09 June 2008

Spiritual Battle-1

Spiritual Battle

oleh: Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S.




Spiritual Battle-1


Nats: Mazmur 144


Ini adalah satu Mazmur pujian, yang dimulai dengan kata pujian, tetapi ini bukan suatu pujian biasa. Jika kita baca koleksi Mazmur nomor-nomor yang terakhir sampai puncak doksologi dari Mazmur 150, kita mendapati bahwa banyak yang tergolong Mazmur pujian. Mazmur pujian biasanya memiliki alasan seperti Tuhan membebaskan, Tuhan menyelamatkan, dan sebagainya. Tetapi di dalam Mazmur 144, ditulis bahwa Daud memuji Tuhan bukan karena keselamatan (meskipun hal ini ada dalam ayat-ayat yang berikutnya), tetapi oleh karena dia dilatih oleh Tuhan, oleh suatu pembentukan Tuhan di mana dia belajar berperang. Kalau kita membaca dalam bagian Alkitab yang lain, kita membaca tokoh-tokoh yang lain seperti Musa, Yeremia, Paulus, Timotius dan lain-lain, mereka mengalami pembentukan Tuhan dengan cara-cara yang berbeda. Ada yang seperti Paulus yang mengalami pembentukan dalam 3 hari, ada juga yang dibentuk sampai 40 tahun seperti Musa. Lalu ada orang yang seperti Yakub yang memiliki karakter tidak baik (penipu), ada juga seperti Natanael yang memiliki ketulusan hati, ada yang terlalu berani seperti Petrus, ada yang cenderung penakut/pemalu seperti Timotius. Ada yang harus belajar untuk berdiam diri dan mempersilakan Tuhan yang berperang baginya, ada yang harus diajar berperang seperti Daud.

Di sini Daud mengalami pembentukan secara khusus dan rupanya kesulitan yang ada dalam diri Daud bahwa dia cenderung suka menikmati keadaan yang tenteram dan damai, perlu dilatih untuk memiliki fighting spirit karena dia sedang dipersiapkan menjadi pemimpin, menjadi raja dalam penetapan Tuhan, tetapi dia sendiri belum mempunyai suatu karakter yang cukup. Dia memang seorang penggembala domba, itu juga adalah bagian dari pembentukan Tuhan, tetapi itu tidak cukup. Tuhan terus melatih dia untuk belajar berperang/bertempur.

Di dalam theologi Reformed, kita menekankan fighting spirit sebagai suatu warisan yang kita terima dari para Reformator. Banyak gereja-gereja yang tadinya pernah diberkati, dilawat oleh Tuhan, lalu lambat laun kehilangan semangat berperang sehingga akhirnya menjadi gereja yang tidak lagi memiliki signifikansi. Pengenalan kita akan Allah akan membawa akibat pada karakter kita, pada seluruh pengikutan kita kepada Tuhan. Kalau kita mengenal Allah sebagai sahabat sejati (Alkitab memang mengajarkan juga pengenalan seperti ini), kita akan memiliki kerohanian yang dipengaruhi oleh pengenalan tsb. Kalau kita mengenal Allah sebagai seorang hakim atau polisi, kita akan hidup dipenuhi ketakutan akan hukuman Allah. Kalau kita mengenal Allah sebagai tuan yang jahat (seperti yang dimengerti oleh hamba ketiga dalam perumpamaan tentang talenta), kita akan enggan mengembangkan talenta kita karena kita pikir Tuhan hanya mau cari keuntungan dan kebahagiaan-Nya sendiri dan bukan kebahagiaan saya. Konsep kita tentang Allah, entah itu sebuah doktrin yang solid atau doktrin yang tanpa doktrin, secara sadar atau tanpa kita sadar, akan mempengaruhi pengikutan kita akan Allah.

Salah satu tema yang penting dalam Theologi Perjanjian Lama adalah Allah yang dikenal sebagai warrior. Kita sedang berada dalam konteks kehidupan yang pluralistis, dengan pesan-pesan seperti yang disampaikan dalam film Kingdom of Heaven misalnya. Konsep Allah sebagai Allah yang berperang mungkin menjadi batu sandungan bagi orang jaman ini yang sulit untuk mengerti bagaimana mungkin Allah yang Mahakasih sekaligus adalah Allah yang suka berperang dan menimbulkan pertumpahan darah? Orang lebih suka mengenal semacam Allah yang sepenuhnya kasih, tanpa murka. Tema Allah sebagai warrior adalah sebuah pengenalan yang sulit diterima oleh manusia yang berdosa, termasuk kita. Tetapi pengenalan ini adalah pengenalan yang kita terima dari Firman Tuhan yang bukan saja ada dalam Perjanjian Lama, mulai dari Kejadian, bahkan terus dibicarakan dalam kitab-kitab Injil dan akhirnya sampai kitab Wahyu, secara konsisten membicarakan Allah sebagai warrior. Allah yang menang adalah tema besar dari kitab Wahyu, Tuhan yang tampil sebagai pemenang, Tuhan yang mengalahkan dan membinasakan musuh-musuh-Nya, Tuhan yang mengikutsertakan orang-orang yang mengikut Dia untuk berbagian di dalam kemenangan-Nya. Ini salah satu tema besar di dalam Alkitab, yang terbentang dari awal sampai dengan akhir.
Di dalam Chronicles of Narnia, ada satu bagian yang mengisahkan bagaimana Aslan terlebih dahulu mengumpulkan tentaranya sebelum bertempur. Film ini memang merupakan alegori (atau ada juga yang mengatakan “supossing”) cerita yang dinyatakan dalam Alkitab, yaitu pertempuran antara Kristus dan musuh-musuh-Nya. Kalau mau bertempur sendiri tentu tidak ada yang mustahil bagi-Nya karena Ia Mahakuasa, Dia bisa mengalahkan semuanya. Tetapi Ia lebih suka menunggu dengan mengumpulkan tentara-Nya, sampai saat yang tepat perang itu diumumkan. Sekalipun Tuhan memang bisa berjuang sendiri dan tidak perlu bantuan manusia, tetapi Dia mau mengikutsertakan orang-orang untuk turut ambil bagian dalam peperangan rohani itu dan akhirnya berbagian juga dalam sukacita kemenangan. Sekali lagi, karakter kita akan sangat dipengaruhi oleh doktrin Allah yang kita percaya. Kita akan merefleksikan pengertian kita akan Allah yang kita percaya (entah itu benar atau salah). Pengenalan akan Allah selalu bersifat reflektif dan transformatif. Kalau kita mengenal allah panteis, allah seperti yang dipercaya oleh Spinoza, Hegel dan sekarang orang-orang New Age, kita dapat menjadi seperti allah, mendemonstrasikan kuasa atau potensi yang ada pada diri dan berlagak seperti Allah.

Berapa banyak dalam gereja-gereja sekarang masih dinyanyikan lagu-lagu yang menceritakan peperangan rohani yang harus dialami oleh setiap orang percaya? Celakanya, sebagian dari lagu-lagu seperti ini sungguh-sungguh dipergunakan dalam perang fisik, antar agama atau antar suku, suatu penyalahgunaan dari orang-orang yang tidak mengerti iman mereka dengan baik. Orang beragama yang tidak mengerti siapa musuh mereka yang sesungguhnya dan menukarnya dengan musuh yang dapat dilihat, diraba dan akhirnya dipukuli dan dibunuh. Trauma seperti ini mungkin turut berbagian juga dalam menggeser lagu-lagu peperangan rohani dalam daftar repertoire musik sakral, sehingga yang lebih gampang dikonsumsi adalah Yesus Gembala yang baik, seperti rusa rindu sungaiMu, dan lagu-lagu ‘romantik’ yang lain. Memang ini juga merupakan satu aspek pengenalan akan Allah yang diperkenalkan oleh Alkitab (the romantic element of Christian faith), tetapi bukan satu-satunya. Kita menjadi orang Kristen yang berada dalam kehidupan yang berkelimpahan ketika kita mengenal aspek-aspek pengenalan itu secara utuh dan salah satu tema besar dalam Theologi Perjanjian Lama adalah mengenal aspek kekayaan tersebut. Di dalam Perjanjian Lama, Tuhan dikatakan dengan berbagai sebutan seperti gunung batuku, kota bentengku, keselamatanku, perisaiku, gembalaku dan masih banyak yang lain. Pengenalan yang kaya ini membawa orang percaya memiliki kehidupan yang ada dalam segala kelimpahan (Yoh 10:10). Sebaliknya pengenalan yang hanya sisi itu-itu saja akan membawa reduksi (penyempitan) hidup yang dijanjikan oleh Yesus.

Dalam kehidupan Daud, dia juga belajar mengenal Allah sebagai gunung batu, yang mengajar ia berperang, tempat perlindungan, kubu pertahanan, perlindungan, kota benteng, penyelamat, perisai, yang menundukkan bangsa-bangsa di bawah kuasanya. Di dalam kehidupannya, Daud terus-menerus mengalami pembentukan Tuhan, musuh yang harus dihadapi seperti tidak habis-habisnya. Daud tidak hanya menanggapi musuh secara horisontal, tetapi dia mengaitkan kesulitan horisontal tersebut dalam relasinya dengan Tuhan, dan inilah yang menjadikan dia bertumbuh. Kita sering mendengar kutipan bahwa Martin Luther tidak dapat bekerja, berkhotbah, menulis, pendek kata, berkarya lebih baik kecuali ketika dia diinspirasi oleh suatu kemarahan yang suci. Ketika kita menyelidiki lebih jauh “Apa yang membuat dia marah?” Kita akan mendapati bahwa di situ ia sedang ditempatkan dalam suatu keadaan peperangan rohani, dan itulah yang membuat dia memiliki suatu kemarahan yang kudus. Kemarahan itu lahir dari suatu fighting spirit, bukan sekedar kemarahan kepada manusia-manusia yang lain, melainkan kemarahan kepada si jahat. Inilah yang membuat pelayanannya begitu diberkati.

Daud justru menyatakan kebesaran dan kemuliaan Allah ketika berada dalam keadaan seperti itu. Tetapi dia jatuh ketika tidak sadar bahwa bangsanya sedang berada dalam peperangan. Alkitab mencatat “Pada pergantian tahun, pada waktu raja-raja biasanya maju berperang, … Daud sendiri tinggal di Yerusalem. … Daud bangun dari tempat pembaringannya, lalu berjalan-jalan di atas sotoh istana, tampak kepadanya …” (2Sam. 11:1-2). Ia seharusnya berada di medan peperangan, namun ia berjalan-jalan dan akhirnya matanya melihat sesuatu yang seharusnya tidak dia lihat jika ia menjaga fighting spirit, di situlah Daud, sang pahlawan yang pernah menumbangkan Goliat, jatuh. Ketika kita menghadapi banyak pergumulan, kita memang bisa kelelahan. Suatu peperangan yang sangat melelahkan dan sepertinya tidak ada habisnya. Kita ingin menikmati seperti yang tertulis dalam Mazmur 23 “padang rumput yang hijau, air yang tenang”, karena kita lelah dengan pengalaman lembah kekelaman. Tetapi seringkali justru ketika kita berada dalam ketenangan, kita begitu gampang terjatuh ke dalam keadaan yang lebih bahaya. Di dalam spiritualitas Kristen yang benar, kita tidak mengenal adanya dualisme antara ada waktu untuk berperang dan berjaga-jaga, tapi ada juga waktu untuk tidur, menikmati diri, santai dulu. Seolah-olah ada waktu untuk berperang bagi kerajaan Allah, ada waktu untuk diri sendiri. Kita membaca dalam cerita Gideon, orang-orang yang dipilih Tuhan dan dipandang layak untuk turut-serta dalam peperangan-Nya adalah mereka yang menghirup dengan membawa tangannya ke mulutnya (Hak. 7:4-6). Apakah ini berarti mereka yang minum pakai tangan lebih sopan (lebih tahu table manner atau sungai manner) dari pada mereka yang menghirup air dengan lidahnya? Seorang pengkhotbah menafsir bagian ini dengan sangat tepat: Persoalannya adalah mereka yang minum dengan tangannya adalah mereka yang sadar bahwa mereka masih di dalam keadaan peperangan. Mereka yang minum seperti anjing menjilat, sambil minum mereka tidak mempertahankan lagi kewaspadaan, sikap berjaga-jaga dan dengan demikian mengendorkan fighting spirit mereka. Kelompok yang terakhir ini hidup dalam dualisme, mereka pikir “inilah saatnya minum air, saatnya rileks, dari tadi tegang terus, sekaranglah waktunya istirahat, tidak perlu berjaga-jaga lagi karena memang waktunya minum.” Demikian juga dalam perumpamaan lima gadis bijaksana dan lima gadis bodoh. Kesepuluh gadis itu memang sama-sama tidur, mereka semuanya beristirahat. Lima gadis bodoh ini tertidur dalam pengertian yang sebenar-benarnya, tetapi lima gadis bijaksana ini tidur tetapi hati mereka bangun dan berjaga-jaga. Yang satu hidup dalam dualisme dan yang lain hidup berintegritas. Memang tidak salah minum air, persoalannya bukan di situ, juga bukan karena mereka tidur (karena semua orang memang perlu tidur). Namun jauh di dalam lubuk hati Tuhan sesungguhnya mengetahui keadaan kita yang sesungguhnya. Tidak ada dualisme antara waktu untuk menikmati Tuhan dan waktu untuk menikmati diri, antara waktu untuk berjaga-jaga dan waktu untuk bersenang-senang bagi diri sendiri. Ini membuat kehidupan kita kacau dan tercabik-cabik. Kesulitan yang tidak habis-habisnya, peperangan yang tidak kunjung selesai memang mudah menggoda kita untuk masuk dalam perangkap dualisme ini.

Dalam salah satu buku tentang bagaimana belajar dengan baik dan cepat (konon ada hubungannya dengan teori Quantum), dibahas tentang salah satu metode yang baik adalah setelah selesai belajar atau ujian ada perayaan (we should celebrate). Kelihatannya sangat manusiawi, setelah bekerja selesai lalu merayakan. Suatu dinamika kehidupan supaya tidak menjadi gila (stress terus), setelah bekerja susah payah lalu ada waktu nonton TV, jalan-jalan shopping, minum coklat panas. Ya, kehidupan memang seperti itu bukan? Namun lambat-laun tanpa kita sadar yang terjadi adalah “Ingat, bekerja itu melelahkan, belajar itu adalah suatu penyangkalan diri yang berat, ujian itu cicipan neraka, akan tetapi ketika bel berbunyi … itulah surga (coklat panas, kacang mente, game baru etc). Tuhan begitu terbatasnya, sehingga tidak bisa dinikmati ketika kita bekerja dan belajar, Tuhan yang cuma hadir dalam coklat susu! Pengajaran seperti ini, betapapun sangat manusiawi tampaknya, sesungguhnya berbeda dengan pengajaran Kristen. Dan perbedaannya tidak sedikit. Sebagaimana memuliakan dan menikmati Tuhan bukanlah merupakan suatu pilihan waktu, demikian pula hidup yang berjaga-jaga dan memelihara fighting spirit bukanlah pilihan waktu.

No comments: