10 November 2010

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:15-18 (2) (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:15-18 (2)

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 9:15-18 (2)



Sebagaimana sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, Paulus di pasal 9:15-18 sedang menguraikan sikapnya yang tidak mau menerima tunjangan (ay. 15a-b) dan alasan mengapa ia melakukan hal itu (ay. 15c-17). Penjelasan ini berbentuk serangkaian kalimat yang dimulai dengan kata sambung “karena” atau “sebab” (gar, ay. 15c, 16a, 16b, 16c, 17a). Di akhir pembahasan Paulus menunjukkan apa yang menjadi hak sesungguhnya bagi dia (ay. 18).

Dalam uraian Paulus tentang alasan di balik sikapnya yang tidak mau menerima tunjangan, ia mengajarkan bahwa daripada ia menerima tunjangan tetapi pemberitaan Injil justru menjadi terhalang, maka ia lebih memilih mati daripada Injil yang mati (ay. 15c-d). Bekerja secara keras dan hina untuk mendukung pemberitaan Injil merupakan kemegahan yang tidak dapat dikosongkan oleh siapa pun. Hal ini tidak berarti bahwa Paulus sedang menyombongkan apa yang ia lakukan. Bagi Paulus tidak ada yang istimewa dari tugas pemberitaan yang ia lakukan, karena ini merupakan keharusan ilahi bagi dirinya (ay. 16a-b). Ia hanya melakukan apa yang seharusnya ia lakukan.

Dalam khotbah minggu ini kita akan meneruskan beberapa penjelasan lain mengapa Paulus tidak memiliki dasar untuk bermegah dalam pemberitaan Injil. Ada baiknya kita melihat kembali alur pemikiran Paulus di ayat 16-17. Perhatikan struktur berikut ini:
Paulus tidak memiliki dasar untuk bermegah (ay. 16a)
Alasan: pemberitaan Injil adalah keharusan ilahi (ay. 16b)
Penjelasan: celaka bagi yang melalaikan (ay. 16c)
Penjelasan: jika ini adalah keharusan, maka tidak ada upah (ay. 17)


Celaka bagi yang melalaikan keharusan ilahi (ay. 16c)
Seruan “celakalah” (ouai) hanya muncul sekali dalam seluruh tulisan Paulus. Di bagian lain Alkitab kata ini seringkali berhubungan dengan keadaan rohani yang mengenaskan atau penderitaan tertentu. Yesus menujukan seruan ouai kepada mereka yang menolak kabar baik (Mat. 11:21//Luk. 10:13), para penyesat (Mat. 18:7//Luk. 17:1), orang yang menyerahkan Anak Manusia (Mat. 26:24//Luk. 22:22), orang-orang Farisi (Mat. 23:13-29//Luk. 11:42-47).

Seruan ini juga pernah ditujukan oleh Yesus pada para wanita yang sedang mengandung pada saat tanda-tanda akhir zaman berlangsung (Mat. 24:19//Luk. 21:23). Dalam sebuah perikop di Injil Lukas, seruan ini dikontraskan dengan “berbahagialah/diberkatilah” (6:20-26). Dalam Kitab Wahyu seruan ini seringkali dikaitkan dengan penderitaan di bumi sebagai bentuk hukuman ilahi (Why. 8:13; 9:12; 11:14; 12:12; 18:10, 16, 18).

Dari penggunaan seruan ouai di atas terlihat bahwa dua makna seruan ouai (keadaan rohani yang mengenaskan dan penderitaan fisik) saling berkaitan. Apakah Paulus memikirkan kebinasaan rohani yang kekal atau sekadar penderitaan tertentu sebagai hukuman Allah? Dalam hal ini kita sulit menentukan sejauh mana Paulus memaksudkan celaka di sini.

Beberapa petunjuk berikut ini mendorong kita untuk memilih alternatif pertama. Paulus tampaknya memang serius memandang hukuman ilahi akibat kelalaian dalam pemberitaan Injil. Pertama, berpijak pada ide tentang kematian yang sudah disinggung sebelumnya (ay. 15 “...adalah lebih baik mati daripada...”), Paulus tampaknya sedang memikirkan “celaka” sebagai sesuatu yang lebih serius daripada kematian fisik. Walaupun dalam pemberitaan Injil Paulus selalu diperhadapkan pada kematian (4:9; 15:31-32; 2Kor. 1:8-10), namun bagi dia kematian fisik masih lebih baik daripada “celaka” akibat lalai memberitakan Injil. Kedua, di akhir pasal 9 Paulus mengungkapkan kerinduannya supaya setelah memberitakan Injil ia sendiri tidak ditolak gara-gara tidak mampu menguasai diri dalam segala hal (9:27). Ketiga, di pasal 10 Paulus memaparkan orang-orang Israel di zaman dahulu yang binasa akibat penyembahan berhala (10:5-12). Jadi, seruan “celaka” yang diucapkan Paulus sebaiknya diterima sebagai sebuah peringatan yang sungguh-sungguh. Ini jauh lebih serius daripada sekadar perasaan bersalah. Ini bahkan lebih serius daripada hukuman tertentu yang kita takutkan jika tidak memberitakan Injil.

