04 January 2009

Roma 12:10-12: KASIH SEJATI-2: Kasih dalam Persekutuan-1

Seri Eksposisi Surat Roma :
Aplikasi Doktrin-5


Kasih Sejati-2: Kasih dalam Persekutuan-1

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 12:10-12.


Setelah menjelaskan konsep kasih yang tulus dan benar, ayat berikutnya kita akan meneliti beragam pengajaran kasih yang diimplikasikan di dalam persekutuan.

Di ayat 10-12, Paulus mengemukakan beberapa konsep tentang kasih di dalam persekutuan, yaitu:
Pertama, kasih persaudaraan. Di ayat 10, Paulus mengungkapkan, “Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.” Mengasihi sebagai saudara di dalam terjemahan King James Version (KJV) dan New International Version (NIV) adalah brotherly love (kasih persaudaraan) Kata Yunani yang dipakai di sini adalah Philadelphia yang bisa diterjemahkan love of the brethren. Kata brethren di sini bukan persaudaraan secara genetik, tetapi secara rohani. Bahasa Inggris membedakan dua macam saudara, yaitu saudara kandung (brother, sister) dan saudara seiman/secara rohani (brethren). Oleh karena itu, kata brethren di sini berarti saudara seiman. Maka brotherly love berarti kasih saudara seiman. Kasih saudara seiman ini ditekankan Paulus bukanlah kasih yang egois, tetapi kasih yang mutual/saling melengkapi. Kata “saling” di dalam terjemahan LAI ini menandakan adanya hubungan intim yang saling melengkapi antara kasih saudara seiman. Bukan hanya saling mengasihi, Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear (2003) memberikan pengertian tambahan terjemahan bahasa Indonesia dari teks Yunani, yaitu, “yang mengasihi dengan mesra.” (hlm. 864) Struktur bahasa Yunani yang dipakai di sini menggunakan bentuk jamak. Jadi, di dalam kasih persaudaraan, ada dua hal yang perlu kita perhatikan, yaitu: kasih yang saling melengkapi dan kasih yang mesra. Dunia postmodern telah menyalahgunakan makna kasih, sehingga kasih tidak memiliki hakekat sejati, karena kasih tersebut dilepaskan dari Kebenaran. Kekristenan mengajar kasih di dalam persekutuan adalah kasih yang saling melengkapi. Kasih bukan hanya kita mau diperhatikan orang lain, tetapi kasih bersifat dua arah, yaitu kita memperhatikan orang lain dan diperhatikan orang lain. Dunia terus menekankan konsep bagaimana kita memperhatikan orang lain. Lalu apa bedanya dengan Kekristenan? Kekristenan menekankan konsep memperhatikan orang lain dengan prinsip saling mengasihi atau kasih yang melengkapi. Bedanya, kalau dunia menekankan bagaimana diri terus “bersumbangsih” bagi orang lain dengan banyak motivasi yang tidak benar (misalnya, ingin menonjolkan diri hebat dengan presuposisi bahwa tanpa dirinya, orang lain tidak bisa apa-apa), sedangkan Kekristenan mengajarkan bahwa kita memperhatikan orang lain dan orang lain itu pun memerhatikan kita. Tentu kita tidak mengasihi orang lain dengan motivasi agar diperhatikan orang lain, tetapi semangat saling ini harus dikembangkan di dalam persekutuan gerejawi. Berapa banyak orang Kristen suka memperhatikan kesedihan orang lain? Hal ini benar, kita harus memperhatikan kesedihan orang lain, tetapi bagaimana kita yang diperhatikan? Apa reaksi kita? Apakah kita yang telah menerima kebaikan orang lain tidak mau menyalurkannya kepada orang lainnya lagi di dalam jemaat Tuhan dan/atau kepada orang yang menunjukkan kebaikannya kepada kita? Jemaat Tuhan harus dibina bagaimana mempedulikan orang lain dan mengasihi mereka sebagai jemaat Tuhan. Saya pribadi menyaksikan sendiri bagaimana sering kali jemaat Kristen kurang memperhatikan jemaat lainnya. Contoh, di dalam hal sepele, ulang tahun. Berapa banyak jemaat Kristen yang beribadah di gereja yang mencantumkan hari ulang tahun jemaatnya di dalam warta benar-benar memperhatikan ulang tahun tersebut dan memberikan ucapan selamat kepada jemaat yang kita kenal? Sering kali warta gereja itu hanya sebagai pajangan sementara dan tidak diperhatikan, sehingga mereka masa bodoh alias cuek dengan jemaat lain. Bagaimana juga dengan jemaat yang sedang sakit, pernahkah jemaat lain mendoakan jemaat tersebut? Percuma saja gereja terlalu menekankan pengajaran doktrinal yang kuat, tetapi melupakan persekutuan antar jemaat Tuhan. Gereja harus seimbang. Selain menekankan pengajaran doktrinal, penginjilan, gereja juga harus mendidik jemaatnya untuk saling bersekutu. Jangan berat sebelah.

Bagaimana kita mewujudnyatakan kasih yang saling melengkapi ini? Paulus mengatakan bahwa kita bisa mewujudnyatakan kasih yang saling melengkapi ini dengan saling mendahului dalam memberi hormat (lebih menghormati orang lain ketimbang menghormati diri). Terjemahan LAI bisa disalah mengerti. Seolah-olah kata “mendahului” itu berarti kita harus cepat-cepatan memberi penghormatan. Itu bukan arti sebenarnya. Lalu, apa arti sebenarnya? Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear (2003) mengartikan bagian ini dari bahasa Yunani, “dalam penghormatan/tentang hormat satu sama lain hendaklah mendahului/lebih menghormati (dari dirinya).” NIV menerjemahkannya, “Honor one another above yourselves.” (terjemahan bebas: hormati satu sama lain di atas/lebih dari dirimu.) Contemporary English Version (CEV) menerjemahkannya, “honor others more than you do yourself.” (=hormati orang lain lebih dari apa yang kamu lakukan untuk diri sendiri) Di sini, dua terjemahan Inggris memberikan kita kekayaan arti, yaitu kasih yang saling melengkapi diwujudnyatakan dengan saling memberi hormat lebih daripada menghormati diri sendiri. Bukankah Gerakan Zaman Baru menekankan pentingnya kehebatan dan kekuatan potensi diri yang harus “dihormati” dan “dijunjung tinggi”? Alkitab melawan konsep ini dengan mengajar bahwa jangan pernah menghormati diri, tetapi hormati orang lain. Bagaimana caranya? NIV Spirit of the Reformation Study Bible memberikan ayat referensi bagian ini yaitu di Filipi 2:3, “dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri;” Seseorang bisa lebih menghormati orang lain ketika orang tersebut tidak mencari kepentingan diri sendiri dan puji-pujian yang sia-sia, tetapi rendah hati seseorang menganggap orang lain lebih utama dari dirinya sendiri. Di sana, Paulus mengemukakan dua prinsip di dalam kasih yang saling menghormati, yaitu: pertama, tidak egois. Kasih yang saling menghormati tentu tidak boleh egois. Ini bukan masalah siapa yang cepat memberi hormat kepada orang lain. Tetapi ini berbicara mengenai ketidakegoisan kita. Ketidakegoisan kita itu ditandai dengan ketidakmauan kita mencari pengakuan kehebatan diri dari orang lain. Seorang yang terus mencari pengakuan kehebatan diri dari orang lain selain sombong, orang itu egois. Orang itu maunya orang lain mengenal kehebatannya dan mengakui dia itu superior ketimbang dia. Orang seperti ini tidak bisa dipakai Tuhan, karena Tuhan tidak mau para pelayan-Nya egois dan mengagungkan kehebatan diri. Bagaimana dengan kita? Berapa banyak orang Kristen yang hari ini tidak egois lagi di dalam persekutuan jemaat Tuhan? Berapa banyak kita yang tidak mencari pengakuan kehebatan diri dari orang lain? Mari kita introspeksi diri masing-masing. Kedua, kasih yang saling menghormati adalah kasih yang rendah hati. Pdt. Dr. Stephen Tong mengatakan bahwa rendah hati itu bukan “enggih”isme. Maksudnya, rendah hati bukan suatu produk kebudayaan yang menghormati orang lain atau suatu kesopanan, dll. Tetapi rendah hati adalah suatu sikap tidak menonjolkan diri dan selanjutnya, kita menganggap orang lain lebih tinggi/hebat dari kita. Di dalam Filipi 2:3 ini, Paulus mengatakan bahwa kita hendaklah menganggap orang lain lebih utama dari kita. Ini memang sulit. Bagaimana kita yang hidup di zaman postmodern masih mau mengakui kelebihan orang lain? Bukankah kita sering kali justru mencari kelemahan orang lain? Ini bukan berarti kita tidak boleh menegur orang lain. Tidak. Kita tetap boleh menegur kesalahan orang lain, tetapi ketika ada orang lain yang lebih agung atau utama dari kita, apakah kita tidak mau belajar dari mereka? Di dalam pelayanan, jangan pernah ada iri hati di kalangan para hamba Tuhan. Jika ada hamba Tuhan yang berkhotbah lebih bagus dari dirinya, biarlah yang kurang bisa berkhotbah meneladani hamba Tuhan yang berkhotbah bagus, bukan malahan menjegal hamba Tuhan yang pintar/bagus berkhotbah agar keluar dari gereja yang digembalakannya. Hari ini, jika ada hamba Tuhan (gembala sidang) yang masih suka menjegal hamba Tuhan lain yang lebih pintar atau bertalenta darinya, bertobatlah! Saya sendiri bukan sekadar berteori, tetapi terus berusaha mempraktikkannya. Sebagai seorang jemaat gereja dan salah satu pelayan Tuhan di Momentum Christian Literature, Surabaya, saya banyak belajar dari rekan-rekan satu pelayanan khususnya mereka yang memiliki karakter yang agung, seperti kerendahan hati dan semangat kerja yang giat. Mereka adalah orang-orang yang saya kagumi dan berusaha saya teladani. Tidak ada ruginya kalau kita iri kepada orang yang lebih hebat dari kita. Jangan pernah iri! Pdt. Dr. Stephen Tong mengatakan bahwa kita tidak boleh iri kepada orang lain, tetapi irilah (=teladanilah) kepada cara kerja yang mengakibatkan hasil orang lain itu bisa sukses.


Kedua, kasih yang berkobar-kobar. Di dalam persekutuan jemaat Tuhan, selain kasih persaudaraan, juga diperlukan kasih yang berkobar-kobar. Di dalam ayat 11, Paulus mengajar, “Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan.” “Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor” seharusnya lebih tepat dan jelas diterjemahkan, “jangan malas” (Hasan Sutanto, 2003, hlm. 864). Di dalam ayat ini, Paulus memerintahkan kita untuk tidak malas, lalu biarlah kita menyala-nyala di dalam melayani Tuhan “dengan semangat dari Roh Allah” (Bahasa Indonesia Sehari-hari). Di sini, Paulus mengaitkan kasih dengan semangat yang berkobar-kobar. Kasih sejati bukanlah kasih yang dingin, kaku, statis, dll. Tetapi kasih sejati adalah kasih yang membakar (consuming love). Artinya, di dalam kasih sejati, ada suatu semangat mengasihi Allah. Semangat mengasihi Allah ini ditunjukkan dengan semangat kita di dalam melayani Tuhan baik memberitakan Injil, mengajar Firman, maupun melayani di gereja sebagai kolektan atau usher/dll. Ada suatu semangat sukacita di dalam melayani Tuhan. Kekristenan diterpa oleh dua arus yang ekstrim, yaitu ada yang terlalu menekankan pengajaran doktrinal, tradisi gerejawi, dll, sehingga mengabaikan semangat yang berkobar-kobar dalam melayani Tuhan, di sisi lain ada yang terlalu menekankan pentingnya semangat yang berkobar-kobar dalam melayani Tuhan tetapi mengabaikan doktrin. Dua hal yang tidak seimbang ini harus dibereskan. Tuhan menginginkan adanya kasih yang berkobar-kobar/menyala-nyala di dalam melayani-Nya. Kalau kita melihat di Alkitab, dari sejak zaman para nabi dan rasul di PL dan PB, mereka berkobar-kobar melayani Tuhan, bahkan rela mati bagi Tuhan. Itu yang disebut kasih yang berkobar-kobar. Entah mengapa beberapa jemaat gereja Protestan arus utama hari-hari ini kurang memiliki api semangat pelayanan ini? Apakah karena tradisi gereja sudah membelenggu mereka, sehingga api semangat pelayanan itu hilang atau padam? Biarlah kita mengintrospeksi diri masing-masing. Sudahkah kita melayani Tuhan dengan berkobar-kobar? Atau sebaliknya, kita melayani Tuhan setengah-setengah sambil mengomel?
Kasih yang berkobar-kobar bukan hanya berkobar-kobar tanpa arti, tetapi Paulus menambahkan “dengan semangat dari Roh Allah.” (BIS) Bahasa Indonesia Sehari-hari menerjemahkan pernyataan tambahan ini tentu memiliki makna. Kasih yang berkobar-kobar tanpa Roh Allah adalah api semangat pelayanan yang notabene antroposentris (berpusat pada manusia), karena mereka tidak ada bedanya dengan penjual obat di toko atau penjual jamu yang juga sama-sama bersemangat menjual barang dagangannya. Kasih yang berkobar-kobar harus dengan semangat dari Roh Allah, mengapa? Karena Roh Allah adalah Roh yang memimpin umat-Nya kepada kebenaran di dalam Firman. Sehingga ketika Roh Allah memimpin umat-Nya melayani Tuhan dengan berkobar-kobar, Ia memimpin kita dengan Firman, sehingga ada batas-batasnya. Roh dan Firman bersama-sama membakar semangat kita melayani Tuhan, sehingga apa yang kita lakukan bagi Tuhan sungguh-sungguh memuliakan Tuhan dan bersaksi bagi nama-Nya. Itulah bedanya api semangat pelayanan yang murni yang dari Roh Kudus dengan api semangat pelayanan yang berkobar-kobar tanpa Roh Kudus. Sekilas mirip, tetapi kita bisa membedakannya dari esensinya yaitu apakah Roh dan Firman memimpin api semangat pelayanan mereka atau tidak. Jika tidak, berarti mereka giat bagi Tuhan dengan kemampuan diri mereka sendiri (persis seperti yang dilakukan Saulus dulu ketika menganiaya jemaat Tuhan). Saya pribadi mengalami dan melihat perbedaan ini. Anak Tuhan sejati yang giat melayani Tuhan dengan semangat dari Roh Kudus memiliki api semangat pelayanan yang tetap (tidak surut). Mereka siap melayani Tuhan, misalnya membagikan brosur KKR (yang bermutu) kepada teman-temannya, menginjili rekan-rekan kantor/kampusnya, dll. Mereka giat, tetapi tetap ada batasnya, yaitu etika yang memuliakan Tuhan, misalnya di dalam perkataan, perbuatan, dll. Sedangkan mereka yang katanya berkobar-kobar melayani Tuhan tanpa Roh Kudus, mereka juga kelihatannya aktif melayani Tuhan misalnya membagi brosur KKR, penginjilan, dll, tetapi mereka kadang-kadang melanggar batas etika, misalnya dengan memaksa orang lain untuk ke gerejanya (dengan dalih “penginjilan”) karena gerejanya itu enak, dll, atau dengan menyelipkan brosur KKR di wiper mobil, dll. Meskipun kelihatan sepele, itu semua merupakan tindakan kurang etis. Menyelipkan brosur KKR di wiper mobil persis seperti seorang sales bank/produk tertentu menyelipkan brosur bank/barang dagangannya di wiper mobil yang sering kita abaikan. Itu yang saya bilang kurang etis, menyamakan brosur berita penginjilan dengan brosur-brosur sekuler. Biarlah kita mengintrospeksi diri kita, sudahkah kita melayani Tuhan berkobar-kobar dengan semangat dari Roh Kudus? Ataukah kita melayani Tuhan berkobar-kobar tanpa Roh? Ujilah diri kita masing-masing.


Ketiga, kasih yang berpengharapan. Kasih bukan hanya saling melengkapi, berkobar-kobar, tetapi juga kasih itu berpengharapan. Pengharapan itulah yang dijabarkan Paulus di ayat 12, “Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa!” Dari ayat ini, kita belajar tentang kasih yang berpengharapan.
Pertama, kasih yang berpengharapan adalah kasih yang menantikan sukacita pengharapan. Di dalam persekutuan jemaat Tuhan, kita tentu memiliki suatu pengharapan, misalnya pengharapan pertumbuhan iman, penginjilan, dll. Kita bisa sampai pada pengharapan itu tatkala kita bersukacita dan terus maju di dalam proses. Suatu pengharapan bisa kita capai bukan dengan sungut-sungut, tetapi dengan sukacita sambil berharap pada pengharapan yang berpusat pada Allah dan kehendak-Nya. Mengapa kita bisa bersukacita? Karena kita percaya bahwa pengharapan yang dibangun sungguh-sungguh di atas kehendak Allah mengandung sesuatu yang pasti baik bagi kita. Pertanyaannya adalah sudahkah kita bersukacita di dalam pengharapan di dalam persekutuan?
Kedua, sabar dalam kesesakan. Pengharapan yang kita tujukan yang tentu memuliakan Tuhan bukanlah tanpa halangan, melainkan justru banyak halangan. Di saat itulah, pengharapan dan iman kita diuji. Apakah kita tetap berharap pada Allah untuk mencapai pengharapan yang kita tuju sesuai dengan rencana-Nya atau kita malah mundur? Misalnya, di dalam persekutuan jemaat Tuhan, kita memiliki pengharapan akan pertumbuhan iman, tetapi ada kendala yaitu beberapa jemaat tidak mau bertumbuh imannya. Lalu, apa reaksi kita? Cuek? Tidak. Kita harus membantu meningkatkan semangat jemaat tersebut agar mereka mau bersama-sama bertumbuh di dalam iman yang benar. Di sini, kembali, saya mengaitkan kasih yang berpengharapan dengan kasih yang saling melengkapi dan kasih yang saling bertumbuh. Tuhan mau kita sebagai anak-anak-Nya kuat dan sabar menghadapi tantangan hidup di dalam persekutuan jemaat Tuhan.
Ketiga, bertekun di dalam doa. Segala kesesakan dan halangan di poin kedua tadi dapat kita atasi dengan kita berdoa. Doa adalah salah satu sarana kita memusatkan perhatian kita bukan pada apa yang kita mau, tetapi pada apa yang Tuhan kehendaki di dalam pengharapan kita. Ketika kita menghadapi halangan misalnya seperti yang saya contohkan di poin kedua, yaitu beberapa jemaat tidak mau bertumbuh imannya, kita bisa mendoakan orang tersebut secara pribadi atau secara kelompok, sehingga jemaat tersebut dikuatkan imannya dan dipacu semangatnya untuk bertumbuh di dalam iman. Itulah pentingnya persekutuan tubuh Kristus yang saling menguatkan dan mendoakan. Sudahkah kita mendoakan jemaat lain yang lemah iman?


Dari ketiga ayat ini, kita telah belajar 3 konsep tentang kasih di dalam persekutuan, yaitu kasih yang saling melengkapi, berkobar-kobar, dan berpengharapan. Bagaimana dengan kita? Sudahkah 3 konsep kasih tersebut telah kita laksanakan? Maukah kita berkomitmen menjalankan ketiga konsep kasih ini di dalam kerangka kebenaran Allah? Amin. Soli Deo Gloria.

No comments: