuk ini kita dapat menyimpulkan bahwa orang yang lemah di 9:22a bukanlah orang Kristen, sedangkan orang yang lemah hati nuraninya di 8:11 adalah orang yang sudah percaya.
Alasan lain mengapa orang yang lemah di 9:22a tidak boleh dipahami sebagai lemah secara hati nurani adalah ketidakadaan kata “seperti” di ayat 22a yang sebelumnya kita dipakai sejak ayat 20. Dalam hal ini terjemahan LAI:TB “aku menjadi seperti orang yang lemah” tidak terlalu tepat (terjemahan ini mungkin dipengaruhi oleh KJV/NKJV “I became as weak”). Semua versi lain memilih “I became weak” (ASV/NASB/RSV/NRSV/NIV/ESV/NET). Jika terjemahan hurufiah ini diikuti maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa Paulus benar-benar lemah. Ia tidak menambahkan “walaupun aku…*tidak lemah+” seperti yang ia pakai di dua ayat sebelumnya (9:20-21), karena ia memang benar-benar lemah. Seandainya lemah di 9:22a dipahami dalam hal hati nurani, maka Paulus pun memiliki kelemahan itu, padahal bukan itu yang terjadi. Jadi, lemah di sini pasti bukan secara hati nurani. Kelemahan di sini adalah kelemahan yang memang dimiliki oleh Paulus juga.
“Orang yang lemah” di 9:22a sebaiknya dilihat dari sisi sosial. Kita sudah membahas berkali-kali bahwa di mata jemaat Korintus Paulus tampak sangat lemah (4:10; 2Kor. 10:10; 11:21; 13:4, 9). Gaya berkhotbah Paulus terlihat lemah jika dibandingkan dengan para orator ulung waktu itu, baik dari sisi isi, penampilan pembicara, maupun cara penyampaian (2:1-5). Pekerjaan Paulus yang kasar sebagai pembuat tenda ikut menegaskan kelemahan Paulus (4:10-13). Semua ini dilakukan Paulus karena ia ingin memenangkan orang lain yang lemah.
Jemaat Korintus sendiri dahulu adalah orang-orang yang lemah menurut ukuran dunia (1:26-28). Setelah bersentuhan dengan hikmat duniawi mereka malah merasa diri kuat dan hebat (1:18, 22-23). Kesombongan inilah yang menjadi salah satu masalah utama dalam jemaat, sehingga Paulus berkali-kali perlu mengajarkan kepada mereka bahwa kekuatan sejati adalah kelemahan di dalam Kristus (2Kor. 11:30; 12:5, 9-10; 13:9). Jika kita lemah, maka kita kuat (2Kor. 12:10a). Sebaliknya, orang yang merasa teguh berdiri maka ia akan jatuh (1Kor. 10:13). Sebuah paradoks yang indah!
Apa yang diajarkan dan dilakukan Paulus di sini bersumber dari ajaran Tuhan Yesus (1Kor. 11:1). Kristus mau mengasihi orang yang lemah (Rm. 5:6). Ia mau menjadi miskin untuk memperkaya orang lain (2Kor. 8:9). Ia disalibkan dalam kelemahan, tetapi dihidupkan dalam kuasa Allah (2Kor. 13:4). Begitu pula dengan Paulus. Ia belajar menjadi lemah menurut ukuran dunia demi injil yang ia beritakan (2Kor. 6:8-10). Sukacita Paulus adalah ketika kelemahannya justru dipakai Tuhan untuk menguatkan orang lain (2Kor. 13:9 “sebab kami bersukacita apabila kami lemah dan kamu kuat).
Aplikasi
Memahami orang lain demi kepentingan Kristus tidaklah mudah. Mengutamakan kepentingan orang merupakan tugas yang rumit. Menjadi seperti orang lain adalah pergumulan yang paling sulit. Bagaimanapun, Allah telah memberikan teladan bagi kita sebagai dorongan bahwa hal itu bukan sesuatu yang mustahil untuk dilakukan. Sama seperti Kristus telah rela meninggalkan kemuliaan sorga dan menjadi sama seperti manusia – bahkan lebih hina daripada semua orang ketika ia menanggung kutuk Allah di kayu salib – demikian pula kita harus mau menjadi lemah demi keselamatan orang lain. Sama seperti Paulus telah mengikuti teladan Yesus yang mau berkorban, demikian pula kita harus mau kehilangan hak dan kebebasan demi injil. Soli Deo Gloria. #
Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 23 Mei 2010
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/SER-1 Korintus%2009%20ayat%2019-23%20(3).pdf
No comments:
Post a Comment