03 June 2007

"ORANG MISKIN ADALAH SAUDARA KRISTUS!" (Tinjauan Kritis oleh Ev. Jon Hendri Foh)

“Orang Miskin Adalah Saudara Kristus!”
Benarkah Matius 25:31-46 berbicara tentang kepedulian sosial terhadap orang yang kekurangan?

oleh : Ev. Jon Hendri Foh


Upaya melakukan eksegesis secara tepat terhadap Alkitab adalah sarana untuk mencapai pemahaman yang benar tentang berita firman Allah. Penggalian hermeneutis (penafsiran) yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya harus selalu kembali kepada prinsip eksegesis, yang berusaha untuk menggali keluar apa yang tersurat dan tersirat dalam tulisan Kitab Suci. Melalui penelaahan kata-kata dalam bahasa aslinya (word study); Pemahaman yang tepat mengenai tata bahasa (grammatical study); Penelusuran terhadap konteks dari suatu teks, misalnya, latar belakang sosial-budaya-politik, sejarah, tradisi dari komunitas terkait (historical study); dan Penelitian tentang jenis karya sastra Kitab bersangkutan (genre), contohnya, apakah kitab tersebut bersifat nubuatan, puisi, sejarah, surat, dan lain sebagainya (literary study), maka diharapkan bahwa Alkitab dapat berbicara dan menjelaskan dirinya sendiri.
Salah satu kesalahan yang sering kali terjadi ketika membaca Alkitab adalah melakukan hal yang bertentangan dengan prinsip eksegesis, yaitu memasukkan suatu ide dari luar atau pemikiran asing yang sebenarnya tidak ada dalam Alkitab. Tindakan eisegesis ini telah memaksa Kitab Suci untuk mengatakan sesuatu yang pada hakikatnya tidak dikatakannya. Hak Alkitab untuk menyuarakan kebenaran yang ada pada dirinya telah dirampas tatkala proses eisegesis dilakukan. Kitab Suci hanya dipakai sebagai media, layaknya seperti kuda atau kedelai tunggangan, untuk menyampaikan kepentingan si penafsir atau sang pengkhotbah. Sampai pada batas-batas tertentu, hermeneutika secara eisegesis ini dapat menyesatkan karena menghasilkan kesimpulan yang tidak sesuai dan tidak setia kepada berita asli Alkitab.
Sebagai contoh dapat dikemukan misalnya, kelompok saksi Yehovah yang menafsir ulang semua ayat-ayat yang secara eksplisit menyatakan keilahian Kristus (Yohanes 1:1, Filipi 2:6-7, Kolose 1:15-17, Wahyu 3:14, dll). Konklusi yang disepakati oleh mereka tentang identitas Kristus jelas suatu penyesatan. Kristus tidak lagi bersifat ilahi, bukan pribadi kedua dari Allah Tritunggal tetapi hanya manusia istimewa yang merupakan ciptaan pertama dari semua ciptaan lainnya. Golongan yang menganut teologi kemakmuran juga melakukan eisegesis terhadap Alkitab. Mereka memakai kacamata “kesehatan dan kesuksesan” (health and wealth perspective) dalam membaca ayat-ayat firman Tuhan. Cara membaca demikian telah melahirkan keyakinan bahwa orang percaya yang diberkati Tuhan adalah orang yang selalu sehat, yang senantiasa sukses dalam usahanya, yang terus hidup dalam kekayaan dan kelimpahan harta benda. Terhadap yang miskin dan ditimpa kemalangan, sakit-penyakit, dikatakan bahwa mereka ini imannya lemah sehingga tidak diberkati Tuhan. Kacau sekali akibatnya! Sebab itu, kita harus berhati-hati pada setiap usaha penjelasan isi Alkitab yang berdasarkan hermeneutika eisegesis.
Pada kesempatan ini, secara khusus kita akan memperhatikan Matius 25:31-46. Apakah benar bahwa Kristus mengatakan orang miskin itu saudaranya? Apakah benar bahwa ayat-ayat dalam bagian ini menuntut orang percaya untuk mendemonstrasikan kepedulian sosial bagi mereka yang miskin papah?
TAFSIRAN DARI SUDUT PANDANG SOSIAL TERHADAP MATIUS 25:31-46
Matius 25:31-46 ini seringkali dijadikan landasan atau dasar rujukan dalam mengingatkan dan mendorong orang kristen untuk melaksanakan perintah agung Tuhan Yesus yang kedua yakni mengasihi sesama manusia (Mat. 22:39).(1) Myron Augsburger mengatakan bahwa “The passage emphasizes that the Gospel always has social implications,…”(2) [Bagian ini (Mat. 25:31-46) menekankan bahwa Injil selalu berkaitan dengan berbagai implikasi sosial]. Dengan demikian, orang percaya mempunyai kewajiban untuk menunjukkan kepedulian sosialnya terhadap kaum yang kurang beruntung secara sosial dan ekonomi. Mereka yang berstatus sosial rendah karena dibelenggu oleh kemiskinan, berpendidikan minim sebab tidak ada biaya untuk membayar uang sekolah, kekurangan makanan dan minuman, yang hidup di gubuk reyot atau tuna wisma, menjadi pengangguran karena tidak ada kesempatan kerja, dan berbagai kondisi sosial mengenaskan lainnya adalah objek yang patut untuk merasakan kehangatan kasih kristiani secara konkret. Di manakah mereka? Ada dekat di sekitar kita! Namun kerapkali terlupakan dan terlewatkan oleh lawatan kasih para pengikut Kristus.
Secara lebih spesifik, ayat yang dipakai untuk menggugah kesadaran sosial dan mengetuk pintu nurani orang kristen supaya tergerak melakukan tindakan kasih ialah ayat 40 yang berbunyi, “...sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (lihat juga ayat 45). Perkataan Kristus inilah yang menjadi titik tolak lahirnya penafsiran dari perspektif sosial. Di sini terbaca dengan jelas bahwa Tuhan Yesus mengidentikkan diri-Nya dengan mereka yang dililit oleh kekurangan (the needy). Bahkan realita yang lebih menggetarkan hati adalah kaum miskin ini telah diterima dan diakui sebagai saudara oleh Kristus sendiri.(3) Pada saat sekarang ini, Tuhan Yesus adalah satu pribadi yang tidak terlihat secara lahiriah oleh mata jasmani kita. Tetapi itu tidak berarti Ia absen dalam dunia ini. Kristus tetap hadir, dan terlebih penting lagi Ia telah menampilkan kehadiran-Nya di dalam dan melalui keberadaan rakyat jelata yang hidupnya jauh berada di bawah garis kecukupan.
Dengan jiwa yang dipenuhi oleh luapan pergolakan simpati sosial, Tuhan Yesus dapat merasakan kelaparan dan kehausan tatkala orang miskin menderita kekurangan makanan dan minuman untuk mempertahankan hidup mereka. Kristus menjadi orang asing yang tidak memiliki tempat berteduh dalam diri mereka yang “homeless” (tuna wisma). Ia juga menggigil kedinginan di tengah mereka yang tidak mempunyai selembar baju untuk menutupi ketelanjangannya. Yesus mengerang kesakitan di antara pribadi-pribadi yang sedang sekarat di rumah sakit atau tempat-tempat lainnya. Ia juga mengalami kesendirian yang sepi dan kesepian yang tersendiri pada diri orang-orang yang terhukum dalam penjara pengap karena ketidakadilan. Kenyataan pahit dan memilukan hati inilah yang dirasakan oleh Kristus dalam pengalaman pengidentikkan diri-Nya dengan golongan papah. Nyatalah bahwa Ia tidak hanya berkenosis untuk tujuan soteriologis melainkan juga demi untuk misi sosial, yaitu keberpihakan pada golongan yang diremehkan oleh dunia.
Ayat-ayat dalam perikop ini, khususnya ayat 40 dan 45, nampaknya memiliki daya dorong psikologis yang kuat untuk menggedor pintu hati orang kristen agar terbuka, berkomitmen dan terlibat dalam tindakan nyata yang dapat meningkatkan harkat dan martabat kaum prasejahtera melalui perbaikan kondisi kehidupan mereka (pengentasan kemiskinan). Jika orang miskin yang hina karena berada pada posisi terendah menurut skala sosial masyarakat adalah saudara-Nya Kristus dan Ia menjadi akrab dengan pergumulan dan penderitaan mereka, apakah realita ini tidak cukup keras berbicara untuk membuat hati kita tersentuh dan mau berbuat sesuatu yang terbaik bagi-Nya? Siapakah Kristus? Dia adalah Allah, satu pribadi yang maha mulia, di mana segala sujud penyembahan kita tertuju pada-Nya. Ia adalah Juru Selamat yang telah berkorban demikian luar biasa demi untuk menyelamatkan kita dari kebinasaan kekal. Dia adalah Tuan yang sudah menebus kita dengan darah-Nya yang mahal tak ternilai harganya. Namun, sekarang ini, di tengah percaturan dunia ini, Kristus yang adalah Allah, Juru Selamat dan Tuan kita sedang turut menderita melalui kesengsaraan mereka yang serba kekurangan. Hati-Nya diliputi oleh kepedihan melihat kenyataan betapa luasnya petaka kemiskinan telah mendominasi kehidupan umat manusia.
Benarkah kita sungguh-sungguh mengasihi Kristus? Kalau kita mengasihi Dia dengan segenap hati dan sepenuh jiwa, maka, akankah Dia dibiarkan menderita kelaparan dan kehausan? Masakan kita menelantarkan-Nya sebagai orang asing yang tidak punya tempat tinggal? Tegakah kita melihat-Nya gemetar kedinginan karena tidak berpakaian? Tidakkah kita akan melawat-Nya dengan pelayanan yang sebaik-baiknya? Seorang pengikut Kristus sejati pastilah memiliki kerinduan jiwa yang kuat untuk berusaha secara maksimal melakukan hal-hal yang terbaik dalam menyenangkan hati-Nya. Bagaimana caranya? Dengan menunjukkan caring terhadap saudara-Nya, yakni orang-orang miskin. Karena, melalui kenosis sosial-Nya, maka semua tindakan, perhatian dan kepedulian kita terhadap orang miskin pada hakikatnya adalah “…kamu telah melakukannya untuk Aku,” demikian kata Kristus. Namun, apakah hal-hal terindah dan terbaik sudah dialami oleh Kristus? Ternyata tidak! Karena masalah kemiskinan tetap menjadi fakta yang menyolok dalam realita kehidupan saat ini.
BENARKAH MATIUS 25:31-46 BERBICARA TENTANG KEPEDULIAN SOSIAL? 2 CATATAN KRITIS!
Membaca perikop Matius 25:31-46, nampaknya memang akan menimbulkan kesan dalam pikiran kita bahwa bagian ini menuntut agar hati orang kristen tidak beku dalam keegoisan melainkan bisa berdenyut dalam kepekaan sehingga bersedia mengalirkan berkat Allah bagi banyak orang yang membutuhnya. Selain itu, juga supaya tangan kita tidak terlipat dalam ketidakacuhan tetapi giat untuk terbuka atau turun tangan membantu orang miskin. Pendek kata, orang beriman harus mengasihi Allah yang tidak kelihatan itu dengan cara yang nyata terlihat melalui tindakan kasih yang berdampak terhadap masyarakat yang hidup dalam kekurangan. Namun sebelum kita mengamini dan menerima kesan ini menjadi pesan kebenaran, ada baiknya bagian ini dikaji lebih dalam untuk melihat apakah kesan (baca: tafsiran sosial) tersebut dapat dibenarkan menurut penggalian hermeneutis yang mempersilahkan Alkitab berbicara bagi dirinya sendiri.
Ada 2 catatan kritis yang penting untuk diperhatikan dalam menafsirkan perikop ini: Pertama, kita akan meninjau konteks dari Matius 25:31-46. Pemahaman terhadap konteks adalah faktor yang sangat hakiki dalam penafsiran Alkitab. Grant Osborne mengatakan, “The immediate context is the final arbiter for all decisions regarding the meaning of a term or concept”(4) [Konteks terdekat adalah penentu akhir bagi segala keputusan tentang makna dari suatu istilah atau konsep]. Sebab itu, untuk mencapai pengertian yang benar, maka proses interpretasi tidak pernah boleh dilepaskan dari konteks di mana ayat-ayat tersebut berada. Kesalahan eisegesis dapat dihindari bila penafsiran dilakukan dalam kesetiaan pada konteksnya.
Apa yang menjadi konteks dari teks Matius 25:31-46 ini? Pokok penting yang dibicarakan di bagian ini tidak lain adalah mengenai penghakiman terakhir.(5) Tuhan Yesus akan datang sebagai Raja yang menghakimi umat manusia secara universal (ay.31-33). Penghakiman-Nya ini akan menentukan nasib akhir (final destiny) dari segenap kaum keturunan Adam. Hanya ada dua kondisi bagi seluruh manusia yakni masuk ke dalam hidup kekal atau berada di tempat siksaan kekal (ay.46).
Bila konteks dari perikop Injil Matius yang dibahas ini berhubungan dengan peristiwa penghakiman, maka pertanyaan logis selanjutnya yang harus dipikirkan ialah kriteria apa yang Tuhan Yesus pakai untuk memutuskan bahwa seseorang itu layak menikmati hidup kekal di sorga atau pantas mengalami penghukuman kekal di neraka? Berdasarkan inti berita yang diproklamasikan Kristus, maka syaratnya adalah percaya kepada Tuhan Yesus sendiri melalui penerimaan terhadap berita Injil yang Ia kabarkan. Kristus menegaskan, “Barangsiapa percaya kepada Anak, ia beroleh hidup yang kekal, tetapi barangsiapa tidak taat kepada Anak, ia tidak akan melihat hidup, melainkan murka Allah tetap ada di atasnya” (Yohanes 3:36).(6) Injil adalah Kristus dalam berita atau pemberitaan yang terfokus pada karya keselamatan yang dikerjakan Kristus melalui peristiwa kematian dan kebangkitan-Nya. Itu sebabnya hanya Injil yang menjadi “…kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya,…” (Roma 1:16).
Dengan landasan pemahaman ini, dapatlah diberikan penilaian bahwa tafsiran sosial terhadap Matius 25:31-46 tidak dapat dibenarkan. Permasalahan seriusnya terletak pada kriteria yang menentukan nasib terakhir setiap pribadi. Jika tafsiran sosial diterima, maka syarat yang menyebabkan seseorang dapat menerima hidup kekal atau hukuman selamanya adalah apakah dia melakukan perbuatan baik (menyediakan sandang, pangan, papan bagi orang miskin) atau tidak.(7) Prinsip “menabur apa yang dituai” menjadi hukum yang beroperasi dalam keselamatan manusia. Semakin banyak seseorang menabur kebaikan yang sebaik-baiknya, semakin besar pula haknya untuk menuai (baca: menuntut) tempat yang mulia di sisi Allah. Hidup kekal tidak lagi menjadi pemberian yang cuma–cuma melainkan upah yang wajib dan harus dilunasi Allah berdasarkan kebaikan perbuatan manusia.
Pada titik ini terlihat adanya ketidakkonsistenan yang parah bila dibandingkan dengan keunikan konsep keselamatan menurut Alkitab, yang mendasarkan keselamatan semata-mata pada kemurahan anugerah Allah melalui iman kepada Kristus (Roma 3:23-24, Efesus 2:8-9, Titus 3:4-7). Menerima tafsiran sosial sebagai kebenaran berarti akan mereduksikan kekristenan menjadi sistem etika agamawi sebab pembenaran karena iman (justification by faith alone) telah digantikan dengan pembenaran karena perbuatan baik (justification by good works). Dalam kaitan ini, R.T. France mengajukan pertanyaan yang tepat, “Was Matthew (or Jesus?) then against Paul?”(8) [Apakah Matius atau Yesus bertentangan dengan rasul Paulus?]. Kita percaya bahwa kebenaran Alkitab tidaklah saling bertentangan satu dengan lainnya. Kebenaran tidak bersifat "self-contradictory" sebab konsistensi merupakan bagian integral dari kebenaran. Karena itu, Matius atau Tuhan Yesus tidak mungkin berlawanan dengan Paulus berkenaan dengan pandangan tentang konsep keselamatan. Kenyataannya, justru penafsiran dari sudut pandang sosial terhadap Matius 25:31-46 inilah yang menyebabkan timbulnya pertentangan tajam dengan keyakinan dasariah iman kristen. Keharmonisan pengajaran Alkitab mesti terpelihara dengan baik. Dan itu berarti, tafsiran sosial harus ditolak.
Kedua, aspek penting lainnya yang akan disoroti adalah istilah “saudara-Ku yang paling hina” (ay. 40,45). Benarkah ungkapan ini menunjuk pada orang miskin? Apakah Tuhan Yesus menghubungkan diri-Nya dengan kaum yang kekurangan? Konteks menentukan makna. Untuk mengerti istilah ini dengan benar, sekali lagi, kita harus kembali ke konteks Matius 25:31-46, yang berbicara tentang penghakiman Tuhan Yesus terhadap seluruh umat manusia berdasarkan respon mereka terhadap diri-Nya, yang dalam hal ini diwakili oleh “saudara yang paling hina.” Hubungan Tuhan Yesus dengan mereka yang disebut sebagai “saudara-Nya” ini tentu sangat erat sekali, hingga nasib akhir segenap manusia tergantung pada penerimaan dan pelayanan terhadap mereka.
Siapakah “saudara-Ku yang paling hina” ini?(9) Mereka bukan orang miskin seperti yang diasumsikan dalam tafsiran sosial, melainkan adalah murid-murid Kristus sendiri. Donald Hagner menjelaskan bagian ini dengan menyatakan bahwa “Jesus thus identified himself fully with his disciples (cf. 1 Cor 8:12; 12:27; Acts 9:5).”(10) [Tuhan Yesus mengidentikkan diri sepenuhnya dengan para murid-Nya]. Mengapa bisa sampai pada kesimpulan demikian? Kita percaya bahwa Alkitab memiliki kemampuan untuk menjelaskan dirinya sendiri. Artinya, ada banyak bagian dari Alkitab yang maknanya dapat diterangi oleh bagian lainnya. Prinsip ini harus diterapkan dalam usaha untuk memahami istilah “saudara-Ku yang paling hina.”
Dalam Injil Matius, pemakaian istilah “saudara-Ku” ini selalu dihubungkan dengan para murid Tuhan Yesus. Pada suatu kesempatan, Kristus bertanya, “Siapakah ibuKu? Dan siapakah saudara-saudaraKu?” Lalu kata-Nya, sambil menunjuk ke arah murid-murid-Nya: “Inilah ibuKu dan saudara-saudara-Ku.” (Matius 12:48-49). Di tempat lain, Tuhan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara” (Matius 23:8,1). Setelah mengalami kebangkitan dari kematian, Tuhan Yesus menjumpai para wanita yang mencari-Nya di kuburan dan berkata kepada mereka demikian, “…Pergi dan katakanlah kepada saudara-saudaraKu, supaya mereka pergi ke Galilea, dan di sanalah mereka akan melihat Aku” (Matius 28:10). Siapakah yang pergi ke Galilea? “Dan kesebelas murid itu berangkat ke Galilea, ke bukit yang telah ditunjukkan Yesus kepada mereka” (Matius 28:16). Berdasarkan realita penggunaan istilah ini oleh rasul Matius, Knox Chamblin berpendapat bahwa “Viewing the term adelphoi in this passage in light of its usage elsewhere in Matthew, I conclude that Matthew, like Jesus before him, refers to disciples.”(11) [Melihat istilah adelphoi (saudara) pada perikop ini (Mat.25:31-46) dari aspek penggunaannya di tempat lain dalam Injil Matius, saya menyimpulkan bahwa Matius, seperti halnya Tuhan Yesus, mengacu kepada para murid]. Jadi, jelaslah bahwa Tuhan Yesus mengidentikkan diri-Nya dengan para murid bukan dengan orang miskin. Pengidentikkan ini ada hubungannya dengan tugas memberitakan Injil. Dalam melaksanakan misi pekabaran Injil, murid-murid menyandang status sebagai wakil Kristus, selaku utusan dan duta Injil-Nya. Beridentitas seperti ini, maka kehadiran murid-murid Tuhan Yesus adalah suatu kehadiran yang disertai dengan berita Injil yang menyelamatkan (the messengers with the message of salvation). “…Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik” (Roma 10:15). Setiap orang berdosa yang hatinya terbuka dan menerima berita keselamatan yang diwartakan oleh para murid adalah sama dengan menyambut Tuhan Yesus sendiri yang hadir melalui pemberitaan mereka. Tuhan kita memang tidak lagi menjadi sosok yang hadir secara jasmaniah seperti saat Ia berinkarnasi 2000-an tahun yang lalu. Namun Ia tidak absen, sebab kehadiran-Nya terwakili melalui keberadaan para murid-Nya. Sistem perwakilan ini ditegaskan oleh Kristus ketika Ia berkata “Barangsiapa menyambut kamu, ia menyambut Aku,…” (Matius 10:40).(12) Karena itu, tidaklah heran bila nasib akhir umat manusia sangat ditentukan oleh sambutan mereka terhadap para murid Kristus yang datang dengan Injil keselamatan-Nya. Bagi yang menerima berita ini, hidup kekal telah tersedia untuk mereka. Sedangkan hukuman kekal akan dialami oleh mereka yang menolak. Hanya pemahaman yang menempatkan murid-murid Kristus sebagai saudara-Nya yang paling hina inilah yang konsisten dengan konteks dari Matius 25:31-46, di mana temanya adalah tentang penghakiman Allah atas setiap insan yang pernah hidup di dunia.
Dari perspektif pengidentikkan ini, kita pun dapat memahami secara benar arti dari tindakan memberi makan, minum, tumpangan, pakaian; melawat ketika sakit dan mengunjungi dalam penjara (Matius 25:35-36). Perbuatan-perbuatan ini adalah bukti kasih dan kepedulian dari orang-orang yang sudah menerima berita Injil terhadap para pemberitanya. Murid-murid Kristus adalah orang yang hidup berdasarkan panggilan Ilahi untuk melaksanakan tugas pemberitaan Injil. Seringkali tugas sebagai duta Kristus membuat hidup para murid akrab dengan kekurangan dan penderitaan. Rasul Paulus adalah contoh riil dalam hal ini. Bacalah 2 Korintus 6:4-10, 11:23-29 untuk mendapat gambaran tentang penganiayaan dan kekurangan yang dialami Paulus sebagai seorang utusan Injil Kristus. Kondisi kehidupan yang serba minim secara lahiriah dan berbagai penindasan juga seringkali dialami oleh hamba-hamba Tuhan di setiap zaman dan di seluruh penjuru dunia. Jika orang berdosa sudah menerima keselamatan melalui iman kepada berita Injil yang di-sampaikan murid-murid Kristus, maka sudah sepantasnyalah rasa syukur mereka atas keselamatan tersebut diwujudnyatakan melalui tindakan kasih yang peduli terhadap kebutuhan para murid. Sam-butan dan perhatian untuk murid-murid Tuhan adalah sama dengan perbuatan yang dilakukan terhadap Kristus. Sebab, Tuhan berkata “…sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Matius 25:40).
Apakah istilah “saudaraKu” ini secara eksklusif hanya untuk menunjuk kepada murid-murid pertama Kristus (kesebelas murid ditambah rasul Paulus)? Dalam Matius 12:50, Tuhan Yesus mengatakan, “…siapapun yang melakukan kehendak BapaKu di sorga, dialah saudaraKu laki-laki, dialah saudaraKu perempuan, dialah ibuKu.” Dari terang pernyataan Kristus ini, kita dapat mengerti bahwa ungkapan “saudaraKu” ini tidak menyiratkan eksklusivitas, tidak terbatas hanya untuk murid-murid pertama melainkan sebaliknya bersifat inklusif, meliputi siapa saja yang merealisasikan kehendak Allah Bapa. Semua pengikut Kristus yang menjalankan tugas memproklamasikan berita keselamatan bagi dunia yang berdosa adalah murid Kristus, saudara-Nya.
Selain dari Matius 12:50, petunjuk lain mengenai sifat inklusivitas istilah “saudaraKu” juga bisa dilihat dari Kisah Para Rasul. Dalam perjalanannya ke kota Damsyik, Saulus (sesudah bertobat bernama Paulus) yang hatinya dipenuhi kebencian terhadap orang kristen, akhirnya berjumpa secara pribadi dengan Kristus. Di tengah perjumpaan itu, Tuhan Yesus melontarkan pertanyaan, “Saulus, Saulus mengapa engkau menganiaya Aku?” (Kisah 9:4). Kita tahu bahwa Kristus tidak dianiaya oleh Saulus dalam pengertian literal. Jemaat atau murid-murid Tuhan yang tersebar di berbagai tempatlah yang menjadi objek kemarahan Saulus (Kisah 8:3, 9:1-2). Tetapi, hal yang luar biasa ialah Tuhan Yesus mengatakan bahwa Saulus telah menganiaya diri-Nya (Kisah 9:5). Ini menandakan adanya persatuan organis antara orang beriman sebagai tubuh dengan Kristus selaku kepala gereja, sehingga apa yang dialami para pengikut-Nya, realita itu juga yang dialami Kristus sendiri.(13) Dari Kisah Para Rasul ini dapat dilihat bahwa solidaritas Tuhan Yesus dengan para pengikut-Nya sama sekali tidak terbatas hanya untuk murid-murid awal-Nya tetapi mencakup semua orang yang percaya pada-Nya. Kehadiran Kristus telah diwakili di dalam dan melalui eksistensi seluruh pengikut-Nya di semua tempat dan segala waktu. Iman kepada Tuhan Yesus adalah sarana satu-satunya yang memungkinkan setiap orang diangkat menjadi saudara-Nya.
KESIMPULAN
Untuk mengakhiri pembahasan Matius 25:31-46 ini, ada beberapa kesimpulan yang bisa ditarik, di antaranya :
Pertama, dengan mempertimbangkan konteks dari perikop di atas dan menelusuri penggunaan istilah “saudara-Ku” di tempat lain dalam Injil Matius, maka dapat dinyatakan bahwa bagian ini tidak berbicara tentang kepedulian sosial terhadap orang miskin. Tuhan Yesus tidak mengidentikkan diri-Nya dengan orang miskin. Yang benar adalah Tuhan menyatakan keberpihakkan terhadap murid-murid-Nya, merekalah yang menjadi saudara bagi Kristus.
Kedua, sangat penting untuk diingat bahwa pemahaman tentang satu bagian Alkitab tidak boleh bertentangan dengan kebenaran bagian Alkitab lainnya. Jika bertentangan, sudah tentu salah satunya pasti salah. Konsep keselamatan yang diajarkan Alkitab adalah “pembenaran karena atau melalui iman,” sebab itu prinsip “pembenaran karena perbuatan baik” pasti keliru. Dibutuhkan ketelitian dalam membaca dan kesetiaan penafsiran secara eksegesis untuk sampai pada kesimpulan yang bisa sesuai dengan makna sesungguhnya (original meaning) dari suatu perikop.
Ketiga, banyak bagian lain dari Alkitab yang menyuarakan pentingnya kepekaan sosial dan perlunya tindakan kasih orang percaya. Asas-asas kepedulian untuk kemanusiaan bisa dibangun di atas ayat-ayat seperti, Ulangan 15:11, Amsal 14:31, 19:17, Matius 26:11, Galatia 2:10, 6:10, Yakobus 1:27 dan lain-lainnya. Matius 25:31-46 tidak bisa ditafsirkan untuk kepentingan sosial. Pengajaran tentang penerapan nilai-nilai sosial iman kristen berdasarkan Matius 25:31-46 jelas adalah suatu upaya eisegesis yang memaksa bagian ini untuk berbicara tentang hal-hal yang tidak dimaksudkannya. Kesetiaan terhadap konteks telah dilalaikan sehingga selera dan kesan pembaca, bukan pokok pikiran penulisnya, yang menentukan makna dari teks Alkitab. Sungguh suatu kesalahan fatal yang harus selalu diwaspadai!
Terakhir, pesan praktis bagi setiap orang yang mempelajari Alkitab: “Marilah kita terus berusaha untuk menjadi pembaca Alkitab yang alkitabiah,(14) sehingga dapat menghindarkan diri dari membuat kesan (baca: selera) menjadi pesan kebenaran!” •
Footnotes
01/ Lihat situs “Food For The Poor, Inc.” (http://www.foodforthepoor.org) yang mengutip firman Tuhan dari Matius 25:31-46 ini untuk mendukung kegiatan sosialnya.
02/ Myron S. Augsburger, Matthew – The Preacher’s Commentary (Nashville : Thomas Nelson Publishers, 1982), h.265
03/ Ibid. h.264-265. “The judgment identifies Christ with the needy, so that a deed of love to ‘one of the least of these, my brethren’ is a deed of love for Christ (v.40).”
04/ Grant R. Osborne, The Hermeneutical Spiral (Downers Grove : InterVarsity Press, 1991), h.21.
05/ R.T. France, Matthew – Tyndale New Testament Commentaries (Grand Rapids : Eerdmans, 1990), h.354. Ia menyatakan bahwa “The theme of judgment which has run through chs. 23-25 here reaches its superb climax.”
06/ Lihat juga Yohanes 3:18; 5:24,39-40; 6:29; 8:51; 11:25-26; 14:6. Kisah Para Rasul 4:12, Roma 10:9-10.
07/ Desmond Tutu, seorang Bishop Anglikan dari Afrika Selatan berpendapat bahwa dalam perikop ini Yesus menyatakan, “[it] would be whether we fed or did not feed the hungry, whether we clothed or did not clothe the naked, whether we visited the imprisoned or did not, which would say what our final destination was going to be.” Dikutip dari Eksposisi Injil Matius oleh Knox Chamblin (Lihat situs,
http://thirdmill.org/newfiles/kno_chamblin/NT.Chamblin.Matt.25.31-46.pdf).
08/ R.T. France, Matthew – Tyndale New Testament Commentaries, h.351
09/ Memang ada beberapa tafsiran tentang identitas “saudara-Ku yang paling hina” ini, setidaknya ada 4 opini. Hagner telah meringkaskan dengan baik untuk kita, “There is much disagreement about the meaning of the phrase “the least of these my brothers.” From Gray’s survey of the options, we may list the following, in descending order of popularity: (1) everyone, i.e., particularly the needy among humankind; (2) all Christians; (3) Christian missionaries; and (4) Jewish Christians. The fourth option takes the word “brothers” too literally and therefore restricts it too narrowly to those Christians who are physically Jews. The distinction between options 2 and 3 is a small one, unless one insists in option 3 upon “missionary” in the technical sense of the term (thus Court, Gundry) as opposed to Christians generally—all of whom in some sense represent the Gospel (cf. 10:32). Nothing specific in the passage or context supports the speculation of Maddox that Christian leaders are intended. The real choice is between the first two options. The use of tw`n ajdelfw`n mou, “my brothers,” makes it almost certain that the statement refers not to human beings in general but rather to brothers and sisters of the Christian community. Elsewhere in the Gospel it is consistently the disciples whom Jesus calls “my brothers” (12:48–49; 28:10; see too 23:8; outside Matthew, see John 20:17; Rom 8:29; Heb 2:11–12).” Donald A. Hagner, Matthew 14-28 – Word Biblical Commentary (Dallas, Texas : Word Books Publisher, 1995), h.744-745.
10/ Ibid, h.744. Lihat juga, Craig S. Keener, The IVP Bible Background Commentary New Testament (Downers Grove : InterVarsity Press, 1993), h.118. Ia menulis demikian, “…this passage probably refers to receiving messengers of Christ. Such missionaries needed shelter, food and help in imprisonment and other complications caused by persecution.” Opini yang sama juga dapat dibaca di situs (http://www.biblegateway.com/resources/commentaries/index.php?action=getCommentaryText&cid=1&source=1&seq=i.47.25.3). Disini dikatakan bahwa “Nor is the popular view that this text refers to treatment of the poor or those in need (as in Gross 1964; Hare 1967:124; Catchpole 1979; Feuillet 1980a) exegetically compelling,…. In the context of Jesus’ teachings, especially in the context of Matthew (as opposed to Luke), this parable addresses not serving all the poor but receiving the gospel’s messengers.”11/ Lihat situs,
http://thirdmill.org/newfiles/kno_chamblin/NT.Chamblin.Matt.25.31-46.pdf
12/ Matius 25:31-46 ini dapat dilihat sebagai penjabaran lebih luas dari Matius 10:40-42, demikian komentar R.T. France, Matthew – Tyndale New Testament Commentaries, h.355. “The passage (Matt. 25:31-46) is sometimes described as an expansion of the theme of 10:40-42”13/ Konsep Paulus dalam 1 Korintus 12:12-27 tentang gereja sebagai tubuh Kristus dan Kristus selaku kepala gereja, sangat besar kemungkinannya, lahir dari pengalaman “personal encounter” Saulus dengan Tuhan Yesus di tengah perjalanannya ke Damsyik. Bruce mencatat, “His concept of the church as the body of Christ, for example, and of individual christians as members of that body, may go back to the implication of the risen Lord’s complaint: “Why do you persecute Me?”. F.F.Bruce, Paul : Apostle of the Heart Set Free (Grand Rapids : Eerdmans, 1995), h.87
14/ Maksudnya, yang setia pada konteks dari suatu teks Alkitab yang dipelajari, yang melakukan penafsiran dengan berpegang pada dalil-dalil eksegesis, yang memberi kesempatan seluas-luasnya bagi Alkitab untuk berbicara dan menjelaskan dirinya sendiri.


Sumber :
http://www.gkagloria.or.id/artikel/a07.php

1 comment:

Liliwati said...

Sebagai tafsiran pembanding, Anda dapat membaca tulisan saya yang berjudul: "Orang Kaya Pengikut Setan, Jika... [Menafsir Matius 25:14-46]
". Link artikelnya:

http://imankristen.com/index.php?act=viewProd&productId=23

Salam,
Rudy Bingtjoro
http://imankristen.com