09 June 2008

AFEKSI DALAM KEHIDUPAN KRISTEN (Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S.)

AFEKSI DALAM KEHIDUPAN KRISTEN

oleh: Pdt. Billy Kristanto, Dip.Mus., M.C.S.


Mengapa perlu membicarakan affection? Bukankah hal-hal seperti ini seringkali dianggap sebagai warisan kebudayaan Timur, yaitu kebudayaan yang sangat menekankan perasaan. Ditambah lagi dengan pengaruh rasionalisme Barat, tampaknya wilayah ini (affection) menjadi suatu hal yang kurang diperhatikan, bahkan termasuk dalam kekristenan sendiri. Yang menarik adalah, sebelum para pemikir zaman Romantik mengangkat persoalan ini sebagai reaksi terhadap zaman pencerahan (Aufklärung), seorang filsuf Kristen yang bernama Jonathan Edwards (1703-1758) sudah menulis sebuah risalah tentang afeksi ini. Edwards adalah seorang yang memiliki pandangan seorang nabi yang jauh melihat ke depan. Bahkan tulisannya tetap menjadi relevan sampai pada saat ini. Afeksi ini berbeda dan dibedakan dengan emosi. Emosi pada umumnya lebih bersifat superficial dan temporary, sementara afeksi lebih berakar sifatnya. Kita menyukai makanan tertentu misalnya adalah dalam taraf emosi, bukan afeksi. Namun patah hati, ditinggal oleh anggota keluarga yang kita kasihi adalah dalam taraf afeksi. Emosi dapat dikatakan bersifat lebih dangkal dan afeksi lebih mendalam. Ini bukan berarti emosi tidak penting dan tidak perlu dibicarakan (karena Tuhan pun menciptakan kita dengan kapasitas itu), melainkan bahwa pembahasan yang kita lakukan sekarang adalah berkenaan dengan afeksi terutama. Menurut Jonathan Edwards afeksi adalah suatu gerakan yang lebih hidup dan intens dari kecenderungan (inclination) hati dan kehendak.1 Dengan kata lain, afeksi ini sebenarnya meliputi hati dan kehendak. Edwards bahkan mengatakan bahwa iman yang sejati terdapat dalam afeksi ini. Maksudnya kita sulit untuk mengatakan diri sebagai orang yang beriman dan beragama, tanpa memiliki afeksi apa-apa. Jika demikian halnya, bukankah afeksi ini merupakan suatu hal yang sangat perlu untuk kita hidupi? Tanpa afeksi ini kehidupan keagamaan kita akan menjadi kering dan mandul (tidak berbuah), karena tanpanya mustahil kita memiliki kekuatan untuk terus melayani dan mengasihi sesama kita. Memang banyak gejala-gejala yang menyatakan ekspresi emosi yang liar dan tidak bersangkut-paut dengan Alkitab, namun mencurigai semua bentuk perasaan dan membuangnya hanya menjadikan orang percaya tidak dapat bersukacita dengan bebas atas keyakinan imannya. Kekristenan tidak mengajarkan agar kita membuang atau menekan (atau bahkan merasionalisasi) perasaan kita. Kekristenan justru mengajarkan bagaimana kita menyelaraskan perasaan, entah itu emosi atau afeksi, dengan emosi atau afeksi Tuhan. Orang yang tidak berperasaan sesungguhnya kehilangan banyak keindahan yang dapat dinikmati dalam kehidupan ini.

Kesulitan yang lain yaitu kita cenderung menekan atau membuang, mengesampingkan perasaan kita karena kita tahu bahwa perasaan adalah salah satu bagian yang paling rentan dan paling gampang terluka. Maka kita lebih suka untuk menyembunyikan perasaan tersebut, dengan harapan kita tidak banyak menderita kekecewaan dan kesedihan. Namun ini tentunya sama sekali bukan jalan keluar yang baik terhadap persoalan yang sedang kita hadapi. Alkitab mengajarkan agar kita mengasihi, sampai pada tahap mengasihi musuh kita, maksudnya, orang yang berkemungkinan melukai kita. Kita harus bertumbuh dalam aspek ini. Tanpa belajar dalam pembentukan seperti ini, kita akan menjadi orang yang sempit hatinya (hanya mau bergaul dengan orang-orang yang kita sukai dan yang menyukai kita). Kita membedakan narrow-minded dan narrow-hearted. Orang seringkali membicarakan tentang keluasan wawasan, cara pandang (worldview) dan terus menekankan agar kita memperluas worldview kita masing-masing untuk lebih menikmati hidup dalam segala kelimpahan (Yoh. 10). Namun keluasan worldview tidak hanya dimengerti dalam konteks perluasan wawasan pemikiran saja, tetapi juga wawasan hati. Yang mana yang lebih sulit untuk diatasi? Kedua-duanya tidak mudah. Mungkin jika kita terpaksa harus memilih: memperluas wawasan hati dapat dikatakan lebih sulit daripada wawasan pikiran. Kalau seseorang berpikiran sempit (narrow-minded), kita perlu untuk mendorong dia membaca lebih banyak buku, mengenal lebih banyak keadaan sosial, pergi ke suatu tempat yang belum pernah dikunjungi dlsb. Namun bagaimana mengatasi kesempitan hati? Bukankah dunia ini menyaksikan betapa banyaknya orang yang sepertinya tidak narrow-minded tetapi narrow-hearted? Di sini kita melihat bahwa persoalan worldview sangat berkait dengan affection.

Alkitab membicarakan berbagai jenis affection dalam kehidupan Kristen. Salah satu yang paling utama adalah kasih. Jonathan Edwards mengaitkan afeksi ini dengan lawannya, yaitu kebencian. Orang yang mengasihi juga harus belajar membenci. Tanpa membenci dengan benar kita tidak dapat mengasihi dengan benar. Alkitab mengajar agar kita mengasihi Tuhan, mengasihi sesama kita seperti diri sendiri, dan bersamaan dengan itu, membenci kejahatan. Kasih yang kudus mencakup kebencian yang kudus. 1Kor 13 merupakan eksposisi kasih yang dibahas dengan panjang lebar, pasal ini memang memiliki keunikannya tersendiri. Kasih adalah persoalan affection dan bukan sekedar emosi. Inilah bedanya kekristenan yang berakar dengan yang tidak berakar dan tahan sebentar saja (seperti dalam perumpamaan penabur). Jika kita menempatkan kasih dalam konteks affection dan bukan emosi, maka kita harus mengakui bahwa ada kalanya sulit untuk mengasihi orang lain, namun kita harus tetap mengasihi dia, karena kasih tidak tergantung pada emosi kita (senang atau tidak) melainkan juga pada komitmen kehendak, di situ ada penyangkalan diri, pengorbanan dsb. Orang yang mengasihi orang lain dalam konteks emosi cenderung memilah-milah sesama mana yang akan dikasihi. Memang benar, bahwa kasih pasti menyangkut emosi. Namun dengan mengerti kasih ini sebagai affection, kita dilatih dan dibentuk untuk mengasihi orang lain dengan kedalaman hati yang lebih berakar dan bukan hanya tahan sebentar saja. Ingat, Edwards menolong kita dengan mendefinisikan apa itu afeksi yang juga mencakup kencenderungan hati dan kehendak yang intens. Kasih menolong kita untuk memiliki hati yang lebih luas, dengan demikian dapat dipercayakan tugas yang lebih besar dalam Kerajaan Allah.

Contoh yang lain mengenai afeksi yang diajarkan oleh Alkitab adalah kerinduan (desire). Tanpa ini, jiwa kita berada dalam kemacetan dan akhirnya pada tahap yang parah: apatis. Kerinduan adalah bagian yang sangat penting dalam pertumbuhan yang sehat. Kadang-kadang Tuhan justru memakai pengalaman penderitaan serta kesulitan untuk menumbuhkan kerinduan yang benar (memang ada juga yang mengalami sebaliknya: penderitaan dan kesulitan justru membuat dia menyimpan banyak kepahitan dan menjadikan dia orang yang kurang berperasaan atau tumpul). Namun mereka yang tahu bagaimana berespon dengan benar dalam penderitaan akan mengalami kemajuan dalam Tuhan. Ketika menderita kita sadar bahwa ada yang kurang atau absen dari kehidupan kita. Ketidak-hadiran sesuatu itu bisa membantu kita untuk menata ulang kembali hal apa yang sungguh-sungguh kita butuhkan dalam hidup ini. Alkitab menjanjikan: Berbahagialah orang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan (Mat. 5:6). Dan lagi: Seperti rusa yang merindukan air, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah (Mzm. 42:2). Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi (Mzm. 73:25). Kita harus mengarahkan kerinduan kita pada diri Tuhan sendiri dan segala kebenaranNya (His righteousness) maka kita akan mengalami kepuasan yang sejati, bukan hanya dalam hidup yang akan datang (di sorga), melainkan juga di sini dan sekarang, sebagaimana dikatakan oleh pemazmur dalam Mzm. 73. Kerinduan yang kudus membawa kita ke dalam kepuasan hidup yang sejati. Tanpa kerinduan yang benar kita sulit untuk mengalami kepuasan dalam hidup ini. Berapa banyak orang (termasuk orang percaya) yang tidak mengalami kepuasan hidup bukan karena Tuhan kurang mengasihi mereka, melainkan karena banyak kerinduan-kerinduan yang tidak kudus dalam hidupnya. Ini lambat-laun akan menjadikan hidup mereka penuh dengan kekecewaan. Sebaliknya kerinduan yang benar akan dipuaskan oleh Tuhan, dan kepuasan ini bukanlah kepuasan yang membawa pada sikap berpuas diri, melainkan kepuasan yang menciptakan kerinduan yang baru dan lebih besar lagi, yang pada saatNya akan kembali dipuaskan, dan begitu seterusnya, sampai selama-lamanya.

Contoh afeksi yang lain lagi adalah kerajinan, roh yang menyala-nyala (zeal). Orang yang telah menemukan mutiara sebagai barang yang paling berharga yang boleh didapatkannya, akan mengerahkan seluruh tenaga dan kekuatannya untuk mengasihi dan melayani Tuhan. Banyak orang-orang percaya yang tidak maksimal dalam pekerjaan Tuhan, bukan karena mereka kurang berbakat, kurang mengecap pendidikan yang baik, kurang modal, kurang kesempatan dsb, melainkan karena kurang menjual segala sesuatu untuk mendapatkan mutiara yang berharga tersebut. Penyerahan diri yang tidak jelas, usaha yang setengah-setengah adalah keadaan yang disukai oleh iblis. Perhatikan kehidupan Paulus, seorang yang dipakai Tuhan dengan luar biasa. Dia tidak hanya memiliki banyak pengetahuan, tetapi juga semangat pelayanan yang terus berkobar-kobar. Ada api dalam dirinya yang tidak bisa dibendung. Jangan salah mengerti, berkobar-kobar di sini sekali lagi bukan dimengerti dalam konteks emosi. Tuhan menciptakan manusia dengan temperamen yang berbeda-beda. Ada orang yang memang secara natur akan lebih emosional daripada yang lain. Namun Alkitab tidak mengajarkan agar kita merubah temperamen kita. Melainkan apa pun temperamen kita, extrovert atau introvert, tenang atau spontan, kita harus memiliki kerajinan dan ketekunan ini. Kerajinan ini akan menolong kita untuk mengalahkan segala kesulitan yang kita alami dalam hidup ini. Kita bukanlah orang-orang yang patah-semangat karena kita tahu bahwa yang kita kerjakan bukanlah hal yang sia-sia, suatu saat, jika kita tidak menjadi kendor, kita akan menuai apa yang kita tabur. Mari kita bertekun dalam kesetiaan untuk mengerjakan bagian yang dipercayakan Tuhan kepada kita masing-masing.

Di atas adalah beberapa contoh afeksi yang diajarkan oleh firman Tuhan. Masih banyak afeksi-afeksi yang lain yang kita dapat pelajari. Pada intinya, kita tidak mungkin menjadi orang percaya yang tidak memiliki afeksi. Kepercayaan atau iman yang sejati meliputi baik pengertian yang benar (true understanding) maupun juga perasaan yang kudus (holy affection). Kedua hal ini bukanlah dua hal yang terpisah satu sama lain, melainkan memiliki kaitan yang sangat erat. Apa yang benar membawa sukacita bagi kita, dan kita rindu untuk semakin mengasihi apa yang benar. Kiranya Tuhan mengaruniakan kepada kita sekalian kehidupan yang sedemikian. Sola scriptura!

Sumber: Metamorphe, 07.10.05



Catatan kaki:
[1] Jonathan Edwards, Pengalaman Rohani Sejati (Surabaya: Penerbit Momentum, 2003), h. 5.




Diambil dari Renungan tanggal 7 Oktober 2005 di
http://www.grii.de/hamburg/content.asp?file=artikel




Profil Pdt. Billy Kristanto:
Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S. lahir pada tahun 1970 di Surabaya. Sejak di sekolah minggu mengambil bagian dalam pelayanan musik gerejawi. Setelah lulus SMA melanjutkan study musik di Hochschule der Künste di Berlin majoring in harpsichord (Cembalo) di bawah Prof. Mitzi Meyerson (1990-96).
Setelah lulus dari situ melanjutkan post-graduate study di Koninklijk Conservatorium (Royal Conservatory) di Den Haag, a conservatory with the largest early music department in the world (mempelajari historical performance practice). Belajar di bawah Ton Koopman, seorang dirigen, organis, cembalis dan musicolog yang sangat ahli dalam interpretasi karya J.S. Bach. Selain itu juga mempelajari fortepiano di bawah Prof. Stanley Hoogland.
Setelah lulus dari situ pada tahun 1998 pulang ke Indonesia, lalu melayani sebagai Penginjil Musik di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) di Jakarta pada Februari 1999. Pada tahun yang sama memulai study Theologi di Institut Reformed di Jakarta. Lulus pada tahun 2002 dengan Master of Christian Studies. Sejak tahun 2002 sampai sekarang menjabat sebagai Dekan School of Music di Institut Reformed Jakarta serta menggembalakan jemaat Mimbar Reformed Injili Indonesia (MRII) Jerman : Berlin, Hamburg dan Munich. Beliau ditahbiskan menjadi pendeta sinode GRII pada Paskah 2005 dan saat ini sedang menyelesaikan studi doktoral di bidang filsafat di Universitas Heidelberg, Jerman. Beliau menikah dengan Suzianti Herawati dan dikaruniai seorang putri, Pristine Gottlob Kristanto.

No comments: