11 July 2010

Ujilah Segala Sesuatu!-4: MENGUJI SEGALA SESUATU DAN MENGHAKIMI DENGAN ADIL

UJILAH SEGALA SESUATU!-4:
MENGUJI SEGALA SESUATU DAN MENGHAKIMI DENGAN ADIL


oleh: Denny Teguh Sutandio



“Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.”
(1Tes. 5:21)

“Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia. Demikianlah kita mengenal Roh Allah: setiap roh yang mengaku, bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia, berasal dari Allah, dan setiap roh, yang tidak mengaku Yesus, tidak berasal dari Allah. Roh itu adalah roh antikristus dan tentang dia telah kamu dengar, bahwa ia akan datang dan sekarang ini ia sudah ada di dalam dunia. Kamu berasal dari Allah, anak-anakku, dan kamu telah mengalahkan nabi-nabi palsu itu; sebab Roh yang ada di dalam kamu, lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia. Mereka berasal dari dunia; sebab itu mereka berbicara tentang hal-hal duniawi dan dunia mendengarkan mereka. Kami berasal dari Allah: barangsiapa mengenal Allah, ia mendengarkan kami; barangsiapa tidak berasal dari Allah, ia tidak mendengarkan kami. Itulah tandanya Roh kebenaran dan roh yang menyesatkan.”
(1Yoh. 4:1-6)



Pada bagian keempat dari tema menguji, saya akan membahas tentang langkah selanjutnya yang kedua setelah kita menguji, yaitu menghakimi dengan adil. Setelah kita memegang teguh segala sesuatu yang telah kita uji, maka di sisi negatif, kita perlu menghakimi segala sesuatu yang tidak kita terima itu dengan adil. Mengapa saya meletakkan menghakimi sebagai langkah kedua setelah menguji? Karena Alkitab di dalam 1 Yohanes 4:1-6 sendiri mengajar kita bahwa setelah kita menguji roh-roh itu apakah berasal dari Allah atau tidak, maka dilanjutkan dengan tindakan menghakimi: jika setelah roh tertentu diuji dan didapati bahwa roh itu tidak mengakui bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia, maka roh itu jelas bukan dari Allah. Itulah sisi menghakimi setelah menguji. Lho, bukankah menghakimi itu sebenarnya merupakan hak Allah sendiri (bdk. Rm. 12:19)? Kalau kita memperhatikan ayat 19 di Roma 12, maka yang merupakan hak Allah itu bukan penghakiman, tetapi pembalasan. Konteksnya jelas yaitu pembalasan adalah hak Allah tatkala umat-Nya difitnah dan dianiaya, jadi tidak ada hubungannya dengan penghakiman. Sebelum kita terlalu banyak berprasangka hal yang ngaco tentang menghakimi, adalah bijaksana jika kita memperhatikan terlebih dahulu apa arti menghakimi sesuai dengan apa yang Tuhan mau di dalam firman-Nya, Alkitab.


Tatkala ajaran Kristen tertentu dikritik karena tidak sesuai dengan Alkitab (misalnya, percaya “Yesus” pasti sukses, kaya, sehat, dan bahkan tidak pernah digigit nyamuk), maka dengan bangga (atau sok tahu?)nya banyak orang Kristen zaman postmodern kerap kali mengutip perkataan Tuhan Yesus di dalam Matius 7:1 untuk mendukung konsepnya sendiri bahwa kita tidak boleh menghakimi. Maksud sebenarnya mengutip ayat tersebut adalah agar ajaran “Kristen” yang selama ini dianut oleh mereka tidak boleh dikritik atau ditegur, karena bagi mereka, “hamba Tuhan” yang mengajarkan ajaran tersebut adalah “benar” tanpa salah (karena si “hamba Tuhan” mengklaim “diwahyukan langsung” dari “Roh Kudus”). Sungguh sebuah motivasi busuk namun ditutupi dengan dalih ayat Alkitab (yang tentunya ditafsirkan seenaknya sendiri tanpa memperhatikan konteks yang jelas). Kembali, jika demikian, apa definisi menghakimi? Bolehkah orang Kristen menghakimi? Apakah menghakimi identik dengan tidak mengasihi? Di dalam Matius 7:1, Tuhan Yesus memang berfirman, “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.” Kata “menghakimi” dalam ayat ini dalam teks Yunaninya adalah krinete yang berasal dari akar kata krino yang berarti to judge, decide (menghakimi, memutuskan). Dalam struktur bahasa Yunani, kata ini menggunakan bentuk imperatif, present, dan aktif. Dengan kata lain, definisi dari menghakimi adalah memutuskan, menyatakan salah, atau disingkat: memvonis sesuatu/seseorang. Kalimat ini berbentuk perintah agar kita jangan menghakimi. Tetapi benarkah jika demikian, kita tidak boleh menghakimi? Jika Tuhan Yesus memerintahkan agar kita tidak boleh menghakimi, maka: Pertama, mengapa Ia sendiri seolah-olah melanggar perintah-Nya, karena di ayat 21-23, Ia sendiri menghakimi? Kedua, mengapa di Galatia 1:6-9, Rasul Paulus sendiri menghakimi para pengajar Yudaisme dan mencap mereka sebagai pemberita “injil” lain, bahkan mengutuk mereka? Ketiga, mengapa Ia sendiri melalui Rasul Yohanes memerintahkan orang-orang Kristen untuk menguji dan menghakimi roh-roh di 1 Yohanes 4:1-4? Dari sini, kita belajar bahwa banyak orang Kristen yang gembar-gembor berkata bahwa kita tidak boleh menghakimi sebenarnya tidak konsisten dengan kepercayaan mereka sendiri, karena Alkitab melawan konsep konyol mereka.


Kebiasaan banyak orang Kristen dan hamba Tuhan zaman ini adalah suka mencomot ayat yang cocok dengan pemikiran mereka tanpa memperhatikan ayat sebelum dan sesudahnya, terutama konteks yang ada. Rupa-rupanya hal tersebut yang mereka terapkan dengan mencomot Matius 7:1, lalu “menghakimi” dengan menyatakan bahwa kita tidak boleh menghakimi. Bukankah konsep mereka ini suatu kekontradiksian cara berpikir mereka? Jika demikian, bolehkah kita menghakimi? Ayat 1 TIDAK bisa dilepaskan dari ayat-ayat sesudahnya. Memang di ayat 1, Ia melarang kita menghakimi, namun larangan/perintah itu dilanjutkan dengan beberapa poin penting yang perlu diperhatikan, yaitu:
Pertama, ukuran menghakimi. Di ayat 2, Kristus sendiri berfirman, “Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.” Kata ukuran dalam ayat 2 ini dalam teks Yunaninya adalah metrō yang berarti ukuran atau takaran. Apa arti ayat ini? Saya menemukan dua arti:
Pertama, ukuran menghakimi berbicara mengenai keadilan dalam menghakimi. Inter-Varsity Press (IVP) Bible Background Commentary: New Testament memberikan latar belakang dari ayat ini. Keadilan dalam menghakimi ditekankan dalam Perjanjian Lama, yaitu Amsal 19:17. Bahkan, kesaksian palsu akan dihukum (bdk. Ul. 19:18-21). Tuhan sendiri pun tidak suka bahkan melawan para hakim yang tidak menghakimi dengan adil (Kel. 23:6-8; Ul. 16:18-20). Kristus sendiri pun berkata kepada orang-orang Yahudi di Bait Allah di dalam Yohanes 7:24, “Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil."” Kata “adil” dalam Yohanes 7:24 ini dalam teks Yunaninya dikaian yang berasal dari dikaios yang bisa berarti correct (tepat/benar), righteous (pada tempatnya). American Standard Version (ASV), International Standard Version (ISV), King James Version (KJV), New American Standard Bible (NASB), New King James Version (NKJV), dan Young’s Literal Translation (YLT) menerjemahkannya righteous, sedangkan English Standard Version (ESV) dan New International Version (NIV) menerjemahkannya right (adil, benar). Di sini, Kristus menunjukkan bahwa menghakimi dengan adil berarti menghakimi dengan benar dan adil, yaitu bukan berdasarkan pada apa yang nampak/dapat dilihat oleh mata jasmani. Bagaimana dengan kita? Sering kali kita menghakimi orang lain hanya berdasarkan apa yang dia katakan pada suatu kesempatan, namun tidak mendengarkan perkataannya pada kesempatan lain. Atau mungkin saja kita menghakimi orang lain bukan karena kita mendengarkan langsung perkataan orang lain tersebut, namun kita mendengarkan perkataan orang lain dari teman kita (ada unsur penafsiran dari teman kita). Itu artinya kita menghakimi orang lain dengan tidak adil. Biarlah kita menghakimi secara adil dengan mendengar perkataan dan membaca buku dari orang yang kita hakimi secara komprehensif dan langsung dari sumber utamanya.

Kedua, ukuran menghakimi berbicara mengenai teguran-Nya agar kita yang menghakimi jangan sombong. Tuhan Yesus TIDAK melarang orang Kristen menghakimi, namun Ia juga mengingatkan bahwa ukuran yang kita pakai untuk menghakimi akan dikenakan juga kepada kita tatkala orang lain menghakimi kita. Dengan kata lain, ketika kita menghakimi orang lain dengan ukuran tertentu, jangan lupa bahwa ukuran yang kita pakai akan dipakai oleh orang lain untuk menghakimi kita. Misalnya, jika kita menghakimi teman kita bahwa ia telah berbuat salah (misalnya, karena ia menggosip), jangan lupa, suatu saat ketika teman kita menjumpai kita sedang menggosip, teman kita pun akan menghakimi dengan ukuran yang telah kita kenakan kepadanya. Dari ayat ini, sebenarnya Ia hendak mengingatkan kita bahwa ketika kita menghakimi, janganlah kita menyombongkan diri dan menganggap bahwa kita adalah satu-satunya orang yang paling berotoritas dan kita tidak bisa dihakimi balik oleh orang lain. Tuhan terus mengingatkan kita akan pentingnya kerendahan hati.


Kedua, menghakimi diri sendiri (ay. 3-5). Selain ukuran menghakimi, Kristus sendiri mengingatkan kita bahwa jangan menghakimi orang lain sebelum kita menghakimi diri sendiri. Mengapa kita harus menghakimi diri sendiri terlebih dahulu?
Pertama, sebagai pembeda dari para ahli Taurat. Ketiga ayat ini ditujukan kepada Tuhan Yesus untuk menegur para ahli Taurat. The Bible Exposition Commentary: New Testament menjelaskan, “The Pharisees judged and criticized others to make themselves look good (Luke 18:9-14). But Christians should judge themselves so that they can help others look good. There is a difference!” (=Orang-orang Farisi menghakimi dan mengkritik orang lain untuk membuat diri mereka kelihatan baik (Luk. 18:9-14). Tetapi orang-orang Kristen seharusnya mengkritik diri mereka sendiri, sehingga mereka dapat menolong orang lain kelihatan baik. Inilah perbedaannya!) Tuhan Yesus sendiri berkali-kali menghakimi para ahli Taurat akan kemunafikan mereka yang suka menghakimi dan menuntut orang lain, namun mereka sendiri tidak menjalankan apa yang mereka tuntut/hakimi. Ketika beberapa orang Farisi dan ahli Taurat bertanya kepada Yesus, mengapa para murid-Nya melanggar adat istiadat Yahudi, Ia langsung menghardik mereka dengan memaparkan kepada mereka fakta bahwa mereka sendiri melanggar hukum Allah (Mat. 15:3-6) Bahkan Ia sendiri mengatakan bahwa mereka yang suka menghakimi dan menuntut orang lain namun tidak pernah menjalankan apa yang mereka tuntut sebagai orang buta menuntun orang buta (Mat. 15:14). Dengan kata lain, kita sebagai orang Kristen harus berbeda dari sikap para ahli Taurat dalam menghakimi. Jika para ahli Taurat menghakimi orang lain, supaya mereka dipandang saleh oleh orang lain, maka orang Kristen menghakimi dirinya sendiri terlebih dahulu, supaya orang lain dipandang baik/saleh karena penghakiman kita pada orang lain kelak. Di sini, kita melihat betapa agung dan tingginya hukum Kristus di atas hukum-hukum religius dan dunia apa pun.

Kedua, sebagai sarana saling bertumbuh di dalam iman. The Bible Exposition Commentary: New Testament menjelaskan alasannya, “The purpose of self-judgment is to prepare us to serve others. Christians are obligated to help each other grow in grace. When we do not judge ourselves, we not only hurt ourselves, but we also hurt those to whom we could minister.” (Tujuan dari menghakimi diri sendiri adalah untuk mempersiapkan kita untuk melayani orang lain. Orang-orang Kristen diwajibkan untuk menolong satu sama lain untuk bertumbuh dalam anugerah. Ketika kita tidak menghakimi diri kita sendiri, kita tidak hanya melukai diri kita, tetapi kita juga melukai mereka yang kita layani.) Dengan kata lain, ketika menghakimi diri kita sendiri, kita sedang mengoreksi diri kita sendiri, “Benarkah apa yang aku katakan untuk menghakimi orang lain sudah kukerjakan/kuterapkan pada hidupku sendiri”? Misalnya, kita menghakimi orang lain bahwa orang Kristen tidak boleh menggosip, bagaimana dengan kita terlebih dahulu? Apakah kita juga seorang penggosip yang tidak pernah bertobat namun gemar menghakimi orang lain? Setelah mengoreksi diri kita, maka sebagai sarana pertumbuhan dalam iman, kita pun dituntut untuk mengoreksi orang lain.


Jadi, bolehkah kita menghakimi? Boleh, asalkan kita menghakimi dengan: adil, motivasi tulus, dan murni (menghakimi diri sendiri terlebih dahulu). Biarlah Roh Kudus memakai kita untuk dapat menghakimi bukan untuk membuat diri kita sombong, namun benar-benar memiliki motivasi tulus dan murni agar saudara seiman kita bisa bertumbuh di dalam anugerah Allah di dalam firman-Nya.

No comments: