30 May 2010

KUASA SETAN DI BALIK KESEMBUHAN ILAHI?: Suatu Telaah Terhadap Mukjizat Kesembuhan Ilahi yang Kontroversial (Pdt. Alex Lim, B.C.M., M.R.E.)

KUASA SETAN DI BALIK KESEMBUHAN ILAHI?:
SUATU TELAAH TERHADAP MUKJIZAT KESEMBUHAN ILAHI YANG KONTROVERSIAL


oleh: Pdt. Alex Lim, B.C.M., M.R.E.




PENDAHULUAN
Lagu “Mukjizat Itu Nyata” karangan Jonathan Prawira banyak digandrungi oleh orang Kristen dari berbagai denominasi. Sepertinya, penulis lagu tersebut ingin “mengklaim” bahwa mukjizat harus terjadi setiap hari. Klaim semacam ini didukung juga oleh maraknya Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) yang disertai kesembuhan ilahi, misalnya yang dipimpin oleh T. B. Joshua, yang diselenggarakan di Graha Bethany dengan memakai tema “Kuasa Tuhan: Datang dan Alami Kesembuhan Ilahi!” Atau, acara serupa yang digelar oleh GBI Tiberias Surabaya yang dipimpin oleh Yesaya Pariadji.1

Meskipun secara umum kalangan Protestan Injili percaya adanya mukjizat, namun realitas ini harus diterima secara lebih kritis dengan menanyakan apakah mukjizat tersebut benar-benar bersifat aktif dan permanen.2 Walau demikian, di kalangan ini, masih ada anggota jemaat yang sakit yang tetap berharap ingin mengalami mukjizat kesembuhan dalam acara serupa. Beberapa dari mereka bertanya, “Pak apakah kami boleh menghadiri KKR yang disertai kesembuhan ilahi?” Sebab, “Bukankah mukjizat kesembuhan itu berasal dari Tuhan?” Jika tidak boleh, “Mengapa tidak boleh? Di mana salahnya?”

Sebelum menanggapi pertanyaan-pertanyaan semacam ini, menurut hemat penulis, perlu adanya verifikasi theologis yang jelas dan objektif berkenaan dengan praktik-praktik kesembuhan ilahi. Apakah semua praktik tersebut alkitabiah? Bila tidak, mana yang alkitabiah, dan mana yang tidak? Tulisan ini akan mengangkat isu-isu kesembuhan ilahi dan permasalahan theologisnya, seperti: Apakah kuasa Setan bisa bekerja di balik macam-macam praktik mukjizat kesembuhan ilahi? Apakah agama-agama lain juga mempraktikkan kesembuhan ilahi? Apakah kesembuhan ilahi disebabkan gejala psikologis belaka? Jika pada masa kini Tuhan masih melakukan mukjizat kesembuhan, bagaimanakah mukjizat yang alkitabiah?


FENOMENA KESEMBUHAN ILAHI YANG KONTROVERSIAL
Praktik-praktik kesembuhan ilahi yang kian marak ini bukan saja terjadi di kota-kota besar, tetapi manifestasinya juga telah sampai ke pelosok tanah air, di desa Meko dekat kota Poso, Sulawesi Tengah, seperti yang dilakukan oleh seorang anak kecil, Selvin, yang juga dijuluki “dokter kecil” karena ia dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit Tentang hal ini, demikian kesaksian Tertius Y. Lantigimo:
Ada ribuan manusia yang membanjiri desa Meko, baik di baruga (balai desa), di rumah-rumah maupun di tenda-tenda. Sementara pujian berlangsung, tiba-tiba terdengar tepukan tangan dan teriakan “Puji Tuhan.” Orang-orang pun berkerumun untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata terjadi mukjizat, tiba-tiba saja orang lumpuh berjalan, buta melihat, tuli mendengar, dan kesembuhan lainnya terjadi. Ada seorang ibu dari desa Bancea (Kec. Pamona Selatan) Nande Rutana namanya, karena kecelakaan (ditabrak sepeda motor) menjadi bungkuk selama bertahun-tahun, disembuhkan seketika. Hanya dengan jamahan anak kecil (yang sering disapa “dokter kecil”), tiba-tiba ibu yang bungkuk ini berdiri tegak. “Seperti ada yang menarik dan meluruskan badan saya dari belakang setelah dijamah oleh anak itu,” tutur ibu Nande Rutana. Juga seorang bapak Kogege tua sudah berusia 93 tahun dari desa Buyumpondoli, buta selama tiga puluh tahun. Dokter mengatakan urat saraf penglihatan sudah mati, tapi akhirnya bapak tua ini dapat melihat kembali.3

“Luar biasa,” “ajaib,” “spektakuler,” “fenomenal!” adalah ungkapan-ungkapan yang mungkin cocok untuk menggambarkan peristiwa di atas. Lebih dari itu, cara dan kemampuan anak kecil ini dapat dikategorikan “setingkat” dengan Tuhan Yesus.4 Atau, paling tidak, ia “setingkat” dengan hamba-hamba Tuhan besar yang melakukan mukjizat kesembuhan seperti Oral Roberts, Kathryn Kulman, Benny Hinn, Reinhard Bonnke dan lainnya. Menurut cerita, frekuensi kesembuhan ini terjadi hampir setiap hari dan puncaknya selalu pada hari Jumat (pkl. 07.00-19.00).5

Pertanyaannya, dari manakah kuasa ini berasal? Apakah dari Tuhan? Apakah anak kecil berusia delapan tahun dapat memiliki relasi dan rohani yang begitu dalam dengan Tuhan? Apakah ia mengerti apa yang sedang terjadi dalam dirinya? Apakah dalam Alkitab pernah dinyatakan bahwa Tuhan pernah memakai anak kecil melakukan kesembuhan ilahi secara intensif? Apakah fenomena ini sedang menunjuk kepada apa yang Tuhan Yesus pernah ingatkan kepada murid-murid-Nya, “Pada waktu itu jika orang berkata kepada kamu: Lihat, Mesias ada disini atau Mesias ada di sana, jangan kamu percaya. Sebab Mesias-mesias palsu dan nabi-nabi palsu akan muncul dan mereka akan mengadakan tanda-tanda yang dahsyat dan mukjizat-mukjizat, sehingga sekiranya mungkin, mereka menyesatkan orang-orang pilihan juga” (Mat. 24:23, 24).6 Apakah praktik-praktik semacam itu dapat dikelompokkan ke dalam kategori nabi palsu seperti yang Yesus maksudkan? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, diperlukan kajian theologis yang benar berdasarkan Alkitab.7


PERSPEKTIF MUKJIZAT YANG ALKITABIAH
Ada sekian banyak konsep yang berbeda tentang mukjizat. Dalam sebuah tayangan TV, seorang pendeta mengklaim itu telah terjadi mukjizat dari Tuhan, seperti yang ditulis oleh Gross, “He explained that a company near his complex had decided to sell a very large building. This building was greatly needed by the Christian ministry he had founded. Its becoming available he constantly affirmed to be a miracle.”8 Mukjizat ini jelas tidak ada hubungan dengan sakit-penyakit, tetapi berkaitan dengan kebutuhan gedung. Pertanyaannya, apakah hal semacam ini dapat dikategorikan sebagai mukjizat?

Bagaimana dengan sebuah kesaksian seorang pemuda yang dimuat dalam sebuah majalah Kristen? Pemuda ini mengaku mengalami sakit mata dan radang merah di matanya. Ia menulis demikian,
Sesuai anjuran dokter saya memakai obat tetes sebanyak 5 kali, ternyata makin bengkak. Minggunya saya ke gereja, kebetulan ada pendeta yang lagi khotbah tentang mukjizat yang dilakukan oleh Tuhan Yesus, katanya tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Waktu pendeta mengadakan altar call, dengan iman saya ke depan untuk didoakan. Setelah pulang istirahat dua jam, eh, mata saya sudah sembuh total, tidak merah lagi, tidak bengkak dan bisa melihat kembali seperti biasa.”9

Sepertinya, sekarang ini, ada gejala di mana orang dengan begitu mudah menggunakan istilah “mukjizat.” Maksudnya, ketika suatu masalah terselesaikan atau suatu kebutuhan dipenuhi, itu diklaim sebagai mukjizat. Jika demikian, apakah sesungguhnya mukjizat itu?


Definisi dan Pengertian Mukjizat
Definisi kata atau istilah mukjizat dalam Alkitab harus bersifat tepat dan utuh sebab kekeliruan di dalam memformulasikannya dapat berakibat pada pemahaman yang salah. Gross menegaskan, “An accurate definition of the term, then, is a matter of primary concern. Wrong definitions lead to wrong conclusions.”10 Dasar untuk mengerti apakah mukjizat itu adalah firman Tuhan yang telah diwahyukan sebagai kebenaran mutlak yang harus ditaati.

Secara terminologis, kata “mukjizat”11 dalam PL maupun PB merujuk beberapa istilah yang menyatakan perbuatan atau pekerjaan Allah yang ajaib, (mis. Kel. 15:11; Mat. 11:20; Luk. 19:37; Kis. 10:38). Kadang-kadang, kata ini diterjemahkan sebagai “tanda.” Kata ini memiliki beberapa arti: pertama, “keajaiban.” Kata Ibrani yang menyatakan makna itu adalah pl’ (mis. Kel. 15:11; Yoh. 3:5), yang dalam bahasa Aram dipakai kata temah (Dan. 4:2-3; 6:27), dan dalam bahasa Yunani dipakai kata τέρας (muncul enam belas kali; mis. Kis. 4:30; Rm. 15:19).

Arti yang kedua, “kuasa, kekuatan, atau kesanggupan,” Ini dapat dilihat dalam penggunaan kata Ibrani gevura (Mzm. 106:2; 145:4) dan kata Yunani δύναµις (muncul 119 kali). Dalam PB, kata ini sering dikaitkan dengan perbuatan-perbuatan Yesus (Mat. 11:20; Luk. 19:37; Kis. 10:38), para rasul (Luk. 9:1; Kis. 19:11; 2Kor. 12:12), beberapa orang Kristen (1Kor. 12:10, 29) dan, bahkan, pelayan-pelayan Setan (Mat. 7:22; Kis. 8:10; Why. 13:2-4).

Sedangkan arti yang ketiga adalah “tanda,” atau “sesuatu yang mengherankan.” Makna ini termaktub dalam kata Ibrani ‘ot (Bil. 14:11; Neh. 9:10), dan kata Aramaiknya adalah ‘at (Dan. 4:2-3; 6:27). Sementara itu, kata Yunaninya adalah σηµείον (muncul 77 kali) dalam PB.12 Tanda-tanda ini diperlihatkan oleh Allah (Yoh. 2:11; 3:2; Kis. 8:6), dan kadang-kadang, dari Setan (2 Tes. 2:9; Why. 19:20) atau Iblis (Why. 16:14).

Ringkasnya, mukjizat dapat dipahami sebagai “perbuatan supralamiah spektakuler yang melampaui akal dan kemampuan manusia.” Ini sejalan dengan apa yang dikatakan Gross, “Miracles are superhuman events. They are wrought by a power greater than what mere humans possess.”13 Di samping itu, mukjizat dari Allah pasti akan mendatangkan kebaikan bagi semua orang dan membawa kemuliaan bagi-Nya (Mat. 9:30-31).


Tujuan Mukjizat Dipertunjukkan
Dalam PB, ada tiga istilah yang artinya mirip dan muncul bersamaan: mukjizat-mukjizat, perbuatan-perbuatan ajaib dan tanda-tanda (terj. NIV: “miracles, wonders and signs” [lih. Kis. 2:22; 2Tes. 2:9; Ibr. 2:4]). Berkaitan dengan hal ini, Vernon C. Grounds mengatakan, “The three terms occasionally found together are used to designate the extraordinary events and mighty acts brought to pass in connection with the outworking of redemption whether in its Hebraic or Christian.”14 Di sini, penekanan praktik melakukan tanda-tanda atau mukjizat-mujizat dalam PB bukan pada kepentingan individu melainkan pada hubungannya dengan karya penebusan dan kebangkitan Tuhan Yesus. Karena itu, J. D. Spiceland mengatakan, “It should be clear then that central miracle of NT religion is the resurrection of Christ.”15

Mukjizat adalah manifestasi kuasa Allah untuk memulihkan susunan ciptaan sehingga menjadi teratur kembali, terutama untuk memulihkan gambar manusia yang rusak menjadi baru (2Kor. 5:17). Jika demikian, konsep penyataan mukjizat dalam PB jelas tidak berfokus pada kesembuhan manusia melainkan pada kebangkitan-Nya yang memberi pengharapan bagi orang-orang tebusan-Nya. Theologi ortodoks percaya bahwa mukjizat adalah bagian dari tanda otentik para nabi dan rasul Allah, terutama Anak-Nya, dan ini juga sekaligus dapat membedakan mukjizatmukjizat dari allah-allah kafir dan nabi-nabi palsu.16 Jika ada manifestasi mukjizat yang tidak selaras dengan tujuan dan maksud Allah, maka dapat dipastikan bahwa itu bukan berasal dari Allah (bdk. Ul. 13:2-3; Mat 7:22; 24:24; 2Tes. 2:9; Why. 13:13; 16:14; dan 19:20). Yesus sendiri menolak tegas untuk memberi tanda dari sorga. Ia tidak mau membuat mukjizat yang tidak berguna dan menggemparkan jika itu bertentangan dengan tujuan-tujuan Allah (Mat. 12:39; 16:4).

Tanda-tanda mukjizat dalam Alkitab dinyatakan untuk membuktikan keilahian Yesus dan status-Nya sebagai Anak Allah, yaitu Mesias yang dijanjikan untuk menyelamatkan umat manusia dan tujuannya untuk memuliakan Allah. Pokok yang terpenting di sini adalah bahwa Yesus bukan bermaksud memamerkan mukjizat-Nya, tetapi memproklamasikan firman-Nya. Intinya, manusia dapat diselamatkan tanpa melalui mukjizat, tetapi ia tidak dapat diselamatkan tanpa firman-Nya (1Ptr. 23; Rm. 10:13-15).




APAKAH MUKJIZAT BERSIFAT AKTIF DAN PERMANEN PADA MASA KINI SAMA SEPERTI PADA ZAMAN PERJANJIAN BARU?
Seperti yang sudah dibahas pada bagian sebelumnya, maksud dan tujuan mukjizat sudah begitu jelas. Jika demikian, maksud dan tujuan mukjizat juga seharusnya tidak berbeda dari apa yang ada pada zaman Alkitab. Meski sering diakui bahwa mukjizat masih dapat terjadi, sebab memang kuasa Allah tidak berubah dan masih bekerja sampai sekarang, namun persoalannya, apakah sifat mukjizat itu aktif dan permanen?


Pandangan Umum di Kalangan Karismatik tentang Mukjizat
Selain nubuat dan bahasa lidah, salah satu ajaran yang menonjol dari kalangan Karismatik adalah penekanan pada mukjizat kesembuhan ilahi. Dasar alkitabiah dari pengajarannya ini, di antaranya, adalah bahwa janji kuasa mukjizat Tuhan akan menyertai murid-murid-Nya (Mrk. 16:17; Kis. 2:1-24). Kelompok ini percaya bahwa pada masa sekarang, mukjizat masih berlangsung sama seperti pada zaman Yesus dan para rasul (Mat. 9:35; 2Kor. 12:12.17 Ajaran ini menaruh perhatian khusus terhadap kuasa dan tanda-tanda mukjizat yang Yesus lakukan (Mat. 10:8), bahkan ajaran ini menganggap orang Kristen dapat melakukan hal yang lebih besar dari yang dilakukan oleh Yesus (Yoh. 14:12). Bahkan, hal ini diklaim (dibuktikan) biasa terjadi di dalam pelayanan-pelayanan kelompok Karismatik.18

Jika praktik mujizat kesembuhan itu gagal, biasanya akan diberikan beberapa kemungkinan penyebabnya. Pertama, kurangnya iman atau kepercayaan. Kedua, jenis penyakit ini bukan bagian dari para praktisi kesembuhan ilahi, seperti yang dikatakan oleh Peter Wagner:
Speaking of gifts, do not be surprised to find that some with the gift of healing have been given specialities in certain areas. Francis MacNutt, for example, has had little success in praying for deafness, but a fairly degree of success in praying for bone problems and problems in the abdominal or chest area, except cancer. My specialty as I have mentioned, is for lengthen legs (which in most cases involves pelvic adjustments) and problems relating to the spine.19

Menurut penulis, pandangan Wagner di atas, sungguh tidak alkitabiah karena karunia kesembuhan dalam Alkitab tidak membicarakan karunia kesembuhan yang hanya “manjur” untuk satu macam penyakit tertentu. Atas dasar apakah Wagner mengatakan bahwa ada seorang Kristen (hamba Tuhan) yang spesialis dapat memanjangkan kaki? Ketiga, kurang berdoa. Menurut Wagner, peran doa cukup penting dalam proses terjadinya suatu mukjizat kesembuhan.20 Keempat, kurang terdeteksi, karena sumber penyakit tersebut berasal dari Setan.21

Tokoh-tokoh Karismatik seperti Kathryn Kuhlman, Oral Roberts, Rex Humbard, Benny Hinn, Kenneth Hagin, Reinhard Bonnke, David Yonggi Cho, Morris Cerullo dan lainnya, sering mendemontrasikan kesembuhan ilahi dalam setiap KKR mereka. Oral Roberts bersaksi tentang apa yang terjadi dalam kebaktian KKR yang dipimpin oleh Kathryn Kuhlman:

Roh Kudus menaungi saya di saat saya menyaksikan Tuhan melakukan berbagai mukjizat yang begitu luar biasa melalui KKR Nona Kuhlman. Saya menangis karena sukacita dan saya tahu bahwa Tuhan telah membangkitkan hamba-Nya yang sangat dikasihi-Nya. Saya percaya, ini adalah tanda dari Tuhan. Saya menyaksikan kuasa mukjizat kesembuhan Allah, orang-orang yang sudah lumpuh lama sekali dapat berdiri dan berlari-lari melewati hadirin.22

Tokoh Karismatik yang paling fenomenal dan kontroversial dalam pengajaran dan praktik kesembuhan ilahi adalah Benny Hinn.23 Ajaran dan praktik mukjizat yang dilakukan oleh Hinn telah banyak mendapat kritik dari para sarjana Alkitab yang masih setia pada prinsip firman Tuhan. Tidak sedikit dari mereka yang menganggap Hinn tidak alkitabiah, menyesatkan, bahkan ia “dicap” sebagai bidat. Seperti yang ditulis dalam sampul belakang buku The Confusing World of Benny Hinn oleh Ron Rodes, Presiden Reasoning from the Scriptures Ministry,
This penetrating analysis of Benny Hinn’s teaching is highly recommended. The authors put Hinn and his teachings under the scrutiny of Scripture and provide thorough documentation regarding how this healing evangelist repeatedly departs from sound doctrines and practice.24

Norman L. Geisler, dekan di Southern Evangelical Seminary, pengajar, dan penulis buku juga menulis berkomentar hal yang sama tentang Hinn,
This is timely and insightful expose of the doctrinally dangerous, experienced-based extravagances of one of America’s most popular televangelists. Benny Hinn’s self-proclaimed ‘revelations,’ supported by dramatic hypnotic powers, are not only undermining the historic Christian conviction in the sufficiency of Holy Scripture, but they are leading millions into the confusing world of Christian shamanism. This volume is a blunt, bold, and biblical scrutiny of Hinn’s aberrant, unorthodox, and at time, heretical teaching.

Demikian juga, Jay E. Adams, penulis buku, artikel, pengajar, konselor, dan gembala sidang turut menelanjangi ajaran Hinn,
Nowhere have I encountered so thorough an exposition of Bennny Hinn’s extravagances as in this book. From casual reading previously of Hinn’s materials, I knew that his ”ministry” was highly suspect, but The Confusing World of Benny Hinn convinced me that his views are not only deplorable, but outright heresy! For all who wonder about Hinn, this book will bring the enlightenment desired.25

Kritik para tokoh di atas terhadap ajaran dan praktik kesembuhan Hinn yang kontroversial dapat mengindikasikan bahwa ajaran dan praktik kesembuhan ilahinya adalah tidak alkitabiah.

Dalam kasus Hinn, penulis juga tidak dapat menerima ajaran dan praktik tersebut karena beberapa alasan, misalnya pertama, metode hermeneutika yang digunakannya adalah metode yang tidak tepat dan tidak bertanggungjawab. Ia mengutip ayat-ayat Alkitab secara proof text untuk mendukung ajaran dan praktiknya. Kedua, pandangan theologinya yang tidak konsisten dengan apa yang diajarkan oleh Alkitab tentang karunia kesembuhan ilahi, karunia bahasa roh dan nubuatan. Ketiga, cara-cara atau metode kesembuhan ilahi yang dipraktikkan tidak sejalan dengan Alkitab. Keempat, ia cenderung untuk lebih bergantung pada kemampuan (kuasa iman!) manusia (jadi, lebih bersifat antroposentris) daripada kedaulatan Tuhan (teosentris); di mana pengalaman pribadinya (individu) dijadikan sebagai ukuran tolok ukur dan bukan ajaran Alkitab.26


Pandangan Protestan Injili
“Do miraculous gifts exist today?” dan “Does anyone have the gift of healing today?” adalah pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kalangan Protestan Injili selama ini.27 Seperti yang telah dikemukakan oleh penulis di atas, tujuan berbagai mukjizat sudah jelas dalam kitab suci. Sebab itu, jika ada tanda-tanda mukjizat yang terjadi hari ini, maka maksud dan tujuannya pasti sama dengan yang dinyatakan oleh Alkitab.28 Menurut penulis, Allah bekerja dengan cara yang tidak berkontradiksi dengan natur dan rencana-Nya. Dia masih berkuasa dan mampu melakukan mukjizat kapan dan di mana saja, seperti ditegaskan oleh Walter Chantry,
And there is no Biblical reason to limit God to performing miracles at certain seasons only. No doubt God is yet executing unusual feasts of power. In response to the prayers of his people, God is healing in sovereign power some whom modern medicine has pronounced hopeless…. God’s working of wonders cannot be limited to ages past.29

Pandangan di atas, mengisyaratkan bahwa Allah masih melakukan mukjizat (seperti ungkapan ini: “I believe that true signs, wonders, and mighty deeds are occurring in our day”), namun baik volume bahkan frekuensinya tidak seperti pada zaman PB. Atau, bahkan, tidak bersifat permanen seperti yang diajarkan di kalangan Karismatik. B. B. Warfield, theolog dari Princeton Seminary, mengatakan, “We taught that the miraculous gifts of the Holy Spirit were not intended as permanent gifts of God to the church.”30

Perspektif Protestan Injili terhadap mukjizat mencoba berusaha lebih konsisten dan komprehensif secara theologis, hermeneutik dan alkitabiah.

Menurut kalangan ini, tanda-tanda mukjizat yang dilakukan oleh Yesus adalah untuk membuktikan keilahian-Nya, sebagai Anak Allah dan Mesias yang dijanjikan Allah. Yesus tidak mengutamakan mukjizat kesembuhan, melainkan memakainya untuk mengkonfirmasi injil Kerajaan Allah (Mat. 9:35; 11:1; Mrk. 1:14-15).

Fenomena spektakuler pada saat pencurahan Roh Kudus di hari Pentakosta terjadi hanya satu kali saja. Peristiwa fenomenal tersebut merupakan pengalaman gereja yang unik saat permulaan pekerjaan Roh Kudus, dan tidak akan terulang lagi (Kis. 2:1-13). Macam-macam karunia Roh Kudus telah dicurahkan kepada para rasul yang dipilih oleh Tuhan menjadi saluran atau alat untuk pertumbuhan gereja mula-mula, mulai dari Yerusalem sampai ke ujung bumi (Kis. 1:8).

Kristus sebagai batu penjuru dan fondasi gereja hanya diletakkan satu kali saja (Ef. 2:20; 1 Kor. 12:28, 29). Di atas dasar ini seluruh pelayanan pelayanan para rasul dibangun. Dalam kerangka ini, relasi karunia Roh Kudus dengan pelayanan para rasul sangat erat (Kis. 19:4-6; 2 Kor. 12:12), yaitu tanda-tanda mukjizat itu menjadi bukti otentik kerasulan mereka. Gross mengatakan,
“This ability was one of the “signs of an apostle.” The signs of an apostle were those unique aspects of his life and ministry that authenticated him as one of Christ’s representatives. Through the presence of these signs, people would be able to distinguish between true and false apostles.” 31

Ketika jabatan rasul32 sudah tidak ada zaman sekarang, maka keaktifan tanda-tanda mukjizat “seperti yang para rasul lakukan” juga berhenti.


Implikasi
Pertama, kalangan Protestan Injili tidak menolak eksistensi mukjizat pada masa kini. Kesembuhan ilahi adalah fakta yang dapat dikerjakan Allah bagi anak-anak-Nya. Penulis mengingat perkataan Stephen Tong, dalam salah satu Seminar Pembinaan Iman Kristen, yang mengatakan, “Kita boleh berdoa untuk orang-orang sakit, bahkan hari Minggu setelah kebaktian, layani orang-orang sakit dengan doa.” Dengan demikian, orang Protestan Injili, tidak alergi dengan doa mohon kesembuhan selama dilakukan dengan cara-cara yang benar dan alkitabiah.

Jika mukjizat kesembuhan memang benar “dapat” terjadi, maka hal tersebut tidak boleh menjadi acuan bahwa kesembuhan ilahi “pasti” selalu terjadi. Selain itu, tidak boleh juga diklaim bahwa setiap orang “pasti” dapat memiliki karunia kesembuhan ilahi. Fenomena kesembuhan ilahi yang terjadi itu adalah tanda penyertaan Allah yang dapat terjadi sesekali saja.

Kedua, doa mohon kesembuhan ilahi merupakan bagian pelayanan gereja bagi anggota jemaat yang sakit. Paulus juga pernah melakukan pelayanan kesembuhan, misalnya ketika melayani Trofimus ditinggalkan dalam keadaan sakit, ketika Paulus sendiri mengalami sakit tubuh (2Tim. 4:20). Di sini, sembuh atau tidak bukan hal yang terpenting, tetapi yang terpenting adalah bagaimana keselamatan rohani atau jiwa.

Ketiga, kesembuhan ilahi hanya merupakan bagian dari janji berkat penyertaan Allah. Yang harus menjadi fokus atau perhatian gereja atau orang Kristen adalah pemberitaan injil Kerajaan Allah agar orang yang belum percaya dapat diselamatkan oleh-Nya melalui pemberitaan itu. Jadi, bukan kesembuhan fisik yang diutamakan, melainkan kesembuhan secara rohani.

Dengan demikian, meski sebagian dari kalangan Karismatik memiliki pemahaman dan mempraktikkan mukjizat kesembuhan ilahi secara salah, penulis harus mengatakan bahwa tidak semua dari mereka salah, sebab masih ada yang memahami dan menerapkannya secara benar dan konsisten sesuai dengan firman Tuhan. Fakta ini akan menolong, paling tidak bagi penulis sendiri, untuk lebih bersikap kritis terhadap fenomena kesembuhan ilahi.




KUASA SETAN DI BALIK KESEMBUHAN ILAHI?
Jika pada masa kini manifestasi mukjizat tidak aktif seperti zaman PB, lalu siapa yang melakukan macam-macam mukjizat kesembuhan pada masa kini? Kemungkinan yang paling besar adalah Iblis atau Setan.33 Orang Yahudi, termasuk orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, percaya pada keaktifan kuasa Setan. Mereka pernah mencurigai bahwa kuasa Yesus ketika menyembuhkan orang buta dan bisu berasal dari Iblis ketika berkata, “Dengan Beelzebul,34 penghulu Setan, Ia mengusir Setan.” Padahal, Yesus mengusir Setan dengan kuasa Roh Allah (lih. Mat 12:23, 27; Mrk. 3:22-23; Luk.11:14-19). Orang Yahudi beranggapan bahwa Setan memang dapat melakukan mukjizat dengan kekuatan yang amat dahsyat (Why. 12:12; 13:1-8), tetapi Yesus membuktikan bahwa diri-Nya lebih berkuasa dari Setan (Mrk. 5:9-13; Luk. 10:17), dan kebebasan dan kuasa yang dimiliki Setan ini sangat terbatas dalam memperdaya manusia (Kis. 10:38; 1Tim 4:1-2).

Eksistensi Setan dan Asal Usulnya
Keberadaan Iblis nyata digambarkan dalam Kejadian 3, di mana ia mencobai Adam dan Hawa dengan dialog yang memikat. Setan juga disebut dalam Ayub 2:1; 1 Tawarikh 21:1; Zakharia 3:1-2. Nabi Yesaya (14:12) dan Yehezkiel (28:14, 16) juga menjelaskan keadaan Setan sebelum kejatuhannya. Para penulis injil cukup banyak mencatat fakta tentang eksistensi Setan dari pengalaman dan pelayanan Kristus (Mat. 4:10; 12:26; Mrk. 1:13; 3:23, 26; Luk 11:18; 22:3; Yoh. 13:27).35

Asal usul Iblis adalah dari malaikat.36 Pada awalnya, ia yang adalah malaikat ciptaan Allah (Mzm. 148:2-5; Kol. 1:16) dengan kondisi baik dan suci (Mzm. 89:5,7). Meski malaikat itu bersifat roh (Ibr. 1:14), namun dapat menyatakan diri pada manusia dalam wujud tubuh manusia (Kej. 18:3). Jumlah malaikat adalah “beribu-ribu” (Ibr. 12: 22). Bahkan, dalam Wahyu 5:11, dikatakan jumlah malaikat itu “berlaksa-laksa dan beribu-ribu laksa.” Pengulangan frasa tersebut ditafsirkan sebagai “tak terhitung banyaknya.”37

Mikhael (Dan. 10: 13, 21), Gabriel (Dan. 9:21; Luk. 1:26), dan Lusifer (Yes. 14:12) adalah nama-nama peghulu malaikat yang memiliki peran yang berbeda. Lusifer (artinya “yang bersinar” atau “bintang fajar”) disebut sebagai malaikat pemberontak yang melawan Allah (Ibr. Satan). Penyebab kejatuhan Iblis terutama adalah karena kesombongannya (Yeh. 28:15,17; 1 Tim. 3:6). Ia ingin menjadi sama dengan “Yang Maha Tinggi.” Karena itu, Allah mencampakkan dia jatuh dari surga. Kemungkinan besar, yang jatuh adalah sepertiga dari semua malaikat di surga (Yeh. 28:16-17; Why. 12:4). Lusifer dikenal dengan berbagai sebutan seperti, misalnya Setan, “penguasa Iblis” (Mat. 12:24), Iblis atau “si jahat dan malaikatnya,” (Mat. 25:41). Wahyu 12:7 menyebutnya sebagai “naga dengan malaikatnya.”38

Alkitab memaparkan nama-nama Setan yang juga menggambarkan karakternya yang buruk. Satan disebut juga sebagai “devil, atau evil one.” Sifat dasarnya adalah penipu, penggoda, jahat, destruktif (Mat. 4:1, 10; Yoh. 17:5).39 Karakter Setan pada dasarnya adalah penentang dan penghancur. Di samping itu, motivasinya buruk dan orientasi sepak terjangnya selalu ingin merusak rencana kerajaan Allah, baik di taman Eden (Kej. 3:5) maupun di antara orang beriman (1 Taw. 21:1; Mrk. 4:15; 2Kor. 11:15).40


Kemampuan Setan
Kemungkinan Setan dapat melakukan tanda-tanda mukjizat adalah karena ia memang memiliki kuasa atau kekuatan supernatural seperti yang dinyatakan Alkitab, “Itulah roh-roh Setan yang mengadakan perbuatan-perbuatan ajaib” (Why. 16:14a). Ia disebut penguasa dunia (Yoh. 12:31) dan penguasa angkasa (Ef. 2:2). Karena itu, ia mengambil peran sebagai oposan Allah. Kapasitas kehebatan Setan adalah bahwa ia mampu melakukan tanda-tanda mukjizat yang menakjubkan (Kis. 8:9-11; 2 Tes. 2:9-10; Why. 13:13-14). Meski demikian, ia juga memiliki beberapa keterbatasan, misalnya ia tidak mahakuasa, meskipun ia memiliki kekuatan yang luar biasa melampaui kekuatan manusia (Mrk. 5:3-4), dengan kata lain kekuasaannya terbatas; ia juga tidak mahahadir. Ia hanya eksis satu kali di satu tempat, meskipun Iblis bersifat roh, yaitu tanpa daging (Mat. 8:16); Luk. 10:17, 20). Selain itu, ia tidak mahatahu, walau ia memiliki intelek, mengetahui kondisi dan identitas orang (Ayub 1:9-12; Mrk 1:24), dan mengetahui nasib akhir mereka (Mat. 8:29), dan akhirnya, ia memiliki kebebasan, tetapi tidak memiliki kebebasan yang tidak terbatas, sebaliknya, ia justru takluk dan dibatasi oleh Allah.41


Modus Operandi Setan di Balik Mukjizat Kesembuhan
Sejak kejatuhan Iblis, ia telah menjadi musuh utama Allah dan manusia (Kej. 3:15), dengan tujuan utama untuk menghancurkan rencana keselamatan dan kerajaan Allah. Sasaran utamanya adalah orang-orang Kristen, khususnya Yesus (Mat. 4:1-11). Meski ia gagal mencobai Yesus, ia terus berusaha mencari kesempatan lain untuk menghabisi Yesus (Luk. 4:13). Ia juga ingin merusak rencana kematian Yesus (Mat. 16:21-23), mulai saat menjelang penyaliban (Yoh. 13:27; Luk. 22:3-6) hingga ketika Yesus di atau salib (Mat. 27:40).

Modus yang dilakukan oleh Iblis untuk menentang Kristus adalah melalui: penipuan (deception), karena sifatnya yang licik. Paulus pernah menghardik seorang anak tukang sihir dan berkata, “Hai anak Iblis, engkau penuh dengan rupa-rupa tipu muslihat dan kejahatan, engkau musuh segala kebenaran, tidakkah engkau akan berhenti membelokkan Jalan Tuhan yang lurus itu?” (Kis. 13:10). Kepada jemaat Efesus, Paulus juga mengingatkan bahaya tipu muslihat Iblis yang dahsyat (Ef. 6:11). Motif utamanya adalah penyesatan (2Kor. 11:13-15; Why. 13:14; 19:20). Penyamaran juga modus Iblis yang lain. Tidak tanggung-tanggung, ia mampu menyamar sebagai malaikat terang (2 Kor. 11:14).

Pemalsuan Iblis ini merupakan tipu muslihat untuk mengelabui pengikut-pengikut Kristus. Metode utamanya adalah dengan memalsukan fakta atau kejadian. Ia merekayasa segala kepalsuan, sehingga mirip dengan yang benar (asli). Dalam konteks Alkitab, Iblis menerapkan metode ini dengan licik, khususnya ketika mengadakan mukjizat, tanda, atau ajaran palsu yang seolah-olah benar (1Tim. 4:1-3; Why. 2:24; bdk. 2Tes. 2:9-11).42

Alkitab juga mengaitkan Iblis dengan kehadiran guru, nabi atau Mesias palsu di tengah jemaat (Mat. 24:24; Why. 19:20). Selain itu, Iblis suka menunggangi dan memperdayakan pengikut-pengikut Kristus (Mat. 16:23; Mrk. 8:33; Luk. 23:9; Yoh. 6:70), pelayan-pelayan atau hamba-hamba Tuhan, khususnya, dengan cara penafsiran Alkitab yang keliru yang menghasilkan ajaran sesat yang tidak alkitabiah.43

Modus penipuan maupun penyamaran Iblis sangat handal dan terkesan rohani. Maka hal ini sesuai dengan apa yang diucapkan oleh Tuhan Yesus sendiri, “Pada waktu itu jika orang berkata kepada kamu: Lihat, Mesias ada di sini, atau Mesias ada di sana, jangan kamu percaya.” (Mat. 24:23-24; bdk. Why. 13:13-14). Sebab itu, Paulus mengingatkan Timotius, “Tetapi Roh dengan tegas mengatakan bahwa di waktu-waktu kemudian, ada orang yang akan murtad lalu mengikuti roh-roh penyesat dan ajaran Setan-Setan oleh tipu daya pendusta-pendusta yang hati nuraninya memakai cap mereka” (1Tim. 4:1-2).

Modus operandi Setan lainnya adalah menyusup ke dalam bermacam-macam praktik agamawi. Ia mengadakan tanda-tanda ajaib dengan melakukan berbagai kesembuhan untuk mengelabui dan menyesatkan orang-orang, yang dalam kasus ini, dikemas di dalam praktik agamawi. Semakin orang-orang mengharapkan tanda-tanda dan kesembuhan itu, maka semakin jiawak44 Iblis untuk memperlihatkan kemampuannya demi penipuan dan penyesatan.

Sebenarnya, praktik kesembuhan dalam kemasan agamawi bukan barang baru. Misalnya, fenomena supranatural dalam agama sempalan agama Hindu, seperti yang dipraktikkan oleh Deepak Chopra. Konon, banyak orang disembuhkan secara spektakuler setelah mengikuti meditasi atau cara khusus yang diberikannya. Selain itu, orang-orang yang kecanduan narkoba—baik itu sabu-sabu, morfin, dan jenis-jenis lainnya—setelah diterapi oleh seorang bhiksu agama Budha di Thailand, ternyata dapat terbebas dan pulih dari kecanduannya. Di kalangan Islam tertentu, para tokoh agama di pusat pendidikan dan pelatihan agamawi tertentu memiliki kemampuan supranatural untuk mengusir roh-roh jahat, menyembuhkan sakit-penyakit, memulihkan dari kecanduan, dosa seks, obat bius dan dosa-dosa lainya. Tidak kalah menarik, di Jepang, ada aliran agamawi yang disebut Gohonsom juga memberi pengajaran tentang praktik penyembuhan, sehingga banyak orang yang mengikuti agama tersebut.45




MEMPERTANYAKAN KEABSAHAN KESEMBUHAN ILAHI
Dari sudut pandang Alkitab, ada banyak kasus mukjizat “kesembuhan ilahi” yang dapat dipertanyakan atau diragukan keabsahannya. Beberapa contoh kasus yang tidak alkitabiah, misalnya, kasus Selvin Bungge, seorang bocah berusia delapan tahun yang dijuluki “dokter cilik” oleh masyarakat Poso, Sulawesi Tengah. Menurut cerita, ia sanggup menyembuhkan berbagai macam penyakit (namun sejumlah penyakit “kelas berat” seperti: AIDS, leukimia, stroke dan kanker belum bisa disembuhkan) dengan doa “Bapa Kami” dan lagu “Allah Kuasa Melakukan Segala Perkara.”46

Kasus kedua terlihat dari kesaksian berikut ini,
Sudah cukup lama saya menderita sakit pinggang dan sudah berobat kemana-mana tapi tidak sembuh-sembuh. Suatu hari saya menyaksikan program siaran langsung penyegaran rohani oleh John Hartman di RCTI. Waktu berdoa, saya mengangkat tangan ke arah televisi dan mengimani bahwa Tuhan pasti akan sembuhkan saya, dan benar, saya mengalami jamahan Tuhan pada saat itu juga! Saya disembuhkan.47

Kemudian, kasus ketiga seperti kesaksian di bawah ini,
Seminggu setelah Peter Jongren mengadakan KKR Kesembuhan Ilahi di Bandung. Penulis diundang berkhotbah di gereja GBT di Bandung. Seusai khotbah, didampingi pendeta gereja itu bersalaman dengan jemaat yang berbaris keluar. Ada seorang jemaat yang cacat kakinya dan berjalan menggunakan tongkat penyangga lengan datang bersalaman dan juga dengan pendetanya, lalu orang itu berkata kepada pendetanya: Minggu yang lalu dalam KKR Peter Jongren saya sudah bisa berjalan tidak menggunakan tongkat, tapi sesampai di rumah saya harus pakai tongkat lagi.48

Kasus-kasus kesembuhan ilahi yang bersifat semu di atas sesungguhnya banyak sekali terjadi. Dikatakan semu karena ada banyak orang, pada saat yang sama, yang sesungguhnya tidak mengalami kesembuhan. Sangat disayangkan, meski tidak selalu demikian, tampaknya ada semacam usaha terselubung untuk merekayasa kesembuhan ilahi ini, khususnya, yang dilakukan oleh tim penyelenggara KKR.

Karena itu, untuk tidak mudah terjebak dalam kekeliruan di atas, orang Kristen perlu memahami beberapa “tanda awas” terhadap praktik mukjizat atau kesembuhan ilahi yang tidak alkitabiah. Pertama, jika hasil praktik kesembuhan itu masih dipertanyakan kualitasnya. Ada beberapa kasus praktik kesembuhan ilahi yang semu yang akhirnya terbongkar, misalnya, ketika ditemukan bahwa orang-orang yang telah “disembuhkan” ini ternyata tidak benar-benar sembuh secara fisik. Sebaliknya, kesembuhan ini adalah karena efek psikologis saja. Terbukti bahwa, setelah itu, mereka masih tetap mengalami kelumpuhan, berpenyakit jantung, atau menderita berbagai penyakit seperti tumor, tuli, kanker dan sebagainya.49 Berlawan dengan realitas tersebut, kesembuhan dari Yesus bersifat tuntas, misalnya, ketika Ia menyembuhkan sepuluh orang kusta, Ia berkata, “Pergilah perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam” (Luk. 17:14; Mrk. 1:44). Demikian juga, ketika seorang buta sejak lahir disembuhkan, ia sembuh dengan sempurna (Yoh. 9:17-21).

Kedua, jika praktik itu dilakukan dengan mengucapkan kata-kata yang harus diulang-ulang, mirip mantera. Contohnya, seperti apa yang dilakukan oleh Selvin, “si dokter cilik,” yang menyembuhkan dengan mengucapkan “Doa Bapa Kami” dan nyanyi lagu “Allah Kuasa Melakukan Segala Perkara.” Injil mengajarkan bahwa Yesus tidak pernah melakukan cara penyembuhan demikian. Yesus tidak pernah mengajarkan dan melakukan praktik kesembuhan ilahi dengan mengucapkan “Doa Bapa Kami.” Sesuai dengan konteksnya “Doa Bapa Kami” bukan formula untuk “penyembuhan ilahi.”

Ketiga, jika caranya mirip perdukunan, yaitu: dengan alat atau bahan tertentu, seperti: sapu tangan, air putih dalam gelas, minyak urapan dari orang tertentu, apalagi bisa dijual belikan. Yesus tidak menggunakan satu cara tertentu dalam melakukan praktik kesembuhan. Ia pakai bermacammacam cara (lih. Mrk. 10:46; Yoh. 9:6).

Keempat, jika theologinya didasari pada sifat magis atau gaib, dan doktrin Roh Kudus yang tidak konsisten. Misalnya, Benny Hinn yang memiliki pandangan theologi yang tidak konsisten dan membingungkan. Ia percaya ramalan Ruth Hefli, berdoa di kuburan Kathryn Kulman, bisa komunikasi dengan malaikat dan Roh Kudus sewaktu-waktu, dan terkesan bahwa Roh Kudus diperlakukan seperti “pesuruh.”50 Contoh lainnya adalah Kenneth Hagin, ketika ia menyatakan bahwa setiap orang percaya harus berbahasa lidah (dengan ayat dukungan dari 1Kor. 12:2, 18). Ia juga menyatakan bahwa orang percaya yang tidak punya Roh Kudus, bisa menerimanya melalui cara transfer (seperti ATM saja!).51

Kelima, jika para tokohnya melakukan penafsiran teks-teks Alkitab yang menyimpang. Penyimpangan yang dilakukan antara lain dengan cara memakai ayat-ayat tertentu untuk mendukung doktrin atau tujuannya, melalaikan konteks dan kurang memperhatikan latar belakang, menekankan sebagian kebenaran saja, serta tidak melihat seluruh kebenaran Alkitab.52 Misalnya, beberapa orang mengutip ayat-ayat berikut di luar konteksnya untuk mendukung praktik mukjizat kesembuhan ilahi yang dilakukannya, misalnya: “Sungguh, Dialah yang akan melepaskan engkau dari jerat penangkap burung, dari penyakit sampar yang busuk” (Mzm. 91:3, 6). Ayat lain yang sering dikutip untuk mendukung praktik kesembuhan ilahi adalah “bilur-bilurnya telah menyembuhkan” (Yes. 53:4-5).53 Masih banyak ayat-ayat yang dipakai untuk membenarkan praktik kesembuhan ilahi.54 Menurut penulis, penyimpangan ini berdasar pada doktrin penebusan (atonement) yang keliru. Charles Hodge menyatakan bahwa doktrin penebusan yang sangat penting dan sentral dalam theologi Kristen itu berhubungan erat dengan keselamatan rohani. Meski Kristus sanggup menyembuhkan, tetapi berdasarkan doktrin ini, utamanya bukan pada kesembuhan fisik.55

Keenam, jika terjadi penerapan iman yang keliru. Menurut sebagian praktisi kesembuhan ilahi, kesembuhan bergantung mutlak dari sikap iman si penderita. Ini berarti Tuhan hanya bersikap pasif, sementara manusia harus bersikap aktif, maksudnya, menuntut kesembuhan itu dengan yakin yang diekspresikan dengan berteriak dan berulang. Pandangan ini sulit dipertanggungjawabkan sebab, menurut injil, ketika Yesus menyembuhkan hamba dari perwira (Mat. 8:5-10) dan anak perempuan Yairus (Mrk. 5:35-43), tidak dibutuhkan iman yang bersangkutan. Dengan kata lain, iman memang penting (Mrk. 5:35), namun kuasa kesembuhan dari Tuhan tidak bergantung pada besar-kecilnya iman (Mat. 8:16; 9:35; 12:15).56




KESIMPULAN
Dalam PL dan PB, jelas bahwa Allah telah dan dapat melakukan berbagai macam mukjizat yang melampaui akal manusia. Namun, perlu ditegaskan lagi bahwa, selain Allah, Setan juga sanggup melakukan tandatanda mukjizat (mis. 2Tes. 2:9; Why. 16:14). Seperti yang telah diungkapkan di atas, sangat mungkin adanya praktik mukjizat kesembuhan ilahi yang dilakukan oleh Setan untuk mengelabui dan menyesatkan orang-orang, termasuk orang-orang Kristen. Sebab itu, setiap orang Kristen harus waspada dengan fenomena kesembuhan yang terjadi di sekitarnya. Fenomena kesembuhan ilahi yang belakangan ini semakin marak pemunculannya perlu dipertanyakan keabsahannya.57

Dengan demikian, setiap fenomena mukjizat kesembuhan ilahi harus mendapat pengujian dari terang firman Tuhan. Orang Kristen harus percaya bahwa kuasa Allah tidak berubah. Kemurahan dan providensi Allah masih berlaku bagi orang percaya. Tidak ada larangan untuk berdoa mohon kesembuhan, baik bagi diri sendiri maupun untuk orang lain, asal saja tidak dilakukan dengan cara yang keliru, misalnya didramatisir, direkayasa atau dipaksa. Menurut penulis, Allah masih menyembuhkan orang yang sakit, namun tentu saja, hal itu harus sesuai dengan maksud-Nya.

Dalam eksegese teks Yakobus 5:14, Robert M. Bowman mengatakan demikian:
(1) There are no itinerant healing ministries, since in James elders are called to come to the sick (v.14); the sick are not called to come to the tents of the healer. (2) They are no gifted healers in the congregation, since again it is ‘the elders’ without distinction that are to be called; evidently people with gifts of healing (ICor. 12:9) were not common. (3) They are no healing services, since again the elders are called to the sick. Scheduling Holy Spirit to come to one church at 7:00 p.m. on Thursday nights to perform healings is alien to the Bible.58

Dari pendapat di atas, jelas bahwa istilah “faith-healer” sudah tidak relevan lagi pada zaman sekarang. Meskipun Allah masih dapat bekerja, namun cara-Nya tidak sama seperti cara yang dipraktikkan oleh sebagian hamba Tuhan yang sudah dibahas di atas. Dengan demikian, jika ada fenomena kesembuhan yang tidak sesuai seperti yang Alkitab katakan (baik tanda-tanda maupun caranya), kita berani berkata bahwa hal ini bukan dari kuasa Tuhan melainkan dari kuasa Setan.




Catatan kaki:
1. Iklan-iklan KKR kesembuhan ilahi tersebut dimuat di harian Jawa Pos, Minggu, 30 September 2007, hlm. 18.
2. Pandangan yang menyatakan bahwa karunia mukjizat itu masih berlaku dan permanen, misalnya dinyatakan oleh John Wimber, “I accepted the fact that all the spiritual gifts are for today” (lih. Power Evangelism [San Francisco: Harper & Row, 1986] xx; bdk. pandangan “Gelombang Ketiga” dalam Wayne Grudem, ed., Are Miraculous Gifts for Today? Four Views [Grand Rapids: Zondervan, 1996], hlm. 207-212). Pandangan tersebut berbeda dengan B. B. Warfield yang mengatakan, “The miraculous gifts of the Holy Spirit were not intended as permanent gifts of God to the church.” (dikutip oleh Edward N. Gross, Miracles, Demons, and Spiritual Warfare [Grand Rapids: Baker 1991], hlm. 41).
3. Tertius, Lantigimo, “Mukjizat Kesembuhan Ilahi di Meko dan Keunikannya,” http://febrina.wordpress.com/mukjizat-kesembuhan-ilahi-meko-dan-keunikannya.
4. Anak kecil yang tidak pernah belajar di sekolah theologi dan jelas belum baptis dewasa, namun ia dapat melakukan mukjizat seperti yang dilakukan Tuhan Yesus sejak Januari 2007 (bdk. mukjizat yang pernah dilakukan Yesus: “orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, dan orang tuli mendengar”) (lih. Mat. 11:5).
5. Lantigimo, “Mukjizat Kesembuhan Ilahi.”
6. “Palsu” pada hakikatnya berarti “berbeda dari yang asli.” Namun, orang yang memalsukan diri (atau barang), biasanya berusaha sedemikian rupa untuk membuat diri (atau barang) sedapat mungkin sama dengan yang asli. Sebab itu, kadang sulit untuk membedakan antara yang asli dan yang palsu. Bandingkan dengan perbuatan mukjizat oleh orang-orang yang menentang tujuan-tujuan Allah (Ul. 13:2-3; Mat. 7:22; 24:24; 2 Tes. 2:9; Why 13:13; 16:14; 19:20) (lih. “Mukjizat-mukjizat Palsu” dalam Ensiklopedia Alkitab Masa Kini [Jil. 2; ed. J. D. Douglas [Jakarta: YKBK/OMF, 2001], hlm. 96).
7. Kajian terhadap setiap mukjizat harus dilakukan secara objektif dengan melihat konsistensi theologisnya dan dampak durasi kesembuhan. B. B. Warfield mengatakan, “Testimony to (a miracle’s) occurrence should be carefully scrutinized and subjected to a thorough criticism. Until this is done, we naturally and properly receive the alleged fact with a certain suspension of judgment” (Selected Shorter Writings [Vol. 2; Nutley. NJ: Presbyterian & Reformed, 1976], hlm. 190).
8. Gross, Miracle, Demons & Spiritual Warfare, hlm. 17.
9. “Dia Sang Penyembuh” dalam Youth (September 2007), hlm. 26.
10. Gross, Miracles, Demons and Spiritual Warfare, hlm. 18.
11. Secara khusus, kata mukjizat diambil dari teks Latin (Vulgata), yaitu katamiracula yang dimanifestasikan dalam tiga istilah; terata, dynameis, dan semeia. Kata miracula berarti: “wonders perfomed by supernatural power a signs of some special mission or gift and explicitly ascribed to God.” Dalam Vulgata, miraculum (Ing. miraculous) diekspresikan dalam PB, misalnya, antara lain dalam khotbah Petrus yang menggambarkan perbuatan Allah, δυνάµεσι καί τέρασι καί σηµείοις (Kis. 2:22) dan dalam ungkapan kerasulan Paulus, σηµείοις τε καί τέρασιν καί δυνάµεσιν (2Kor. 12:12). Frasa tersebut juga berkaitan dengan kata erga (work), yaitu pekerjaan/perbuatan, seperti yang dimaksudkan oleh para penulis injil sebagai mukjizat-mukjizat yang dilakukan Tuhan Yesus (lih. J. T. Driscoll, “Miracle” dalam Catholic Encyclopedia (New York: Robert Appleton Company, 1911), hlm. 2.
12. Lihat “Mukjizat” dalam Ensiklopedia Alkitab, hlm. 95.
13. Ibid., hlm. 19.
14. “Miracle” dalam Baker’s Dictionary of Theology (ed. Everett. F Harrison; Grand Rapids: Baker, 1960) 356; bdk. komentar J. D. Spiceland “This emphasis on miracles as the redemptive activity of God is continued in the NT, where they are a part of the proclamation of the good news that God has acted ultimately on man’s behalf in the coming of Jesus Christ into history” (“Miracles” dalam Evangelical Dictionary of Theology [ed. Walter A. Elwell; Grand Rapids: Baker, 1984], hlm. 723).
15. Ibid., hlm. 724.
16. Lih. “Mukjizat” dalam Ensiklopedia Alkitab, hlm. 95.
17. Dalam hal ini, Gross memberikan kritik terhadap ajaran Peter Wagner dan John Wimber, “Many of them quote the Scriptures and claim they have the same gift of healing enjoyed by New Testament believers. They declare that the Holy Spirit generates the gift in them as he did in the apostle” (lih. Miracles, Demons and Spiritual Warfare, hlm. 60).
18. Ibid., hlm. 65.
19. How to Have a Healing Ministry without Making Your Church Sick (Ventura, CA: Regal, 1988), hlm. 215.
20. Menurut pengakuan Wagner, ada 71 persen orang sakit yang dia doakan selama dua tahun masih sakit, hanya 29 persen orang saja yang disembuhkan melalui doanya. Sedangkan Wimber’s Anaheim Vineyard Christian Fellowship Healing Ministry mencatat ada sekitar 26 persen orang yang disembuhkan melalui doa saja (lih. Wagner, How to Have a Healing Ministry, hlm. 244).
21. Mereka berpandangan bahwa penyakit selalu berkaitan dengan dosa dan semua dosa yang diperbuat manusia (termasuk orang Kristen) bersumber dan didalangi oleh Iblis dan roh jahat. Semua penyakit, cacat mental dan karakter yang tidak baik selalu adalah akibat perbuatan Iblis dan roh jahat, misalnya roh zinah, roh pemarah, dan roh kesombongan (Daniel L. Lukito, “Catatan Mata Kuliah Demonologi” [tidak diterbitkan]).
22. Dikutip dalam Benny Hinn, Kathryn Kuhlman: Warisan Rohaninya dan Pengaruhnya dalam Kehidupan Saya (Jakarta: Imanuel, 2005), hlm. ix.
23. Contohnya, ia mengaku sering melihat Yesus menampakkan diri kepadanya sejak umur sebelas tahun di rumahnya di Jaffa, di kamar hotel atau di dalam kamarnya. Ia juga mengaku pernah mengalami penampakkan malaikat beberapa kali. Selain itu, ia juga berdialog dengan Roh Kudus pada waktu ia hendak makan pagi. Bahkan, menurutnya, Roh Kudus meminta perpanjangan waktu berdialog. Hinn, yang mengaku telah menerima transfer karunia kesembuhan dari Kuhlman dan Roberts, percaya bahwa ada mujizat kesembuhan di kuburan Kuhlman (lih. komentar G. Richard Fisher dalam The Confusing World of Benny Hinn [Saint Louis, Missouri: Personal Freedom Outreach, 2002], hlm. 21).
24. Garis tebal dari sumber asli.
25. The Confusing World of Benny Hinn, hlm. 4 [cetak tebal dari sumber asli].
26. Lih. Hans Maris, Gerakan Karismatik dan Gereja Kita (Surabaya: Momentum Christian Literature, 2004), hlm. 80.
27. Lihat Gross, Miracles, Demons and Spiritual Warfare, bab. 4 dan 7.
28. Mukjizat apa pun, jika berlawanan dengan tujuan yang dinyatakan Alkitab, tidak akan pernah bermanfaat. Gross mengatakan, “Miracles were also performed and recorded to assist people to believe on Christ.” (i) They were powerful tools through which God was glorified and his nature revealed. (ii) They authenticated certain men as God’s inspired messengers to mankind. (iii) They prepare to believe the word. (iv) They confirmed the faith of those who had already believed. (v) They manifested the undeniable fact that Jesus was God in the flesh, the promised Messiah (Ibid, hlm. 36). Demikian juga, pernyataan Calvin, “No other us is here assigned to miracles than to be the aids and supports of faith; for they serve to prepare the minds of men, that they may cherish greater reverence for the word of God” (lih. Calvin’s Commentaries [Grand Rapids: Baker, 1984] 18.A.281). Kriteria ini penting guna mengevaluasi fenomena mukjizat yang terjadi sekarang ini.
29. Signs of the Apostles (Edinburgh: Banner of Truth, 1979) 8 [penegasan dari sumber asli] dikutip dalam Gross, Miracles, Demons and Spiritual Warfare, hlm. 37.
30. Dikutip dalam ibid., hlm. 41.
31. Ibid., hlm. 47.
32. Kata απόστολος (dipakai di dalam PB 80 kali), berarti: “rasul, utusan atau duta”. Kriteria seorang rasul mencakup: saksi mata kebangkitan Kristus (Kis. 1:21-23; 1Kor. 9:1), mengalami dan memberitakan Injil (Gal. 1:11, 12; Kor. 15:3), menerima dan melakukan macam-macam karunia Roh untuk melengkapi pekerjaan misi (2Kor. 12:12; Rm. 15:18, 19; Ibr. 2:4), mampu melakukan dan membedakan macam-macam mukjizat (Kis. 8:18; 19:6), memiliki kapasitas mengucapkan kata-kata penghakiman atas nama Tuhan (Yoh. 20:23; Kis. 5:3-11; 13:10, 11; 1Kor. 5:3-5; 1Tim. 1:20), mengajarkan kebenaran asali (Gal. 1:8,9), berkhotbah dengan penuh kuasa dan berbuah (Yoh. 15:16; 1Kor. 9:2; 2Kor. 3:2, 3; 1Tes. 1:5), hidup dalam kebenaran dan kekudusan, rendah hati, disiplin dan penuh dedikasi (1Kor. 9:16-22; 2Kor. 6:1-10) (ibid., hlm. 47).
33. Di dalam Injil, kata δαιµόνια (Setan/roh jahat) dan Σατανάς (Setan/Iblis) dipakai secara bergantian dan merujuk kepada arti yang sama yaitu Setan (lih. Luk. 10:17-18; 11:14-19).
34. Istilah Beelzebul muncul tujuh kali dalam PB (Mat. 10:25; 12:24; 27; Mrk. 3:22; Luk. 11:15, 18, 19). Arti kata βεελςεβουλ adalah; “pemimpin atau penguasa.” Dalam bahasa Ugarit berarti “penghulu atau pangeran (prince).” Bila dibentuk dalam kalimat “Ba ‘al zebul” berarti dewa-dewa asing (1Kor. 10:20) yang berkhianat jahat (Mat. 10:25). Sedangkan ungkapan Aram “be el debaba” berarti “musuh atau lawan.” Beberapa sarjana Kitab Suci menghubungkan beelzeboul dengan Baal-zebub (Pangeran Baal), dewa orang Filistin di Ekron yang tertulis dalam 2 Raja-raja 1:2. Dewa ini mempunyai kuasa di bumi dan memiliki kekuatan untuk berperang melawan “bala tentara surgawi.” Dewa ini berani melawan surga karena membawahi Setan-setan (daimonia) sebagai prajuritnya. Karena itu, dalam kerangka “kerajaan Iblis” Beelzebul dikenal sebagai “Penghulu Setan” (βεελςεβούλ άρχοντι τών δαιµονίών) (lih. Mat.12:24) (B. Pramono dan Y. Kurniawan, “Demonologi,”
http://www.sarapanpagi.org/demonolgi-vt1208.html.), hlm. 16.
35. Paul Enns, The Moody Handbook of Theology (Malang: Literatur Saat, 2004), hlm. 360.
36. Malaikat berasal dari kata malak (Ibrani), dan angelos (Yunani) artinya, utusan (Kej. 28:12; 1 Raj. 19:2). Pengertian dasarnya adalah “ia yang diutus” untuk melakukan tugas-tugas/perintah-perintah tertentu dari Allah atau yang mengutusnya Kata tersebut ditulis 103 kali dalam PL dan 175 kali di PB, (yang ditujukan kepada manusia hanya 6 kali) (Gerhard vod Rad, “Mal’ak in the Old Testament,” dalam Theological Dictionary of the New Testament Theology [ed. Gerhanrd Kittel; Grand Rapids: Eerdmans, 1964], 1:76-77; bdk. H. Bietenhard, “Angel” dalam New International Dictionary of New Testament Theology [Grand Rapids: Zondervan, 1975] 1:101).
37. William F. Arndt dan F. Wilbur Gingrich, Greek-English Lexicon of the New Testament and Other Early Christian Literature (Chicago: University of Chicago Press, 1979), hlm. 529.
38. Enns, The Moody Handbook of Theology, hlm. 364.
39. Ibid., hlm. 361.
40. Dalam konsep Islam, Iblis, Setan atau roh-roh jahat eksis sebagai makhluk yang menyeramkan, jahat, perusak, penipu, provokator, dan penentang Allah. Lebih dari itu, dipercayai juga keberadaan roh-roh halus, jin-jin, tuyul atau jailangkung (lih. Majdi M. Asy-Syahawi, Mengusir Jin dari Rumah [Solo: Pustaka Arafah, 2007]; Muhammad A. Maghawiri, Dialog dengan Jin Muslim dan Jin Kafir [Yogyakarta: Kalimasada, 2006]).
41. Enns, The Moody Handbook of Theology, hlm. 365.
42. Lukito, “Catatan Mata Kuliah Demologi.”
43. Mungkin pernyataan dan kisah kontroversial Benny Hinn berikut ini dapat dikategorikan sebagai salah satu penyelewengan kebenaran. Ia pernah membuat pernyataan kontroversial, “Yesus akan menampakkan diri tahun ini!” Berita yang menghebohkan ini disiarkan melalui Trinity Broadcast Network (TBN) dalam acara kampanye rohani Benny Hinn Ministry pada 2 April 2000 mengumumkan bahwa Yesus akan menampakkan diri kepada kaum Muslim, dan Yesus yang sama akan muncul secara fisik di Nairobi, Kenya pada akhir April tahun 2000. Menurut berita 29 Maret 2000, Hinn memperoleh bisikan Roh Kudus dan nubuatan dari Ruth Heflin: “Roh Kudus telah memberi tahu saya bahwa Dia tidak lama lagi akan menampakkan diri secara fisik. Saya telah menerima pernyataan nubuatan tentang masa yang akan datang dari Ruth Heflin, ia pernah memberikan ramalannya kepada saya di tahun 70-an. Dia telah menyampaikan pesan kepada saya melalui istri saya dan katanya: Tuhan telah bersuara kepadanya bahwa Dia akan menampakkan diri secara fisik di tengah-tengah panggung dalam salah satu kegiatan rohani yang di selenggarakan Benny Hinn” (lih. G. Richard Fisher, The Confusing World of Benny Hinn; bdk. dengan tulisannya yang lain Benny Hinn: Good Morning Holy Spirit [New York: Walker, 1991]).
44. Kata jiawak adalah ungkapan yang digunakan oleh suku Melayu yang bernada mencemooh, berarti “arogan/angkuh.” Dalam praktik agama primitif, paranormal, dukun atau praktisi okultisme lain sering memanggil dan meminta Iblis untuk menampakkan diri dan mengabulkan apa yang mereka inginkan. Ada sebuah cerita di mana seorang ibu yang kangen terhadap Anna, putrinya yang sudah meninggal sewaktu berusia 3 tahun, melihat putrinya muncul dan bermain-main dengan suaminya. Hal ini berulang kali terjadi. Karena penasaran mengetahui apakah roh putrinya masih gentayangan atau tidak, ia menemui orang pintar. Lalu, ia diberi minum dan setelah mengucek-ucek matanya, ternyata ia melihat makhluk yang menyeramkan, bukan putrinya. Menurut penulis, Setan dapat juga menampakkan diri dalam berbagai manifestasi misalnya Bunda Maria, Yesus, malaikat atau lainnya.
45. Lukito, “Fenomena Lawatan Ilahi”, hlm. 49-66.
46. Sherman, “Kesembuhan Ilahi: Dari Allah atau?” http://www.sinarharapan.co.id/berita/nus05.html.
47. Lenny, “Mukjizat,” http://www.gotn-ministry.org/indonesia/mujizat.htm.
48. Herlianto, “Kesembuhan Ilahi,” http://www.yabina.org/artikel 2006/A0606_3.htm.
49. Juga, yang menarik, ada kasus di mana orang yang tidak sakit, tetapi kemudian dinyatakan sembuh, seperti yang terjadi pada salah seorang mantan petinju kelas berat, Evander Holyfield (salah seorang petinju kelas berat), yang divonis Benny Hinn berpenyakit jantung dan kemudian dinyatakan telah disembuhkan, padahal ia tidak pernah punya penyakit tersebut. Komentar Jeff Schult terhadap kondisi Holyfield demikian, “He is confident that he never had a heart problem.” Ia menambahkan, “Holyfield now denies intimating he was healed by self-proclaimed faith-healer Benny Hinn. He merely insists that he never had the heart ailment that was diagnosed.” Insiden ini terjadi karena Christopher Vaughns, dokter internis Holyfield telah salah mendiagnosis keadaan jantungnya (lih. “Thanks Holyfield Holding No Grudges” Atlanta Journal Constitution [Nov. 25, 1994], hlm. 3). Demikian juga penegasan Terence Moore, penulis media, “Holyfield told me in the aftermath that he never thought the faith healer had an effect on his hear . . . . Says Holyfield, “There really wasn’t anything for him (the faith healer) to heal. That’s because I don’t believe I had a problem with my heart to begin with” (lih. “Healthy or Not, Holyfield should Hang Up Gloves for Good” Atlanta Journal of Constitution [January 8, 1995], hlm. 3).
50. Lih. Hinn, Good Morning Holy Spirit, hlm. 64.
51. Lih. Tujuh Langkah untuk Menerima Roh Kudus (Jakarta: Immanuel, 2005), hlm. 12; bdk. juga kesaksian Joel Osteen dalam Arus Kuasa Ilahi (Jakarta: Immanuel, 1994), hlm. 34.
52. Hasan Sutanto, Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab (Malang: SAAT, 1986), hlm. 120.
53. Kutipan Yesaya 53:4-5 merupakan ayat favorit yang sering di gunakan dalam KKR Kesembuhan Ilahi Massal sejak tahun 1940-an di Amerika. Praktik ini bersemi dalam gerakan karismatik tahun 1960 yang menekankan bahwa oleh bilur-bilur Yesus kita disembuhkan. Konsep kesembuhan ini terlihat dalam lirik lagu pujian yang berbunyi, “Bilur-Nya, bilur-Nya, bilur-Nya sungguh heran. Asal percaya saja semua sakit hilanglah,” Bila percaya Yesus, sakitnya pasti disembuhkan, jika tidak sembuh berarti ada masalah dengan imannya (Herlianto, “Kesembuhan Ilahi”).
54. Lih. T. L. Osborn, “100 Fakta Kesembuhan Ilahi,” http://www.mail-archive.com/jesus-net.yahoogroups.com.
55. Atonement (Grand Rapids: Baker, 1985), hlm. 24.
56. Hal ini berlawan dengan pernyataan Wagner yang pernah membela diri ketika ada orang-orang yang tidak sembuh dalam praktik kesembuhan ilahi, dan menyatakan bahwa penyebab 71% orang tidak bisa disembuhkan adalah karena mereka kurang doa dan kurang iman (lih. Gross, Miracles, Demons and Spiritual Warfare, hlm. 63).
57. Misalnya, seperti apa yang dilakukan oleh bocah 8 tahun—yang mirip dengan anak usia 3 tahun di atas—yang dapat melakukan mukjizat kesembuhan bagi ribuan orang di Thailand secara magis (kuasa Setan) (lih. Wagner, How to Have a Healing Ministry, hlm. 245).
58. Robert Bowman, The Word-Faith Controversy (Grand Rapids: Baker, 2001) dalam Fisher, The Confusing World of Benny Hinn, hlm. 272.





Sumber:
VERITAS 9/2 (Oktober 2008), hlm. 187-209




Profil Pdt. Alex Lim:
Pdt. Alex Lim, B.C.M., M.R.E. adalah Dosen Liturgika dan Pelatih Paduan Suara di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Beliau menyelesaikan studi Bachelor of Church Music (B.C.M.) di Singapore Bible College dan Master of Religion Education (M.R.E.) di Far East Bible College, Singapore.




Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio

28 May 2010

HIDUP HANYA SEKALI! (Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.)

HIDUP HANYA SEKALI!

oleh: Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.




“Tidak ada seorang pun yang pernah benar-benar hidup sampai ia menemukan sesuatu yang untuknya ia layak mati”
(Martin Luther King Jr.)



Judul di atas rasanya cukup akrab di telinga kita. Ketika seorang vegetarian diajak makan ayam panggang atau seorang yang berhemat diajak ngelencer ke luar negeri oleh saudaranya, kalimat itu biasanya muncul. Hidup hanya sekali, jadi nikmatilah semua yang ditawarkan hidup! Inilah makna pertama dari ungkapan ini.

Makna kedua juga tidak kalah umum. “Hidup hanya sekali” sering kali dipakai oleh mereka yang ingin mengisi kehidupan dengan berbagai pengalaman yang menantang. Mereka bosan rutinitas. Hidup hanya sekali, jadi cobalah hal-hal baru walaupun berisiko. Seorang ahli kepemimpinan pernah berkata, “kapankah Anda terakhir kali melakukan hal-hal untuk pertama kali?” Jadi, cobalah usaha-usaha baru, terobosan-terobosan baru dalam kehidupan. Jika perlu banting setir dalam bisnis, ya jangan ragu; jika mau pindah tempat kerja ya lakukan saja daripada karatan di tempat lama; jika mau ganti pacar ya tidak apa-apa, daripada bertahan karena sungkan. Hidup hanya sekali, jadi cobalah hal-hal baru walaupun berisiko! Itulah makna kedua terhadap pernyataan ini.

Adakah yang salah dengan dua pemaknaan di atas? Tidak ada! Asalkan terkendali dalam kerangka kebenaran, menikmati kehidupan justru merupakan salah satu nasehat Alkitab (bdk. Pkh. 2:24-25).

Pemaknaan kedua bahkan diperagakan oleh tokoh-tokoh Alkitab. Musa keluar dari comfort zone dan menjadi pemimpin Israel setelah 40 tahun jadi gembala; Nehemia meninggalkan kenyamanan istana demi membangun tembok Yerusalem; Matius meninggalkan jabatan penarik pajak dan menjadi murid Yesus; Petrus berangkat dari penjala ikan menjadi penjala manusia. Jelaslah, Alkitab penuh dengan kisah orang-orang yang melakukan terobosan-terobosan kehidupan dalam rangka mentaati Allah.

Nah, masalah memang bisa muncul karena fakta keberdosaan manusia cenderung menyelewengkan moto “hidup hanya sekali” ke luar batas kebenaran. Hidup hanya sekali, sering kali berubah menjadi hedonisme yaitu hidup untuk mengejar kenikmatan. Di sisi lain, “hidup hanya sekali” jadi cobalah hal-hal yang baru, tidak jarang berubah menjadi dorongan melakukan hal-hal yang liar walaupun banyak yang menyebutnya “kreatif”; kacau walaupun banyak yang menyebutnya “seni”; dosa walaupun diberi label “manusiawi.” Batas-batasnya tentu saja dapat diperdebatkan, namun hati nurani yang murni-diterangi Allah, sering kali tidak dapat menipu diri sendiri.

Jadi, sering kali moto “hidup hanya sekali” memang berubah menjadi sebuah filsafat yang egosentris dan mendorong dosa beranak cucu bagi pemegang moto itu.

Walaupun demikian, “hidup hanya sekali” bisa dipahami dalam makna yang amat berbeda!

Hidup hanya sekali jelas menyiratkan sebuah kesempatan yang terbatas. Bagi para materialis hal itu jelas berarti bahwa “time is money”, dan bagi para hedonis, “time is pleasure”. Tetapi Alkitab mengajarkan dengan jelas bahwa waktu bukan uang dan tidak identik dengan kesenangan.

Sebaliknya, Alkitab mengajarkan bahwa hidup yang sekali ini haruslah dipakai sebagai kesempatan untuk menjalankan visi Allah, yaitu suatu rencana khusus yang untuknya Allah telah menciptakan kita. Yesus sendiri, Sang Allah dalam rupa manusia pernah hidup di bumi dan menggenapi visi Bapa dengan misi-Nya, mati di atas kayu salib. Tidak heran ketika mati Ia berkata “sudah selesai” (Yoh. 19:30). Paulus ketika mendekati ajalnya berkata, “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman” (2Tim. 4:7). Hidup Yesus dan Paulus hanya sekali dan mereka memakainya secara penuh untuk menggenapkan rencana Allah. Sesungguhnya kehidupan seperti itulah yang akan mendatangkan “kenikmatan-kegairahan” dan sekaligus terobosan dan risiko besar dalam hidup kita.

Pendeta sekaligus aktivis Martin Luther King Jr. pernah menyatakan, “No person ever really lives until he has found something worth dying for.” Memang, manusia tidak akan benar-benar hidup kecuali ia telah menemukan sesuatu yang untuknya ia rela mati. Saya percaya penuh bahwa hal itu adalah visi dari Allah. Tanpa menangkap visi Allah, hidup kita yang hanya sekali ini menjadi mirip dengan sebuah peragaan busana, panggung sandiwara atau kisah serial sinetron yang berujung pada kuburan masing-masing. Masalah demi masalah datang dan kita seperti pemadam kebakaran yang sibuk dengan masalah-masalah tersebut. Saya telah mengamati bahwa bagi mereka yang tidak punya visi, masalah kecil dipandang besar atau dibesar-besarkan; sedangkan mereka yang memiliki visi benar-benar menghadapi masalah besar bersama Allah dan tidak pusing dengan urusan-urusan sepele dan suara-suara bising dari mereka yang tidak punya visi.

Orang yang menggenapi visi Allah juga ditandai gairah sehingga hidupnya akan tampil seperti obor yang menyala singkat atau lilin yang menyala lebih panjang. Visi Allah, sebuah peran spesifik yang Allah ingin kita kerjakan di dunia ini, sungguh membuat hidup benar-benar hidup (rokok membuat hidup lebih redup! Herannya ada iklan rokok yang bicara tentang visi). Visilah yang membuat Martin Luther King berjuang melawan diskriminasi terhadap orang kulit hitam, Wilberforce menentang perbudakan, Bunda Theresia merawat orang terbuang di Kalkuta dan Billy Graham menolak jadi capres Amerika karena lebih memilih tetap menjadi penginjil.

Mereka yang menghidupi visi Allah, benar-benar hidup dan bukan mayat hidup. Tidak percaya? Lihat saja wajah mereka yang bervisi, mereka penuh dengan gairah, sukacita dan bukan sinisme, kekecewaan,dan kepahitan. Akhirnya, hidup hanya sekali, pastikan Anda menemukan visi Allah yang untuknya Anda rela mati? Selamat merenung.



Sumber: e-mail yang dikirim langsung dari penulis



Profil Penulis:
Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div. adalah Kepala Pusat Kerohanian (Pusroh) dan dosen Filsafat Agama dan Christian Worldview di Universitas Kristen Petra, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Ekonomi (S.E.) di UK Petra, Surabaya dan Master of Divinity (M.Div.) di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Beliau mendapat sertifikat dari Ravi Zacharias International Academy of Apologetics, India.



Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio

26 May 2010

HACHIKO: A DOG'S STORY--Sebuah Refleksi (Iman Kristen) tentang Kasih dan Kesetiaan (Denny Teguh Sutandio)

HACHIKO: A DOG’S STORY
Sebuah Refleksi (Iman Kristen) tentang Kasih dan Kesetiaan


oleh: Denny Teguh Sutandio



Pendahuluan
Hachiko: A Dog’s Story merupakan sebuah film Amerika (mulai diputar pada tahun 2009) yang merupakan karya sutradara Lasse Hallström dan dibintangi oleh Richard Gere dan Joan Allen. Film ini diadaptasi dari cerita/fakta nyata di Jepang. Berikut keterangan singkat tentang anjing yang bernama Hachiko tersebut dari situs Wikipedia:
Hachikō (ハチ公) (10 November 1923-8 Maret 1935) adalah seekor anjing jantan jenis Akita Inu kelahiran Ōdate, Prefektur Akita. Ia terus dikenang sebagai lambang kesetiaan anjing terhadap majikan. Setelah majikannya meninggal, Hachikō terus menunggu majikannya yang tidak kunjung pulang di Stasiun Shibuya, Tokyo.
Julukan baginya adalah Hachikō Anjing yang Setia (忠犬ハチ公 ,Chūken Hachikō). Patung Hachikō di depan Stasiun Shibuya telah menjadi salah satu marka tanah di Shibuya. Sewaktu membuat janji untuk bertemu di Shibuya, orang sering berjanji untuk bertemu di depan patung Hachikō.1




Plot Cerita2
Film karya sutradara Lasse Hallström ini dimulai dengan adegan siswa-siswa yang memperkenalkan siapa tokoh pujaan mereka di depan kelas. Di awal film itu dikisahkan seorang siswi baru menceritakan tokoh pujaannya dan kemudian disusul dengan seorang siswa yang bernama Ronnie yang menceritakan tokoh pujaannya yang adalah seekor anjing yang bernama Hachiko. Di akhir film ini, kita mendapatkan informasi bahwa Ronnie adalah seorang cucu dari seseorang yang memelihara Hachiko, yaitu kakek Parker Wilson (dibintangi Richard Gere). Kembali, anak ini kemudian menceritakan bahwa anak anjing (puppy) Hachiko yang tidak diketahui asal-usulnya ini ternyata tiba di Amerika dari Jepang. Di tengah jalan di Amerika, Hachiko terlepas dari kandangnya. Setelah itu, Hachiko kemudian berhenti di depan Parker Wilson dan seketika itu juga, Parker menyukai Hachiko. Kemudian, Parker mencoba menyerahkan anak anjing ini kepada petugas stasiun, namun sayangnya petugas itu tidak mau merawatnya. Akhirnya, Parker terpaksa membawa Hachiko ke rumah Parker. Karena mengetahui bahwa istrinya, Cate (dibintangi Joan Allen) tidak menyukai anjing, maka Parker menyembunyikan Hachiko ini di ruang kerja Parker, namun sayangnya, Hachiko keluar dari ruang kerja itu dan menemui Parker dan istrinya yang sedang berduaan di tempat tidur mereka di kamar di lantai atas. Spontan, si istri kaget dan kemudian dengan terpaksa, Parker berjanji akan mengembalikan Hachiko ke pemiliknya. Namun, pemiliknya tidak ditemukan. Akhirnya, Parker membawa Hachiko pulang kembali ke rumah Parker dan meletakkan Hachiko di gudang miliknya di depan rumahnya. Tak disangka, anak perempuan dari Parker menyukai Hachiko. Beberapa waktu kemudian, Parker mulai melatih anak anjing ini bermain bola. Dan di saat itu, Cate dan anak perempuannya melihat betapa Parker menyukai anak anjing itu, sehingga ketika ada orang yang menelpon istrinya hendak memungut Hachiko, si istri langsung menjawab telpon tersebut bahwa Hachiko sudah diambil pemiliknya.

Meskipun demikian, Parker heran Hachi menolak untuk melakukan kebiasaan normal seekor anjing seperti mengejar dan memungut bola. Ken Fujiyoshi, temannya memberi tahu bahwa Hachi hanya akan mau mengambil bola untuk alasan yang istimewa. Suatu pagi, ketika Parker berangkat kerja, Hachi menyelinap ke luar, dan mengikutinya hingga sampai di stasiun kereta api. Hachi menolak ketika disuruh pulang hingga Parker harus mengantarkannya pulang ke rumah. Sore itu, Hachi kembali pergi ke stasiun, dan menunggu hingga kereta api yang dinaiki tuannya datang. Parker akhirnya menyerah, dan membiarkan Hachi mengantarnya ke stasiun setiap hari. Setelah kereta api tuannya berangkat, Hachi pulang sendiri ke rumah, tapi ketika hari sudah sore, ia kembali lagi ke stasiun untuk menjemput. Kebiasaan Hachi mengantar dan menjemput Parker berlangsung beberapa lama. Kebiasaan ini juga mengajar orang-orang di sekeliling stasiun tersebut yaitu Jasjeet (dibintangi oleh: Eric Avari), pedagang hot dog di sekitar stasiun yang menjadi langganan Parker Wilson dan pemilik toko daging itu tentang arti kesetiaan. Namun pada suatu siang, Hachi menolak mengantar Parker yang ingin berangkat mengajar. Parker akhirnya berangkat sendirian, tapi Hachi mengejarnya sambil membawa bola. Parker terkejut, tapi senang Hachi akhirnya mau diajak bermain bola. Parker tidak ingin terlambat mengajar, dan pergi juga walaupun dilarang Hachi uang terus menggonggong. Siang itu, Parker yang mengajar sambil memegang bola milik Hachi, terjatuh tak sadarkan diri, dan meninggal dunia. Di stasiun, Hachi dengan sabar menunggu kedatangan kereta api yang biasanya dinaiki tuannya ketika pulang, namun tuannya tidak juga pulang. Dia menunggu, dan menunggu hingga Michael, menantu Parker membawanya pulang. Keesokan harinya, Hachi kembali ke pergi ke stasiun dan menunggu tuannya. Ia menunggu sepanjang hari dan sepanjang malam. Setelah suaminya meninggal, Cate menjual rumah mereka, dan memberikan Hachi untuk dipelihara oleh anak perempuan Cate yang bernama Andy Wilson (dibintangi oleh: Sarah Roemer). Hachi pindah ke rumah Andy yang tinggal bersama suami bernama Michael (dibintangi oleh: Robbie Sublett). Keduanya memiliki bayi bernama Ronnie (dibintangi oleh: Kevin DeCoste). Hachi tak lama kemudian lari untuk pulang ke rumah tempat tinggalnya dulu. Ia lalu kembali menunggu tuannya yang tidak kunjung pulang di stasiun. Hachi selalu duduk menunggu di tempat ia biasa menunggu. Penjual makanan di stasiun bernama Jas merasa kasihan, dan memberinya makan hot dog. Andy mencari-cari Hachi, dan menemukannya di stasiun. Hachi diajak pulang, namun keesokan harinya dibiarkan untuk kembali pergi ke stasiun.

Hachi mulai tidur di gerbong kereta yang rusak. Ia berjaga menunggu tuannya sewaktu siang, dan hidup dari makanan dan air yang diberikan oleh Jas dan seorang tukang daging. Pada satu hari, wartawan surat kabar bernama Teddy ingin tahu soal asal usul Hachi. Ia bertanya apakah dirinya dibolehkan menulis cerita tentang anjing itu. Setelah membaca artikel di surat kabar, orang-orang mulai mengirimi Carl uang, dengan pesan agar uang tersebut dibelikan makanan untuk Hachi. Ken sahabat Parker membaca artikel yang ditulis Carl, dan menyatakan kesediaan untuk membayari biaya hidup Hachi. Walaupun Parker sudah setahun meninggal dunia, Ken menyadari Hachi masih ingin dan merasa harus menunggu kepulangan tuannya, serta berharap tuannya masih hidup.

Tahun demi tahun berlalu, dan Hachi masih tetap menunggu di stasiun. Ketika mengunjungi makam Parker, Cate bertemu dengan Ken, dan mengaku dirinya masih merasa kehilangan suaminya yang sudah meninggal sepuluh tahun lalu. Cate lalu pergi ke stasiun tempat Hachi menunggu. Ia terkejut melihat Hachi yang sudah tua, kotor, dan lemah, namun terus setia menunggu tuannya. Ketika kembali ke rumah, Cate bercerita soal Hachi kepada Ronnie yang sudah berusia 10 tahun. Malam itu, Hachi menunggu di tempatnya biasa menunggu, tempatnya berbaring dan jatuh terlelap, bermimpi bertemu Parker.

Selesai sudah laporan Ronnie tentang Hachi kepada teman-temannya sekelas. Kesetiaan Hachi menunggu Parker, kakek Ronnie, menjadikan Hachi sebagai pahlawan selama-lamanya di mata Ronnie. Sore itu, Ronnie berjalan-jalan bersama seekor anak anjing Akita di tempat kakeknya pernah berjalan-jalan bersama Hachi.




Refleksi Iman Kristen
Terus terang saya sudah membeli DVD film ini beberapa bulan yang lalu, namun saya belum menontonnya. Tetapi setelah mendengar beberapa teman saya baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui status di Facebook), saya akhirnya tergerak menonton DVD film ini tadi pagi (Minggu, 16 Mei 2010). Pada saat dan setelah melihat film ini, hati saya tersentuh dan kemudian mulai terpikir hal-hal mengenai kasih dan kesetiaan. Mari kita merenungkan dua poin penting ini dari perspektif iman Kristen.


Pertama, KASIH. Dunia kita hari-hari ini sibuk berkoar-koar tentang kasih dan tentunya definisi kasih yang mereka gembar-gemborkan bukanlah kasih sejati. Mengapa? Karena mereka hanya pintar bersuara tentang kasih namun kasih mereka tidak ada sumbernya. Dengan kata lain, kasih mereka terlepas dari Sumber Kasih. Mereka menawarkan kasih versi manusia berdosa yang menolak kasih dari Allah yang adalah Kasih. Sebuah logika yang lucu sich, hehehe… So, apa itu kasih? Kasih bukan hanya suatu perasaan atau perkataan, karena perasaan atau perkataan itu hanya sementara sifatnya. Sebuah judul buku dari Gary Chapman, Ph.D. menjelaskan kepada kita tentang kasih, yaitu: Love is a Verb. Ya, kasih adalah sebuah kata kerja. Kasih bukan hanya dikatakan, tetapi diperbuat. Kalau mau ditelusuri lebih tajam, kasih bukan hanya sekadar tindakan, namun keluar dari hati yang terdalam. Itulah yang telah diteladankan oleh Allah yang adalah Kasih kepada umat-Nya. Karena mengasihi umat-Nya yang berdosa (dan tidak ingin mereka binasa akibat dosa), Allah menyediakan jalan keluar dengan mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dan menyelamatkan mereka dari dosa-dosa mereka agar mereka dapat hidup bagi Kristus. Kasih inilah yang membangkitkan dan mendorong kita untuk terus-menerus mengasihi Allah yang telah menebus dan menyelamatkan kita. Kita mengasihi Allah dengan menyangkal diri, yaitu: menyukai apa yang Tuhan suka dan membenci apa yang Tuhan benci (mengutip perkataan Pdt. Dr. Stephen Tong). Hal ini juga nampak pada film Hachiko. Hachiko yang telah ditemukan oleh Prof. Parker Wilson dan diajari bermain bola (bahkan Parker melatih Hachiko kecil untuk bermain bola dengan memeragakan dirinya sendiri seperti anjing yang mengambil bola dengan menggigitnya dengan mulut) meresponi cinta kasih Prof. Parker dengan mengikuti terus Prof. Parker bahkan pada saat pesta pernikahan anak perempuannya, Andy. Ironisnya, istri Parker, Cate tidak seperti Hachiko ini. Ini menjadi pelajaran bagi kita. Ini bukan sekadar pelajaran balas budi, tetapi pelajaran sebuah tindakan kasih karena telah dikasihi. Seekor anjing bisa mengerti bagaimana mengasihi tuannya yang telah terlebih dahulu mengasihi dan merawatnya. Namun sayangnya manusia yang katanya mengklaim memiliki rasio/pikiran (sedangkan binatang hanya mengandalkan insting) tidak memiliki reaksi seperti yang ditunjukkan Hachiko, malah bahkan ada yang lebih parah dari Hachiko. Bagaimana tidak, banyak orang Kristen bahkan yang mengklaim diri sedang “melayani Tuhan” atau anak seorang aktivis gereja tidak menunjukkan cinta kasih kepada Allah lebih dari segalanya. Orang ini di dalam gereja memuji Tuhan, “I love You, Jesus”, namun setelah pulang dari gereja, kata-kata yang di“iman”inya selama ini, “I love You, Myself” dan mencari pasangan hidup yang jelas-jelas tidak seiman (namun masih berargumentasi, “cocok” dan “bergumul”). Dari sini, kita makin sadar, yang sebenarnya layak dan pantas disebut hewan itu siapa: Hachiko ini atau justru beberapa (bahkan mungkin banyak) orang “Kristen” yang gembar-gembor mengklaim diri “melayani Tuhan”? Yang diberi rasio oleh Tuhan untuk berpikir malah tidak dipergunakan dengan bertanggungjawab, sebaliknya yang tidak diberi rasio oleh Tuhan malah lebih “mulia” dari yang diberi rasio oleh Tuhan. Biarlah ini menjadi refleksi bagi kita masing-masing. Jangan berani mengatakan bahwa kita mencintai Allah kalau di dalam iman dan kehidupan kita sehari-hari, kita masih men-Tuhan-kan diri dan nafsu kita sendiri dengan segudang argumentasi “rohani”. Kalau kita berani mengklaim diri mencintai Allah, maka tunjukkan itu dengan men-Tuhan-kan dan me-Raja-kan Kristus di dalam iman, hati, rasio, perkataan, dan perbuatan kita sehari-hari. Kita tunduk mutlak akan apa yang Alkitab ajarkan dan perintahkan. Kalau Alkitab mengajar kita untuk mencari pasangan hidup yang seiman, ya, taatilah. Itu tandanya kita benar-benar mencintai Allah. Jangan sampai kita gembar-gembor menyanyi bahwa kita mencintai Yesus, tetapi firman-Nya yang mengajar untuk mencari pasangan yang seiman dilanggar. Bagaimana dengan Anda? Sudah layakkah Anda mengatakan bahwa kita mencintai Allah? Jika Anda mengatakan sudah layak, maka kiranya Tuhan menuntun kita untuk berbuat/mengasihi-Nya sebagai wujud kasih yang telah Ia berikan kepada Anda.


Kedua, KESETIAAN. Kasih sejati ditunjukkan dengan kesetiaan. Seorang yang mengasihi Tuhan dan orang lain yang dia cintai pasti setia dengan Tuhan dan orang lain/pasangannya itu. Hal ini juga nampak pada film Hachiko ini. Hachiko yang telah dikasihi Prof. Parker mengasihi tuannya dengan setia mengikut ke mana tuannya pergi. Bahkan Hachiko rela mengantar tuannya setiap pagi ke stasiun untuk bekerja dan pada sore hari menunggu tuannya di stasiun dari pulang kerja. Bahkan sesudah Prof. Parker meninggal, selama 9 tahun tanpa absen, Hachiko tetap setia menunggu kepulangan tuannya dari stasiun meskipun dia harus menggigil kedinginan dan mengharapkan bantuan dari Jasjeet dan tukang daging. Saya kagum dengan Hachiko. Anjing bisa setia kepada tuannya. Anjing yang katanya lebih banyak menggunakan insting lebih “mulia” daripada manusia yang katanya dikaruniai rasio untuk berpikir bisa setia kepada tuannya yang telah mengasihi dan merawatnya, namun banyak manusia justru gemar tidak setia alias berselingkuh. Kepada tuannya yang adalah seorang manusia, seekor anjing bisa setia sampai 9 tahun bahkan sampai anjing ini meninggal, namun tidak demikian halnya dengan banyak manusia hari-hari ini. Dengan Tuhan yang mencipta, memelihara, dan menebus umat-Nya, banyak orang Kristen tidak setia. Dengan pasangan hidupnya yang juga sama-sama manusia, banyak manusia juga tidak setia. Manusia bisa berselingkuh dari pacar atau pasangan (suami/istri)nya dengan berbagai macam rasionalisasi. Biasanya kita menjumpai banyak cowok yang suka berselingkuh dari pacarnya, namun fakta juga mengajar kita bahwa ada juga cewek yang suka berselingkuh dari pacar/pasangannya. Di dunia artis, kita telah memiliki contoh praktis, di mana si istri menceraikan suaminya karena ada “orang ketiga” dan fakta menunjukkan bahwa si istri memang perempuan tidak beres. Saya pribadi telah menemukan dua contoh nyata dan dua contoh ini uniknya dialami oleh sepupu saya sendiri (kakak laki-laki dan adik laki-laki sepupu saya). Mereka memiliki cerita yang sama, yaitu ditinggal selingkuh oleh pacarnya. Adik laki-laki sepupu saya dikhianati pacarnya karena pacarnya berada jauh dari adik laki-laki sepupu saya dan pacarnya ini sudah dirayu oleh cowok lain. Ketika mau putus, si pacar mengatakan kepada adik sepupu laki-laki saya, “Ko, kamu masih cinta sama aq?” Pertanyaan klise yang berujung pada putus. Kakak laki-laki sepupu saya juga demikian. Waktu kakak laki-laki saya mengunjungi rumah pacarnya, di rumah pacarnya sudah ada cowok yang bertamu dan jelas kelihatan bahwa pacarnya selingkuh dan si pacar lebih memilih cowok itu ketimbang kakak laki-laki saya. Anehnya, setelah menikah, si pacar ini masih menghubungi kakak laki-laki sepupu saya ini. Dan yang lebih parah lagi, dua cewek yang saya ceritakan di atas beragama “Kristen” (tepatnya: Kristen Katolik). Kekristenan bukan menjadi saksi dan berkat bagi orang di sekitarnya, tetapi justru menjadi batu sandungan bagi yang lain. Ini menjadi pelajaran berharga bagi kita.

Dunia kita sudah anti terhadap kesetiaan, bagaimana dengan Kekristenan sejati? Sebelum kita masuk ke dalam konsep kesetiaan Kristen, maka kita perlu meneladani Pribadi Kristus. Kristus adalah Pribadi Allah yang setia mengemban tugas mulia dari Bapa untuk menebus dosa-dosa manusia. Di dalam menunaikan tugasnya ini, Ia pasti mendapat tantangan, ancaman, dan tipuan, bahkan yang paling menyakitkan, Ia “ditipu” oleh salah satu “murid”-Nya, yaitu Yudas Iskariot yang di kemudian hari menjual Kristus untuk disalib. Kesemuanya itu tidak menghalangi Kristus dalam menunaikan mandat dari Bapa bahkan Ia telah menuntaskan semua tugas yang diemban dari Bapa. Meneladani Kristus, orang Kristen yang telah menerima anugerah Allah melalui keselamatan, pengampunan dosa, iman, dan kehidupan kekal di dalam Kristus secara cuma-cuma seharusnya menunjukkan cinta kasihnya kepada Allah dengan setia kepada-Nya: setia mengikuti dan taat firman-Nya. Orang Kristen harus setia kepada Allah, mengikuti dan taat mutlak kepada kehendak-Nya di dalam seluruh aspek kehidupannya. Kesetiaan itu diuji dengan berbagai macam penderitaan yang mengancam. Orang yang mengaku beriman kepada Kristus pasti menderita aniaya (Mat. 10:38; 16:24) dan kesetiaan kita kepada Kristus diuji melaluinya. Jika kita hanya mengaku Kristus di dalam mulut kita, itu akan ketahuan tatkala penderitaan datang menerpa kita, kita pasti langsung mengomel bahkan murtad. Tidak usah jauh-jauh, atas nama “kasih” (“toleransi”), beberapa pemimpin gereja telah mengompromikan iman mereka dan telah berzinah rohani, lalu mengajar bahwa keselamatan tidak hanya ada di dalam Yesus Kristus. Ketika penderitaan dan pluralitas menyerang Kekristenan, beberapa (atau bahkan mungkin banyak) orang “Kristen” dan pemimpin gereja bersiap-siap untuk berzinah rohani. Namun bagi kita yang sungguh-sungguh setia kepada Kristus, maka tatkala penderitaan datang menerpa, kita tetap teguh beriman, bukan karena kehebatan kita, tetapi karena anugerah pemeliharaan-Nya atas umat pilihan-Nya.

Kedua, selain setia kepada Tuhan, kita juga harus setia kepada pasangan kita baik calon pacar, pacar, maupun istri/suami kita. Konsep dunia baik melalui contoh para artis dan lagu “Putus Nyambung” sudah meracuni pikiran dan sikap kita tentang makna komitmen. Bagi banyak orang dunia, pacaran dan pernikahan hanyalah senang-senang saja, sehingga tidak heran, putus nyambung dan perceraian begitu akrab di telinga mereka. Perzinahan telah menjadi kegemaran mereka. Kekristenan harus tampil beda dari dunia. Orang Kristen harus menunjukkan bahwa mereka adalah pengikut Kristus yang TIDAK akan mau berzinah dengan pasangannya. Mereka akan menjaga jarak jika salah satu mereka didekati oleh lawan jenis. Contoh jika seorang cowok dan cewek lagi berhubungan dekat untuk menjadi pacar (ataupun sudah jadian), maka jika ada cowok lain yang mencoba mendekati si cewek ini dengan alasan apa pun, si cewek harus cepat berhati-hati. Si cewek harus bisa menempatkan diri khususnya dengan lawan jenis. Jika si cewek menganggap teman lawan jenisnya hanya sebagai teman dan tidak ada rasa apa pun, maka si cewek harus berani menjaga sikap. Jangan sampai sudah pacaran, si cewek masih gemar berjalan berdua dengan teman lawan jenisnya (bukan pacar), lalu ketika ditanya sang pacar, si cewek selalu berkelit, “Itu hanya teman” (padahal dalam hati, si cewek juga naksir si cowok ini). Ini bukan masalah cemburuan, tetapi ini masalah komitmen. Kalau Anda sebagai anak muda sudah berani menjalin sebuah komitmen serius (masa pedekate/PDKT, pacaran, atau bahkan pernikahan), ya, jalankan komitmen itu, setialah, dan jangan menyakiti hati pasangan Anda. Kalau Anda ingin pasangan Anda setia, maka Anda terlebih dahulu harus membuktikan kesetiaan Anda. Jangan suka menuntut orang lain untuk setia kepada Anda. Anda yang harus pertama kali setia dengan pasangan Anda. Anak muda dunia telah meracuni banyak anak muda Kristen, biarlah kita sebagai anak muda Kristen yang takut akan Tuhan tidak mau dipengaruhi oleh konsep-konsep tersebut.


Film Hachiko adalah salah satu film langka yang diproduksi oleh Amerika Serikat (diadaptasi dari film Jepang) yang mengajarkan banyak pengajaran berharga. Melalui film ini, biarlah kita diingatkan kembali tentang makna kasih dan kesetiaan yang telah kita pelajari sebelumnya dari sumber aslinya, yaitu pribadi Kristus dan Alkitab.


Di dunia yang anti-Tuhan, anti-konsep, dan anti-komitmen ini, dari Sorga, Allah melihat, masih adakah orang yang mengasihi-Nya dan setia? Masihkah orang Kristen yang mengaku mengikut Kristus mencintai-Nya dengan menjalankan kesetiaan baik kepada Allah dan pasangannya? Tuhan tidak menginginkan perkataan yang kita ucapkan bahwa kita mengasihi-Nya dan setia. IA menginginkan sikap hati dan tindakan kita di dalam menjalankan apa yang telah kita pelajari dan mengerti. Manusia tak mengetahui motivasi hati Anda, hanya Allah saja yang mengetahui motivasi hati Anda yang terdalam. Biarlah kita masing-masing mengintrospeksi diri kita masing-masing di hadapan Allah yang Mahatahu. Amin. Soli Deo Gloria…




Catatan kaki:
1. Kisah selengkapnya baca di: http://id.wikipedia.org/wiki/Hachik%C5%8D
2. Diringkas sendiri dan diambil dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Hachiko:_A_Dog%27s_Story


24 May 2010

Fakultas Musik Gerejawi di Institut Reformed, Jakarta

Fakultas Musik Gerejawi
INSTITUT REFORMED JAKARTA


membuka pendaftaran untuk tahun ajaran baru. Batas pendaftaran untuk gelombang kedua: 25 Juni 2010.



Deklarasi Visi dan Misi
oleh: Pdt. Dr. Stephen Tong

Sejak inkarnasi Anak Allah ke dunia ini, manusia menikmati penyertaan Tuhan di dalam hidupnya. Masyarakat mengalami perubahan yang dahsyat. Perdamaian, kasih dan pengharapan kekal telah mengubah seluruh arah perjalanan sejarah. Sepanjang dua ribu tahun di mana Injil diberitakan gereja pun didirikan. Di situlah manusia yang menerima kebenaran dan keselamatan dari Tuhan tak berdaya lagi menahan dirinya untuk tidak memuji kebesaran, kebenaran dan keselamatan dari Tuhan. Gereja menjadi wadah dan pusat yang menghasilkan musik paling bermutu dalam sejarah. Karya-karya vokal teragung bermunculan bagaikan air yang tak berhenti mengalir. Penggubah-penggubah musik tersohor terus-menerus dihasilkan di dalam Gereja yang kudus dan am. Harta karun karya musik yang diturunkan kepada kita selama dua ribu tahun sungguh tak ternilai harganya. Peranan musik gerejawi telah menjadi sumber inspirasi yang membuahkan musik-musik yang teragung di dunia. Mulai dari Eropa terus mempengaruhi seluruh dunia. Ini adalah fakta yang tak dapat terbantahkan. Alkitab menyatakan bahwa Tuhan bertahta di atas puji-pujian umat-Nya.

Demi melestarikan tradisi musik gereja yang demikian indah dan kaya itu, Institut Reformed mendirikan Fakultas Musik Gerejawi mulai tahun 2002. Tujuannya adalah untuk mengembalikan segala kemuliaan kepada Tuhan melalui musik-musik yang terbaik. Dengan melatih anak-anak Tuhan yang terbeban untuk memuji Tuhan, memainkan alat-alat musik, kita memuliakan Tuhan di tempat yang mahatinggi. Kiranya di bumi kita bersatu padu dengan para serafim yang mengelilingi tahta Tuhan yang Mahatinggi sambil berseru, “Suci, Suci, Suci.”

Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya.




Program Jenjang Gelar
Fakultas Musik Gerejawi Institut Reformed menyelenggarakan program jenjang gelar yaitu:
Sarjana Musik Gerejawi (S.Mus.G)

Program Sarjana Musik Gerejawi terbagi dalam beberapa jurusan:
· Piano
· Organ Pipa
· Biola
· Vokal
· Dirigen



Program Paruh Waktu
Program paruh waktu (part time) dibuka:
1. Bagi kaum awam dewasa dan anak-anak yang diarahkan untuk melayani dalam musik gerejawi
2. Bagi para aktivis/pelayan gereja yang melayani di bidang musik

Pelajaran berlangsung di dalam kelas baik melalui program intensif dan regular, yang diadakan pada malam hari. Jam untuk kelas praktek akan dibicarakan lebih lanjut.









Prosedur Pendaftaran
Mengisi Formulir Pendaftaran
1. Memperoleh tiga rekomendasi dari Akademisi, Rohaniawan, Keluarga atau Rekan Pelayanan
2. Memenuhi persyaratan administrasi berupa:
o Satu lembar fotokopi KTP terbaru, Kartu Keluarga, Akte Baptisan Kudus/Sidi, Ijazah, Raport, dan sertifikat lain yang mendukung
o Pas Foto terbaru (ukuran 2x3 dan 3x4 masing-masing dua lembar)
o TOEFL (Internasional/Institusional): 450
3. Memenuhi pemeriksaan kesehatan rutin
4. Mengikuti wawancara dan ujian masuk yang mencakup:
o Teori Musik Dasar dan Pendengaran
o Pengetahuan Musik Dasar
o Pengetahuan Alkitab dan Umum
o Mempersiapkan sebuah karya klasik (dari zaman Barok, Klasik, Romantik atau Modern) dan sebuah hymne sesuai dengan jurusan yang diambil
5. Menulis empat buah kesaksian masing-masing tentang pertobatan, pelayanan, panggilan dan kehidupan di masyarakat.




Tuntutan Perkuliahan

Perkuliahan program Sarjana Musik Gerejawi terdiri dari 160 SKS dan menempuh resital junior dan senior, serta praktek pelayanan selama satu tahun.




Pola Studi
Institut Reformed mengarahkan setiap mahasiswa untuk mengembangkan studi baik di dalam kelas, perpustakaan, laboratorium komputer, kehidupan asrama, maupun dalam tutorial.

Keragaman aspek studi dan kehidupan dipadukan untuk menjawab panggilan Tuhan sebagaimana yang dinyatakan dalam Deklarasi Visi dan Misi.

Para dosen terdiri dari beragam latar belakang pendidikan, pengalaman, dan minat studi. Keragaman ini dipadukan dalam komitmen akan ketuhanan Kristus, pengakuan iman Reformed Injili, dan kerinduan membangun dan mengarahkan segala aspek kehidupan bagi kemuliaan Allah Tritunggal.




Pola Kehidupan
Institut Reformed berada di tengah-tengah kota Jakarta yang memungkinkan terjadinya interaksi aktif antara mahasiswa dan pengajar dengan dinamika barometer kota metropolitan dan masyarakat urban.

Kesempatan ini menantang mahasiswa untuk membangun wawasan Kristen yang relevan dan berguna bagi bangsa dan negara serta menuntut komitmen belajar dan integritas kehidupan rohani. Untuk itu setiap mahasiswa dibimbing dan dituntut untuk menggumuli secara khusus beban panggilannya melalui interaksinya dengan para pengajar dan ladang pelayanan.




Pengurus Institut Reformed, Jakarta

Pendiri dan Rektor:
Pdt. Stephen Tong, B.Th., D.L.C.E. (HC), D.D. (HC)
Pendiri dan Ketua Sinode Gereja Reformed Injili Indonesia (1989), pendiri Jakarta Oratorio Society (1986), Stephen Tong Evangelistic Ministries International (1979), STEMI Institut (1996) dan Christianity and 21st Century Institute (mulai tahun 1996) di USA. Beliau memperoleh Bachelor of Theology (B.Th.) dari Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang di mana beliau juga pernah menjabat sebagai dosen theologi dan filsafat selama 25 tahun (1964-1988). Tahun 1985, beliau dianugerahi gelar doctor kehormatan dari La Madrid International Academy of Leadership di Manila dan tahun 2008 beliau kembali menerima gelar kehormatan Doctor of Divinity (D.D.) dari Westminster Theological Seminary, U.S.A.

Dekan Fakultas Musik Gerejawi:
Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S., Ph.D.
Musikus Gereja di GRII Singapura. Studi musik di Hochschule der Künste (sekarang Universität der Künste) Berlin jurusan Cembalo (harpsichord) di bawah Prof. Mitzi Meyerson kemudian melanjutkan post-graduate study di Koninklijk Conservatorium di Den Haag di bawah Prof. Dr. Ton Koopman dan fortepiano di bawah Prof. Stanley Hoogland. Studi theologi di Institut Reformed Jakarta dan lulus pada tahun 2002. Akhir tahun 2009 telah menyelesaikan studi doktoral di bidang musikologi di Universitas Heidelberg di bawah Prof. Dr. Silke Leopold.


Dosen dan Staff Pengajar:
Stephen Cahyadi
adalah solois piano, accompanist JOS, dan pianis di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Kemayoran, Jakarta

Jusniaty Chitra
Solois piano, pianis GRII Kemayoran, Jakarta. Studi musik di Hochschule der Künste (sekarang Universität der Künste) Berlin jurusan piano performance di bawah Prof. Elena Lapitzkaja.

Indah Lestari Hertanto, B.M., M.M.
adalah solois piano, accompanist PS GRII, Jakarta Oratorio Society (JOS), dan JOS Youth Choir. Studi Piano Performance di Towson University (TU) at Maryland, USA di bawah bimbingan Prof. Reynaldo Reyes. Memperoleh gelar Bachelor of Music (B.M.) in Piano Performance dari Towson University, Maryland, U.S.A. pada tahun 2004 dan Master of Music (M.M.) in Piano Performance pada tahun 2006. Pada tahun 2007, Indah memutuskan untuk meneruskan studi di Manhattan School of Music dalam Vocal Accompanying di bawah bimbingan Kenneth Merrill. Dia pun menerima Professional Studies Certificate pada tahun 2008.

Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S., Ph.D.
adalah musikus Gereja di GRII Singapura dan gembala sidang GRII Jerman. Studi musik di Hochschule der Künste (sekarang Universität der Künste) Berlin jurusan Cembalo (harpsichord) di bawah Prof. Mitzi Meyerson kemudian melanjutkan post-graduate study di Koninklijk Conservatorium di Den Haag di bawah Prof. Dr. Ton Koopman dan fortepiano di bawah Prof. Stanley Hoogland. Studi theologi di Institut Reformed Jakarta dan lulus pada tahun 2002. Akhir tahun 2009 telah menyelesaikan studi doktoral di bidang musikologi di Universitas Heidelberg di bawah Prof. Dr. Silke Leopold.

Renata Liem, Dipl.Mus.
adalah Pembantu Dekan dan Ketua Jurusan Vokal, Solois soprano, pendiri Paduan Suara Eliata dan bersama Stephen Tong membidani berdirinya JOS. Tahun 1973 studi vokal di Hochschule der Künste, Berlin (sekarang Universität der Künste) di bawah bimbingan Prof. Dr. Herbert Brauer dan Prof. Ingrid Figur. Ia juga mengikuti interpret Course di Italia di bawah bimbingan Prof. Iris Coradetti pada tahun 1981.

Ev. Ester L. G. Nasrani, M.A., M.M.
adalah Chorus Master, pengajar musik, solois soprano. Pada tahun 2002-2004 menjabat sebagai ketua liturgi dan departemen musik dalam Persekutuan Gereja-gereja Baptis di Indonesia. Beliau menyelesaikan studi Master of Music (M.M.) di Biola University, U.S.A.

Ev. Elsa Veralien Pardosi, S.S., B.C.M.
adalah dosen vokal, solois alto, dan chorus master Jakarta Oratorio Society (JOS) Children Choir. Beliau yang juga adalah dosen di Sekolah Tinggi Theologi Reformed Injili Indonesia (STTRII) Jakarta menyelesaikan studi Sarjana Sastra (S.S.) di Universitas St. Thomas, Medan dan Bachelor of Church Music (B.C.M.) dalam bidang vokal di Singapore Bible College di bawah asuhan Dr. Samuel Cheung dan Peter Cheung sebagai kelas major dan piano di bawah asuhan Chiu Ng Yi Ping sebagai kelas minor. Belajar conducting di bawah baton Rev. Lee Chong Min. Selama studi, beliau adalah anggota SBC Chorale dan SBC Singers.

Lina Runtuwene
Organis Gereja Reformed Injili Indonesia di Kemayoran, Jakarta. Belajar orgel pipa pertama kali di bawah bimbingan Harry van Dop di Gereja Immanuel Jakarta, kemudian meneruskan belajar orgel pipa di Nederlands Instituut voor Kerkmuziek di Utrecht, Belanda selama lima tahun di bawah bimbingan Prof. Willem Tanke.

Ev. Eunice Tong Holden, B.A., M.Mus.
Chorus Master Paduan Suara GRII, JOS Youth Chorale dan Jakarta Oratorio Society (JOS). Beliau menyelesaikan studi Bachelor of Arts (B.A.) dalam Piano Performance di bawah bimbingan Hyesook Kim dari Calvin College, U.S.A. dan Master of Music (M.Mus.) dalam bidang Conducting dari Westminster Choir College of Rider University, New Jersey pada Mei 2006. Di sana ia mendapat kehormatan untuk belajar di bawah bimbingan Joseph Flummerfelt, Tim Brown, Andrew Megill, Sun Min Lee, dan James Jordan.

Rebecca Tong, B.A.
adalah asisten conductor Jakarta Simfonia Orchestra. Beliau menyelesaikan studi B.A. dalam History of Music Music dengan konsentrasi pada Orchestra performance di bawah Robert Nordling di Calvin College. Belajar conducting di bawah Tiffany Engle dan choral conducting di bawah Joel Navarro. Sejak tahun pertamanya di perguruan tinggi, Rebecca telah ditunjuk sebagai asisten conductor Calvin College Orchestra. Selama studinya, Rebecca telah menerima beasiswa untuk belajar di bawah Dr. David Reimer dan menjadi pemain biola untuk string kuartet Cantabile Quartetto.





Keterangan lebih lanjut dapat diperoleh di:
Sekretariat Institut Reformed Jakarta
Jln. Danau Sunter Utara
Kompleks Ruko Prima Sunter Blok B - C
Jakarta Utara 14350
Telp.: (021) 6513815; Faks.: (021) 6513463
Website: www.musik-ir.org; e-mail: institut.reformed@gmail.com




Institutio Reformata semper reformanda est

14 May 2010

Resensi Buku-97: KETIKA MANUSIA DIANGGAP BESAR DAN ALLAH DIANGGAP KECIL (Prof. Edward T. Welch, Ph.D.)

...Dapatkan segera...
Buku
KETIKA MANUSIA DIANGGAP BESAR dan ALLAH DIANGGAP KECIL

oleh: Prof. Edward T. Welch, Ph.D.

Penerbit: Momentum Christian Literature, 2009

Penerjemah: The Boen Giok





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Manusia adalah makhluk yang dicipta segambar dan serupa dengan-Nya. Oleh karena itu, sudah seharusnya manusia hidup bagi Tuhan yang menciptakannya yang ditandai dengan takut akan Tuhan. Namun, dosa mengakibatkan hidup manusia menjadi kacau balau. Salah satu akibat dosa pada manusia adalah manusia makin takut akan sesamanya. Menurut Dr. Edward T. Welch, takut akan manusia ini dilatarbelakangi oleh tiga alasan, yaitu karena orang lain akan: menyoroti, menolak, dan menyakiti saya. Dari alasan ini keluarlah sikap menyenangkan orang banyak, sombong, defensif, mengabaikan orang lain, dll. Bagi Dr. Welch, semua sikap ini bukan sekadar permasalahan psikologi, namun permasalahan rohani yang tidak beres, yaitu tidak adanya pengenalan yang benar akan Allah dan diri. Oleh karena itu, Dr. Welch menyarankan dua solusi terhadap permasalahan ini yaitu: takut akan Tuhan dan mengasihi sesama. Dengan takut akan Tuhan, kita diajar untuk memusatkan hidup hanya pada Tuhan. Dengan mengasihi sesama, kita tidak berpikiran untuk menyenangkan orang lain atau kelihatan indah di mata orang, namun kita menjadi berkat bagi sesama kita demi kemuliaan-Nya. Biarlah kita dicerahkan hati dan pikiran kita agar kita tidak lagi takut akan manusia, namun takut akan Tuhan dan mengasihi sesama kita.




Apresiasi:
“Ed Welch adalah seorang dokter jiwa yang baik. Dia secara akurat mendiagnosa kondisi keberdosaan kita, membukakan penyembuhan palsu yang ditawarkan oleh psikologi populer masa kini, dan secara tepat mengidentifikasi resep yang benar untuk memenuhi kebutuhan kita. Ketika Manusia Dianggap Besar dan Allah Dianggap Kecil adalah buku yang sangat membuka pengertin, sangat meyakinkan dan sangat menguatkan. Saya sangat merekomendasikannya.”
Dr. Jerry Bridges
(anggota staf di The Navigators dan penulis lebih dari buku-buku, di antaranya The Pursuit of Holiness yang telah terjual lebih dari satu juta kopi)

“Saya tidak tahu apakah ada buku lain seperti ini yang sedemikian rinci menangani masalah ketakutan terhadap sesama dan akibat-akibat buruknya. Ini merupakan buku yang wajib dibaca oleh para konselor yang terpanggil untuk menolong orang yang menghadapi masalah seperti ini.”
Rev. Prof. Jay E. Adams, Ph.D.
(Pendiri Christian Counseling and Educational Foundation—CCEF di Philadelphia, U.S.A., the National Association of Nouthetic Counselors, dan Timeless Texts; mantan direktur advanced studies dan Profesor Theologi Praktika di Westminster Theological Seminary, U.S.A.; mantan Direktur program Doktoral di Westminster Theological Seminary in California; Bachelor of Divinity—B.D. dari Reformed Episcopal Seminary; Bachelor of Arts—B.A. dari Johns Hopkins University; Pittsburgh-Xenia Seminary; Master of Sacred Theology—M.S.T. dari Temple University School of Theology; dan Doctor of Philosophy—Ph.D. dari University of Missouri)





Profil Dr. Edward T. Welch:
Prof. Edward T. Welch, Ph.D. meraih gelar Master of Divinity (M.Div.) dari Biblical Theological Seminary dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) dalam bidang psikologi konseling (neuropsikologi) dari University of Utah pada tahun 1981. Beliau adalah seorang konselor di Christian Counseling and Educational Foundation di Glensidem, Pennsylvania, dan seorang dosen dalam bidang Theologi Praktika di Westminster Theological Seminary di Philadelphia. Dia adalah penulis bersama dari buku Addictive Behavior dan seorang kontributor di Journal of Biblical Counseling. Karyanya yang lain dalam seri Resources for Changing Lives yang juga telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Momentum adalah Ketika Manusia Dianggap Bear dan Allah Dianggap Kecil (2003).

06 May 2010

Eksposisi 1 Korintus 6:7-11 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 6:7-11

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 6:7-11



Bagian ini merupakan kelanjutan dari pembahasan sebelumnya tentang larangan Paulus untuk tidak membawa persoalan jemaat kepada hakim dunia (ay. 1). Kalau di ayat 2-6 Paulus memberikan alasan dari sisi status orang percaya di akhir zaman (orang percaya akan menghakimi dunia dan para malaikat), maka di ayat 7-11 dia memberikan dua alasan tambahan. Orang percaya tidak boleh membawa masalah internal jemaat ke luar karena hal itu merupakan kekalahan bagi seluruh gereja (ay. 7-8). Di samping itu, tindakan membawa ke pengadilan – padahal di sana tidak ada keadilan – akan membawa jemaat pada resiko yang serius, yaitu mereka tidak akan mewarisi Kerajaan Allah karena mereka tergolong sebagai orang yang tidak adil (ay. 9-11).


Hal itu merupakan kekalahan bagi seluruh gereja (ay. 7-8)
Ada sebuah pepatah kuno yang berbunyi ”you win the battle but you lose the war” (kamu memenangkan pertempuran tetapi kalah dalam peperangan). Ungkapan ini tampaknya tepat untuk menggambarkan inti dari nasehat Paulus di bagian ini. Terlepas dari siapa yang akan memang dalam pengadilan nanti, tindakan seorang percaya menyeret saudara seimannya ke pengadilan merupakan kekalahan bagi semua jemaat.

Untuk menekankan hal tersebut, Paulus sengaja meletakkan kata “sudah” (ēdē) di bagian paling awal dari ayat 7 (ASV/DRA/DBY), seakan-akan dia ingin mengungkapkan perasaannya: “sudah...kamu sudah kalah...”. Selanjutnya Paulus juga memakai ungkapan Yunani yang sulit untuk diterjemahkan secara hurufiah, yaitu men oun + holōs. Kata men oun dapat berfungsi sebagai kata sambung biasa (“maka”, “selanjutnya” atau “sekarang”, bdk. KJV/NKJV), tetapi sebagian versi dengan tepat memahami frase ini sebagai sebuah penekanan, karena men oun memang dapat berarti “[se]sungguh[nya]” (DRA/DBY/YLT “indeed”; NASB “actually”; NIV “the very fact”). Tambahan kata holws yang bisa berarti “sungguh” atau “sama sekali” (NIV “completely”) turut mempertegas perasaan Paulus. Beberapa penerjemah mengalami kesulitan untuk menerjemahkan men oun + holws yang sama-sama bisa bermakna penekanan (“penekanan”). Pilihan yang paling tepat mungkin adalah “sesungguhnya telah merupakan kekalahan telak bagi kamu apabila...).

Bentuk jamak “kamu” di ayat 7 menyiratkan bahwa Paulus menujukan hal ini kepada seluruh jemaat dan bukan hanya pada pihak yang menyeret atau diseret ke pengadilan. Mengapa tindakan di ayat 1 merupakan kekalahan telak bagi semua jemaat? Ayat 7b menjelaskan bahwa bagi orang Kristen diperlakukan secara tidak adil atau dirugikan merupakan sesuatu yang lebih baik. Konsep seperti ini sekilas tampak sangat tidak masuk akal, namun konsep ini sebenarnya sangat tepat sekali. Menurut Alkitab salah satu karunia dari Allah adalah ketika orang percaya menderita akibat kebenaran (1Ptr. 2:19-21; bdk. Flp. 1:29). Yesus mengajarkan agar para pengikut-Nya tidak membalas kejahatan dengan kejahatan (Mat. 5:39-41); sesuatu yang diajarkan juga oleh para rasul (Rm. 12:17; 1Tes. 5:15). Paulus sendiri memberikan contoh konkrit kepada jemaat Korintus. Di 1 Korintus 9:1-18 Paulus menegaskan bahwa dia dalam segala sisi layak untuk mendapatkan haknya berupa tunjangan hidup (9:1-14), tetapi ia memilih untuk tidak menggunakan hak tersebut (9:15-18), sekalipun jemaat Korintus sebenarnya mampu memberi dukungan materi (2Kor. 8:7-8).

Konsep seperti di atas seharusnya menjadi pola pikir seluruh jemaat Korintus. Ketika mereka tidak mau diperlakukan tidak adil atau dirugikan, maka mereka sedang mengalami kerugian, yaitu mereka tidak mendapatkan karunia Allah berupa penderitaan karena kebenaran. Jika mereka mengalah, maka mereka tidak akan kalah. Sebaliknya, mereka mendapatkan keuntungan rohani yang jauh lebih berharga daripada keuntungan jasmani yang mereka perjuangkan.

Ayat 8 masih menjelaskan mengapa tindakan di ayat 1 merupakan sebuah kekalahan (ay. 7a). Selain jemaat Korintus kehilangan keuntungan rohani (ay. 7b), mereka justru mendatangkan kerugian kepada saudara seiman (ay. 8). Ini merupakan kekalahan ganda: tidak mendapat keuntungan malah mendatangkan kerugian bagi saudara seiman. Ketika mereka membawa sebuah kasus ke pengadilan sekuler waktu itu, mereka sebenarnya sedang mengupayakan ketidakadilan. Mereka sudah tahu bahwa pengadilan waktu itu biasanya korup. Di ayat 1 pun Paulus sudah menyebut para hakimnya sebagai orang-orang yang tidak benar. Motivasi mereka ke pengadilan adalah mencari pembelaan (bukan keadilan), yang akan dipakai untuk mendukung ketidakadilan mereka.

Yang lebih menyedihkan, tindakan ini dilakukan kepada saudara seiman (ay. 8b). Orang percaya seharusnya memiliki kesatuan roh dalam Yesus Kristus untuk melakukan penghakiman di dalam gereja (5:3-5), tetapi mereka justru terpecah-belah dan dihakimi di luar gereja. Kesatuan rohani di dalam Kristus sepatutnya dipandang sebagai sebuah harta yang tidak ternilai karena dibeli dengan darah-Nya sendiri (bdk. 1Ptr. 1:18-19). Kenyataannya, jemaat Korintus rela menggantikan itu dengan sesuatu yang tidak berarti. Begitu kuatnya ikatan rohani antar orang percaya sampai-sampai kesatuan ini meniadakan berbagai batasan (Kol. 3:11) dan orang percaya wajib mendahulukan sesama orang percaya daripada mereka yang tidak beriman (Gal. 6:10).


Hal itu dapat membahayakan warisan rohani di akhir zaman (ay. 9-11)
Karena tindakan di ayat 1 dapat dikategorikan sebagai ketidakadilan (ay. 8), maka para pelakunya (baik hakim maupun jemaat yang menyeret sesamanya ke pengadilan) juga pantas disebut sebagai orang-orang yang tidak adil (ay. 9a). Orang-orang semacam ini tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah (ay. 9a). Pertanyaan retoris “tidak tahukan kamu...” menyiratkan bahwa konsep ini sebenarnya tidak asing bagi jemaat Korintus. Hanya saja mereka telah disesatkan (ay. 9b). Dalam bahasa Yunani kalimat larangan di bagian ini memakai present tense sehingga lebih tepat diterjemahkan “berhentilah disesatkan”. Kesesatan apa yang dimaksud Paulus di sini? Berdasarkan konteks yang ada, kesesatan ini sangat mungkin berhubungan dengan konsep “sebagai orang yang ‘rohani’ apa pun yang kita lakukan yang berkaitan dengan materi tidak akan mempengaruhi keselamatan atau keadaan kekal kita”. Di pasal 5:1-2 kita sudah membahas bahwa sebagian jemaat bahkan bangga dengan dosa seksual yang dilakukan oleh sesamanya, karena hal itu dianggap tidak membawa pengaruh. Di pasal 6:12-20 jemaat melakukan percabulan dengan pelacur tanpa merasa bersalah karena mereka berpendapat bahwa hal-hal materi tidak membawa pengaruh bagi kerohanian atau kekekalan (6:12-13). Konsep kerohanian yang salah seperti inilah yang nanti akan dikoreksi Paulus di ayat 11: berada di dalam Kristus dan Roh Kudus harus menampakkan bukti berupa hidup yang diwarnai kesucian, kekudusan dan kebenaran.

Jika persoalan hukum yang dibahas di pasal 6:1-11 adalah masalah harta warisan, maka peringatan di ayat 9a merupakan sebuah ironi. Demi warisan jasmani yang sementara mereka rela melakukan ketidakadilan yang berpotensi membuat mereka kehilangan warisan rohani di sorga! Mereka telah bertindak bodoh dengan cara memperjuangkan sesuatu yang tidak berarti dengan cara mengorbankan sesuatu yang jauh lebih mulia daripada itu.

Di ayat 9b-10 Paulus memaparkan deretan para pendosa lain yang juga tidak akan mewarisi Kerajaan Allah. Dengan demikian Paulus secara tidak langsung ingin menekankan bahwa jemaat yang melakukan ketidakadilan (ay. 1, 8) tidak lebih baik daripada mereka yang melakukan berbagai dosa di ayat 9b-10. Jemaat Korintus tidak pantas menyombongkan “kerohanian” mereka, karena dalam kenyataannya hal itu hanyalah kesesatan dan mereka sama buruknya dengan pendosa lain.

Sebagian besar daftar di ayat 9b-10 sudah disinggung Paulus sebelumnya (5:10-11). Hanya ada empat kata yang baru: 3 berkaitan dengan dosa seksual (“pezinah”, “banci” dan “pemburit”, bdk. 5:1-13) dan 1 berkaitan dengan harta (“pencuri”, bdk. 6:1-11). Kata “pezinah” (moichos) bisa memiliki arti yang sangat luas. Kata ini dapat merujuk pada segala macam dosa seksual di luar konteks pernikahan. Hampir semua versi Inggris memilih kata “adulterers” yang artinya juga sangat umum. Kata selanjutnya agak sulit ditentukan artinya, yaitu malakos (LAI:TB “banci”). Sebagian versi memahami kata ini sebagai rujukan pada laki-laki yang bersikap seperti perempuan atau banci (ASV/KJV/NASB “effeminate”). Sebagian yang lain memilih “pelacur laki-laki” (NIV/NRSV “male prostitutes”). Arti dasar dari malakos adalah “lembut” atau “halus” (bdk. Mat 11:8//Luk 7:25), sehingga bentuk maskulin malakos di 1Korintus 6:9b dipahami sebagai laki-laki yang seperti perempuan. Bagaimanapun, kata ini di luar Alkitab juga dipakai untuk laki-laki yang berfungsi seperti wanita dalam hal menjual seks. Mana yang benar di antara dua pilihan ini sulit ditentukan. Kata selanjutnya adalah arsenokoitēs (LAI:TB “pemburit”). Hampir semua penerjemah dan penafsir sepakat bahwa arsenokoiths lebih tepat diterjemahkan “laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki” (homo atau gay). Kata yang merupakan gabungan dari dua kata “laki-laki” dan “bersetubuh” ini hanya muncul di tulisan Paulus (1Kor. 6:9; 1Tim. 1:10), sehingga sebagian penafsir meyakini bahwa kata ini diciptakan oleh Paulus dari tradisi Yahudi di Imamat 18:22 dan 20:13. Dalam dua teks PL ini (LXX) kata arsenos dan koitēn muncul bersamaan, walaupun keduanya muncul secara terpisah; Pauluslah yang mungkin menggabungkan dua kata tersebut menjadi sebuah istilah khusus untuk orang homoseksual.

Kata lain yang baru adalah kleptēs (LAI:TB “pencuri”). Kata ini muncul 16x dalam PB dan dapat merujuk pada segala tindakan kriminal yang mengambil harta orang lain. Dengan penggunaan kata ini secara tidak langsung Paulus ingin menyatakan bahwa tindakan membawa sengketa warisan ke pengadilan sekuler sama saja dengan mencuri harta orang lain. Hakim yang korup pasti akan membela orang yang memberi suap kepadanya, dengan demikian pihak lain akan dirugikan secara materi. Tindakan ini jelas sangat pantas disebut pencurian.

Setelah Paulus memberi peringatan di ayat 9b-10 dia selanjutnya menyatakan bahwa hal-hal itulah yang dilakukan oleh jemaat Korintus dahulu sebelum mereka bertobat (ay. 11a “dan beberapa orang di antara kamu demikianlah dahulu”). Ungkapan ini memiliki dua fungsi: (1) menegur jemaat secara tidak langsung dengan menyatakan bahwa tindakan mereka di ayat 1 dan 8 sama dengan mereka yang belum bertobat di ayat 9b-10; (2) mengajarkan jemaat bahwa orang percaya harus menunjukkan perubahan hidup. Yang lama telah berlalu, yang baru sudah datang (2Kor. 5:17).

Selanjutnya di ayat 11b Paulus menjelaskan mengapa perubahan hidup itu bisa terjadi. Jemaat telah disucikan, dikuduskan dan dibenarkan oleh Allah di dalam Kristus Yesus dan Roh Kudus. Sebagian orang mencoba memahami tiga hal ini secara dogmatis-kronologis, sehingga mereka mengalami kesulitan untuk menjelaskan bagaimana penyucian dibedakan dari pengudusan serta mengapa pengudusan terjadi sebelum pembenaran. Kita perlu memahami bahwa alasan di balik pemilihan kata-kata ini bersifat kontekstual, bukan theologis. Kata “disucikan” (lit. “dibersihkan” atau “dicucikan”) dipilih karena berkaitan dengan semua noda kekafiran di ayat 9b-10 (bdk. Ef. 5:26; Ibr. 10:22). Sama seperti tidak boleh ada ragi dalam adonan (5:7-9), demikian pula tidak boleh ada kekotoran dalam gereja. Kata “dikuduskan” (lit. “dikhususkan”) dipilih sebagai kontras terhadap tingkah laku duniawi di ayat 9b-10. Sebagai orang-orang yang dipisahkan dari dunia dan dikhususkan bagi Allah (kata “kudus” dalam Alkitab mengandung dua makna ini) mereka seharusnya memiliki gaya hidup yang berbeda dengan dunia. Kata “dibenarkan” (bentuk pasif dari dikaioō) dipakai sebagai kontras terhadap tindakan mereka yang tidak adil/benar (adikeō). Mereka adalah dikaios (“orang benar”) di dalam Allah, bukan adikos (“orang yang tidak benar”).

Bentuk pasif yang dipakai untuk tiga kata di atas merupakan hal yang penting. Sayangnya tidak semua penerjemah dan penafsir memahami hal ini. Penerjemah LAI:TB dan beberapa penafsir mengambil terjemahan “memberi dirimu disucikan” berdasarkan dugaan bahwa kata hēgiasthēte di sini berbentuk middle (tindakan yang dilakukan kepada atau untuk diri sendiri). Dugaan ini tampaknya kurang tepat, karena kata ini seharusnya dipahami sebagai kata kerja middle yang memiliki arti pasif. Jika tiga kata di ayat 11b dipahami sebagai bentuk pasif, maka kita bisa melihat inisiatif Allah dalam semuanya ini. Allah berada di balik semua perubahan hidup jemaat, karena itu jemaat sekarang harus mengambil bagian untuk membuktikan hal itu dalam kehidupan mereka sehari-hari. Mereka tidak seharusnya mengadopsi cara-cara duniawi.

Tambahan “dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita” di bagian akhir ayat 11 menjelaskan bagaimana anugerah Allah berupa pembersihan, pengudusan dan pembenaran dapat direalisasikan. Secara objektif hal-hal ini dicapai melalui karya Kristus Yesus di kayu salib. Secara subjektif karya itu dikerjakan Roh Kudus dalam hati orang-orang pilihan. Tanpa salah satu dari tiga hal ini – inisiatif Allah, karya penebusan Kristus dan aplikasi penebusan itu oleh Roh Kudus – jemaat Korintus tidak akan mengalami pembersihan, pengudusan dan pembenaran. Tidak akan ada perubahan hidup yang radikal dan menyenangkan Allah apabila tidak melalui karya penebusan Kristus dan pekerjaan Roh Kudus. Kebaikan yang tidak berpusat pada Kristus dan tidak bersumber dari kekuatan Roh Kudus hanyalah etika humanis semata-mata. Kebaikan seperti ini adalah seperti kain kotor di mata Allah (Yes. 64:6a). Sebaliknya, mereka yang sudah di dalam Kristus dan Roh Kudus pasti memiliki pijakan dan kekuatan untuk berubah. #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 28 Desember 2008
(http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2006%20ayat%2007-11.pdf)