16 September 2007

"Injil" Sosial : Suatu Tinjauan Kritis (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

“INJIL” SOSIAL : Suatu Tinjauan Kritis

oleh : Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



“injil” Sosial (Social “gospel”) merupakan gerakan intelektual di kalangan orang Kristen Protestan yang populer pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Inti dari gerakan ini terletak pada usaha untuk menerapkan prinsip-prinsip Kristiani ke dalam berbagai masalah sosial, misalnya kemiskinan, kekurangan gizi, ketidakadilan, perbudakan, diskriminasi, tensi rasial, bahaya perang. Walaupun di negara lain ada fenomena yang mirip dengan “injil” Sosial - misalnya Sosialisme Kristen di Inggris dan Cooperative Commonweath Federation (CCF) di Kanada - gerakan “injil” Sosial biasanya dipahami sebagai gerakan teologi Amerika yang unik. Para penganut “injil” Sosial meyakini bahwa perbaikan (penyamarataan) kesehatan, edukasi dan status sosial akan berdampak pada peningkatan moralitas mereka. Menurut mereka, jika keadaan masyarakat terus memburuk dan terpecah, maka gereja juga akan mengalami kemunduran.

Sejarah
Kemunculan gerakan “injil” Sosial di Amerika merupakan respon terhadap berbagai masalah sosial yang tumbuh di Amerika seiring dengan perkembangan industri perkotaan. Situasi hidup di kota yang semakin maju membuat kontras antara masyarakat yang mampu dengan yang miskin menjadi makin kentara. Kemakmuran hidup hanya dinikmati oleh beberapa orang. Menurut sebuah catatan, pada tahun 1890 separuh lebih kekayaan seluruh Amerika berada di tangan 1% penduduknya. Hal ini sangat kontras dengan banyaknya tempat perkampungan kumuh yang sangat memprihatinkan: tingkat gizi yang buruk, edukasi yang sangat rendah dan terlantarnya anak-anak akibat orang tua harus bekerja melampaui waktu demi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Situasi yang sangat kontras ini berpotensi menimbulkan berbagai masalah, dari politik (pemerintah hanya berpihak pada dan bisa diatur oleh orang kaya) sampai moral (orang miskin cenderung berbuat kriminal, sedangkan orang kaya sangat dekat dengan dekadensi moral). Gereja akhirnya semakin peka terhadap potensi masalah ini setelah terjadi beberapa kerusuhan berdarah pada tahun 1877, 1892 dan 1894 yang muncul sebagai reaksi terhadap situasi di atas.

Faktor lain yang turut mempersiapkan kelahiran “injil” Sosial adalah ketertarikan terhadap ilmu sosial dan sosialisme. Perubahan sosial yang terjadi begitu cepat mendorong orang untuk memikirkan hal itu secara serius dan sistematis. Tahun 1880 pelajaran sosiologi telah diajarkan secara luas di berbagai perguruan tinggi. Tahun 1900 pelajaran ini bahkan diajarkan di berbagai sekolah teologi Protestan maupun Katholik. Sementara itu, sikap gereja terhadap sosialisme juga perlahan mulai berubah. Kalau pada tahun 1880 hampir semua rohaniwan Kristen menolak sosialisme, pada tahun 1890 sebagian di antara mereka menyambut paham ini.

Situasi di atas semakin diperparah dengan respon gereja secara umum. Di satu sisi gereja yang beraliran liberal terjebak pada konsep sekularisme. Doktrin ortodoks yang penting mulai ditinggalkan, sehingga kehidupan orang Kristen mulai mengalami dekadensi moral. Kekristenan menjadi tidak lebih dari sekedar tradisi yang tidak mengikat dalam kehidupan sehari-hari. Di sisi lain gereja yang Injili terjebak pada dikotomi antara gereja dan negara. Kekristenan hanya dipahami dalam dua lingkup: kalimat-kalimat proposional (doktrin) dan pengalaman spiritual pribadi dengan Tuhan.

Semua keadaan di atas mendorong sebagian orang untuk mengupayakan integrasi antara pembangunan teologi dan langkah-langkah konkrit untuk mengatasi berbagai masalah sosial tersebut. Dari sisi pembangunan teologi, mereka berpendapat bahwa gerakan “injil” Sosial berakar kuat dari tradisi Alkitab (lihat pembahasan lebih detil di bagian Teologi “injil” Sosial). Dari sisi praktis, mereka melakukan langkah-langkah konkrit melalui berbagai gerakan buruh. Mereka menentang pemanfaatan anak-anak sebagai tenaga kerja. Mereka juga berusaha menentang peraturan 12 jam kerja yang diberlakukan di beberapa tempat. Mereka tidak lupa menyediakan tempat tinggal yang layak bagi orang-orang miskin, menyediakan obat-obatan dan makanan yang memadai serta memberikan pendidikan dan latihan ketrampilan supaya orang-orang miskin mampu meningkatkan taraf hidup mereka.

Sebagai sebuah gerakan teologi, “injil” Sosial dipopulerkan melalui kotbah-kotbah, kuliah-kuliah dan berbagai tulisan. Tulisan pertama yang mewakili “injil” Sosial adalah Working People and Their Employers (1876) karya Washington Gladden (1836-1918). Walter Rauschenbusch (1861-1918), yang dijuluki pemberita “injil” Sosial yang terkemuka, turut mempopulerkan teologi “injil” Sosial melalui penerbitkan empat bukunya, masing-masing: Christianity and the Social Crisis (1907), Christianizing the Social Order (1912), The Social Principles of Jesus (1916) dan A Theology for the Social “gospel” (1917). Karya lain yang juga tidak boleh diremehkan adalah dua novel karya Charles Sheldon yang berjudul In His Steps (1897) dan The Reformer (1902). Walaupun berjenis sastra novel, namun karya Sheldon sangat berpengaruh. Rauschenbusch menyatakan bahwa teologinya diilhami oleh novel-novel Sheldon. Selain itu, dua novel ini merupakan alat propaganda yang sangat efektif di kalangan orang awam.

Kesuksesan “injil” Sosial dapat dilihat dari menjamurnya berbagai institusi Kristen atau sekuler yang bernuansa Kristiani yang berkecimpung dalam masalah sosial, baik yang sekedar berkecimpung dalam bantuan sosial maupun yang sampai menganut teologi “injil” Sosial, misalnya Bala Keselamatan, Christian Herald, New Democratic Party (NDP) di Kanada, Cooperative Commonwealth Federation (CCF). “injil” Sosial juga berhasil melahirkan banyak tokoh Kristen, misalnya Lyman Abbott, Charles Henderson, Shailer Mathews, Frances Peabody, Charles Stelzle, Graham Taylor. Salah satu bukti utama kesuksesan “injil” Sosial adalah pembentukan Federal Council of Churches pada tahun 1908 dengan pengakuan iman sosialnya. Persekutuan gereja yang khusus memperhatikan masalah sosial ini melibatkan hampir semua denominasi gereja yang utama, seperti Baptis, Kongregasional, Episkopalian, Methodis dan Presbyterian.

Gerakan “injil” Sosial sempat mengalami kemunduran secara signifikan seiring dengan kematian Gladden dan Rauschenbusch pada tahun 1918 serta Perang Dunia I yang selanjutnya diikuti oleh kekacauan ekonomi dan politik. Kekacauan keadaan pasca perang menyadarkan orang banyak bahwa ide transformasi sosial versi “injil” Sosial hanyalah sebuah utopia. Walaupun “injil” Sosial tetap bertahan sampai tahun 1930-an, namun pengaruhnya semakin lama semakin sirna. Faktor lain yang turut memperlemah pengaruh “injil” Sosial adalah menurunnya pengaruh teologi liberal di kalangan gereja-gereja besar.

Kemunduran di atas tidak berarti hilangnya gerakan ini. Inti gerakan ini – yaitu mengaplikasikan prinsip Kristen dalam kehidupan sosial – tetap dianut banyak gereja dalam berbagai bentuknya. Gereja-gereja dari kalangan Injili mulai berbenah dan memperhatikan masalah-masalah di luar gereja. Gereja-gereja yang liberal tidak henti-hentinya mempopulerkan gerakan ini. Beberapa tokoh modern dari gerakan “injil” Sosial antara lain Brian McLaren (The Secret Message of Jesus, A Generous Orthodoxy) dan Rob Bell (Velvet Elvis: Repainting The Christian Faith).


Teologi “injil” Sosial
Seperti sudah dipaparkan sebelumnya, “injil” Sosial bukan hanya sekedar gerakan kemanusiaan melalui institusi-institusi sosial Kristen. Gerakan ini juga merupakan sebuah pembangunan teologi. Sebagai sebuah sistem teologi, “injil” Sosial memiliki beberapa penekanan doktrinal.

Konsep paling penting dalam “injil” Sosial adalah tentang Kerajaan Allah. Berdasarkan penekanan ini pula “injil” Sosial sering disebut sebagai “injil” Kerajaan. Menurut Rauschenbusch, Kerajaan Allah bukanlah sesuatu yang transenden dan abstrak. Kerajaan Allah juga tidak dilihat dalam perspektif kedatangan Tuhan Yesus kedua kali secara spektakuler di langit pada akhir jaman. Kerajaan Allah adalah hasil usaha manusia berupa sebuah komunitas yang berkembang di tengah-tengah orang percaya. Kerajaan Allah tidak terdiri dari kumpulan orang-orang yang ditebus, tetapi orang-orang yang memiliki perhatian sama terhadap masalah etika hidup. Konsep seperti ini dianggap sebagai inti dari “injil” yang diberitakan Yesus. Mereka bahkan menganggap bahwa orang-orang Kristen telah menggantikan inti “injil” yang universal dengan konsep tentang “gereja” yang sifatnya hanya domestik.

Penganut “injil” Sosial mengakui bahwa reformasi sosial bisa sangat berbahaya jika tidak didukung oleh teologi. Mereka juga menegaskan bahwa perubahan sosial tidak akan terjadi tanpa intervensi Kristus dan Roh Kudus. Bagi mereka, Allah berada di dalam budaya dan terus mengubah budaya tersebut menjadi lebih baik. Walaupun mereka tetap mengakui signifikansi teologi Kristen, namun mereka juga mengakui bahwa kerangka berpikir mereka lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran sosiologi sekuler. Frase “hukum-hukum perkembangan sosial”, “pemahaman ilmiah tentang masyarakat” dan “evolusi institusi sosial” sering muncul dalam buku Rauschenbusch. Pendeknya, “injil” Sosial sebenarnya lebih dipengaruhi oleh dogma Darwin, Marx dan Herbert Spencer daripada ajaran Alkitab.

Konsep Kerajaan Allah yang imanen dan konkrit seperti di atas dengan mudah mendapat tempat di kalangan orang Kristen. Ada dua faktor di balik penerimaan konsep ini. Gereja sebelumnya cenderung terlalu individualistik dengan penekanannya pada hubungan vertikal (antara Allah dan manusia secara pribadi) saja. Dengan demikian, gereja sebagai sebuah komunitas memang sudah tidak berperan secara signifikan. Selain itu, konsep Kerajaan Allah yang imanen seperti ini berhasil meniadakan dikotomi antara yang sakral dan sekuler. Allah bukan hanya terlibat pada “perkara-perkara rohani” – misalnya doa, meditasi, pembacaan Alkitab, kebaktian dan pelayanan gerejawi – tetapi juga secara aktif mengubah dunia. Orang Kristen terpanggil untuk merealisasikan Kerajaan Allah di bumi melalui penerapan prinsip Kristen dalam aspek sosial.

Konsep teologis lain yang diajarkan “injil” Sosial yang masih berkaitan dengan penjelasan di atas adalah tentang eskhatologi (hal-hal yang berkaitan dengan akhir jaman atau kehidupan setelah kematian). Para tokoh “injil” Sosial menolak doktrin kedatangan Kristus di akhir jaman untuk membawa keadilan dan kemurahan yang sempurna. Bagi mereka Kerajaan Allah bersifat kekinian dan berbentuk perubahan tatanan sosial. Fokus mereka adalah bagaimana mengubah situasi modern sekarang, bukan menantikan kehidupan kekal di surga.

Konsep lain yang ditekankan para tokoh “injil” Sosial adalah keyakinan bahwa manusia pada dirinya sendiri mampu berbuat baik, bahkan mengadakan perbaikan sosial. Manusia hanya perlu menemukan kembali kebaikan alamiah yang sudah diberikan pada setiap manusia. Dengan konsep seperti ini, penganut “injil” Sosial mengabaikan perlunya kelahiran kembali maupun pertobatan pribadi. Mereka juga mengajarkan bahwa kebaikan alamiah ini dimiliki oleh setiap manusia terlepas dari iman yang mereka anut. Tidak heran, penganut “injil” Sosial merasa tidak perlu memberikan Injil keselamatan di dalam Kristus kepada orang lain, walaupun mereka mengakui bahwa menjadi Kristen adalah pilihan yang lebih baik. Mereka hanya mendorong tumbuhnya gandum-gandum yang baik dari segala agama serta membiarkan Allah sendiri yang akan menyeleksi gandum tersebut (Brian McLaren, A Generous Orthodoxy, 255).

Pandangan di atas tidak berarti bahwa penganut “injil” Sosial menyangkali faktualitas dosa. Mereka tetap mengakui kekuatan dosa yang mengerikan. Bagaimanapun, mereka membedakan dosa menjadi dosa individu dan dosa sosial. Di antara dua jenis dosa ini, mereka memberikan penekanan yang lebih besar pada yang terakhir. Kalau kekristenan tradisional berpendapat bahwa keselamatan individu-individu pada akhirnya akan membawa imbas pada perbaikan sosial, “injil” Sosial mengajarkan bahwa indvidu-individu hanya dapat meninggalkan gaya hidup dan kebiasaan mereka yang berdosa apabila mereka dibebaskan dari tatanan ekonomi dan sosial yang membuat mereka berdosa. Reformasi sosial akan membawa banyak orang kepada “pertobatan” ketika pemerintah dan berbagai institusi sosial mengajarkan kasih persaudaraan antar sesama. Perubahan sosial seperti ini hanya akan terjadi melalui langkah-langkah konkrit, misalnya demonstrasi (pengerahan massa), pemboikotan, propaganda media maupun kampanye politik.

Dengan konsep dosa seperti itu, penebusan dipahami oleh para tokoh “injil” Sosial hanya sebagai rekonsiliasi penderitaan dan kasih yang menunjukkan kemenangan Kristus atas dosa dan kasih-Nya kepada Allah. Yesus ditampilkan bukan sebagai penyelamat orang-orang berdosa dari dosa-dosa mereka, tetapi sebagai seseorang yang memiliki hasrat sosial untuk masyarakat. Yesus berkomitmen untuk merealisasikan tatanan sosial baru di bumi ini. Jadi, Yesus tidak ditampilkan sebagai juru selamat secara rohani, tetapi tokoh pembebas sosial yang revolusioner.


Evaluasi terhadap “injil” Sosial
Terlepas dari berbagai penyimpangan teologis yang ada dalam “injil” Sosial – seperti akan dijelaskan pada bagian berikutnya – gerakan ini tetap memberikan kontribusi yang positif. Gerakan ini dalam taraf tertentu berhasil mengingatkan gereja supaya tidak eksklusif dan sibuk dengan urusan keagamaan yang sempit. “injil” Sosial menyadarkan gereja bahwa spiritualitas yang sejati tidak hanya dibatasi pada relasi vertikal dengan Allah, tetapi juga harus termanifestasikan ke dalam kehidupan sehari-hari di segala bidang.

Salah satu perubahan yang terjadi di kalangan orang Kristen Injili dapat dilihat dari munculnya neo-evangelisme yang dimotori oleh Carl F. H. Henry, Harold J. Ockenga dan Edward J. Carnell. Para pemikir ini berusaha menjembatani eksklusivitas orang-orang Kristen fundamentalis dengan orang-orang liberal yang terlalu sekuler. Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang menyertai neo-evangelisme (lihat Harvie M. Conn, Teologia Kontemporer, ed. rev. 150-157), mereka paling tidak semakin menyadarkan gereja bahwa tugas gereja memang tidak terbatas pada ibadah vertikal saja.

Kontribusi positif dari “injil” Sosial juga dapat dilihat dari apa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas. Walaupun tidak melulu hasil dari upaya “injil” Sosial, namun tidak dapat disangkal bahwa munculnya berbagai institusi sosial Kristen merupakan buah dari gerakan ini. Mereka mengadakan berbagai pelatihan ketrampilan dan edukasi bagi kaum miskin. Mereka menyediakan makanan dan perawatan terhadap anak yatim-piatu, gelandangan maupun lansia. Dari sisi politik mereka berhasil mengurangi diskriminasi rasial maupun status ekonomi.

Kontribusi positif di atas tidak berarti bahwa “injil” Sosial bisa dibenarkan. Secara etis-filosofis, hasil yang baik tidak berarti justifikasi bagi tindakan yang dilakukan. Selain itu, perbaikan-perbaikan seperti di atas – terutama yang menyangkut masalah sosial – tidak hanya bisa diperoleh melalui “injil” Sosial. Banyak faktor turut mendukung terciptanya perubahan sosial tersebut. “injil” Sosial hanyalah salah satu elemen yang mempercepat terjadinya perubahan. Lebih jauh, perbaikan yang diadakan ternyata dapat dikategorikan sebagai kegagalan apabila dibandingkan dengan harapan “injil” Sosial yang terlalu tinggi terhadap perubahan sosial yang menyeluruh. Sama seperti gerakan sosialisme sekuler, “injil” Sosial tidak pernah mampu menghadirkan perubahan yang signifikan.

Apa saja kelemahan “injil” Sosial? Hal pertama yang perlu diketahui adalah nilai-nilai sekuler yang anti-Alkitab dalam gerakan ini. Sebagai sebuah fenomena dalam sejarah, “injil” Sosial sebenarnya tidak lebih dari sekedar korban jaman. Gerakan ini merupakan hasil yang tidak terelakkan dalam konteks kebangkitan sosialisme di seluruh dunia. Yang lebih parah, gerakan ini bukan hanya sekedar sesuatu yang tidak terelakkan, tetapi sesuatu yang memang dimanfaatkan. Inti dari gerakan ini adalah sosialisme. Penggunaan teks Alkitab tertentu untuk mendukung gerakan ini merupakan strategi pihak sosialis untuk menaklukkan Eropa dan Amerika yang beragama Kristen (Abraham Kuyper, Iman Kristen dan Problema Sosial, footnote 3, 26). Salah seorang tokoh “injil” Sosial yang bernama Harry F. Ward - menurut pengakuan Manning Johnson, anggota Partai Komunis, di depan Committee on Un-American Activities of the U.S. House of Representatives dalam Konggres ke 83 pada bulan Juli 1953 - adalah arsitek utama penyusupan dan subversi komunis ke ranah keagamaan.

“injil” Sosial bukan hanya imbas dari situasi jaman secara umum, namun juga dari liberalisme dalam bidang teologi. Gerakan ini dipelopori oleh para pemikir Kristen yang sangat dipengaruhi oleh semangat antisupranaturalisme dalam segala bentuknya. Evolusi naturalisme yang sangat mempengaruhi keyakinan “injil” Sosial merupakan produk dari teologi liberal yang meragukan kredibilitas Alkitab. Tentang hal ini, Rauschenbusch – dalam bukunya yang terakhir - bahkan meyakini bahwa teologinya adalah upaya meng-Kristenkan evolusi Darwin (Mark Noll, “Evangelical Dictionary of Theology, ed. by Walter A. Elwell, 913). Yang dimaksudkan “evolusi Darwin” di sini terutama berkaitan dengan sikap optimis terhadap perubahan dunia.

Kelemahan lain dari “injil” Sosial berhubungan dengan konsep mereka yang tidak Alkitabiah tentang Kerajaan Allah. Kerajaan Allah terutama menyangkut hal-hal yang rohani dan perubahan supranatural dalam diri manusia. Baik Yohanes Pembaptis (Mat 3:2) maupun Yesus (Mat 4:17) menyerukan pertobatan sebagai langkah awal sebelum datangnya Kerajaan Allah. Di tempat lain Paulus menegaskan bahwa Kerajaan Allah bukan tentang makanan dan minuman (Rom 14:17). Daging dan darah tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah (1Kor 15:50). Dari penjelasan ini terlihat bahwa “injil” Sosial telah memberitakan konsep Kerajaan Allah yang sangat materialistis dan berkontradiksi dengan ajaran Alkitab.

Berbeda dengan konsep “injil” Sosial yang membatasi Kerajaan Allah pada aspek kekninian saja, Alkitab mengajarkan bahwa realisasi Kerajaan Allah mencakup aspek kekinian dan futuristik (George E. Ladd, A Theology of the New Testament, rev. ed., 61-67). Karya Yesus di dunia memang menandai realisasi Kerajaan Allah di muka bumi, karena Dia adalah penggenapan dari janji-janji tentang datangnya jaman baru dalam Perjanjian Lama (Luk 4:21//Yes 61:1-2; Mat 11:2-6//Yes 35:5-6). Yesus juga secara eksplisit memproklamasikan kedatangan Kerajaan Allah pada jaman-Nya (Mat 12:28-29; Luk 17:20). Bagaimanapun, hal ini tidak meniadakan aspek futuristik dari Kerajaan Allah. Realisasi sempurna dari Kerajaan Allah akan terjadi pada waktu kedatangan Kristus kedua kali sebagai Raja. Penahbisan ini berarti penghancuran terakhir dan total dari kekuasaan iblis (Mat 25:41), pembentukan komunitas orang-orang tebusan yang sempurna dan tanpa kejahatan (Mat 13:36-43), persekutuan yang sempurna dan penuh sukacita dengan Allah (Luk 13:28-29).

Sekalipun Alkitab mengajarkan realisasi Kerajaan Allah yang bersifat kekinian, namun konsep di dalamnya sangat berbeda dengan mimpi para penganut “injil” Sosial. Pendirian Kerajaan Allah di bumi sangat berhubungan dengan penaklukan kuasa iblis di dunia. Ketika Yesus mengusir setan sebagai tanda datangnya Kerajaan Allah (Mat 12:28), Ia menjelaskan itu dengan sebuah gambaran tentang pengikatan orang kuat sehingga hartanya dapat dirampas (Mat 12:29). Yesus secara eksplisit menyatakan bahwa iblis sebagai penguasa dunia telah ditaklukkan (Luk 10:18; Yoh 12:31; 16:11). Berdasarkan apa yang terjadi ini, Yesus memberi perintah dan otoritas kepada murid-murid-Nya untuk mengusir roh-roh jahat (Luk 10:18-20). Jelas, aspek kekinian dari Kerajaan Allah sangat berbeda dengan perubahan tatanan sosial yang dijanjikan “injil” Sosial.

Penjelasan di atas sekaligus memberikan gambaran yang gamblang tentang persoalan sosial yang sesungguhnya. Kejahatan sosial bukan berasal dari tatanan sosial (walaupun tatanan yang salah turut memberi peluang yang lebih besar bagi dosa, band. 1Kor 15:33), tetapi kekuasaan iblis dalam dunia. Kuasa iblis memang sudah dikalahkan, tetapi bukan berarti dia tidak memiliki kuasa lagi. Secara khusus ia masih berkuasa atas orang-orang durhaka (Ef 2:2b). Dia adalah penguasa di udara (Ef 6:12). Iblis bahkan masih dapat mempengaruhi orang percaya (Mar 8:33; Luk 22:31), sekalipun orang percaya sudah dibebaskan dari kuasa kegelapan (Kol 1:13).

Selain masalah eksternal (kekuasaan iblis), orang di luar Kristus juga menghadapi masalah internal berupa kuasa dosa dan natur yang sudah rusak. Kejatuhan Adam membawa pengaruh yang sangat besar bagi semua keturunannya (Rom 5:12-21; band. Kej 6:5-6; Mzm 51:7). Manusia adalah hamba dosa (Yoh 8:34; Rom 6:17, 20) dan mati di dalam dosa (Ef 2:1). Tidak ada satu pun dalam diri manusia yang tidak tercemar oleh dosa (Rom 3:10-18). Pada hakekatnya manusia adalah anak-anak kemurkaan (Ef 2:3b “we were by nature children of wrath”, KJV/ASV/RSV/NASB). Keadaan yang parah ini membuat manusia seringkali menindas kebenaran (Rom 1:18), karena – sekalipun mereka mengetahui apa yang baik – mereka kenyataannya tidak mampu melakukan hal itu (Rom 7:15-24).

Dengan masalah eksternal dan internal di atas, perubahan sosial apapun tidak akan meniadakan kejahatan sosial. Manusia akan selalu cenderung pada dosa. Mereka yang memegang kekuasaan cenderung untuk mengeksploitasi dan menindas orang lain yang lebih lemah (Pkt 4:1; Yak 5:1-6). Perubahan sejati harus diawali dari dalam diri manusia (kelahiran kembali dan pertobatan), sedangkan perubahan total harus menunggu sampai Kristus datang kembali dan memulihkan segala sesuatu (Why 21:4, 27).

Kelemahan terakhir – tetapi justru yang paling fatal – dari “injil” Sosial adalah pemahaman mereka tentang Injil. Bagi mereka Injil identik dengan pemenuhan kebutuhan hidup secara jasmani. Konsep seperti ini jelas bertentangan dengan konsep Alkitab. Inti Injil adalah kematian dan kebangkitan Kristus (1Kor 15:1-4). Dengan kuasa Injil, kehidupan orang percaya berfokus pada kekekalan (Kol 3:1-4) dan terus menuju keserupaan dengan Kristus (Ef 4:11-13). Injil berkaitan dengan perubahan secara spiritual dan Injil inilah yang harus diberitakan kepada semua orang (Luk 24:46-47). Berbeda dengan “injil” Sosial yang membawa berita pendamaian antara penderitaan dan kasih, Alkitab mengajarkan bahwa orang Kristen dipanggil sebagai duta perdamaian antara orang berdosa dan Allah (2Kor 5:19b-20).


Pelayanan Sosial Dalam Perspektif Alkitab
Pembahasan di bagian sebelumnya hanya memaparkan kelemahan-kelemahan “injil” Sosial, tetapi tidak menjelaskan perspektif Alkitab tentang pelayanan sosial. Apakah orang Kristen hanya perlu memfokuskan diri pada pemberitaan verbal tentang keselamatan tanpa memusingkan hal-hal lain? Apakah ada hubungan antara antara pekabaran Injil dan pelayanan sosial? Jika ada, bagaimana hubungan antara keduanya?

Allah ternyata tidak mengabaikan kebutuhan jasmani manusia. Ketika Yesus melayani di dunia, Ia melakukan banyak tindakan sosial, misalnya menyembuhkan penyakit (Mat 4:23; 9:35; 10:1) dan memberi makan orang banyak (Mat 14:14-21//Mar 6:34-44). Dia juga memperhatikan orang yang ditolak oleh masyarakat, misalnya orang kusta (Mat 8:1-3; Luk 17:12-14), pemungut cukai dan orang berdosa (Luk 15:1-2). Dalam kotbah-Nya Yesus tidak lupa menekankan pentingnya berbuat baik kepada orang lain (Mat 25:31-46). Ajaran dan tindakan Yesus ini diikuti oleh para rasul. Paulus secara khusus berusaha membantu orang-orang kudus di Yerusalem yang mengalami kekurangan (Rom 15:25; 2Kor 8:1-8) dan para janda yang tidak memiliki keluarga sebagai penyokong kehidupan (1Tim 5:3-10).

Tindakan sosial di atas sangat berbeda dengan program “injil” Sosial. Yesus tidak memakai cara-cara sekuler untuk mengubah situasi sosial pada jaman-Nya. Dia hanya memberi teladan tentang apa yang harus dilakukan manusia terhadap sesamanya. Baik Yesus maupun para rasul tidak melakukan tindakan revolusioner untuk mengubah tatanan sosial waktu itu, walaupun sikap ini tidak berarti bahwa mereka setuju dengan apa yang terjadi. Ketika Yesus dimintai pendapat tentang pertengkaran dua saudara seputar materi, Dia tidak melibatkan diri terlalu jauh. Dia hanya memberi nasehat agar berjaga-jaga terhadap ketamakan (Luk 12:13-21). Paulus bahkan memberi nasehat kepada para tuan dan budak Kristen agar mereka menjadi tuan dan budak yang baik (Kol 3:22-4:1; Ef 6:5-9). Dia tidak menghilangkan tatanan sosial yang ada. Bagi Yesus dan para rasul yang paling penting bukanlah perubahan tananan sosial, tetapi perubahan internal manusia.

Keterlibatan Yesus dan para rasul dalam pelayanan sosial juga tidak menggantikan inti Injil yang sebenarnya. Yesus berulangkali menegaskan pentingnya perkara-perkara rohani. Dia mengajarkan para pengikut-Nya bahwa memiliki hidup kekal jauh lebih berharga daripada memiliki seluruh harta dunia (Mat 16:26//Mar 8:36//Luk 9:25). Dia menegur banyak orang yang mengikuti Dia hanya gara-gara perut mereka sudah kenyang (Yoh 6:25-26). Dia justru mengajar mereka untuk mencari hal-hal yang kekal (Yoh 6:27). Dia melarang murid-murid-Nya untuk merisaukan harta duniawi (Mat 6:25-31), karena sikap seperti itu sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah (Mat 6:32). Sebaliknya, Dia memerintahkan murid-murid untuk mencari Kerajaan Allah lebih dahulu (Mat 6:33). Berulang kali Dia mengingatkan tentang bahaya mamon (Mat 6:24; Luk 16:13).

Hal terakhir yang tidak boleh dilupakan dalam membahas pelayanan sosial menurut Alkitab adalah mandat budaya (Kej 1:26, 28). Salah satu elemen penting dalam diri manusia sebagai gambar dan rupa Allah adalah otoritas mereka atas bumi. Walaupun manusia sudah jatuh ke dalam dosa dan hubungan mereka dengan alam mengalami perubahan (Kej 3:15-19), namun mereka tetaplah gambar dan rupa Allah yang diberi mandat untuk menguasai bumi (band. Kej 9:6; Mzm 8:1-10; Yak 3:9). Status ini mencakup semua manusia, baik yang percaya kepada Kristus maupun tidak. Dalam konteks yang lebih luas ini, orang Kristen juga harus berperan dalam pelayanan sosial. Orang Kristen harus berbuat baik kepada semua orang (Mat 5:44-48; Luk 10:29-37; Gal 6:10a) dan tindakan ini tidak selalu harus dilakukan dengan tendesi keagamaan (baca: penginjilan). Berbuat kasih tanpa pemberitaan tentang kematian dan kebangkitan Yesus memang bukanlah misi (penginjilan), tetapi berbuat kasih hanya semata-mata supaya orang lain mau menerima Injil juga bukan motivasi yang Alkitabiah.


Sumber : http://www.gkri-exodus.org



Profil Ev. Yakub Tri Handoko :
Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. adalah gembala sidang Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya sekaligus melayani sebagai dosen di Sekolah Tinggi Theologia Injili Abdi Allah (STT-IAA), Pacet dan di Sekolah Theologia Reformed Injili Surabaya (STRIS) Ngagel. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologia (S.Th.) dari Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya (STAS), kemudian melanjutkan studi theologia di International Theological Seminary, USA dan lulus dengan gelar Master of Arts (M.A.) dan Master of Theology (Th.M.).

1 comment:

Liliwati said...

Setelah Karl Marx muncul, bisakah kita mengabaikannya?

Salam,
Rudy Bingtjoro
http://imankristen.com