03 April 2011

WHAT'S WRONG IN THE GARDEN OF EDEN?-8: Eden dan Dosa-7: Malu Melihat Diri

WHAT’S WRONG IN THE GARDEN OF EDEN?-8:
Eden dan Dosa-7: Malu Melihat Diri


oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Kejadian 3:7




Setelah Adam menerima buah pemberian Hawa, apa yang terjadi? Alkitab mencatat di Kejadian 3:7, “Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat.” Ya, mata mereka terbuka. Bukankah hal ini mirip seperti yang iblis katakan di ayat 4-5, “Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.”? Memang mirip yaitu mata mereka memang benar-benar terbuka, tetapi terbuka terhadap apa? Iblis mendustai mereka bahwa nanti mata mereka terbuka dan akan menjadi seperti Allah yang bisa mengetahui apa yang baik dan jahat, tetapi benarkah tipu daya iblis itu sesuai dengan faktanya? TIDAK. Mata mereka memang terbuka, tetapi terbuka terhadap keadaan diri yang telanjang! Sebelum makan buah tersebut, mereka tidak pernah merasa diri telanjang, karena itu adalah sesuatu yang baik di mata Allah, namun setelah makan buah tersebut, mereka justru merasa diri telanjang. Dengan kata lain, dosa mengakibatkan manusia menyadari fakta sebenarnya, yaitu fakta telanjang yang sekarang bukan lagi baik, tetapi menjijikkan dan malu. Oleh karena itu, Alkitab mencatat bahwa setelah mereka mengetahui bahwa mereka telanjang, mereka langsung menyemat (terjemahan Inggris: sew artinya menjahit) daun-daun pohon ara, lalu dari daun tersebut, mereka membuat cawat untuk menutupi tubuh mereka yang telanjang.

Dari sini, kita belajar bahwa dosa mengakibatkan manusia menjadi malu melihat diri yang sebenarnya yaitu yang telanjang/terbuka dan lemah. Oleh karena malu, maka mereka membuat semacam pakaian untuk menutupinya. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa inilah awal mula munculnya budaya berbusana. Sebenarnya, ini bukan hanya awal mula budaya busana, tetapi lebih ke masalah keterbukaan. Dosa mengakibatkan manusia bukan hanya malu melihat diri yang sebenarnya, tetapi enggan melihat diri yang sebenarnya. Mengapa? Karena dengan melihat diri yang sebenarnya, mereka malah mendapati diri mereka yang lemah, dll. Keengganan itulah yang mengakibatkan manusia makin lama makin membius diri, supaya dirinya tidak terbuka. Bagaimana caranya?
1. Terus melihat kelebihan diri
Seorang yang terus membius diri atau memanipulasi diri biasanya akan terus melihat bahwa diri sendiri hebat, pandai, dll. Ia paling bangga jika dirinya dibutuhkan oleh orang lain, lalu dengan sombongnya, ia akan berkata bahwa tanpa dirinya, orang lain pasti gagal, dll. Sebaliknya, ia tidak akan menyukai jika ada orang lain yang menunjukkan kelemahannya. Dari mana konsep ini muncul? Mungkin saja memang dari kecil, dirinya selalu dimanja, sehingga ia dari kecil tumbuh dengan sikap egois dan sombong karena ia merasa terus dibutuhkan oleh orang lain termasuk saudara-saudara dan orangtuanya. Jika orang lain tidak mendengarkan saran atau nasihatnya (bahkan untuk hal-hal yang sepele), ia akan langsung marah-marah dan mencap orang lain itu bodoh, dll. Atau mungkin juga konsep ini muncul karena ia sering mendengar pelatihan motivasi yang terus menggenjot kehebatannya sendiri bahwa ia bisa melakukan apa pun.

2. Terus melihat kelemahan orang lain
Seorang yang terus melihat kelebihan diri adalah orang yang tidak akan puas jika ada orang lain yang (sedikit) lebih hebat dari dia, karena jika ada orang lain yang lebih hebat dari dia, ia akan tersaingi. Oleh karena itu, seorang yang terus melihat diri pasti mengakibatkan ia akan terus melihat bahwa orang lain itu lebih lemah dari dirinya. Ia paling gemar mengkritik orang dari hal-hal primer sampai yang tersier (seperti cara jalan, berpakaian, dll). Sebaliknya, ia paling susah dikritik dengan segudang alasan yang dibuat-buat (namun tidak logis). Yang paling celaka, orang “Kristen” yang terus melihat kelemahan orang lain adalah ia yang nekat mengkritik kelemahan penulis Alkitab yang terlalu bertele-tele.


Seorang yang terus membius diri supaya dirinya tidak terbuka baik di hadapan Allah dan orang lain sebenarnya bukan hal yang benar, karena:
1. Makin membius diri, ia makin berdosa dengan mengganti otoritas Allah dengan otoritas dirinya sendiri.
Orang yang makin membius diri dengan terus melihat kelebihan diri sekaligus kelemahan orang lain sebenarnya membuktikan bahwa ia makin berdosa di hadapan Allah. Mengapa? Karena ia dengan berani membuang otoritas Allah atas segala sesuatu dan menggantinya dengan otoritasnya sendiri yang paling hebat! Coba buktikan: orang yang terus menganggap diri paling hebat (mirip “Allah”) selalu menginginkan orang lain HANYA mendengarkan perkataannya saja dan tidak mendengarkan perkataan orang lain dengan alasan klise, “itu demi kebaikanmu”, dll. Benarkah motivasi baik pasti benar di mata Allah? (motivasi baik TIDAK selalu benar dan kudus di mata Allah!) Bukankah orang yang berani berkata bahwa HANYA perkataannya saja yang patut didengar membuktikan bahwa dia menjadikan diri sendiri sebagai “Tuhan”? Dan itulah DOSA!

2. Makin membius diri, ia makin munafik.
Orang yang makin membius diri bukan hanya makin berdosa, namun juga makin munafik. Artinya: karena terus merasa diri paling hebat, maka dengan segala daya upaya, ia akan menutupi segala kelemahannya dengan berpura-pura “hebat” dan “pandai”, padahal faktanya tidak. Makin ia berpura-pura, makin terlihat ia sebenarnya tidak terlalu hebat. Makin ia terlihat tidak terlalu hebat, pada saat yang sama, makin ia benar-benar sangat tidak hebat. Dan itulah fakta aslinya yang kerap kali disembunyikannya!

3. Makin membius diri, ia makin tersendiri.
Seorang yang sudah berdosa apalagi munafik, tetapi masih menganggap diri paling hebat mengakibatkan hidupnya pasti makin tersendiri, karena banyak orang di sekitarnya akan mulai menjauhinya. Mengapa? Karena orang yang terus membius diri terus merasa bahwa ia tidak memerlukan orang lain, namun anehnya sambil berkata demikian (bahwa ia tidak memerlukan orang lain), ia berkata kepada orang lain. Sebuah keanehan cara berpikir! Bayangkan saja, jika Anda hidup bersama dengan orang yang terus memamerkan kelebihan diri dan menghina Anda setiap hari, siapkah Anda menerima semua cercaannya baik primer maupun tersier? Kalau saya pribadi sih, saya benar-benar tidak sanggup.


Jika membius diri bukan sesuatu yang benar, apa yang harus orang Kristen lakukan? Kita sebagai orang Kristen harus melihat diri kita secara tepat dan benar di mata Allah. Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D. di dalam bukunya Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah (2003) mengajarkan bahwa manusia itu termasuk pribadi yang diciptakan. (hlm. 8) Artinya:
1. Manusia: Pribadi
Manusia adalah sosok makhluk yang berpribadi yang tentunya memiliki tubuh dan jiwa/roh yang terdiri dari: hal-hal fisik (wajah dan bentuk tubuh), pikiran, emosi, dan kehendak. Ia tidak seperti binatang yang hanya menggunakan naluri saja. Ia juga tidak seperti malaikat yang hanya memiliki roh. Karena memiliki tubuh dan jiwa/roh, maka tentu saja manusia bisa berpikir, merasa, menangis, tertawa, dll. Karena memiliki pikiran, maka manusia yang berpribadi juga adalah manusia yang kreatif yang mampu menciptakan hal-hal baru. Dari kreativitas dan segala sesuatu yang ada di dalam diri manusia, maka manusia dapat mandiri hidup di dunia ini. Inilah sisi positif dari seorang manusia.

2. Manusia: Diciptakan/Ciptaan
Namun, manusia juga memiliki sisi negatifnya, yaitu selain sebagai makhluk yang berpribadi, maka manusia juga sebagai makhluk ciptaan/dicipta. Dengan kata lain, segala kreativitas dan kemandirian manusia bersifat relatif. Karena dicipta, maka ia tentu juga seorang makhluk yang terbatas sekaligus berdosa.
Sebagai makhluk yang terbatas, ia hanya mengetahui sesuatu berdasarkan ruang dan waktu: di tempat ini dan pada masa kini dan/atau masa lalu. Ia otomatis tidak mengetahui apa yang terjadi di masa depan atau pada orang lain di tempat yang berbeda, karena itu di luar kemampuannya. Ia bisa menerka apa yang terjadi kemudian atau apa yang akan dilakukan oleh orang lain di tempat yang berbeda, namun terkaan itu hanya bersifat relatif yang belum bisa dibuktikan keabsahannya.
Sebagai makhluk yang berdosa, ia tentu memiliki bibit dosa asal dari Adam dan Hawa. Dan ini menyadarkannya bahwa ia bukan manusia sempurna yang paling hebat. Makin seorang Kristen menyadari bahwa diri sendiri berdosa, makin ia tidak sombong dan menyadari bahwa ia tentu memerlukan orang lain entah itu nasihat, saran, pengajaran, penghiburan, dll.


Setelah kita mengerti 2 poin penting berkenaan dengan siapakah manusia, maka apa yang harus orang Kristen lakukan selanjutnya?
1. Bersyukur dan makin bergantung kepada Allah
Orang Kristen sejati adalah orang Kristen yang telah, sedang, dan terus-menerus menyerahkan hatinya kepada Allah. Ketika menyadari bahwa ia adalah pribadi yang dicipta, maka orang Kristen yang telah menyerahkan hatinya kepada Allah seharusnya bersyukur. Bersyukur atas apa? Bersyukur atas anugerah-Nya yang telah menghembuskan nafas hidup-Nya kepada kita, sehingga kita menjadi makhluk yang hidup. Bersyukur karena Ia telah memberikan kita akal budi, hati, dll untuk dipergunakan di dalam dunia. Bersyukur pula karena selain sebagai pribadi, kita juga diciptakan (dengan potensi keterbatasan dan dosa) dan hal ini menyadarkan kita agar kita jangan sombong, tetapi makin bergantung kepada Allah.

2. Terbuka di hadapan Allah
Seorang yang sudah bersyukur dan terus bergantung kepada Allah adalah orang Kristen yang memiliki kerinduan terdalam untuk terbuka di hadapan Allah. Ia rela “telanjang” di hadapan-Nya dengan maksud agar Ia menyelidiki, mengoreksi, dan memimpin dirinya kepada Kebenaran sejati. Orang Kristen ini akan berkata seperti Raja Daud yang berkata, “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (Mzm. 139:23-24) Di kedua ayat ini, Daud bukan hanya memohon agar Allah mengenal hatinya dan menguji dirinya, namun juga agar Allah menuntunnya ke jalan yang kekal. Berarti, keterbukaan hati Daud kepada Allah tidak membuat Daud menjadi egois yang ingin agar Allah mengenal hatinya saja, tetapi ia juga ingin agar Allah juga mengoreksi dirinya yang salah sekaligus memimpinnya kepada jalan-Nya yang kekal. Dengan kata lain, seorang yang terbuka di hadapan Allah adalah seorang yang benar-benar menginginkan Allah mengenal dan menguji hatinya sekaligus mengoreksi iman dan cara berpikirnya yang salah, lalu menuntunnya kepada jalan Allah yang kekal. Keterbukaan seorang Kristen terhadap Allah membuktikan bahwa ia adalah seorang Kristen yang tulus dan murni di hadapan-Nya.

3. Terbuka di depan orang lain
Seorang yang sudah terbuka di hadapan Allah mengakibatkan ia juga terbuka di depan orang lain. Artinya:
a) Orang ini siap ditegur.
Orang Kristen yang menyadari bahwa dirinya terbatas dan berdosa adalah orang Kristen yang selalu menyadari bahwa ia bukan segala-galanya dan ia membutuhkan orang lain untuk menegur dan mengingatkannya ketika ia bersalah atau bahkan berdosa. Rev. Bob Kauflin dalam bukunya Worship Matters mengatakan, “mencintai teguran akan membuat saya lebih sadar akan kenyataan bahwa saya membutuhkan kasih karunia Allah dalam hidup aya. Teguran membantu saya bergumul melawan sikap meninggikan diri. Teguran merupakan pertanda bahwa saya membutuhkan orang-orang lainnya ketika menjalani proses pengudusan. Teguran membantu saya mengakui bahwa saya tidak mengetahui segalanya.” (hlm. 322)
Dari perkataannya ini, kita menyimpulkan bahwa teguran menyadarkan kita bahwa: Pertama, kita terbatas dan terus membutuhkan anugerah Allah dalam hidup kita. Tanpa anugerah-Nya, kita tak bisa apa-apa. Kedua, kita tidak boleh sombong. Teguran menyadarkan kita bahwa kita bukan orang yang terhebat yang bisa seenaknya sendiri menghina orang lain. Ketiga, kita membutuhkan orang lain di dalam proses pengudusan kita. Ketika kita berjalan di dalam perjalanan iman Kristen kita, kita pasti mengalami saat-saat kita down secara rohani dan saat itulah teguran dari saudara seiman menyadarkan dan membangkitkan kita untuk hidup bagi Kristus. Keempat, kita tidak mengetahui segalanya. Meskipun kita memiliki pikiran, kita harus menyadari bahwa pikiran kita terbatas dan ada hal-hal yang tidak kita pikirkan ternyata dipikirkan oleh orang lain. Oleh karena itulah, kita harus terbuka terhadap teguran, karena dari teguran, kita bisa menimba ilmu dari orang lain!

b) Orang ini konsisten dan tulus.
Selain siap ditegur, orang ini juga termasuk orang yang konsisten dan tulus di mana apa yang dikatakan dan dilakukannya berasal dari hatinya yang terdalam dan murni. Dengan kata lain, tidak ada tedeng aling-aling di dalam apa pun yang dikatakan dan dilakukannya. Ia bukan orang yang pandai merayu orang lain dengan rayuan gombal demi motivasi busuk dan/atau di sisi lain, ia bukan seorang yang gemar mengkritik orang lain. Dengan kata lain, ia adalah seorang yang jujur. Ia akan memuji orang yang benar-benar pantas dipuji dan ia akan mengkritik orang yang pantas dikritik sambil memberikan teguran yang membangun.


Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menyerahkan hati kita kepada-Nya, lalu terbuka di hadapan Allah dan sesama? Biarlah renungan singkat ini menyadarkan kita tentang siapa kita di hadapan-Nya.

No comments: