11 October 2007

Roma 3:15-18 : BERDOSA TERHADAP ALLAH-3

Seri Eksposisi Surat Roma :
Kasih dan Keadilan Allah-5


Berdosa Terhadap Allah-3

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 3:15-18.

Setelah Paulus memaparkan tentang dosa perkataan di ayat 13 s/d 14, maka pada keempat ayat selanjutnya, ia memaparkan tentang dosa tindakan yang merupakan realisasi dari dosa pikiran dan perkataan yang sebelumnya.

Pada ayat 15, Paulus berkata, “kaki mereka cepat untuk menumpahkan darah.” Terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) memberikan arti tambahan terhadap ayat ini, “Langkah mereka cepat kalau hendak menyiksa dan membunuh orang.” Referensi dari ayat 15 s/d 17 dikutip oleh Paulus dalam Yesaya 59:7-8. Khususnya ayat 15 ini, dikutip Paulus dari Yesaya 59:7a, “Mereka segera melakukan kejahatan, dan bersegera hendak menumpahkan darah orang yang tidak bersalah;” BIS mengartikan ayat ini, “Kamu terus-menerus merencanakan yang jahat, dan ingin segera melaksanakannya. Tanpa ragu-ragu kamu membunuh orang yang tak bersalah.” Pada konteks ini, Nabi Yesaya hendak membicarakan tentang dosa sebagai penghambat keselamatan yang datang dari Allah (Yesaya 59:2) dan dosa itu diwujudnyatakan dalam berbagai bentuk, salah satunya dosa tindakan sebagai realisasi dari hati mereka yang jahat. Kalau kita menelusuri konteks ini, Yesaya bukan sedang menulis kejahatan bangsa-bangsa di luar Israel, tetapi justru ditujukan kepada bangsa Israel. Meskipun demikian, kita dapat mengimplikasikannya di dalam kehidupan kita kepada semua orang yang berdosa. Kalau kita melihat sekeliling kita khususnya di Indonesia, hal yang dipaparkan pada ayat ini bukanlah suatu keanehan, karena di Indonesia, kita sering mendengar adanya terorisme yang membunuh orang-orang tak bersalah mengatasnamakan “agama” padahal hati mereka dikuasai oleh si jahat. Benarlah apa yang Tuhan Yesus katakan, “Kamu akan dikucilkan, bahkan akan datang saatnya bahwa setiap orang yang membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti bagi Allah.” (Yohanes 16:2) Tuhan Yesus sudah menubuatkan bahwa banyak orang yang membunuh umat pilihan-Nya dan pembunuhan itu diklaimnya sebagai tindakan “berbuat baik” bagi “Allah”. Itu realita dan sedang digenapi oleh sekelompok kaum agama mayoritas di Indonesia khususnya untuk memusnahkan keKristenan (yang mereka anggap sebagai “kafir”) ! Bagaimana dengan keKristenan sendiri ? Di Poso, keKristenan pun juga tidak berbeda dengan kaum mayoritas tadi, ikut-ikutan membalas. Sebagai orang Kristen, kita tak perlu melakukan pembalasan apapun, karena sesungguhnya, “...Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan.” (Roma 12:19) Adalah kedaulatan Allah dan kehendak-Nya sendiri yang akan membalas setiap musuh umat pilihan-Nya, jadi kita tidak perlu kuatir. Asalkan kita tetap setia, taat dan takut akan Tuhan dan firman-Nya, apapun masalah kita ada di dalam tangan-Nya yang Mahakuasa dan Berdaulat. Kita mungkin saja mengalami penganiayaan akibat kebengisan mereka yang liar, tetapi ingatlah satu hal : Allah pasti akan menghukum mereka yang telah menganiaya umat pilihan-Nya kelak berupa hukuman Neraka jika mereka sebelum meninggal menolak untuk bertobat dan kembali kepada Kristus ! Saya pernah mendapatkan sebuah e-mail cerita dari teman saya yang mengatakan bahwa di Aceh, sebelum tsunami melanda, sekelompok orang Kristen yang akan mengadakan suatu kebaktian Natal di daerahnya ditolak oleh masyarakat sekitar, sehingga orang-orang Kristen akhirnya pindah ke gunung dan mengadakan kebaktian Natal di sana, alhasil Allah murka dan menghantam mereka yang menolak dengan bencana tsunami. Mungkin kisah ini belum tentu benar, tetapi kita bisa mempelajari satu hal bahwa Allah itu Berdaulat dan memelihara hidup kita. Meskipun kita tetap harus menderita bagi nama-Nya, Allah tetap memelihara kita dari segala kejahatan yang dirancangkan manusia.

Bukan hanya ingin membunuh, orang berdosa juga dikatakan oleh Paulus di ayat 16, “Keruntuhan dan kebinasaan mereka tinggalkan di jalan mereka,” Dengan kata lain, dengan sikap mereka yang selalu ingin membunuh (ayat 15), mereka ingin menaburkan bibit kejahatan ini kepada angkatan di bawah mereka dan kepada orang lain yaitu dengan keruntuhan dan kebinasaan/kesengsaraan. Ya, dosa mengakibatkan manusia runtuh/rusak dan sengsara. Selanjutnya, bibit dosa mengakibatkan manusia semakin lama semakin jahat, bahkan orangtua mengajarkan anaknya untuk berdosa misalnya dengan membunuh orang “kafir” (dalam pandangan mereka), berjuang bagi “agama” mereka, dll. Dengan kata lain, menurut ayat ini, kejahatan telah menjadi life-style hidup mereka. Tidak ada lain yang mereka ingini, kecuali berbuat jahat. Akibat dosa ini, manusia harus menerima murka Allah. Perjanjian Lama jelas mengajarkan konsep tentang keadilan Allah yang menghukum umat-Nya yang tidak setia dan berdosa di samping kasih-Nya yang menarik mereka kembali kepada-Nya. Dewasa ini, di zaman postmodern, konsep keadilan Allah dan dosa tidak lagi dikumandangkan, oleh karena itu, orang Kristen sudah seharusnya menyuarakan berita tentang keadilan Allah, dosa dan pentingnya pertobatan kembali kepada Kristus. Mengapa ? Karena esensi timbulnya bencana dan kesengsaraan adalah karena dosa dan dosa itu harus diselesaikan dengan cara Allah melalui penebusan Kristus. Ini semua berkaitan dengan hidup manusia sendiri selanjutnya di dalam kekekalan.

Selain kerusakan/keruntuhan dan kesengsaraan yang ada di dalam hidup mereka, Paulus juga mengatakan di ayat 17, “dan jalan damai tidak mereka kenal;” Kata “jalan” bisa diartikan cara, alat, dll dan kata “kenal” dalam bahasa Yunani bisa berarti “ketahui”. Jadi, kalau boleh diartikan, ayat ini sedang berbicara bahwa mereka yang berdosa sedang tidak mengetahui dan mengenal jalan kedamaian meskipun di dalam hati nurani, mereka menginginkannya. Lebih dalam lagi, Yesaya 59:8a, Yesaya mengatakan, “Mereka tidak mengenal jalan damai, dan dalam jejak mereka tidak ada keadilan;” Kata “damai” di dalam Yesaya ini adalah shallom yang bisa berarti bahagia, sejahtera, dll dan kata “keadilan” di sini berhubungan dengan hukum Allah (Divine law). Dari kitab Yesaya ini, kita mendapatkan ciri kedamaian, yaitu pertama, sejahtera/bahagia/baik, dll. Kedamaian sejati adalah kedamaian yang memberikan kesejahteraan manusia. Apakah ini berarti tidak ada konflik ? Ya, karena konflik yang tidak bernilai menimbulkan ketidaksejahteraan. Kedua, kedamaian sejati berhubungan dan sesuai dengan hukum Allah/keadilan. Seringkali manusia postmodern sering mengartikan “damai” sebagai tindakan merangkul semua tanpa mementingkan kepercayaan, konsep, dll. Itu tidak benar. Orang yang memiliki konsep yang salah tidak perlu dirangkul, tetapi perlu dikasihani, didoakan, diinjili dan ditegur. Alkitab mengatakan bahwa perdamaian sejati memang tanpa konflik tetapi harus berdasarkan standar hukum Allah yang ketat, adil, kasih, kudus, dan bertanggungjawab. Bagi Allah di dalam Alkitab, perdamaian yang diilahkan oleh dunia adalah perdamaian “palsu” yang “membiarkan” bahkan mengakui “hak asasi” manusia yang kotor (misalnya, banci, homo, lesbian, dll), karena hal tersebut adalah kekejian bagi Allah ! Pertanyaannya, mengapa mereka tidak mengenal kedamaian Allah ? Karena mereka sendiri belum diperdamaikan dosanya dengan Allah. Di dalam dunia postmodern yang kita hidupi sekarang, banyak orang meneriakkan “perdamaian” tetapi sebenarnya mereka belum mengerti esensi perdamaian, karena mereka sendiri belum diperdamaikan dosanya dengan Allah. Maka, saya menambahkan ciri perdamaian sejati yang ketiga, yaitu, perdamaian sejati melibatkan kasih dan pengorbanan. Kalau di dalam kitab Yesaya, perdamaian berakhir dengan konsep keadilan/hukum Allah, maka Allah yang sama di dalam Perjanjian Baru memberikan satu pengajaran tentang perdamaian yaitu perlunya kasih dan pengorbanan. Perdamaian sejati bukan semacam perasaan emosional, tetapi realita. Sehingga manusia yang ingin berdamai, terlebih dahulu dosanya harus diperdamaikan dengan Allah. Masalah yang terjadi adalah semua manusia berdosa, bagaimana mungkin bisa diperdamaikan dengan Allah ? Keadilan Allah menuntut semua manusia harus dihukum, tetapi karena kasih-Nya, Allah menyediakan cara satu-satunya yaitu Allah menganugerahkan keselamatan dan perdamaian itu dengan mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menjadi Pengantara antara Allah yang Mahakudus dan manusia berdosa. Dosa manusia hanya dapat diperdamaikan dengan Allah melalui pengorbanan Kristus Yesus di atas kayu salib dan kebangkitan-Nya. Tanpa Kristus, manusia mustahil bisa berdamai dengan Allah. Sumber Kedamaian adalah Allah sendiri, maka kalau manusia ingin berdamai, manusia harus diperdamaikan dahulu dosanya dengan Sumber Kedamaian, Allah itu sendiri, sehingga mereka dapat berdamai dengan orang lain.

Sebagai kesimpulan dari semua dosa baik pikiran, perkataan dan tindakan, Paulus menyimpulkan, “rasa takut kepada Allah tidak ada pada orang itu.” Paulus mengutip kalimat ini dari Mazmur 36:2. Dan konteks Mazmur 36 sedang berbicara mengenai orang fasik. Orang fasik ini di sini berarti orang jahat (wicked). Mengapa mereka jahat ? Tentu karena mereka tidak pernah mengenal Allah. Karena tidak mengenal Allah, mereka bisa bertindak jahat bahkan kalau boleh dibilang tidak layak disebut manusia ! Itulah esensi dosa yaitu tidak takut akan Allah. Ketika manusia tidak takut akan Allah, manusia sedang membangun superioritasnya sendiri dan akibatnya bukan kesejahteraan yang mereka dapatkan, tetapi kemelaratan dan kebinasaan. Asaf menuangkan pergumulan tentang akhir hidup orang binasa yang seolah-olah kelihatan lebih makmur daripada orang benar di dalam Mazmur 73 (khususnya ayat 12-20), “Sesungguhnya, itulah orang-orang fasik: mereka menambah harta benda dan senang selamanya! Sia-sia sama sekali aku mempertahankan hati yang bersih, dan membasuh tanganku, tanda tak bersalah. Namun sepanjang hari aku kena tulah, dan kena hukum setiap pagi. Seandainya aku berkata: "Aku mau berkata-kata seperti itu," maka sesungguhnya aku telah berkhianat kepada angkatan anak-anakmu. Tetapi ketika aku bermaksud untuk mengetahuinya, hal itu menjadi kesulitan di mataku, sampai aku masuk ke dalam tempat kudus Allah, dan memperhatikan kesudahan mereka. Sesungguhnya di tempat-tempat licin Kautaruh mereka, Kaujatuhkan mereka sehingga hancur. Betapa binasa mereka dalam sekejap mata, lenyap, habis oleh karena kedahsyatan! Seperti mimpi pada waktu terbangun, ya Tuhan, pada waktu terjaga, rupa mereka Kaupandang hina.” Manusia yang fasik/tidak mengenal Allah mungkin secara dunia kelihatan makmur, kaya, berhasil, dll, tetapi menurut Asaf, itu semua sia-sia karena akhir hidup mereka kebinasaan selama-lamanya. Sedangkan bagi Asaf, di mata dunia orang-orang percaya hidup susah, menderita, dll, tetapi sesungguhnya mereka hidup kekal di Surga. Di sini kita mendapati konsep paradoks dan berbeda total dengan pandangan dunia materialis abad postmodern ini. Oleh karena itu, sebagai orang Kristen, marilah kita takut akan Allah. Apa arti takut akan Allah ? Mari kita mengerti konsep ini di dalam beberapa prinsip. Pertama, takut akan Allah dimulai dari iman di dalam Allah yang mencipta, memelihara dan menyelamatkan manusia. Takut akan Allah tidak mungkin ada jika orang tersebut tidak beriman di dalam Allah. Iman sejati menuntut adanya ketakutan terhadap Allah. Berarti, ketika kita beriman, di situ kita berani berkomitmen untuk tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah. Paulus sangat beriman di dalam Kristus, oleh karena itu dia tidak pernah takut kepada siapapun termasuk kepada kaisar/raja, kecuali kepada Allah. Oleh karena itu, ia berani berkata, “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.” (Filipi 1:21)
Kedua, takut akan Allah juga berkaitan dengan adanya sikap ketaatan mutlak. Rasul-rasul Kristus tidak takut kepada siapapun, bahkan Petrus dan Yohanes berani menantang para pemimpin Yahudi dan ahli Taurat, “Silakan kamu putuskan sendiri manakah yang benar di hadapan Allah: taat kepada kamu atau taat kepada Allah.” (Kisah Para Rasul 4:19) Takut sejati adalah takut yang taat kepada Pribadi yang patut ditaati mutlak. Abraham disebut bapa orang beriman dan orang yang takut akan Allah, karena ia taat kepada Allah dan pimpinan-Nya. Lalu, takut akan Allah yang berkaitan dengan ketaatan juga berimplikasi di dalam dunia pendidikan, di mana, “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan,” (Amsal 1:7a) Tanpa ada takut akan Tuhan dengan menaati firman-Nya, mustahil manusia memperoleh pengetahuan yang sah dan sejati. Berarti, harus adanya komitmen mengintegrasikan iman Kristen dan ilmu di dalamnya, yaitu menjadikan Alkitab sebagai patokan dan penghakim menentukan prinsip manakah ilmu yang benar dan salah, meskipun Alkitab tidak sedang mengajarkan ilmu pengetahuan kepada kita.
Ketiga, takut akan Allah berkaitan dengan mengasihi Allah dan sesama. Yohanes mengatakan, “Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah.” (1 Yohanes 4:7) Orang yang takut dan mengenal Allah adalah orang yang mengasihi Allah dan sesama dalam Kebenaran (Matius 22:37-40). Paulus seorang yang takut akan Allah, maka dari itu ia rela menegur keras para jemaat khususnya di Korintus yang hidup tidak tertib agar mereka kembali kepada Kristus. Motivasi Paulus menegur adalah kasih yang disertai kebenaran dan kesucian Allah. Sehingga, ia berkata, “Sebab dukacita menurut kehendak Allah menghasilkan pertobatan yang membawa keselamatan dan yang tidak akan disesalkan, tetapi dukacita yang dari dunia ini menghasilkan kematian. Sebab perhatikanlah betapa justru dukacita yang menurut kehendak Allah itu mengerjakan pada kamu kesungguhan yang besar, bahkan pembelaan diri, kejengkelan, ketakutan, kerinduan, kegiatan, penghukuman! Di dalam semuanya itu kamu telah membuktikan, bahwa kamu tidak bersalah di dalam perkara itu.” (2 Korintus 7:10-11) Sebaliknya, orang yang tidak takut akan Allah adalah orang yang masa bodoh dengan dosa orang lain apalagi membiarkan orang berdosa semakin berdosa. Apakah dengan membiarkan orang berdosa semakin berdosa dapat dikatakan “mengasihi” ? TIDAK. Mengasihi bukan berarti tidak peduli, justru itu tidak mengasihi. Seorang yang mengasihi berarti orang itu peduli khususnya dengan dosa-dosa yang mereka perbuat dan kemudian mereka yang mengasihi harus menginjili orang tersebut supaya bertobat. Itu artinya mengasihi Allah sekaligus sesama manusia.

Hari ini, setelah kita merenungkan keempat ayat ini, adakah hati kita masih mengeras dan menolak Kristus ? Tidak ada jalan lain, Anda harus kembali kepada Kristus yang mendamaikan Anda dengan Allah yang Mahakudus dan hiduplah takut akan Allah, karena itulah tanda orang percaya dan umat perjanjian/kovenan Allah sejati. Amin. Soli Deo Gloria.

No comments: