01 May 2010

Bahasa Roh Menurut Calvin dan Implikasinya bagi Gereja Masa Kini (Pdt. Timotius Fu, M.Th.)

BAHASA ROH MENURUT CALVIN DAN IMPLIKASINYA BAGI GEREJA MASA KINI

oleh: Pdt. Drs. Timotius Fu, M.Div., M.Th.




Beberapa tahun lalu, saya berkesempatan mengikuti sebuah seminar theologi yang dipimpin oleh seorang pendeta terkenal dari Amerika Serikat. Sebelum seminar dimulai, sekitar 2000 peserta yang hadir diajak terlebih dahulu mengikuti acara Praise and Worship. Setelah menyanyi beberapa pujian, tiba-tiba musik diperlambat dan pembawa acara mengangkat tangan, menutup mata, dan mulutnya mengeluarkan “komat-kamit” suku kata-suku kata yang tidak dimengerti oleh seorang pun. Kontan, sebagian besar peserta mulai mengikuti apa yang dilakukan oleh pembawa acara tersebut. Akibatnya, suasana jadi ribut dengan bahasa-bahasa aneh, teriakan-teriakan yang liar, serta sebagian peserta terlihat menangis atau ketawa tidak terkendali. Setelah “pertunjukan” tersebut berlangsung sekitar 20 menit, pembawa acara mengumumkan bahwa tiba saatnya para peserta mengusir segala kuasa gelap dan gangguan lainnya dari dalam ruang pertemuan, dan untuk itu semua yang hadir harus melakukannya dengan “berbahasa roh.”1 Di bawah komando sang pembawa acara, kembali ruangan kebaktian menjadi ribut dan kacau, masing-masing mengeluarkan bunyi-bunyian aneh yang bagi mereka adalah “bahasa roh” yang dipakai untuk mengusir Setan dan para pengikutnya dari ruangan tersebut.

Menyaksikan fenomena seperti itu, perasaan saya bercampur baur, ada rasa takut sehingga bulu kuduk berdiri, ada rasa canggung karena menjadi orang “aneh” di tengah-tengah mereka, dan ada rasa ingin tahu apa yang selanjutnya akan terjadi. Dalam kondisi itu muncul dalam pikiran saya sebuah seri pertanyaan: “Seandainya John Calvin masih hidup dan hadir dalam kebaktian ini, bagaimana reaksinya? Apakah dia akan menerima dan mempraktikkan hal yang sama? Atau dia akan menentang, bahkan mengajarkan fenomena tersebut sebagai tindakan yang tidak alkitabiah?”

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, tulisan ini disajikan dengan harapan agar kita semua memiliki pandangan yang tepat tentang natur dari karunia bahasa roh serta implikasinya bagi kehidupan bergereja masa kini.




PENGAJARAN CALVIN TENTANG BAHASA ROH
Natur Bahasa Roh
Calvin secara konsisten menafsirkan fenomena bahasa roh sebagai kemampuan untuk berbicara dalam bahasa asing yang sama sekali tidak pernah dipelajari oleh pembicara sebelumnya. Hal ini terlihat jelas dari komentarnya atas peristiwa dan pengajaran mengenai karunia bahasa roh yang tercatat dalam Alkitab, baik di Kisah Para Rasul maupun 1 Korintus 12-14.

Mengomentari fenomena berbahasa roh yang terjadi pada hari Pentakosta, ia menulis:
He showeth that the effect did appear presently, and also to use their tongues were to be framed and applied. But because Luke setteth down shortly after, that strangers out of divers countries hear the apostles speaking in their own tongue. . . . I suppose that it doth manifestly appear hereby that the apostles had the variety and understanding to tongues given them, that they might speak unto the Greek in Greek, unto the Italians in the Italian tongue, and that they might have true communication (and conference) with their hearers.2

Hal yang sama diungkapkan dalam khotbahnya di hari Pentakosta:
How then were the Apostles, having always been isolated as foolish and unlearned people in this corner of Judea, able to publish the Gospel to all the world, unless God accomplished what He had previously promised: namely, that He would be known by all tongues and by all nations?3

Terhadap kejadian serupa yang tercatat di rumah Kornelius (Kis. 10), Calvin hanya memberi dua kalimat untuk menjelaskan natur dari bahasa roh, yakni: “He expresseth what gifts of the Spirit were poured out upon them, and therewithal he noteth the use; to wit, that they had variety of tongues given them, so that they did glorify God with many tongues.”4

Penafsiran yang sama ditunjukkan Calvin ketika ia mengomentari pengajaran rasul Paulus di 1 Korintus 12-14. Secara spesifik ia menuliskan bahwa “in the use of the word tongue, there is not a pleonasm (a figure of speech – involving a redundancy of expression). . . . The term denotes a foreign language.”5 Selanjutnya, berulang kali—dalam bagian Alkitab ini—ia mengartikan karunia bahasa roh sebagai kemampuan yang diberikan kepada Roh Kudus kepada seseorang untuk berbahasa asing tanpa terlebih dahulu mempelajarinya, misalnya: “karunia untuk berkatakata dengan bahasa roh” (12:10) ditafsirkan sebagai kemampuan untuk berbicara bahasa bangsa asing;6 “berdoa dengan bahasa roh” (14:14) diartikan sebagai “to frame a prayer in a foreign language”;7 dan bahasa roh bagi orang percaya di kota Korintus yang dianalogikan dengan bahasa Ibrani dan Yunani bagi Calvin dan orang sezamannya.8

Dengan penafsiran di atas, Calvin menyangkal kemungkinan untuk menafsirkan praktik bahasa roh sebagai suatu kepenuhan Roh Kudus yang menghasilkan fenomena ecstatic dengan mengucapkan bunyi-bunyian atau suku kata-suku kata yang sepenuhnya bukan bahasa manusia, sehingga menjadi asing bagi segala bangsa.9

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bagi Calvin, karunia berbahasa roh dalam Alkitab hanya memiliki satu makna, yakni sebuah karya Roh Kudus atas orang percaya sehingga mampu berbahasa asing tanpa terlebih dahulu mempelajarinya. Selanjutnya, pandangan ini yang mewakili pandangan Calvin dalam tulisan ini.


Fungsi Bahasa Roh
Di mata Calvin, bahasa roh adalah sebuah karunia yang diberikan oleh Roh Kudus kepada orang percaya.10 Namun, karunia ini—sama seperti karunia yang lainnya juga—tidak serta merta diberikan kepada semua orang11 pada setiap saat, tetapi hanya diberikan oleh Roh Kudus dalam kondisi tertentu dengan tujuan tertentu.12 Sesuai dengan keyakinannya, semua karunia roh diberikan Roh Kudus kepada orang percaya dengan satu tujuan utama, yakni untuk membangun tubuh Kristus, sehingga penerapan karunia apa pun kalau bukan bertujuan membangun tubuh Kristus adalah pelanggaran dari tujuan Roh Kudus memberikan karuniakarunia tersebut.13

Sesuai dengan penjelasan di atas, karunia bahasa roh juga harus dipraktikkan demi pembangunan tubuh Kristus, yakni: pertama, karunia bahasa roh diberikan dalam hubungan yang sangat erat dengan pekabaran Injil. Tujuan karunia bahasa roh dalam aspek ini secara khusus ditemukan dalam catatan di Kisah Para Rasul. Pada saat itu, para rasul atau pekabar Injil di abad pertama mengalami keterbatasan karena faktor bahasa. Dengan memberikan kemampuan berbahasa asing kepada para rasul, Allah telah menghilangkan salah satu penghalang utama pekabaran Injil. Hal ini dapat dibaca lewat komentarnya atas peristiwa para murid berbahasa roh pada hari Pentakosta:
The diversity of tongues did hinder the gospel from being spread abroad any farther; so that, if the preachers of the gospel had spoken one language only, all men would have thought that Christ had been shut up in the small corner of Jewry.14

Dalam khotbahnya di hari Pentakosta, ia juga mengungkapkan bahwa Roh Kudus memberikan manifestasi bahasa roh kepada para rasul dengan dua tujuan, yakni agar Injil dapat disampaikan kepada segala bangsa dalam bahasa mereka masing-masing dan agar konsep yang salah bahwa keselamatan hanya disediakan bagi bangsa Yahudi dapat dibuang, seperti yang dapat dibaca lewat kutipan berikut ini:
It is true that it is said that all will speak the Hebrew language in order to join in a true faith, but the truth is better declared to us when it is said that all believers, from whatever region they may be, will cry, “Abba, Father,”invoking God with one accord; although there may be diversity of language. That, then, is how the Spirit of God wished to display His power in these tongues, in order that the Name of God might be invoked by all and that we might together be made partakers of this covenant of salvation which belonged only to the Jews until the wall was torn down.15

Pendapat di atas diperkuat dengan pernyataan dari rasul Paulus bahwa “karunia bahasa roh adalah tanda, bukan untuk orang yang beriman, tetapi untuk orang yang tidak beriman” (1Kor. 14:22). Bagi Calvin, kalimat di atas berarti karunia ini berfungsi sebagai sebuah mukjizat untuk dipertunjukkan kepada orang yang belum percaya agar mereka diyakinkan untuk menerima Injil, seperti yang dapat dibaca dari tulisannya:
The advantages derived from tongues were various. They provided against necessity— that diversity of tongues might not prevent the Apostles from disseminating the gospel over the whole world: there was, consequently, no nation with which they could not hold fellowship.16

Hasil dari pekabaran Injil adalah bangsa-bangsa yang datang dari aneka ragam latar belakang dan bahasa dapat bersatu di hadapan Tuhan, seperti yang tertuang dalam pikirannya: “But God did furnish the apostles with the diversity of tongues now, that he may bring and call home, into a blessed unity, men which wander here and there.”17

Konsep yang sama diungkapkannya ketika mengomentari kejadian di rumah Kornelius (Kis. 10:46) dengan mengatakan bahwa “that the tongues were given them . . . seeing the gospel to be preached to strangers and to men of another language.”18

Kedua, praktik bahasa roh dalam pertemuan jemaat. Bagi Calvin, bahasa roh—sama dengan karunia yang lain—memiliki satu tujuan utama, yakni untuk membangun jemaat19 dan membawa berkat bagi semua orang (for the common benefit).20 Supaya dapat membangun jemaat, maka semua bentuk praktik bahasa roh harus dapat dimengerti oleh orang-orang yang hadir dalam pertemuan ibadah tersebut, seperti yang dapat dibaca dalam tulisannya:
For the gift of tongues was conferred— not for the mere purpose of uttering a sound, but, on the contrary, with the view of making a communication. For how ridiculous a thing it would be, that the tongue of a Roman should be framed by the Spirit of God to pronounce Greek words, which were altogether unknown to the speaker, as parrots, magpies, and crows, ar taught to mimic human voices!21

Sesuai dengan pengajaran rasul Paulus di 1 Korintus 12-14, Calvin menerapkan prinsip bahwa dalam setiap pengajaran yang menggunakan bahasa roh harus diterjemahkan ke dalam bahasa yang dimengerti oleh semua pendengar; dan seandainya tidak ada penerjemah, maka tidak seorang pun diizinkan berbicara dengan bahasa roh dalam pertemuan ibadah.22 Baginya, karunia bahasa roh yang dipadukan dengan karunia menerjemahkan menghasilkan karunia bernubuat, seperti ungkapannya: “For if interpretation is added, there will then be prophecy.”23

Sebaliknya, praktik bahasa roh yang tidak diterjemahkan dalam sebuah pertemuan ibadah merupakan sebuah pelanggaran atau penyalahgunaan, yang digambarkan Calvin dengan berbagai istilah berikut: (1) Misdirected ambition: sebuah ambisi untuk menyombongkan diri24 atau mempertontonkan kehebatan pribadi dalam barbahasa asing di balik praktik berbahasa roh di hadapan umum;25 untuk hal ini Calvin menyebut bahasa roh sebagai empty vauntings.26 (2) Speaking to no purpose: sebuah praktik berbahasa asing yang tidak membawa manfaat apa pun bagi pendengar, yang menurut Calvin bahwa “thy voice will not reach either to God or man, but will vanish into air.”27 (3) Speaking as a barbarian: sebuah manifestasi bahasa roh yang membingungkan para pendengar karena pada dasarnya tidak ada seorang pun yang mengerti;28 para pendengar pada gilirannya nanti akan menghina mereka yang berbahasa roh, yang oleh Calvin digambarkan sebagai “how foolish then it is and preposterous in a man, to utter in an assembly a voice which the hearer understand nothing – in which he perceives no token from which he may learn what the person means!”29

Ketiga, praktik bahasa roh dalam doa orang percaya. Sehubungan dengan hal ini, Calvin berpegang kepada prinsip bahwa semua doa harus diucapkan dalam bahasa yang dapat dimengerti. Baginya, doa tanpa pengertian tidak mungkin diterima oleh Allah, seperti yang dapat dibaca dalam tulisannya: “But this must be fully admitted: that it is by no means possible, either in public prayer or in private, that the tongue without the heart is accepted by God.”30 Di bagian lain, ia menulis bahwa berdoa dalam bahasa roh namun tanpa pengertian adalah sebuah pelanggaran atas fungsi dan tujuan dari karunia tersebut, sehingga tindakan tersebut merupakan sesuatu yang tidak berkenan kepada Allah.31 Ia bahkan mengritik gereja Katolik Roma yang saat itu mempraktikkan hal ini, menurutnya:
It is also plain that public prayers are not to be couched in Greek among the Latins, nor in Latin among the French or English (as hitherto has been everywhere practiced), but in vulgar tongue, so that all present may understand them, since they ought to be used for the edification of the whole Church, which cannot be in the least degree benefited by a sound not understood.32

Hal yang sama juga diajarkannya mengenai doa pribadi ketika ia menulis bahwa “the tongue is not even necessary to private prayer.”33 Namun, ia memberikan sebuah pengecualian penggunaan bahasa roh dalam doa, yakni ketika seseorang dalam kondisi yang sedemikian rupa sehingga tidak mampu mengucapkan kata-kata dan secara spontan mengeluarkan bahasa roh atau bahasa tubuh lainnya. Tetapi, dalam kondisi demikian pun, orang tersebut tidak boleh kehilangan pengendalian atas pikiran dan pengertian, seperti yang ia tuliskan:
For although the best prayers are sometimes without utterances, yet when the feeling of the mind is overpowering, the tongue spontaneously breaks forth into utterance, and our other members in gesture. Hence that dubious muttering of Hannah (1Sam. 1:13), something similar to which is experienced by all saints when concise and abrupt expressions escape from them..34




IMPLIKASI DARI PENGAJARAN CALVIN BAGI GEREJA MASA KINI
Tidak dapat disangkal bahwa sejarah gereja mencatat Calvin sebagai salah satu “bintang yang paling bersinar di tengah-tengah masa kegelapan gereja.”Buah pemikiran dan karyanya telah menjadi salah satu acuan utama kehidupan bergereja sepanjang masa, salah satunya adalah berhubungan dengan pengajarannya tentang karunia bahasa roh.

Pemaparan pengajaran di atas membawa beberapa implikasi praktis bagi kalangan orang percaya hari ini. Pertama, karunia bahasa roh tidak berfungsi sebagai penentu tingkat spiritualitas seseorang. Zaman ini, terdapat kelompok-kelompok tertentu yang mengajarkan bahwa kemampuan berbahasa roh merupakan tanda tingginya tingkat kerohanian seseorang,35 bahkan tidak sedikit yang menjadikannya sebagai prasyarat untuk menerima keselamatan.36 Pandangan demikian telah dianulir oleh pengajaran Calvin yang menyatakan bahwa karunia bahasa roh hanya memiliki dua fungsi, yakni sebagai alat untuk mengabarkan Injil dan sebagai alat untuk membangun jemaat. Dengan kata lain, dalam pandangannya, bahasa roh tidak ada hubungan dengan tingkat spiritualitas seseorang. Baginya, tingkat spiritualitas seseorang ditentukan oleh ada tidaknya ia menyatu dengan Yesus Kristus dalam semua aspek kehidupan sehari-hari, seperti yang dapat dibaca dari tafsirannya terhadap perumpamaan tentang pohon anggur dan carang-carangnya:
Now, there are three principal parts; first, that we have no power of doing good but what comes from himself; secondly, that we, having a root in him, are dressed and pruned by the Father; thirdly, that he removes the unfruitful branches, that they may be thrown into the fire and burned.37

Selanjutnya, berbicara tentang pruning, ia menulis:
By these words, he shows that believers need incessant culture, that they may be prevented from degenerating. . . . When he says that the vines are pruned, that they may yield more abundant fruit, he shows what ought to be the progress of believers in the course of true religions.38

Masih dalam konteks yang sama, ia menyimpulkan bahwa:
Christ has no other object in view than to keep us as a hen keepeth her chickens under her wings (Matth. xxiii. 37), lest our indifference should carry us away, and make us fly to our destruction. In order to prove that he did not begin the work of our salvation for the purpose of leaving it imperfect in the middle of the course, he promises that his Spirit will always be efficacious in us, if we do not prevent him.39

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa spiritualitas dapat diumpamakan dengan carang-carang yang bergantung sepenuhnya kepada pohon untuk mendapatkan makanan, perawatan, dan perlindungan agar dapat menghasilkan banyak buah.

Pandangan Calvin di atas juga didukung oleh beberapa penulis modern. Di antaranya adalah Dallas Willard yang mengartikan spiritualitas sebagai sebuah renovation of the heart, sebuah proses di mana seseorang menerima kehidupan yang baru dari Yesus Kristus dan secara konstan hidup di dalam hadirat-Nya untuk menerima makanan rohani bagi setiap hari.40

Pernyataan yang senada juga diungkapkan oleh R. Paul Stevens dan Michael Green yang mengartikan spiritualitas sebagai sebuah kehidupan yang dipenuhi dengan pengalaman bersama Allah, sehingga orang-orang percaya dapat menemukan Allah dalam setiap aspek kehidupan, termasuk di dalamnya pekerjaan, hubungan dengan sesama, dan kehidupan di gereja serta dunia.41 Bagi mereka, spiritualitas yang sejati hanya dapat dicapai dengan ketaatan kepada pengajaran Alkitab dan sebuah hati yang takut akan Allah.42

Sementara itu, Barry L. Callen mengungkapkan bahwa spiritualitas Kristen lebih dari sekadar usaha mencari Tuhan lewat pengajaran dan liturgi keagamaan, melainkan sebuah hati yang terpanggil dan siap untuk mengiring Tuhan dan terbuka untuk dipimpin oleh Roh Kudus dalam kehidupan setiap hari,
For the church to be authentically Christian, spiritual as God intends, the primary influences must be an intentional alliance with Jesus Christ and a genuine openness to the power of the Holy Spirit. . . . The Spirit wants to move the church beyond the spiritual deadness of mere religion.43

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa spiritualitas Kristen yang sejati ditemukan di dalam hubungan yang erat dan konstan dengan Yesus Kristus, dengan firman Allah, dengan ketaatan kepada pengajaran Allah. Karunia bahasa roh mutlak tidak dapat membawa orang percaya kepada tingkat tersebut karena Roh Kudus tidak memberikan karunia ini untuk mencapai tujuan tersebut.

Kedua, manifestasi karunia bahasa roh dalam pertemuan jemaat harus dilaksanakan dalam konteks membangun jemaat. Calvin tidak pernah melarang orang berbahasa roh, namun ia selalu memegang prinsip bahwa dalam pertemuan jemaat, karunia bahasa roh harus dipraktikkan untuk kebaikan semua yang hadir serta berjalan dengan tertib dan lancar. Hal ini tentu bertolak belakang dengan apa yang terjadi dalam pertemuan atau kebaktian di kalangan tertentu.

Hari ini tidak sulit ditemukan kelompok orang percaya, atas nama sebuah puji dan sembah dalam ibadah, secara simultan mengucapkan (lebih tepat meneriakkan) kalimat-kalimat dalam suku kata yang tidak dapat dimengerti manusia (unintelligible) dalam suasana yang kacau dan tidak terkendali. Adakah manfaat dari fenomena tersebut? Jawabannya adalah tidak, baik bagi yang mempraktikkan atau yang menyaksikan, karena pada dasarnya apa yang diucapkan tidak dimengerti oleh siapa pun juga. Jika ada orang yang mengaku bahwa sewaktu atau setelah mempraktikkan apa yang mereka sebut sebagai bahasa roh tersebut, mereka merasa “lebih dekat kepada Allah, lebih rohani, lebih sukacita, atau melihat kemuliaan Allah,” semua pengakuan tersebut tentu tidak dapat dipertanggungjawabkan secara alkitabiah, karena Alkitab tidak pernah mengajarkan bahwa bahasa roh berfungsi untuk hasil-hasil yang disebutkan di atas. Jadi, apa yang sudah dilakukan di atas bukan hanya tidak membawa berkat, sebaliknya Calvin sudah memperingatkan bahwa mereka sangat mungkin dianggap sebagai orang yang memiliki misdirected ambition untuk menampilkan sebuah pertunjukan rohani agar dinilai lebih hebat, lebih suci, atau lebih rohani.

Sedangkan, bagi para pendengar atau mereka yang tidak mempraktikkan, kejadian tersebut alih-alih membawa berkat atau manfaat, sebaliknya tentu menciptakan sebuah kebingungan yang besar, karena pada dasarnya mereka sama sekali tidak mengerti apa yang sedang diucapkan atau apa yang sedang terjadi. Kejadian seperti itulah yang digambarkan oleh Calvin sebagai praktik speaking to no purpose atau speaking as a barbarian. Dengan kata lain, apa yang sedang terjadi sebenarnya merupakan sebuah penyalahgunaan atau penyimpangan dari karunia yang diberikan oleh Roh Kudus,44 sehingga kebaktian atau ibadah yang dipenuhi dengan fenomena seperti itu tentu bukan hal yang berkenan kepada Tuhan.

Ketiga, karunia bahasa roh tidak berperan di dalam gerakan kebangunan rohani. Pembahasan mengenai Calvin tidak pernah lepas dari konteks Reformasi gereja pada abad ke-16. Dalam catatan sejarah gereja, gerakan Reformasi gereja merupakan sebuah kebangunan rohani yang tidak tertandingi, baik dari segi luasnya pengaruh maupun pembaharuan spiritualitas orang percaya. Uniknya, selama proses gerakan ini tidak tercatat sedikit pun peran karunia bahasa roh di dalamnya.45 Kenyataan di atas seharusnya tidak membuat kita heran karena pada dasarnya karunia bahasa roh diberikan oleh Roh Kudus bukan untuk tujuan kebangunan rohani, seperti yang dijelaskan lewat pengajaran Calvin di atas serta kenyataan bahwa sejarah tidak merekam sedikit pun jejak praktik bahasa roh dalam kehidupannya.

Memang, hari ini cukup banyak gereja yang mengalami “kebangunan rohani”46 mengaku bahwa sumber kebangunan tersebut adalah karunia bahasa roh. Namun, pengakuan tersebut perlu diimbangi dengan kenyataan bahwa tidak semua gereja yang berbahasa roh mengalami kebangunan rohani dan sebaliknya tidak semua gereja yang mengalami kebangunan rohani berbahasa roh. Lagi pula, tidak sedikit “kebangunan rohani” yang dimaksud lebih difokuskan kepada hal-hal lahiriah, seperti bertambahnya pengunjung kebaktian, jumlah persembahan, atau kesuksesan lahiriah lainnya; yang tentu bukan tolok ukur yang sebenarnya bagi sebuah kebangunan rohani yang sejati.


KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, penulis menyimpulkan beberapa hal:
Pertama, natur bahasa roh yang dikaruniakan Roh Kudus kepada orang percaya adalah kemampuan seseorang untuk mengucapkan bahasa asing tanpa terlebih dahulu mempelajarinya. Bahasa asing yang dimaksud adalah bahasa manusia yang dapat dimengerti oleh pemakai aslinya.

Kedua, Roh Kudus memberikan karunia ini dengan dua tujuan: sebagai alat untuk mengabarkan Injil dan sebagai alat untuk membangun jemaat. Oleh sebab itu, setiap aplikasi dari karunia ini harus diterapkan dalam koridor dua tujuan pemberian di atas.

Ketiga, karunia bahasa roh dapat disalahgunakan, baik untuk tujuan menyombongkan diri dengan menjadikan karunia berbahasa roh sebagai bahan pertunjukan maupun dalam bentuk “kebodohan,” yakni mengucapkan kata-kata yang tidak dimengerti baik oleh pembicara maupun pendengar, sehingga apa yang dilakukan tidak mencapai tujuan apa pun juga serta tidak membawa manfaat kepada siapa pun juga.

Keempat, karunia bahasa roh tidak dapat dijadikan baik sebagai tolok ukur tingkat kerohanian—apalagi sebagai prasyarat keselamatan—seseorang, maupun alat untuk mencapai kebangunan rohani sebuah Gereja, karena karunia ini diberikan bukan untuk tujuan tersebut.



Catatan kaki:
1. “Bahasa roh” versi orang-orang yang mempraktikkannya dalam pertemuan tersebut.
2. Commentaries (Grand Rapids: Baker, 1984) 18.78-79.
3. “First Sermon on Pentecost”dalam John Calvin: Selections from His Writings (ed. John Dillenberger; Missoula: Scholars, 1975), hlm. 564.
4. Commentaries 18.453.
5. Commentaries 20.435 [penekanan oleh Calvin].
6. Ibid., hlm. 403.
7. Ibid., hlm. 444.
8. Ibid., hlm. 459.
9. Calvin secara eksplisit mengungkapkan hal ini dengan menjelaskan bahwa istilah “another tongue”(yang diterjemahkan menjadi bahasa roh) berasal dari kata hetera glossa yang berarti a foreign or not known language—bahasa yang tidak dimengerti; bukan agnoste glossa yang berarti an unknown language—bahasa yang tidak dikenal (lih. catatan kaki no. 1 di Ibid., hlm.435).
10. Terbukti dari tulisannya yang menyebut fenomena ini sebagai “gift of the Spirit”(Commentaries 19.210; Commentaries 20.453).
11. Mengenai hal ini, ia menulis: “In the same place he affirmeth that it is a special gift, wherewith all men are not endued” (Commentaries 18.77).
12. Ibid., hlm. 453.
13. Institutes III.2.9.
14. Commentaries 18.75.
15. “First Sermon on Pentecost”, hlm. 564.
16. Commentaries 20.454.
17. Commentaries 18.75.
18. Commentaries 18.453.
19. Seperti yang ditulisnya: “In short, let us simply have an eye to this as our end—that edification may redound to the Church”(Commentaries 20.437).
20. Ibid., hlm.436.
21. Ibid., hlm. 445.
22. Ibid., hlm. 458-459.
23. Ibid., hlm. 437.
24. Ibid., hlm. 442.
25. Calvin ingin supaya orang yang berbahasa roh berdoa agar di tengah-tengah terdapat orang lain yang diberi karunia untuk menerjemahkan, kalau tidak, “let him abstain in the meantime from ostentation” (Ibid., hlm.443).
26. Ibid., hlm. 436.
27. Ibid., hlm. 440.
28. Calvin menulis: “For all hear a sound, but they do not understand what is said” (Ibid., hlm.435).
29. Ibid., hlm. 441.
30. “Concerning Prayer, Together with an Explanation of the Lord’s Prayer” dalam John Calvin: Selections from His Writings, hlm. 316.
31. Yakni: “The principle we must always hold is, that in all prayer, public or private, the tongue without the mind must be displeasing to God” (Institutes III.20.33).
32. Ibid.
33. Ibid.
34. Ibid.
35. Seperti pernyataan Larry Christenson, “Moving from theological to practical consideration, however, this pattern in its entirely— including speaking in tongues— can prove extremely helpful. For many people it has been a key to a deeper walk with the Lord, more power for serving Him, and for being an effective witness” (Speaking in Tongues and Its Significance for the Church [London: Fountain Trust, 1968], hlm. 54). Roberts Liardon juga menyuarakan hal yang sama dengan mengatakan bahwa bahasa roh akan membuat orang percaya menjadi lebih kuat, lebih peka secara rohani, terbangun imannya, mulutnya disucikan, rohnya disegarkan, dan mendapatkan kuasa untuk menjadi saksi (Mengapa Iblis Tidak Ingin Kita Berdoa dalam Bahasa Roh? [Jakarta: Metanoia, 2000], hlm. 33-37).
36. Terdapat kelompok tertentu yang mengajarkan bahwa setiap orang yang ingin diselamatkan harus terlebih dahulu menerima baptisan Roh Kudus yang ditandai dengan kemampuan berbahasa roh. Ini berarti bahwa bahasa roh adalah prasyarat keselamatan seseorang. Kalau ini benar, berarti Calvin dan banyak tokoh iman lainnya tidak diselamatkan karena tidak berbahasa roh sewaktu menerima baptisan Roh Kudus.
37. Commentaries 18.107.
38. Ibid., hlm. 108.
39. Ibid., hlm. 109.
40. Dalam hal ini, Willard menulis, “Man does not live on bread alone. Those are, of course words from Jesus. And this is truly the way of the heart or spirit. If we want to live fully, we must live with him at that interior level. And he gives this life as a gift. The spiritual renovation, the spiritual which comes from Jesus is nothing less than an invasion of natural human reality by a supernatural life from God. We can live by nourishing ourselves constantly on his presence, here and now, beyond his death and ours” (Renovation of the Heart [Leicester: InterVarsity, 2002], hlm. 5).
41. Dalam hal ini, Stevens dan Green menulis: “Spirituality, as we are defining here, is our lived experience of God in the multiple contexts of life in which the seeking Father finds us. This experience of God enables us to discover the transcendent meaning of everyday life including our work, relationships, life in the church and world” (Living the Story: Biblical Spirituality for Everyday Christians [Grand Rapids: Eerdmans, 2003] x).
42. Ibid., hlm. x-xii.
43. Authentic Spirituality: Moving Beyond Mere Religion (Grand Rapids: Baker, 2001), hlm. 19.
44. Atau bahkan tidak sedikit orang menganggap itu sebagai manifestasi dari kuasa gelap atau fenomena psikologis dari orang yang jiwanya terganggu (lih. E. Glenn Hinson, “The Significance of Glossolalia in the History of Christianity”dalam Speaking in Tongues: A Guide to Research on Glossolalia [ed. Watson E. Mills; Grand Rapids: Eerdmans, 1986], hlm. 189-193).
45. George W. Dollar menulis bahwa “Actually, speaking in tongues played no part in the Reformation movement” (“Church History and the Tongues Movement,” Bibliotheca Sacra 120/480 [October, 1963] hlm. 318).
46. Penulis sengaja menambahkan tanda kutip pada istilah “kebangunan rohani” karena banyak Gereja secara keliru mengidentikkan kebangunan rohani sebagai pertumbuhan kuantitas pengunjung kebaktian, kesuksesan hidup anggota jemaat, dan manifestasi mujizat di antara orang percaya.





Sumber:
VERITAS 10/1 (April 2009), hlm. 59-71




Profil Pdt. Timotius Fu:
Pdt. Drs. Timotius Fu, M.Div., M.Th. adalah dosen Theologi Sistematika dan Praktika di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Beliau menyelesaikan studi Doktorandus (Drs.) di Universitas Negeri Tanjungpura, Pontianak; Master of Divinity (M.Div.) di Singapore Bible College, Singapore; dan Master of Theology (M.Th.) di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang.




Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio.

No comments: