15 April 2008

Matius 9:18-26: OBJECT AND SUBJECT OF FAITH

Ringkasan Khotbah : 17 Juli 2005
Object & Subject of Faith
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 9:18-26


Pendahuluan
Dalam kisah pergumulan iman seorang kepala rumah ibadat dan seorang perempuan yang sakit pendarahan selama dua belas tahun yang dicatat dalam Injil Matius di sana Tuhan Yesus memberikan jawab: “Teguhkanlah hatimu, imanmu telah menyelamatkan engkau“ dalam hal ini Tuhan Yesus ingin menegaskan bahwa iman sejati bukan berorientasi pada hasil, yaitu iman bukan sekedar memberi kesembuhan fisik tetapi lebih daripada itu iman sejati adalah iman yang dapat menyelamatkan jiwa manusia. Iman yang hanya berorientasi pada hasil maka iman itu adalah iman yang rapuh dan mudah sekali berubah sebab orang baru mau percaya setelah melihat hasilnya dan orang akan beralih dan mencari obyek iman lain kalau obyek iman yang ia percaya sebelumnya tidak memberikan keuntungan atau hasil seperti yang diinginkan. Maka disini kita melihat bahwa obyek iman sangatlah penting; obyek iman yang salah akan mencelakakan hidup kita dan berakibat pada kebinasaan sebaliknya obyek iman yang sejati akan membawa kita pada keselamatan dan memperoleh hidup kekal.
Setiap orang pastilah mempunyai iman percaya dan iman itu membutuhkan obyek iman maka seperti ungkapan Francis Schaefer, I do what I think and I think what I believe dimana iman itu sangat berpengaruh pada pola pikir dan pola pikir itu mempengaruhi tindakan. Sebagai contoh, seorang atheis yang tidak percaya keberadaan Allah tidak akan percaya kalau dunia dan seisinya ini ada yang mencipta, yaitu Allah begitu pula dengan seorang materialis, baginya uang adalah segala-galanya maka tidak mudah menerima ajaran Alkitab yang menyatakan bahwa uang adalah sumber dari segala kejahatan. Disini jelas bahwa iman, pola pikir dan tindakan sangat terkait erat karena itu, melalui kisah ini Tuhan Yesus ingin supaya orang melihat bahwa iman bukan berorientasi pada hasil.
I. Mengenal Obyek Iman yang Benar
Ketika Tuhan Yesus tiba di rumah kepala rumah ibadat itu, anak perempuan Yairus sudah meninggal dan orang banyak ribut lalu Yesus menyuruh mereka untuk pergi sebab anak perempuan ini tidak mati tetapi tidur tetapi mereka menertawakan Dia. Inilah reaksi yang ditunjukkan manusia pada umumnya, mereka menganggap pernyataan Tuhan Yesus tersebut sangatlah tidak masuk akal. Orang yang semakin pandai semakin mempunyai ilmu tinggi maka kemungkinan besar ia akan bereaksi sama seperti mereka. Pertanyaannya sekarang adalah kalau kita ada di sana pada saat itu dan dihadapkan pada situasi demikian apakah kita juga akan tertawa? Orang tidak mau kembali pada obyek iman yang benar, yaitu Kristus Sang Kebenaran sejati, orang hanya mau percaya pada diri sendiri, self centered faith. Maka ketika orang mulai berpikir tidak masuk akal maka tidak maka tidak akan terjadi sekalipun ia telah melihat buktinya.
Pemikiran demikian telah ada sejak berabad-abad yang lalu dan ironisnya, di dunia modern ini pemikiran yang sama kembali muncul dan dibakukan oleh seorang filsuf Perancis bernama Rene Des Cartes dengan mencetuskan teori rationalism. Teori ini menjadi dasar dari semua intelektualitas modern dengan slogan: cogito ergo sum, I think that for I am, saya berpikir maka saya ada; seorang akan mempunyai banyak pengetahuan harus dimulai dari meragukan terlebih dahulu, orang yang tidak pernah meragukan apa-apa maka ia tidak akan pernah tahu apapun. Secara sepintas pendapat ini kelihatan baik sebab orang diajar untuk kritis, orang harus mempertanyakan segala hal tentang kebenaran, orang dipacu untuk ingin tahu setiap hal dengan teliti. Pertanyaannya sekarang adalah kalau semua hal diragukan bahkan orang lain boleh diragukan, apakah diri sendiri juga boleh diragukan? Menurutnya, orang boleh meragukan semua hal tapi diri sendiri tidak boleh diragukan, sebab: pertama, ketika orang berpikir membuktikan dia ada, exist maka sangatlah tidak masuk akal, inlogical kalau diri diragukan; kedua, kalau diri boleh meragukan sekaligus diragukan maka kita tidak akan punya hasil karena itu, diri yang berpikir tidak boleh diragukan begitu juga dengan hasil pikirannya tidak boleh diragukan.
Orang boleh menertawakan Tuhan Yesus tapi diri sendiri tidak boleh ditertawakan, orang boleh meragukan Tuhan Yesus tetapi diri sendiri tidak boleh diragukan. Pemikiran rasionalis inilah yang menjadi bangunan dasar bagi orang yang merasa dirinya hebat dan pandai. Pemikiran ini telah ada ribuan tahun lalu dan kini mulai dibakukan menjadi sebuah teori. Hal ini justru menunjukkan kebodohan manusia sebab sebelum manusia meragukan orang lain dan segala sesuatu seharusnya ia meragukan dirinya sendiri terlebih dahulu. Orang yang sadar diri dan berani mengkoreksi dirinya sendiri maka disana membuktikan ia seorang yang tahu diri. Sebelum kita menilai orang lain seharusnya kita tahu diri; tahu diri berarti berani mengkoreksi diri, mempertanyakan diri, siapa diri kita dan bagaimana eksistensi diri. Disinilah letak kefatalan dari para kerabat, tetangga dan saudara-saudara Yairus, ketika mereka mulai meragukan Tuhan Yesus maka pada saat itulah mereka gagal melihat iman yang sejati. Pertanyaannya adalah memang siapakah manusia sehingga ia boleh meragukan Tuhan? Manusia tidak berhak meragukan Allah, satu-satunya yang manusia berhak lakukan adalah meragukan dirinya sendiri.
Manusia tidak layak dijadikan sebagai obyek iman, hanya Kristus Yesus saja yang layak menjadi obyek iman yang sejati maka disini obyek iman yang sejati langsung menjadi subyek iman. Ketika kita menyerahkan kepercayaan pada obyek iman tersebut maka obyek iman itu langsung menguasai balik diri kita. Kalau obyek iman itu adalah diri sendiri maka sulit bagi kita untuk keluar dari kepercayaan itu sebab semua cara pikir kita diselesaikan oleh diri sendiri dan meskipun salah, kita tidak akan menerima kesalahan itu, kita akan tetap berpegang pada pendirian yang salah tersebut, ironisnya, diri yang salah justru menertawakan kebenaran. Tuhan Yesus Sang Kebenaran sejati itu datang utnuk membuktikan kebenaran namun manusia tidak percaya justru menertawakan kebenaran itu. Pola pikir manusia telah rusak akibatnya semua tindakan yang ia lakukan juga menjadi rusak. Sebelum bertobat, Paulus juga berbuat hal yang sama, secara intelektual, ia pandai tetapi ia tidak mengerti realita iman yang sejati. Rene Des Cartez, Nietzche, Søren Aabye Kierkegaard, Imanuel Kant adalah seorang filsuf yang hebat, pemikirannya telah mempengaruhi dunia namun sayang, mereka tidak mampu menyelesaikan hidupnya sendiri, hidupnya justru berakhir dengan kehancuran.
Ironisnya, sejarah yang sama diulang kembali, manusia tetap beriman pada diri sendiri bahkan sampai hari inipun orang yang menertawakan kebenaran karena sebenarnya mereka tidak mengerti kebenaran namun orang tidak mau mengakui hal ini. Orang-orang yang sederhana, orang yang dipandang bodoh oleh dunia justru merekalah yang memahami kebenaran sejati yang diajarkan oleh Kristus. Ketika manusia memusatkan pada diri sendiri, tidak pernah menguji iman maka itu akan berakibat pada kehancuran diri. Iman sejati harus dilepaskan pada obyek iman sejati dan obyek iman yang sejati membutuhkan suatu pengujian internal di dalam obyek iman yang sesungguhnya. Ingat, jangan serahkan obyek imanmu pada sesuatu yang secara ordo berada di bawah atau sejajar kita, seperti materi, orang lain, diri sendiri atau setan sebab semua itu hanya bersifat sementara dan akan mengecewakan kita. Sungguh merupakan suatu anugerah kalau kita dapat mengenal Kristus Sang Kebenaran sejati dan kita dapat beriman pada-Nya. Iman sejati kepada obyek yang sejati akan memberikan hasil yang sejati, yakni hanya untuk kemuliaan nama-Nya.

II. Iman dan Pengalaman Iman
Secara logika, memang mustahil bagi manusia dapat hidup kembali dari kematian, hanya Allah Sang Sumber Kehidupan saja yang dapat menghidupkan kembali. Iblis adalah bapa kematian, bapa penipu, pekerjaannya selalu ingin menghancurkan hidup manusia. Tuhan dapat melakukan pekerjaan dahsyat atas diri seseorang dan itu tidak tergantung dari orang itu harus beriman atau tidak, bukankah anak perempuan Yairus yang dibangkitkan itu tidak pernah mengenal bahkan beriman pada Tuhan Yesus? Jadi, mujizat ini bukan bergantung pada iman dari orang yang kepadanya Tuhan mau bekerja atau bergantung pada bapanya, tidak, tapi sepenuhnya tergantung pada kehendak Tuhan saja. Yang perlu diwaspadai juga adalah apakah ketika mujizat itu terjadi setan turut ambil bagian? Hati-hati, iblis tidak akan pernah berhenti menggoda manusia supaya manusia jatuh ke dalam dosa, iblis selalu ingin masuk dalam setiap aspek hidup manusia kita tapi ingat, secara ordo, setan ada di bawah manusia maka manusia berhak untuk mengusir setan. Biarlah kita tidak hanya mempunyai pengertian iman yang kuat, punya kepercayaan pada Kristus yang kokoh tetapi biarlah ketika kita juga menyandarkan iman kita hanya pada Kristus maka pada saat itu Tuhan akan memakai dengan luar biasa. Jangan membatas pekerjaan Tuhan hanya dibatas logika, kapasitas, uang atau tenaga kita sebab Tuhan adalah Tuhan Sang Pemilik Semesta sehingga tidak ada yang mustahil bagi Dia. Sungguh merupakan suatu anugerah kalau kita dapat berjalan bersama dengan Tuhan dan mengalami pengalaman indah bersama dengan Tuhan. Jangan berorientasi pada hasil dari iman tetapi berimanlah hanya pada Kristus, obyek iman yang sejati dan biarlah kita membiarkan diri dipakai menjadi alat untuk kemuliaan nama-Nya dengan demikian kita akan merasakan mujizat Tuhan. Kita adalah manusia berdosa dan kalau Tuhan sudah menyelamatkan kita maka itu merupakan mujizat terbesar yang pernah terjadi dalam hidup kita.
Mujizat paling besar yang terjadi dalam hidup kita adalah pada saat kita bertobat dan menjadi percaya Kristus Tuhan: pertama, kalau Injil dapat sampai kepada kita itu merupakan suatu anugerah sekaligus mujizat sebab sampai hari ini, masih banyak orang yang ada di sekitar kita yang dari lahir sampai mati belum pernah satu kalipun mendengar tentang Kristus; kedua, kalau ada seorang pemberita Injil mau pergi ke suatu tempat dimana di sana Injil itu diberitakan maka itu juga merupakan suatu mujizat. Tidak semua orang dipanggil untuk memberitakan Injil sebab pada saat orang memberitakan Injil bukan sambutan yang diterima tetapi sebaliknya hinaan, cercaan dan siksaanlah yang diterima. Kita selayaknya bersyukur kalau ada orang yang memberitakan Injil, berdoa demi untuk keselamatan kita, itu merupakan suatu mujizat terbesar. Sombong merupakan sifat manusia berdosa, dengan segala cara manusia berusaha menutupi perbuatan dosanya maka suatu mujizat kalau seorang berdosa mau mengakui dosa dan bertobat. Ketika John Sung mengadakan suatu kebaktian kebangunan rohani dimana banyak massa berkumpul, pemerintah setempat menjadi takut dan kuatir karena disangka akan memberontak namun pemerintah dikagetkan dengan reaksi orang-orang tersebut, mereka mengaku berdosa tanpa dipaksa. Itu merupakan suatu mujizat; ketiga, kalau Tuhan berkenan memakai kita seorang yang hina dan berdosa menjadi alat dan bekerja bagi-Nya maka itu merupakan mujizat sebab kita akan merasakan pengalaman indah berjalan bersama dengan Tuhan, kita akan melihat bagaimana tangan Tuhan bekerja yang melampaui kapasitas dan kemampuan kita.
Beriman kepada Tuhan berarti memperkenankan Tuhan untuk memakai kita menjadi alat-Nya dan barangsiapa dipakai oleh Tuhan melakukan pekerjaan-Nya maka kita akan mengalami pengalaman indah bersama dengan Tuhan. Biarlah sebagai anak Tuhan kita tidak sekedar berteori iman atau mempunyai doktrin kuat tetapi berimplikasi iman dengan demikian kita dapat melihat pekerjaan Tuhan yang melampaui pikiran manusia dapat dikerjakan dengan tuntas, kita dapat melihat bagaimana Tuhan bekerja membangkitkan anak perempuan yang telah mati. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

No comments: