Fokus Iman-6
Iman yang Berkemenangan-1
oleh : Denny Teguh Sutandio
Nats : Roma 4:18-22.
Setelah Paulus menjelaskan lebih dalam lagi bahwa anak-anak Tuhan dibenarkan bukan hanya dibenarkan melalui iman tetapi iman yang dianugerahkan dari Allah, maka ia melanjutkan penjelasannya tentang pengharapan iman ketika masalah datang dengan mengambil contoh Abraham.
Pada ayat 18a, Paulus mengatakan, “Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya,” King James Version menerjemahkan, “Who against hope believed in hope,” International Standard Version (ISV) menerjemahkan, “Hoping in spite of hopeless circumstances,” Dari ayat ini, Paulus ingin menjelaskan bahwa Abraham tidak memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan sehingga ia dapat dibenarkan di hadapan Allah atau dengan kata lain ia tak memiliki dasar untuk berharap apapun, tetapi karena imannya (yang dianugerahkan oleh Allah), Abraham memiliki pengharapan (bisa diterjemahkan iman/faith) yang melampaui segala situasi yang dihadapinya. Hal ini sesuai dengan terjemahan ISV yang mengatakan bahwa Abraham berharap kepada janji Allah meskipun di dalam kondisi/keadaan yang tidak berpengharapan. Dengan kata lain, iman sejati pada Allah berani menerobos segala ketidakmungkinan manusia, karena Allah kita adalah Allah yang Mahakuasa, tidak terbatas dan Berdaulat yang sanggup melampaui apa yang dipikirkan oleh manusia yang terbatas. Kalau kita melihat sebentar riwayat Paulus, hal serupa dapat kita jumpai. Ketika Paulus melayani Tuhan di tempat yang sulit sekalipun, imannya yang diteguhkan Tuhan sanggup menerobos segala kesulitan manusia. Apa yang dipercaya oleh Abraham ? Ayat 18b menjelaskan, “ia akan menjadi bapa banyak bangsa, menurut yang telah difirmankan: "Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu."” Iman sejati yang dimiliki Abraham mengakibatkan dia disebut bapa orang beriman. Tetapi seringkali iman yang banyak orang “Kristen” miliki masih jauh dari apa yang Abraham teladankan bagi kita. Artinya, banyak orang “Kristen” beriman kepada “Tuhan” karena ingin mendapatkan sesuatu, padahal Abraham ketika beriman di dalam Tuhan tidak ingin mendapatkan apapun, bahkan rela mengorbankan apapun (termasuk anaknya sendiri, Ishak) bagi Tuhan. Berarti, iman sejati bukan meminta apapun kepada Tuhan tetapi menyerahkan apapun untuk kemuliaan Tuhan. Kalau iman berarti berani berkorban bagi Tuhan, apakah kita akan rugi ? TIDAK. Tidak berarti pernyataan ini mengajarkan bahwa uang kita seluruhnya diberikan bagi pekerjaan Tuhan, sehingga kita tidak boleh makan, hidup, tinggal, dll. Itu pernyataan yang ekstrim. Yang saya maksudkan adalah kita berani menyerahkan apapun yang menjadi kesenangan kita bagi pekerjaan Tuhan. Kalau kita memiliki uang banyak, kita rela memberikan persepuluhan dan persembahan bagi pekerjaan Tuhan. Ketika kita berani memberi, percayalah, kita tidak akan rugi, tetapi untung. Untung ini jangan dilihat dari sudut materi, tetapi untung/kaya secara rohani, yaitu di dalam kebajikan dan pengenalan akan Allah.
Kalau di ayat 18, Paulus menyebut Abraham tetap berharap meskipun di dalam kondisi yang tidak berpengharapan, maka di ayat 19, Paulus menjelaskan kondisi yang tidak berpengharapan (secara manusiawi) yang dihadapi oleh Abraham, “Imannya tidak menjadi lemah, walaupun ia mengetahui, bahwa tubuhnya sudah sangat lemah, karena usianya telah kira-kira seratus tahun, dan bahwa rahim Sara telah tertutup.” Ayat ini merujuk kepada kisah Abraham di dalam Kejadian 17:17. Mari kita menyimak kisah ini secara lengkap. Pada Kejadian 17:16, Allah berjanji akan memberikan seorang anak laki-laki kepada Abraham dan di ayat 17-18, Abraham meresponinya dengan tertawa, berkata dalam hati sambil meragukan Allah, lalu berkata bahwa biarlah Ismael (yang telah lebih dulu lahir ; bandingkan Kejadian 16) diperkenan di hadapan Allah. Tetapi di ayat 19 dan 21, Allah meresponi pertanyaan Abraham dengan mengikat perjanjian-Nya kepada Ishak dan keturunannya. Seringkali di dalam kehidupan keKristenan, ketika Allah berkata sesuatu, kita seringkali meresponinya dengan tidak percaya, baru setelah Ia menegaskan janji-Nya, kita baru mempercayai janji Allah. Hal seperti inilah yang dihadapi Abraham. Ketika Allah baru menegaskan janji-Nya melalui Ishak, maka Abraham baru percaya. Setelah itu, Abraham taat (baca pasal-pasal selanjutnya). Dengan kata lain, Abraham dapat beriman (dan orang-orang pilihan Allah dapat beriman) setelah Allah menyatakan diri-Nya. Inilah kaitan antara wahyu Allah dan iman. Wahyu Allah kepada manusia (secara khusus, wahyu khusus di dalam Kristus dan Alkitab) digenapkan oleh Roh Kudus di dalam hati umat pilihan sehingga mereka dapat beriman. Iman tanpa adanya wahyu Allah sejati adalah iman yang palsu. Iman inilah yang nantinya mengakibatkan umat pilihan berani menghadapi marabahaya, karena mereka percaya di dalam Allah yang menyelamatkan mereka meskipun mereka harus menanggung banyak kesulitan, aniaya dan penderitaan. Hal ini diungkapkan oleh Paulus di dalam ayat 20, “Tetapi terhadap janji Allah ia tidak bimbang karena ketidakpercayaan, malah ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah,” Justru di dalam kelemahan, penderitaan, masalah, dll, ada kuasa Allah di situ yang menguatkan kita dan tentunya iman kita menjadi kuat. Paulus juga mengalami pengalaman yang sama ketika menderita suatu penyakit dan ia telah berdoa 3x kepada Tuhan, maka Tuhan menjawab, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” (2 Korintus 12:9) Dan lebih dalam lagi, Paulus sendiri meresponi jawaban Tuhan dengan mengajar, “Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.” Sama seperti Abraham, Paulus juga mengalami hal yang sama, ketika ada masalah menimpa, Paulus tidak bimbang akan penyertaan dan kasih setia Allah, tetapi justru imannya diperkuat dan semakin memuliakan Allah. Bagaimana dengan kita ? Ketika kita mengalami masalah yang berat sekalipun, seringkali kita melupakan Allah dan mempertanyakan Allah yang baik yang mengizinkan kejahatan. Ketika kita berada di dalam masalah yang berat sekalipun, kita tidak seharusnya melupakan-Nya, tetapi justru semakin mendekat kepada-Nya dan beriman serta memuliakan Allah, karena kita percaya di dalam Allah yang sanggup mengubah masalah dan penderitaan menjadi sukacita yang mendidik dan mengajar kita tentang arti mengikut-Nya. Hal ini memang tidak masuk akal di dalam pikiran manusia, tetapi masuk akal di dalam pikiran Allah, karena pikiran-Nya tidak sama dengan pikiran kita yang terbatas. Dan lagi, Ia menginginkan anak-anak-Nya memiliki pikiran-Nya di dalam Alkitab, sehingga di dalam menghadapi segala masalah, kita dapat berharap dan beriman hanya di dalam Dia yang memberi kekuatan kepada kita, seperti yang juga diajarkan Paulus di dalam Filipi 4:13, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.”
Di ayat 20, Paulus menyebut Abraham memuliakan Allah di dalam kondisi yang tidak berpengharapan, lalu pertanyaannya memuliakan Allah dengan alasan apa ? Banyak orang “Kristen” selalu diajar untuk memuliakan Allah, tetapi tanpa alasan dan dasar yang tepat. Oleh karena itu, di ayat 21, Paulus melanjutkan, “dengan penuh keyakinan, bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan.” KJV menerjemahkan, “And being fully persuaded that, what he had promised, he was able also to perform.” Kata “keyakinan” atau persuaded dalam bahasa asli (Yunani)nya adalah plērophoreō yang berarti completely assure (sepenuhnya dijamin). Jadi, Abraham dapat memuliakan Allah dengan iman dan keyakinan yang penuh bahwa Allah mampu melakukan apa yang telah Ia janjikan. Dengan kata lain, Abraham memuliakan Allah karena ia percaya kepada/di dalam Allah yang Mahakuasa. Geneva Bible Translation Notes menambahkan keterangan pada ayat ini, “A description of true faith.” Di sini, Paulus ingin mengajarkan tentang kaitan antara percaya/iman dengan memuliakan Allah dan keMahakuasaan Allah. Iman yang adalah anugerah Allah membuat orang-orang pilihan-Nya dapat memuliakan Allah dan semakin hari semakin beriman lagi di dalam keMahakuasaan Allah. Tidak berarti iman ini adalah iman yang buta seperti yang banyak didengungkan oleh banyak pemimpin gereja kontemporer bahwa iman dapat mengubah segala sesuatu. Tetapi iman di dalam Allah yang Mahakuasa adalah suatu sikap penyerahan diri secara total kepada rencana dan kehendak-Nya yang berdaulat. Pdt. Dr. Stephen Tong mengajarkan bahwa keMahakuasaan Allah berkaitan erat dengan kedaulatan Allah. Oleh karena itu, beriman di dalam keMahakuasaan-Nya juga berkaitan erat dengan iman di dalam kedaulatan Allah yang sanggup melakukan apapun sesuai dengan rencana, natur dan kehendak-Nya. Puji Tuhan, kita memiliki Allah yang dapat diandalkan. Ketika dunia kita sedang menawarkan janji-janji palsu yang belum tentu dapat ditepati, maka kita memiliki Pribadi Allah yang 100% dapat diandalkan karena Ia adalah setia, adil, dan jujur. Dari mana kita mendapatkan pernyataan ini ? Dari pemenuhan janji-janji Allah bagi umat-Nya, sejak zaman Adam dan Hawa sampai sekarang, janji-janji-Nya pasti selalu ditepati-Nya karena di dalam Allah tidak ada dusta. Di dalam janji-janji-Nya inilah, kita memiliki iman yang berkemenangan (victorius faith). Artinya, iman kita bukan iman yang dikondisikan, tetapi iman yang melampaui kondisi natural manusia karena iman kita didasarkan pada Allah yang tidak terbatas.
Karena iman yang berkemenangan inilah, maka Abraham dibenarkan di hadapan Allah (ayat 22). Kita juga dapat memiliki iman yang berkemenangan seperti Abraham ketika kita tidak lagi berharap kepada manusia apalagi diri sendiri yang terbatas, tetapi hanya di dalam dan kepada Allah yang tidak terbatas, Mahakuasa dan berdaulat yang memberi kekuatan dan menolong kita melewati bayang-bayang maut, seperti kata Daud, “TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku.” (Mazmur 23:1-4). Ingatlah, ketika kita beriman di dalam-Nya, terimalah segala resiko dan tanggung jawab yang harus kita terima yaitu menderita bagi-Nya (Matius 16:24), tetapi jangan kecewa, ada tangan Tuhan selalu menguatkan kita di dalam penderitaan yang kita tanggung. Sudahkah kita mengalami iman yang berkemenangan bersama Tuhan ? Amin. Soli Deo Gloria.
No comments:
Post a Comment