Apakah penjelasan ini bertentangan dengan doktrin kepastian keselamatan? Sama sekali tidak! Apakah penjelasan ini mengajarkan bahwa keselamatan ditentukan oleh usaha kita dalam memberitakan Injil? Tidak juga! Semua ini perlu dipahami dalam konteks “sebab tidak mungkin bagi kami untuk tidak berkata-kata tentang apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar” (Kis. 4:20). Seseorang yang merasakan dan memahami keselamatan sebagai sebuah peristiwa dan anugerah yang istimewa tidak akan bisa berdiam diri untuk tidak menceritakan hal tersebut! Jika seseorang tidak terdorong untuk memberitakan keselamatan yang sedemikian besar, maka kita patut mempertanyakan seberapa besarkah arti keselamatan tersebut bagi orang itu.

Hal ini mirip dengan ajaran Yesus dalam Doa Bapa Kami yang berbunyi “ampunilah kesalahan kami seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami” (Mat. 6:12). Dalam sebuah perumpamaan Yesus juga pernah mengatakan bahwa Bapa tidak akan mengampuni orang yang tidak mau mengampuni saudaranya (Mat. 18:35). Perkataan ini jelas tidak mengajarkan bahwa pengampunan Allah bergantung pada kemauan kita mengampuni orang lain. Sebaliknya, karena Allah sudah lebih dahulu mengasihi kita, maka kita harus mengasihi orang lain (Mat. 18:33). Sangat tidak masuk akal seandainya hutang kita yang 10 ribu talenta telah dianggap lunas oleh Allah tetapi kita tidak mau menganggap lunas hutang saudara kita yang hanya 100 dinar (Mat. 18:23-34). Begitu pula dengan pemberitan Injil. Jika kita sudah mengalami berkat rohani yang luar biasa melalui Injil (hidup kekal, damai sejahtera, penyertaan Allah, dsb.), sangat tidak masuk akal jika kita tidak mau memberitakan kabar kesukaan ini kepada orang lain.

Kesulitan kita untuk memahami keseriusan makna “celaka” dalam seruan Paulus lebih banyak ditentukan oleh asumsi theologis kita yang salah. Allah memang menjamin keselamatan kita sehingga tidak mungkin gagal (Yoh. 10:28-29; Rm. 8:31-32), namun kita harus melihat ini dalam perspektif yang luas. Allah memang akan menjaga kita dari semua pencobaan dengan cara memberikan jalan keluar (1Kor. 10:13), tetapi kita tetap harus berhati-hati dan jangan sombong dengan jalan menyangka bahwa kita teguh berdiri (1Kor. 10:12). Kita perlu mengingat bahwa Allah menjaga keselamatan kita melalui pemberian kemauan dan kemampuan dalam hati kita (Flp. 2:13).


Jika pemberitaan Injil adalah keharusan, maka tidak ada upah (ay. 17)
Dalam bagian ini Paulus memberikan penjelasan lain melalui metafora orang bebas dan budak. Seorang yang bekerja secara sukarela (orang bebas) berhak menerima upah dari apa yang dikerjakan (ay. 17a; bdk. Rm. 4:4; 1Tim. 5:17-18), sedangkan seorang yang mengerjakan apa yang dia harus lakukan (budak) tidak berhak mengharapkan upah (ay. 17b). Kontras ini pasti sangat dipahami oleh orang-orang pada masa itu yang sangat dekat dengan urusan perbudakan.

Dalam kontras di atas Paulus memandang dirinya sebagai budak, karena pemberitaan Injil yang ia lakukan memang bukan pilihan dia sendiri. Ini merupakan keharusan ilahi dan mengandung hukuman serius jika dilalaikan (ay. 16). Secara khusus Paulus melihat dirinya sebagai seorang budak yang dipercayakan “tugas penyelenggaraan” (LAI:TB). Kata dasar oikonomia secara tepat diterjemahkan “penatalayanan” (“stewardship”) dalam beberapa versi (NASB/ESV). Tugas ini sebelumnya sudah pernah dipakai Paulus untuk menggambarkan kerasulannya (4:1). Seorang penatalayan adalah orang yang dipercaya sepenuhnya untuk mengelola sesuatu, baik uang, rumah maupun properti lainnya. Sesuai budaya waktu itu, oikonomos bertugas mewakili pemilik untuk memutuskan segala sesuatu, sama seperti Yusuf di rumah Potifar (Kej 39:4).

Ketika seorang budak menyelesaikan pekerjaannya, ia tidak boleh mengharapkan upah dari apa yang ia kerjakan. Sebaliknya, seorang budak seharusnya berkata, “kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan” (Luk. 17:10). Budak harus menempatkan kepentingan dan keuntungan tuannya sebagai tujuan dari segala sesuatu yang ia lakukan (Mat. 25:14-30). Demikian pula dengan Paulus. Ia bukanlah orang yang mencari keuntungan dari Injil, tetapi seorang hamba yang melakukan semua pekerjaan atas perintah Tuan dan di hadapan Tuan tersebut (2Kor. 2:17).

Gambaran tentang seorang budak di atas telah menimbulkan dua persoalan bagi sebagian penafsir. Mereka memahami hal ini sebagai sebuah bentuk keterpaksaan Paulus dalam memberitakan Injil. Di samping itu, gambaran ini tidak sesuai dengan keyakinan Paulus sebelumnya bahwa setiap pekerja akan mendapatkan upahnya (3:8; 9:7-14). Bagaimana kita menjawab persoalan ini?

Berkaitan dengan persoalan ke-1 kita tidak boleh melupakan bahwa sekalipun Paulus adalah seorang budak, tetapi ia adalah budak Allah. Ia bahkan dipercayakan rahasia-rahasia Allah (4:1) yang sejak kekekalan sudah direncanakan bagi kemuliaan orang-orang pilihan (2:7). Status inilah yang memberikan kebanggaan tertentu dalam diri Paulus, sehingga ia melakukan pemberitaan Injil dengan sukacita, sekaipun hal itu merupakan keharusan. Jadi, keharusan tidak selalu identik dengan keterpaksaan.

Sekarang tentang persoalan ke-2. Dalam hal ini kita perlu memahami beberapa hal berikut ini:
1. Perbedaan inti metafora yang dipakai. Di 3:5-9 Paulus memakai metafora tukang kebun atau petani untuk menunjukkan perbedaan tugas dari para pekerja dan keutamaan Tuhan sebagai pemilik ladang. Petani jelas berbeda dengan budak. Buruh tani berhak atas upah, budak tidak berhak atas hal itu.
2. Perbedaan pemberi upah. Seorang penatalayan tidak boleh menerima upah dari orang-orang yang ia atur. Ia mendapatkan upah dari tuan yang ia layani.
3. Perspektif yang teosentris. Walaupun para rasul berhak mendapatkan tunjangan hidup dari jemaat tetapi Paulus tetap memandang hal ini sebagai bentuk upah material dari Tuhan. Yang menjamin kehidupan para hamba Tuhan bukanlah jemaat, tetapi Tuhan melalui jemaat-Nya. Dengan perspektif seperti ini kita bisa melihat harmonisasi antara metafora seorang budak yang tidak berhak mendapat upah (9:17) dengan para pekerja yang berhak atas upah (9:7-14). Tidak ada yang salah seandainya para rasul menerima tunjangan jemaat, selama hal itu dipandang sebagai upah dari Tuhan.
4. “Upah” sebagai anugerah. Tuhan tidak harus meresponi pelayanan kita kepada-Nya dengan memberikan upah. Ia bahkan tidak membutuhkan pelayanan manusia (Kis. 17:24-25). Adalah sebuah keharusan bagi ciptaan untuk melayani Pencipta-Nya, karena semua diciptakan bagi kemuliaan Pencipta (Rm. 11:36; Ef. 1:11-12). Dalam kedaulatan dan kasih-Nya sendiri, Ia telah menetapkan untuk memberikan perhargaan sesuai dengan pekerjaan kita masing-masing (Mat. 25:14-30).


Konklusi: Upah Sesungguhnya Adalah Memberikan Injil Tanpa Upah (ay. 18)
Setelah memberikan penjelasan (ay. 15b-17) terhadap sikapnya yang tidak mau menerima tunjangan dari jemaat (ay. 15a), Paulus sekarang menutup paragraf di ayat 15-18 dengan sebuah pertanyaan “kalau demikian, apakah upahku?” (ay. 18a). Ayat 18 akan menunjukkan bahwa di balik ketidakmauan Paulus untuk menerima upah ia sebenarnya sudah mendapatkan upah yang lebih baik.

Upah Paulus adalah “memberitakan Injil tanpa upah” (ay. 18b). Sekilas pernyataan ini sulit dipahami. Beberapa penafsir berpendapat bahwa Paulus sedang memikirkan upah rohani eskhatologis yang akan ia terima di akhir zaman (bdk. 3:8; 9:24-26). Walaupun upah ini pasti akan diterima oleh Paulus (15:58; 2Tim. 4:6-8), namun bukan ini yang sedang dipikirkan Paulus. Sebagian bahkan melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa Paulus sengaja melampaui tuntutan firman Tuhan (rasul berhak mendapat upah) supaya di akhir zaman ia memperoleh berkat rohani yang lebih besar daripada rasul-rasul lain. Dugaan seperti ini jelas tidak dapat dibenarkan, karena ketidakmauan Paulus dalam menerima upah bukan berarti ia lebih rohani daripada rasul-rasul yang lain. Beberapa menganggap upah yang dimaksud Paulus adalah perasaan puas dalam hatinya karena sudah berhasil mencapai kehidupan yang sangat menderita demi Injil. Pandangan ini mengasumsikan Paulus sebagai seorang yang sangat anti terhadap kenyamanan duniawi. Hal ini tentu tidak sesuai dengan sikap Paulus yang mau menerima dukungan materi secara insidentil dari jemaat lain (2Kor. 11:8-9; Flp. 2:25; 4:10, 14-15). Ia juga pernah mengalami apa yang disebut dengan kelimpahan dan rasa kenyang (Flp. 4:12).

Upah yang dimaksud Paulus di ayat 18 adalah kebebasan dalam memberitaan Injil. Dengan memberitakan Injil tanpa upah dari orang-orang yang dilayani, maka Paulus sebenarnya memperoleh upah berupa kebebasan penuh dalam memberitakan Injil. Dengan menjadi budak Allah yang tanpa upah dari manusia, ia adalah orang bebas (9:19). Ia bukan budak manusia!

Kebebasan di atas memungkinkan pemberitaan Injil yang tanpa rintangan (9:12b), misalnya berupa fitnahan (1Tes. 2:3, 5). Seandainya Paulus menerima tunjangan dari jemaat Korintus maka ia pasti akan dituntut untuk memenuhi obsesi sebagian jemaat terhadap filsafat dan retorika kafir waktu itu yang menganggap Injil sebagai kebodohan (1:18-2:5). Dengan memberitakan Injil tanpa upah (freely) Paulus mendapatkan kebebasan (freedom).

Tidak hanya itu, sikap Paulus ini sekaligus menjadi pelajaran konkrit dalam pemberitaan Injil. Apa yang ia lakukan telah menjadi paradigma yang hidup dari Injil itu sendiri. Pemberitaan Injil yang gratis akan memberi kesan kuat tentang natur Injil yang juga gratis. Seorang pemberita Injil yang bebas dari tekanan orang-orang lain memberi kesan yang kuat tentang kuasa Injil yang membebaskan. Pendeknya, kita dapat merangkum semua ini dalam sebuah kalimat: “free preacher preaches freely a free gospel that sets people free!”

Bagian terakhir dari ayat 18 merupakan penjelasan terhadap frase “memberitakan Injil tanpa Fungsi bagian ini sebagai penjelas menjadi sedikit kabur karena penerjemah LAI:TB menambahkan kata “dan” di antara ayat 18b dan 18c, padahal dalam teks Yunani tidak ada kata penghubung yang dipakai. Seperti sudah dibahas sebelumnya (ay. 15), kata Yunani “katachraomai” yang dipakai di sini bisa memiliki bermakna negatif dalam arti “menyalahgunakan” (KJV) atau bermakna netral dalam arti “menggunakan sepenuhnya” (RSV/NRSV/NASB/NET/ESV). Manapun yang benar, maknanya tetap sama. Paulus tidak mau menggunakan hak sebagai rasul dan itulah yang menjadi haknya.


Aplikasi
Kesadaran bahwa setiap orang percaya harus melayani Tuhan akan mendorong kita untuk bekerja keras bagi Tuhan. Pelayanan – dalam hal ini adalah pemberitaan Injil – merupakan keharusan ilahi bagi kita yang mengandung ancaman hukuman serius jika dilalaikan. Lebih jauh daripada itu, kesadaran terhadap keharusan ilahi ini juga menolong kita untuk tidak mengharapkan penghargaan dari orang-orang yang kita layani. Kita hanya melakukan apa yang seharusnya kita lakukan. Justru ketika kita melayani dengan motivasi untuk mendapatkan sesuatu dari orang yang kita layani, maka kita telah kehilangan kebebasan untuk memberitakan Injil dengan bebas. Tidak jarang kebaikan dan penerimaan orang lain terhadap kita telah membuat kita tidak berani menyatakan kebenaran secara jelas. Amin. Soli Deo Gloria. #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 11 April 2010
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/SER-1Korintus%2009%20ayat%2015-18%20_2.pdf

No comments: